I. IDENTIFIKASI PASIEN
NAMA : AN A
UMUR : 8 bulan
AGAMA : islam
III . ANAMNESA
Diambil : autoanamnesa
Tanggal : 15 januari 2021
Keluhan utama Kejang + 30 menit dirumah
Keluhan tambahan Demam (+) , batuk (-) , pilek (-), muntah (-)
Riwayat penyakit Pasien datang diantar ibunya dengan keluhan kejang – kejang di rumah +
sekarang 30 menit sebanyak 2 kali sempat tidak sadar, sebelumnya pasien demam +
3 hari ,batuk dan pilek (-), muntah (-)
Riwayat penyakit Kakak kandung pasien usia 8 tahun sedang dalam pengobatan TB
keluarga Kakak ipar ibu pasien kerja di Jakarta post TB ( pengobatan TB tuntas ),
tetapi masih batuk , kemarin pulang bareng pasien.
IV . PEMERIKSAAN
A. PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi :150 x/ menit
Respirasi :26 x / menit
Suhu :38,6 C
Spo2 : 97 %
BB / TB :7 kg/ 70 cm
B. PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala : Normochepali
UB cekung
Mata :conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar , kaku kuduk (-)
Thoraks : simetris ,statis dan dinamis
Pulmo : vesikuler (+/+) , RH : (-/-), WH (-/-)
Cor : cor bj I – II reguler
Abdomen :peristaltik (+) , supel (+)
genitalia : dalam batas normal , anus (+)
ekstremitas : akral hangat
kulit : tidak sianosis , tidak ikterik
ELEKTROLIT
NATRIUM (Na ) 132 135 – 147
KALIUM (K) 4,4 3,5- 5,0
KLORIDA (Cl ) 102 95 – 105
Glukosa Sewaktu ( Vena ) 238 >200
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
FOLLOW UP
15 Demam (+) Ku : tampak sakit sedang -penurunan Iufd RL 700 cc/ 24 jam
januari kejang (+) 1 Kes : apatis kesadaran ec Inj Ceftriaxone 350 mg /24
2021 kali di ruangan HR : 148 x/i status jam
RR: 26 x/i epileptikus inj phenytoin 2x20mg
[Pick the date] Page 6
T :38 C - febris hari ke drip paracetamol 4x100mg
Mata : ca -/- , si -/-. 2 ec Sups. iv
Thoraks : dalam batas Infeksi viral Transfuse PRC 70 ml
normal. Abdomen : /bakteri Cek GDS
dalam batas normal - ISPA
Eks : akral hangat , crt <
2 , edema (-)
16 Demam (+) Ku : tampak sakit sedang penurunan Iufd RL 700 cc/ 24 jam
januari kejang (-) Kes : compos mentis kesadaran ec Inj Ceftriaxone 350 mg /24
2021 HR : 120 x/i status jam
RR: 24 x/i epileptikus Inj diazepam 2,1 mg (k/p)
T :37,7C ( sub febris ) - febris hari ke inj phenytoin 2x20mg
Mata : ca -/ , si -/-. 2 ec Sups. drip paracetamol 4x100mg
Thoraks : dalam batas Infeksi viral iv
normal. Abdomen : /bakteri Transfuse PRC 70 ml
dalam batas normal - anemia
Eks : akral hangat , crt < - hipoglikemik
2 , edema (-) - ISPA
GDS : 90 , HB : 9,1
17 Demam (-) Ku : tampak sakit sedang penurunan Iufd RL 700 cc/ 24 jam
januari kejang (-) Kes : compos mentis kesadaran ec Inj Ceftriaxone 350 mg /24
2021 pucat (-) HR : 121x/i status jam
RR: 24x/i epileptikus Inj diazepam 2,1 mg (k/p)
T :36,6 C - febris hari ke inj phenytoin 2x20mg
Mata : ca -/- , si -/-. 2 ec Sups. inj paracetamol 4x100mg
Thoraks : dalam batas Infeksi viral iv
normal. Abdomen : /bakteri
dalam batas normal - anemia
Eks : akral hangat , crt < - hipoglikemik
2 , edema (-) - ISPA
[Pick the date] Page 7
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus (SE)
karena International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang
yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan
waktunya adalah selama 30 menit atau lebih. Epilepsi bersal dari perkataan yunani yang berarti”
serangan “atau penyakit yang timbul secara tiba – tiba . Epilepsi merupakan penyakit yang umum
terjadi dan penting di masyarakat. Pemasalahan tidak hanya dari segi medis tetapi juga sosial dan
[Pick the date] Page 8
ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Mereka cenderung untuk menjahi
penderita epilepsi.
Akibat banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang
tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik penderita
maupun keluarga. Pada makalah ini akan dibahas mengenai dasar teori dan laporan kasus epilepsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFENISI
Epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan ( seizure ) berulang
sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron secara paroksimal, didasari oleh
berbagai etiologi.
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu
antara bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan minimal 60%bila terdapat 2 bangkitan
tanpa provokasi / bangkitan refleks ( misalkan bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
structural dan epileptiform discharges)
3. Sudah pernah ditegakkan diagnosis sindroma epilepsy
II.2 Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus lebih
sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1
per 1000 bayi. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.
aktivitas manusia. Otak memiliki struktur yang relatif kecil dengan berat 1400 gram dan
merupakan 2% dari berat badan. Terbagi menjadi 3 subdivisi yaitu cerebrum, truncus encephali
Cerebellum merupakan bagian terbesar otak yang terdiri dari 2 hemisfer, yaitu hemisfer kanan
dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinalis. Cerebellum tersusun dari korteks. Satu rigi lipatan
[Pick the date] Page 10
korteks disebut gyrus cerebri, sedangkan parit yang memisahkan gyrus cerebri disebut sulcus
cerebri. Berdasarkan gyrus cerebri dan sulcus cerebri yang konstan maka cerebrum dibagi
menjadi 4 lobus besar, yaitu lobus frontalis, lobus temporalis, lobus parientalis, dan lobus
occipitalis.
Lobus frontalis berperan sebagai pusat intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan
berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian
ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motor primer)
dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, motivasi dan
inisiatif. Lobus temporalis terletak disebelah ventral sulcus lateralis dan pada permukaan
lateralnya terdapat 3 gyrus yang membentang miring, yaitu gyrus temporalis superior, gyrus
temporalis medius, dan gyrus temporalis inferior. Pada sisi dalam dari sulcus lateralis terdapat
beberapa lipatan pendek miring disebut gyrus temporalis transversi dari Heschl yang merupakan
cortex auditoris primer (pusat pendengaran). Facies inferior lobus temporalis terletak pada fossa
cranii media. Pada daerah ini didapatkan gyrus temporalis inferior, gyrus occipitotemporalis dan
gyrus parahippocampalis. Bagian rostral gyrus parahippocampalis, uncus dan stria olfactoria
lateralis membentuk lobus pyriformis yang merupakan cortex olfactorius primer (pusat
penghidu). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, pendengaran, dan penghidu.
Pada lobus temporalis terdapat hippocampus yang berfungsi sebagai pusat memori. Berdasar
Sclerosis merupakan keadaan patologis yang paling sering dikaitkan dengan kejadian Mesial
Lobus parietalis terdapat tiga bagian, yaitu gyrus postcentralis, lobulus parietalis superior,
dan lobulus parietalis inferior. Sisi posterior dari sulcus sentralis dan gyrus postcentralis
merupakan area somesthetica primer, yang merupakan daerah pusat rasa taktil dari reseptor
[Pick the date] Page 11
superficial dan profunda seluruh tubuh. Pada lobulus parietalis inferior terdapat region untuk
Lobus occipitalis merupakan lobus kecil yang bersandar pada tentorium cerebelli. Pada
lobus occipitalis terdapat cortex visual primer (pusat penglihatan). Korteks visual dari setiap
hemisfer menerima impuls visual dari retina sisi temporal ipsilateral dan retina sisi nasal
Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon (otak tengah).
Medulla oblongata merupakan pusat refleks organ vital tubuh berfungsi mengatur sistem
respirasi, sistem kardiovaskular, sistem digestivus, serta fungsi refleks lainnya. Pons berperan
sebagai penghubung jaras kortikoserebralis yang menyatukan hemisfer serebri dan cerebellum.
Pada pons terdapat nukelus dari beberapa saraf kranial serta neuron yang menghantarkan sinyal
dari korteks serebri ke serebellum. Sehingga kerusakan/lesi pada pons dapat menimbulkan
disfungsi serebellum, gangguan sensorik dan motorik serta gangguuan pada saraf kranial tertentu.
Mesenfalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi apendikus sylvius, beberapa
traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus refleks pendengaran
(menggerakkan kepala kearah datangnya suara). Terdapat pula neuron untuk pengendalian dan
serebelli dan 2 hemisfer serebelli. Serebellum bekerja dengan memperhalus gerakan otot serta
mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
Sebab itu, sebellum disebut sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan tubuh manusia.
Otak manusia tersusun dari kurang lebih 100 milyar sel saraf otak. Antar sel saraf berkomunikasi
melalui mekanisme perantara listrik dan kimiawi. Otak terdiri dari 2 jenis sel yaitu neuron dan sel
glia, dimana neuron berfungsi menghantarkan sinyal listrik, sedangkan sel glia berfungsi
menunjang dan melindungi neuron. Otak menerima 17% dari cardiac output dan menggunakan
Sel saraf berfungsi untuk menerima, menginterpretasi, dan mentransmisikan sinyal listrik.
Listrik dalam digunakan untuk mengontrol saraf, otot, dan organ. Dendrit merupakan bagian
neuron yang berfungsi menerima informasi dari rangsangan atau dari sel lain. Pada dendrit
terdapat multisensor yang kemudian akan mengubah segala rangsangan menjadi sinyal listrik.
Setelah dikelola, akson akan menghantarkan sinyal listrik dari badan sel ke sel lain atau ke organ
melalui terminal akson. Di seluruh membran neuron terdapat beda potensial (tegangan) yang
disebabkan adanya ion negatif yang lebih didalam membran daripada di luar membran. Keadaan
ini neuron dikatakan terpolarisasi. Bagian dalam sel biasanya mempunyai tegangan 60-90 mV
lebih negatif di banding bagian luar sel. Beda potensial ini disebut potensial istirahat neuron.
Ketika ada rangsangan, terjadi perubahan potensial sesaat yang besar pada potensial istirahat di
titik rangsangan, potensi ini di sebut potensial aksi. Potensial aksi merupakan metode utama
transmisi sinyal dalam tubuh. Stimulasi dapat berupa rangsang listrik, fisik dan kimia seperti
panas, dingin, cahaya, suara, dan bau. Jika ada impuls, ion-ion Na+ akan masuk dari luar sel
kedalam sel. Hal ini menyebabkan dalam sel menjadi lebih positif dibanding luar sel, dan
2.4 ETIOLOGI
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi epilepsi
pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
[Pick the date] Page 14
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif), dan ensefalopati
hipertensi.
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017, sebagai
berikut:
No Klasifikasi kejang
1 Kejang Fokal Kesadaran baik Motorik
Kesadaran terganggu Otomatisas
i Atonik
Klonik
Spasme epileptik
Hiperkinetik
Myoklonik Tonik
Non motorik
Otonomik
Perubahan perilaku
Kognitif
Emosional
Sensorik
2 Kejang Umum Fokal ke bilateral Motorik
tonik klonik Tonik klonik
Klonik Tonik
Myoklonik
Myoklonik-tonik-klonik
Myoklonik-atonik Atonik
Spasme epileptik
Non Motorik
Tipikal
Atipikal
Myoklonik
Myoklonia kelopak mata
3 Kejang Tidak Motorik
Diketahui Tonik
klonik
Spasme
epileptik
Non motorik
Perubahan perilaku
Tidak terklasifikasi
epilepsi manapun
2.7 PATOFISIOLOGI
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi dan
eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor inhibisi dan
eksitasi aktivitas listrik otak.Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai
berikut:
2. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang
terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan
pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang
3. Mekanisme epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan
trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati,
akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan
neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.
5. Mekanisme neurokimiawi
2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis, serta pemeriksaan penunjang dengan menggunakan EEG.
a. Anamnesis
Anamnesis pada pasien epilepsi harus dilakukan secara cermat dan komprehensif
karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan kejang yang dialami pasien.
Informasi mengenai kejadian sebelum, selama, dan sesudah kejang merupakan hal penting
untuk di perhatikan. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis dan aloanamnesis. Pada
pasien anak, aloanamnesis lebih sering dilakukan.
1. Gejala utama
2. Onset, waktu pertama saat serangan kejang terjadi
3. Kronologi, diminta menceritakan awal mula terjadinya serangan kejang
4. Kualitas, dapat digali informasi mengenai tipe/pola serangan kejang
c. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang sering di lakukan
untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat 2 bentuk kelainan dalam EEG, kelainan
fokal pada EEG menunjukkan adanya lesi struktural pada otak. Sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Hasil EEG dikatakan abnormal apabila :
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
[Pick the date] Page 19
seharusnya.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku-majemuk, dan adanya
gelombang yang melambat.
Namun sekitar 10-40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran EEG yang
abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal ringan atau tidak khas dapat dijumpai
pada 15% populasi normal.
d. Neuroimaging
1. Neuroimanging merupakan pemeriksaan radiologi untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah CT Scan dan
MRI. MRI akan menunjukkan hasil yang lebih rinci, bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kanan dan kiri.
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila
[Pick the date] Page 20
kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal
kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
5 mg (usia 1 – 5 tahun)
7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1
mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan
kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak kejang,
maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian
rumatan bila diperlukan.
tabel 1. Antiepilepsi pada anak berdasarkan tipe kejang
2.10. KOMPLIKASI
[Pick the date] Page 22
1. Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi inflamasi,
calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan
lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik,
sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses
kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot,
demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan
metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf
otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak
pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan
oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun
dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak
2. Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta
hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang
harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis,
hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian
anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping
akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti
emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan
harus diperhatikan.
2.11 PROGNOSIS
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit neurologis
permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi
simtomatis remote, sindrom epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA