Anda di halaman 1dari 24

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN

NAMA : AN A

JENIS KELAMIN : perempuan

UMUR : 8 bulan

TTL : 4 Mei 2020

ALAMAT :kp ciparay

AGAMA : islam

MASUK RS :15 Januari 2021

II. IDENTIFIKASI KELUARGA

NAMA ORANG TUA :Ny U


USIA : 38 tahun
ALAMAT : kp ciparay
PEKERJAAN : Ibu rumah tangga

III . ANAMNESA
Diambil : autoanamnesa
Tanggal : 15 januari 2021
Keluhan utama Kejang + 30 menit dirumah

Keluhan tambahan Demam (+) , batuk (-) , pilek (-), muntah (-)

Riwayat penyakit Pasien datang diantar ibunya dengan keluhan kejang – kejang di rumah +
sekarang 30 menit sebanyak 2 kali sempat tidak sadar, sebelumnya pasien demam +
3 hari ,batuk dan pilek (-), muntah (-)

Riwayat penyakit Riwayat penyakit kejang (-)


dahulu Kelainan kongenital (-)

Riwayat penyakit Kakak kandung pasien usia 8 tahun sedang dalam pengobatan TB
keluarga Kakak ipar ibu pasien kerja di Jakarta post TB ( pengobatan TB tuntas ),
tetapi masih batuk , kemarin pulang bareng pasien.

IV . PEMERIKSAAN
A. PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi :150 x/ menit
Respirasi :26 x / menit
Suhu :38,6 C
Spo2 : 97 %
BB / TB :7 kg/ 70 cm

[Pick the date] Page 2


Klinis : edema (-) , tampak kurus (-)

Simpulan status gizi : sedang

B. PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala : Normochepali
UB cekung
Mata :conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar , kaku kuduk (-)
Thoraks : simetris ,statis dan dinamis
Pulmo : vesikuler (+/+) , RH : (-/-), WH (-/-)
Cor : cor bj I – II reguler
Abdomen :peristaltik (+) , supel (+)
genitalia : dalam batas normal , anus (+)
ekstremitas : akral hangat
kulit : tidak sianosis , tidak ikterik

HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN


Hb 9,10 13,2 – 17,3
Leukosit 8810 3800 – 10.600
Trombosit 226.000 150 – 440
Hematocrit 28,7 40-52
Eritrosit 3,87 . 10^6 4,0– 5,9
MVC 74,2 80 – 100
MCH 23,5 26 - 34
MCHC 31,7 32- 36
HITUNG JENIS
BASOFIL 0 0-1
EOSINOFIL 0 2-4

[Pick the date] Page 3


BATANG 0 3-5
SEGMEN 40 50-70
LIMFOSIT 55 25-40
MONOSIT 5 2-8
ABSOLUT LYMPHOSYTE 4830.0 >1500

ELEKTROLIT
NATRIUM (Na ) 132 135 – 147
KALIUM (K) 4,4 3,5- 5,0
KLORIDA (Cl ) 102 95 – 105
Glukosa Sewaktu ( Vena ) 238 >200

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


IMUNOSEROLOGI
IgG/IgM SARSCoV2
IgG SARSCoV2
IgM SARSCoV2 Non Reaktif Non Reaktif
Non Reaktif Non Reaktif

[Pick the date] Page 4


RONTGEN THORAK

Right costopherenic angle tajam, tak tampak efusi


Left costopherenic angle tajam
Diaphragma setinggi costa X posterior
Cor :CTR tidak dinilai
:apeks geser ke lateralkaudal
Trakea tampak di midline , tak menyempit
Pulmo : corakan vasikuler sedikit meningkat

KESAN : tidak tampak kelainan

VI. DIAGNOSA BANDING : epilepsy fokal

DIAGNOSA KERJA : observasi penurunan kesadaran ec status epileptikus


Observasi febris hari ke 2 ec Sups. Infeksi viral /bakteri
ISPA

VII . RENCANA TERAPI (IGD )


 Iufd RL 700 cc/ 24 jam
 Drip paracetamol 70 mg / 6 jam

[Pick the date] Page 5


 Inj diazepam 2,1 mg (k/p)
Konsul dr Fitri Sp A
 Inj Ceftriaxone 350 mg /24 jam
 Loading phenytoin 140 mg iv selanjutnya maintenance 2x20mg
 Inf paracetamol 4x100mg iv
 Transfuse PRC 70 ml
 Test mantoux
 Cek ulang GDS 12 jam selanjutnya

FOLLOW UP

Hari/Tgl Subjektif Objektif assesment terapi

15 Demam (+) Ku : tampak sakit sedang -penurunan Iufd RL 700 cc/ 24 jam
januari kejang (+) 1 Kes : apatis kesadaran ec Inj Ceftriaxone 350 mg /24
2021 kali di ruangan HR : 148 x/i status jam
RR: 26 x/i epileptikus inj phenytoin 2x20mg
[Pick the date] Page 6
T :38 C - febris hari ke drip paracetamol 4x100mg
Mata : ca -/- , si -/-. 2 ec Sups. iv
Thoraks : dalam batas Infeksi viral Transfuse PRC 70 ml
normal. Abdomen : /bakteri Cek GDS
dalam batas normal - ISPA
Eks : akral hangat , crt <
2 , edema (-)

16 Demam (+) Ku : tampak sakit sedang penurunan Iufd RL 700 cc/ 24 jam
januari kejang (-) Kes : compos mentis kesadaran ec Inj Ceftriaxone 350 mg /24
2021 HR : 120 x/i status jam
RR: 24 x/i epileptikus Inj diazepam 2,1 mg (k/p)
T :37,7C ( sub febris ) - febris hari ke inj phenytoin 2x20mg
Mata : ca -/ , si -/-. 2 ec Sups. drip paracetamol 4x100mg
Thoraks : dalam batas Infeksi viral iv
normal. Abdomen : /bakteri Transfuse PRC 70 ml
dalam batas normal - anemia
Eks : akral hangat , crt < - hipoglikemik
2 , edema (-) - ISPA
GDS : 90 , HB : 9,1

17 Demam (-) Ku : tampak sakit sedang penurunan Iufd RL 700 cc/ 24 jam
januari kejang (-) Kes : compos mentis kesadaran ec Inj Ceftriaxone 350 mg /24
2021 pucat (-) HR : 121x/i status jam
RR: 24x/i epileptikus Inj diazepam 2,1 mg (k/p)
T :36,6 C - febris hari ke inj phenytoin 2x20mg
Mata : ca -/- , si -/-. 2 ec Sups. inj paracetamol 4x100mg
Thoraks : dalam batas Infeksi viral iv
normal. Abdomen : /bakteri
dalam batas normal - anemia
Eks : akral hangat , crt < - hipoglikemik
2 , edema (-) - ISPA
[Pick the date] Page 7
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus (SE)
karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang
yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan
waktunya adalah selama 30 menit atau lebih. Epilepsi bersal dari perkataan yunani yang berarti”
serangan “atau penyakit yang timbul secara tiba – tiba . Epilepsi merupakan penyakit yang umum
terjadi dan penting di masyarakat. Pemasalahan tidak hanya dari segi medis tetapi juga sosial dan
[Pick the date] Page 8
ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Mereka cenderung untuk menjahi
penderita epilepsi.

Akibat banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang
tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik penderita
maupun keluarga. Pada makalah ini akan dibahas mengenai dasar teori dan laporan kasus epilepsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFENISI

Epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan ( seizure ) berulang
sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron secara paroksimal, didasari oleh
berbagai etiologi.

[Pick the date] Page 9


Defenisi terbaru menurut pedoman tatalaksana epielpsi tahun 2014 oleh international
league against epilepsy (ILAE) yaitu epilepsy adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan
kondisi atau gejala sebagi berikut:

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu
antara bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan minimal 60%bila terdapat 2 bangkitan
tanpa provokasi / bangkitan refleks ( misalkan bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
structural dan epileptiform discharges)
3. Sudah pernah ditegakkan diagnosis sindroma epilepsy

II.2 Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih
sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1
per 1000 bayi. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.

Di negara berkembang sekitar 80 – 90 % diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.n


penderita laki – laki umumnya lebih sedikit banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden
tertinggi pada anak berusia diba wah 2 tahun (262/100.000 kasus ) dan usia lanjut di atas 65 tahun
(81/100.000 kasus ).

2.3 Anatomi dan Fisiologi


Otak merupakan salah satu organ vital pada tubuh yang berfungsi mengatur segala

aktivitas manusia. Otak memiliki struktur yang relatif kecil dengan berat 1400 gram dan

merupakan 2% dari berat badan. Terbagi menjadi 3 subdivisi yaitu cerebrum, truncus encephali

(batang otak), dam cerebellum.

Cerebellum merupakan bagian terbesar otak yang terdiri dari 2 hemisfer, yaitu hemisfer kanan

dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinalis. Cerebellum tersusun dari korteks. Satu rigi lipatan
[Pick the date] Page 10
korteks disebut gyrus cerebri, sedangkan parit yang memisahkan gyrus cerebri disebut sulcus

cerebri. Berdasarkan gyrus cerebri dan sulcus cerebri yang konstan maka cerebrum dibagi

menjadi 4 lobus besar, yaitu lobus frontalis, lobus temporalis, lobus parientalis, dan lobus

occipitalis.

Lobus frontalis berperan sebagai pusat intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan

berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian

ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motor primer)

dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang

mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, motivasi dan

inisiatif. Lobus temporalis terletak disebelah ventral sulcus lateralis dan pada permukaan

lateralnya terdapat 3 gyrus yang membentang miring, yaitu gyrus temporalis superior, gyrus

temporalis medius, dan gyrus temporalis inferior. Pada sisi dalam dari sulcus lateralis terdapat

beberapa lipatan pendek miring disebut gyrus temporalis transversi dari Heschl yang merupakan

cortex auditoris primer (pusat pendengaran). Facies inferior lobus temporalis terletak pada fossa

cranii media. Pada daerah ini didapatkan gyrus temporalis inferior, gyrus occipitotemporalis dan

gyrus parahippocampalis. Bagian rostral gyrus parahippocampalis, uncus dan stria olfactoria

lateralis membentuk lobus pyriformis yang merupakan cortex olfactorius primer (pusat

penghidu). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, pendengaran, dan penghidu.

Pada lobus temporalis terdapat hippocampus yang berfungsi sebagai pusat memori. Berdasar

beberapa penelitian hippocampus berkaitan erat dengan kejadian epilepsi Hippocampal

Sclerosis merupakan keadaan patologis yang paling sering dikaitkan dengan kejadian Mesial

Temporal Lobe Epilepsy (MTLE).

Lobus parietalis terdapat tiga bagian, yaitu gyrus postcentralis, lobulus parietalis superior,

dan lobulus parietalis inferior. Sisi posterior dari sulcus sentralis dan gyrus postcentralis

merupakan area somesthetica primer, yang merupakan daerah pusat rasa taktil dari reseptor
[Pick the date] Page 11
superficial dan profunda seluruh tubuh. Pada lobulus parietalis inferior terdapat region untuk

proses pemahaman dan interpretasi signal sensorik

Lobus occipitalis merupakan lobus kecil yang bersandar pada tentorium cerebelli. Pada

lobus occipitalis terdapat cortex visual primer (pusat penglihatan). Korteks visual dari setiap

hemisfer menerima impuls visual dari retina sisi temporal ipsilateral dan retina sisi nasal

kontralateral dimana menangkap persepsi separuh lapangan pandang kontralateral.

GAMBAR 1. BAGIAN OTAK

Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon (otak tengah).

Medulla oblongata merupakan pusat refleks organ vital tubuh berfungsi mengatur sistem

respirasi, sistem kardiovaskular, sistem digestivus, serta fungsi refleks lainnya. Pons berperan

sebagai penghubung jaras kortikoserebralis yang menyatukan hemisfer serebri dan cerebellum.

Pada pons terdapat nukelus dari beberapa saraf kranial serta neuron yang menghantarkan sinyal

dari korteks serebri ke serebellum. Sehingga kerusakan/lesi pada pons dapat menimbulkan

disfungsi serebellum, gangguan sensorik dan motorik serta gangguuan pada saraf kranial tertentu.

Mesenfalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi apendikus sylvius, beberapa

traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus refleks pendengaran

(menggerakkan kepala kearah datangnya suara). Terdapat pula neuron untuk pengendalian dan

koordinasi gerakan penglihatan.


[Pick the date] Page 12
Serebellum terletak di fossa cranii posterior. Secara anatomi tersusun dari 1 vermis

serebelli dan 2 hemisfer serebelli. Serebellum bekerja dengan memperhalus gerakan otot serta

mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.

Sebab itu, sebellum disebut sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan tubuh manusia.

Otak manusia tersusun dari kurang lebih 100 milyar sel saraf otak. Antar sel saraf berkomunikasi

melalui mekanisme perantara listrik dan kimiawi. Otak terdiri dari 2 jenis sel yaitu neuron dan sel

glia, dimana neuron berfungsi menghantarkan sinyal listrik, sedangkan sel glia berfungsi

menunjang dan melindungi neuron. Otak menerima 17% dari cardiac output dan menggunakan

20% total oksigen tubuh untuk metabolisme aerobik otak.

Sel saraf berfungsi untuk menerima, menginterpretasi, dan mentransmisikan sinyal listrik.

Listrik dalam digunakan untuk mengontrol saraf, otot, dan organ. Dendrit merupakan bagian

neuron yang berfungsi menerima informasi dari rangsangan atau dari sel lain. Pada dendrit

terdapat multisensor yang kemudian akan mengubah segala rangsangan menjadi sinyal listrik.

Setelah dikelola, akson akan menghantarkan sinyal listrik dari badan sel ke sel lain atau ke organ

melalui terminal akson. Di seluruh membran neuron terdapat beda potensial (tegangan) yang

disebabkan adanya ion negatif yang lebih didalam membran daripada di luar membran. Keadaan

ini neuron dikatakan terpolarisasi. Bagian dalam sel biasanya mempunyai tegangan 60-90 mV

lebih negatif di banding bagian luar sel. Beda potensial ini disebut potensial istirahat neuron.

Ketika ada rangsangan, terjadi perubahan potensial sesaat yang besar pada potensial istirahat di

titik rangsangan, potensi ini di sebut potensial aksi. Potensial aksi merupakan metode utama

transmisi sinyal dalam tubuh. Stimulasi dapat berupa rangsang listrik, fisik dan kimia seperti

panas, dingin, cahaya, suara, dan bau. Jika ada impuls, ion-ion Na+ akan masuk dari luar sel

kedalam sel. Hal ini menyebabkan dalam sel menjadi lebih positif dibanding luar sel, dan

potensial membrane meningkat, hal ini disebut depolarisasi.

[Pick the date] Page 13


1.2 . gambar skema neuron

2.4 ETIOLOGI

Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:


1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala,
perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI),
trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

2.5 FAKTOR RESIKO

Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi epilepsi
pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
[Pick the date] Page 14
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati
hipertensi.

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017, sebagai

berikut:

No Klasifikasi kejang
1 Kejang Fokal  Kesadaran baik  Motorik
 Kesadaran terganggu Otomatisas
i Atonik
Klonik
Spasme epileptik
Hiperkinetik
Myoklonik Tonik
 Non motorik
Otonomik
Perubahan perilaku
Kognitif
Emosional
Sensorik
2 Kejang Umum  Fokal ke bilateral  Motorik
tonik klonik Tonik klonik
Klonik Tonik
Myoklonik
Myoklonik-tonik-klonik
Myoklonik-atonik Atonik
Spasme epileptik
 Non Motorik
Tipikal
Atipikal
Myoklonik
Myoklonia kelopak mata
3 Kejang Tidak  Motorik
Diketahui Tonik
klonik
Spasme
epileptik
 Non motorik
Perubahan perilaku
Tidak terklasifikasi

[Pick the date] Page 15


No Klasifikasi Tipe Epilepsi

1 Epilepsi fokal Titik asal meliputi satu hemisfer serebri

2 Epilepsi umum Titik asal meliputi dua hemisfer serebri

3 Kombinasi fokal dan umum Dravet Syndrome

4 Tidak diketahui Tidak termasuk dalam klasifikasi tipe

epilepsi manapun

2.7 PATOFISIOLOGI
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi dan
eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor inhibisi dan
eksitasi aktivitas listrik otak.Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai
berikut:

1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak


Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.
Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang
berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi
juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untuk mengontrol eksitasi yang berlebihan,
sehingga tejadi kejang.

Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul pada


reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya
[Pick the date] Page 16
saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory
Postsynatic Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya permeabilitas membran
terhadap Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran26
Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromedulator, akan tetapi
reseptor glutamate yang paling penting dan paling banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi.
Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma
Amino Butiric Acid (GABA). Semua struktur otak depann menggunakan aksi inhibitor
dan memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk
epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.

2. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang
terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan
pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang

3. Mekanisme epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan
trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati,
akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan
neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.

4. Mekanisme peralihan interiktal-iktal


Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel
saraf termasuk kendala teori transisi interiktal-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme
transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang
berbeda. Terdapat dua teori mengenai transisi interiktal-iktal, yaitu mekanisme
nonsinaptik dan sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interikta yang berulang
menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat.
Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia
atau iskemia dapat menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi
interiktal-iktal. Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme
[Pick the date] Page 17
inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat mencetuskan epilepsi.

5. Mekanisme neurokimiawi

Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel


saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang
menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain
GABA dan glutamate yang merupakan neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat
beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid
yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat
menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan
pompa ionic juga ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat
memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang menyebabkan degenerasi
neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas GABAergik, pilokapin yang
menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir
menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara
memacu reseptor excitatory amino acid (EAA)

2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis, serta pemeriksaan penunjang dengan menggunakan EEG.
a. Anamnesis
Anamnesis pada pasien epilepsi harus dilakukan secara cermat dan komprehensif
karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan kejang yang dialami pasien.
Informasi mengenai kejadian sebelum, selama, dan sesudah kejang merupakan hal penting
untuk di perhatikan. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis dan aloanamnesis. Pada
pasien anak, aloanamnesis lebih sering dilakukan.

Anamnesis meliputi sacred seven dan fundamental four

1. Gejala utama
2. Onset, waktu pertama saat serangan kejang terjadi
3. Kronologi, diminta menceritakan awal mula terjadinya serangan kejang
4. Kualitas, dapat digali informasi mengenai tipe/pola serangan kejang

[Pick the date] Page 18


5. Kuantitas, derajat frekuensi dan durasi kejang
6. Faktor yang memperberat dan memperingan, dapat ditanyakan adakah faktor
pencetus dalam terjadinya kejang
7. Gejala penyerta, adakah gejala lain yang menyertai selain serangan kejang
8. Riwayat penyakit sekarang, adakah penyakit lain yang diderita pasien pada saat ini
9. Riwayat penyakit dahulu, adakah riwayat panyakit dahulu yang pernah di derita
pasien, riwayat kehamilan, persalinan, perkembangan
10. Riwayat penyakit keluarga, adakah anggota keluarga lain yang memiliki gejela
yang sama dengan pasien
11. Riwayat sosial ekonomi, dapat ditanyakan mengenai lingkungan dan pola hidup
pasien sehari-hari.
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Menilai tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti


trauma kepala, gangguan kongenital, ganngguan neurologi fokal atau difus, infeksi
telinga atau sinus. Untuk pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
1. Pemeriksaan saraf kranialis ( N.I-XII)
2. Pemeriksaan fungsi sensorik
3. Pemeriksaan fungsi motorik
4. Pemeriksaan refleks khusus
5. Pemeriksaan fungsi luhur
Pemeriksaan neurologi dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan neurologi
yang menyertai epilepsi.

c. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang sering di lakukan
untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat 2 bentuk kelainan dalam EEG, kelainan
fokal pada EEG menunjukkan adanya lesi struktural pada otak. Sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Hasil EEG dikatakan abnormal apabila :
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
[Pick the date] Page 19
seharusnya.

3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku-majemuk, dan adanya
gelombang yang melambat.
Namun sekitar 10-40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran EEG yang
abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal ringan atau tidak khas dapat dijumpai
pada 15% populasi normal.

d. Neuroimaging
1. Neuroimanging merupakan pemeriksaan radiologi untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah CT Scan dan
MRI. MRI akan menunjukkan hasil yang lebih rinci, bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kanan dan kiri.

2.9 PENATALAKSAAAN TERAPI EPILEPTIKUS

Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila
[Pick the date] Page 20
kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal
kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1
mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan
kondisi rumah sakit

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak kejang,
maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian
rumatan bila diperlukan.
tabel 1. Antiepilepsi pada anak berdasarkan tipe kejang

Tabel .2 mekanisme obat epilepsi

[Pick the date] Page 21


Tabel 3. dosis obat kejang

2.10. KOMPLIKASI
[Pick the date] Page 22
1. Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus

Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi inflamasi,
calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan
lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik,
sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses
kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot,
demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan
metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf
otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak
pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan
oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun
dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak

2. Komplikasi sekunder

Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta
hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang
harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis,
hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian
anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping
akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti
emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan
harus diperhatikan.

2.11 PROGNOSIS

Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit neurologis
permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi
simtomatis remote, sindrom epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

[Pick the date] Page 23


1. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS, Helfaer
MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedi- cal; 2013. h 117–
138

2. Hartmann H, Cross JH. Post-neonatal epileptic seizures. Dalam: Kennedy C, penyunting.


Principles and practice of child neurology in infancy. Mac Keith Press; 2012. h. 234-5
3. Anderson M. Buccal midazolam for pediatric convulsive seizures: efficacy, safe- ty, and
patient acceptability. Patient Preference and Adherence. 2013;7:27-34.
4. Harsono, kustiowati E,Gunadharma S, et al. Pedoman tatalaksana Epilepsi. Perdossi 2006
5. Robert SF, ILAE Official Report A Practice clinical definition of epilepsy. Epilepsia 55.
International league againstepielpsy 2014
6. Http//www.epilepsy foundation.org/about/statistics.cfm
7. http//www.epilepsyindonesia.com/pengobatan/epilepsy-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsy-pada-anak-2
8. Michael A, David G Roger S. Clinical Neurology, 6th ed.New York:Mc Grawhill.2012
9. ACT Health. Buccal midazolam for prolonged convulsions: Summary for par- ents
10. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,
Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric: Di- agnosis and treatment. Edisi
ke-18. International Edition: McGrawHill; 2008. h. 735.

[Pick the date] Page 24

Anda mungkin juga menyukai