Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTHESIA PADA PASIEN


HIDROCEPHALUS DENGAN MENINGITIS

Disusun oleh:
Iqbal Musyaffa (1102015100)
Raudha Kasmir (1102015190)

Pembimbing :
dr. FX Andi Haris R, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 SEPTEMBER – 9 OKTOBER 2021
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DN
Umur : 35 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dewi Sartika, Jakarta Timur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal MRS : 20 September 2021
Tanggal Operasi : 21 September 2021

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Ny. DN, 35 tahun, datang ke IGD RS Bhayangkara TK.I R. Said Sukanto diantar
suaminya dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
dirasakan terus menerus sepanjang hari. Demam juga disertai kejang sebanyak 3 kali
selama 15 menit dalam 3 hari terakhir. Selain itu terdapat nyeri kepala berat di seluruh
bagian kepala yang terasa seperti berdenyut, namun hilang timbul dan membaik ketika
pasien beristirahat Suami pasien mengatakan bahwa pasien bicara meracau dan sering
berkata kasar dalam 4 hari terakhir. Keluhan juga disertai mual dan muntah sebanyak
2 kali. Menurut suami pasien tidak ada keluhannya. Tidak ada Riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, maupun alergi pada pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:


• Riwayat Asma : Tidak Ada
• Riwayat Diabetes Mellitus : Tidak Ada
• Riwayat Alergi Obat / Makanan : Tidak Ada
• Riwayat Hipertensi : Tidak Ada
• Riwayat Penyakit Jantung : Tidak Ada
• Riwayat Operasi : Tidak Ada

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat penyakit ini dalam keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan :
Suami pasien mengatakan bahwa pasien belum pernah mengobati keluhannya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Apatis (E3M6V3)

Tanda-tanda vital
● Laju napas : 20 kali/menit
● Nadi : 68 kali/menit
● Tekanan darah : 90/70 mmHg
● Suhu : 38ºC
● Saturasi : 99%

Status Gizi
 Berat Badan : 65 Kg
 Tinggi Badan : 165 Cm
 BMI : 23,89 (Normoweight)

Kepala : macrocephal
Mata : conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), kaku kuduk (+)
Paru : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung : S1dan S2 regular, gallop -/-, murmur -/-
Abdomen : bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik
Laboratorium (20/09/2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujuk
HB 10,4 12-14
Leukosit 11.560 5.000-10.000
Trombosit 525.000 150.000-400.000
Hematokrit 30 37-43
Eritrosit 3,88 4-5
HITUNG JENIS
Segmen 86 50-70
Limfosit 8 20-40
Monosit 6 2-8
Eosinofil 0 1-3
Basofil 0 0-1
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 118 < 200 mg/dl
Ureum 21 10-50 mg/dl
Creatinine 0,5 0,5- 1,3
Estimasi GFR 127 >=90
Albumin 4,0 3,5-5,2 g/dl
SGOT 26,1 <31
SGPT 42,0 <31
ELEKTROLIT
Natrium 118 135-145
Kalium 3,5 3,5-5,0
Chlorida 82 98-108
ANALISA GAS DARAH
PH 7,57 7,35-7,45
pCO2 29 35-45
PO2 59 85-95
O2 Saturasi 94 85-95
HCO3 29 21-25
Base Excess 4 -2,5-+2,5
Total CO2 27 21-27

Hasil CT Scan (20/09/2021)


IV. RESUME
Ny. DN, 35 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari disertai kejang sebanyak 3 kali
selama 15 menit dalam 3 hari terakhir. Terdapat nyeri kepala berat di seluruh bagian
kepala yang terasa seperti berdenyut, namun hilang timbul dan membaik ketika pasien
beristirahat Suami pasien mengatakan bahwa pasien bicara meracau dan sering berkata
kasar dalam 4 hari terakhir. Keluhan juga disertai mual dan muntah sebanyak 2 kali.
Menurut suami pasien tidak ada keluhannya. Tidak ada Riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, maupun alergi pada pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
apatis (E3M6V3), Suhu 38oC, tanda vital lain dalam batas normal. Pada status
generalis didapatkan kepala makrosefal dan kaku kuduk positif.

V. DIAGNOSIS KERJA
Hidrocephalus Akut dengan Meningitis
VI. TINDAKAN / PROSEDUR
VP Shunt
PERSIAPAN ANESTESI
I. DIAGNOSIS PRE-OPERASI
Hidrocephalus Akut dengan Meningitis

II. JENIS OPERASI


VP Shunt

III. RENCANA TEKNIK ANESTESI


General Anestesi

IV. STATUS FISIK


ASA I

Breathing (B1)
• Airway tidak ada hambatan jalan nafas
• Mallampati 1
• Gerakan leher baik terbatas
• Respiration rate 20 kali permenit
• Thorax Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Blood (B2)
• Blood pressure 90/70 mmHg
• Heart rate 68 kali permenit
• SpO2 99 %
• CRT < 2 detik

Brain (B3)
• GCS 12 E3M6V3
• Apatis
• Keadaan umum sakit sedang
Bladder (B4)
• Tidak terpasang kateter urin

Bowel (B5)
• Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)

Bone (B6)
• Tidak ada gigi palsu dan gigi goyang
• Tidak ada fraktur dan deformitas

Pre-Operasi :
• Informed Consent
• Pasien puasa 6 jam pre-operatif
• Premedikasi di IBS
• Pasang infus 1 jalur

Persiapan Obat
• Pre medikasi
pemasangan IV RL

Persiapan Alat
• Stetoskop, Laringoskop
• Endotracheal Tube (ETT) ukuran 7
• Mesin Ventilator
• Sungkup muka dewasa
• Oropharyngeal Airway
• Plester / Tape
• Mandrin / Stillete
• Spuit 10 cc
• Suction
Intubasi : Head Tilt-Chin Lift → lalu memasukan laryngoscope dan ETT no. 7.5 →
selanjutnya pemberian oksigenasi dengan Oksigen 2L : Nitrous Oxide (N2O) 2L
campuran dengan isoflurane 2% MAC
- Suara pernapasan: kanan = kiri
- Fiksasi pada kedalaman 20 cm
- Maintenance dgn N2O : O2 = 50% : 50% dan Isoflurane 2% MAC

Intra Operasi
• Lama operasi : 60 menit ( 11.00 – 12:00 WIB )
• Lama anestesi : 75 menit
• Posisi : Supine
Induksi : Propofol 100 mg IV, Fentanyl 200 mcg IV, Rocuronium 30mg
Maintenance : O2 2L : N2O 2L Inhalasi Isofluran 2% MAC
Medikasi Intraop:
• Inj. Dexketoprofen 50mg
• Inj. Ondansentron 8 mg
• Inj. Fentanyl 200 mcg
• Inj. Propofol 100mg
• Inj. Rocuronium Bromide 30mg
• Inj. Sulfate Atropine 0,75mg
• Inj. Neostigmen 1,5 mg
• Inj. Transamin 200 mg
• Inj. Lidocain 30 mg
Cairan Intraoperatif
RL 500 ml

PASCA ANESTESI
Pasien sadar pada pukul 12.15 dan dipindah ke recovery room pukul 12.20.
TD: 100/70 mmHg, HR: 70 x/menit, RR : Spontan, 20 x/menit
Pemberian cairan : RL 20 tpm
Score Aldrete
• Aktivitas 2
• Pernapasan 2
• Sirkulasi 2
• Kesadaran 1
• Saturasi oksigen 2
• Total skor 9 → Pasien pemulihan

Intruksi Post Operasi:


 Pemantauan kesadaran, tensi, nasi, respirasi tiap 15 menit
 Posisi pasien supine
 Pengelolaan nyeri : Dexketoprofen
 Penanganan mual muntah : ondansentron
 Diet dan nutrisi : sesuai DPJP
 Obat-obatan lain : sesuai DPJP
 Lain-lain : Sesuai DPJP

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi

Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,


tanpa" dan aesthetos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan
dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik,
dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal.
Berdasarkan pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek
analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang
disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek
analgesia (Silistia, 1995).
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi
umum dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya
rasa sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi
lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang
terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan
kesadaran (Soenardjo, 2010).
Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu
anestesi inhalasi dan anestesi intravena.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum

• Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesia akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
tertentu. Kemudian zat anestesia akan berdifusi melalui membrane
alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesia, sehingga
tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri
pulmonaris. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
f Konsentrasi zat anestesia yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesia dalam
alveolus.
f Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
• Faktor sirkulasi

Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena

Factor-faktor yang mempengaruhi:


1. Perubahan tekanan parsial zat anestesia yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesia diserap jaringan
dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesia dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesia yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anesthesia yang adekuat.

• Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesia antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesia, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesia ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.

c) Lemak : jaringan lemak

d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada


aliran darah : ligament dan tendon.
• Faktor zat anestesia

Bermacam-macam zat anestesia mempunyai potensi yang berbeda-


beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu
konsentrasi terendah zat anestesia dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit.
Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesia tersebut.
A. Anestesi Intravena

Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh


hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan,
mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis,
mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang
tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari
tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler,
pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek
samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai
tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara
anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek
salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain (Silistia, 1996).
B. Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi,
agar tidak membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan
operasi.
1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi)
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium
ini, operasi kecil dapat dilakukan.
2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium
ini penderita bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks
cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak
mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat
membahayakan penderita sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini dapat
dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologis penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3. Stadium III (Stadium operasi)
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini
dibagi menjadi 4 plana :
Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah menghilang,
tonus otot menurun.
Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis
otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan
frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal,
bola mata berhenti, pupil melebar dan reflek cahaya menurun,
reflek korne menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh
otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari
torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin
melebar dan reflek cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif,
reflek laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin
menurun.
Plana IV : Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise diafragma
Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernafasan lambat,
ireguler dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflek cahaya negatif,
reflek spinchter ani negatif.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga
stadium overdosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua
reflek, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan circulatory
failure.

C. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI


Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi dan
biasanya dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan yang
berhubungan dengan anestesi. Persiapan ini menyangkut setiap aspek terhadap
kondisi pasien dan tidak hanya permasalahan patologis yang membutuhkan
operasi.
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya
dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat


penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua system organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4. Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang


adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena
dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan. (2)(3)
> Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
> Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
> Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
> Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
> Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
> Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.
5. Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi
anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesia.
6. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan


premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi: Pemberian obat secara subkutan


tidak akan efektif dalam 1 jam, secara intramuscular minimum harus
ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena,
obat akan efektif dalam 3 - 5 menit. Obat akan sangat efektif sebelum
induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
a) Analgesik narkotik
1) Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
2) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3pg/kgBB
b) Analgesik non narkotik
1) Ketorolak
2) Asam mefenamat
3) Natrium diklofenak
4) Tramadol
c) Hipnotik
1) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
d) Sedatif
1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
2) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
e) Antikolinergik
1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB
f) Anti emetic
1) Simetidin dan Ranitidin
2) Ondancentron

7. Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena

Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat,
eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi
untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya:
droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative (contohnya:
diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa
saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan
diazepam.
PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek
anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan
emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10
mg).(7)

Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke


glukuronat dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang
diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak
berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja. (1) (4)(7)

Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat


menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat. (4) Sebagian besar
propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus
intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit
pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat
dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan
distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat. (5)(7)
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap
perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein
ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat
oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens
dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl,
alfentanil dan propanolol.(4)(5)(7)
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan
pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang
cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek
sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB)
pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran
darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.(2)(3)(5)
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan
depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini
disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular
sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak
disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas
kendali) serta pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian
melalui bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus
dengan efek depresi jantung. (4)(5) (7)

Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian


propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30
detik, namun dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi
atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi
pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun
dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi
atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory depressants. 4
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak - anak usia lebih dari 3
(4)
tahun. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun
dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari
55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk
pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang
dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55
(4)
tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB.
Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15
mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan
pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075
mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau
dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. (4)
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur
singkat, hasil dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan
pengembalian sebelumnya fungsi psikomotor dibandingkan dengan thiopental
atau methohexital, terlepas dari anestesi yang digunakan untuk pemeliharaan
anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol digunakan untuk induksi
juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV lainnya, mungkin
karena sifat antiemetik propofol.(3) Propofol mendukung perkembangan
bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari
profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri. (4)(5)
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena (3).
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens
nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di
(5)
fossa antecubiti. . Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah
penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat
antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti
myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan
pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi
dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien
epilepsy.
KETAMIN
Ketamin adalah suatu "rapid acting non-barbiturate general
anesthetic”. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun
1965.(2)
Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk.(3) Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang
memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor
metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. -(1) (4)

Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih


cepat dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena
adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan
waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada
pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-
25 menit). '(1)(4)
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di
reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek
hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian
mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk
selanjutnya diekskresikan melalui urin.(5)
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek
analgetik yang kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai
anestesia disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik
pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas
pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus.
Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic
appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada
pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Itu
merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah
pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada
periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan
tekanan intrakranial. '(1)(4)
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit
menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan
kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa
menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering
mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan
menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. -(1)(4)
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula
mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali
dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini
disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi
baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid,
hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. '(1)(4)
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya
sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai
premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis
terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita
asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang
masih ringan. -(1)(4)
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah
1-4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan
melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-
anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi
adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB.
Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk
sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena
dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB
intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau
midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias
dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3)
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai
induksi pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan
nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk
prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan
ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena
ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil;
6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma. '(1)(4)
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada:
1. ) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic
100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio
cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat
kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan
mimpi buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam
pasca pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian
opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. -(1)(4)
8. Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan
opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 pg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O
+ O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau
isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu atau dikendalikan.
9. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang
mendapatkan anestesi intravena, kesadaran akan kembali berangsur- angsur
dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah
obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita yang dianestesi dengan pernafasan
spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka hanya tinggal menunggu
sadarnya penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan pipa
endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat
dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar.
Ekstubasi dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita
karena dapat menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan
kardiovaskuler, naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial (Soenaijo et al,
2010).

BAB lll
KESIMPULAN
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesi umum adalah adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.
Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi meliputi faktor respirasi, faktor
sirkulasi, faktor jaringan dan faktor zat anestetika.
Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya
satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja
cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek
analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah
dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit
mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak
tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan
pemulihan yang cepat.
Stadium anestesi menurut Guedel dibagi menjadi 4 stadium yaitu :

1. Stadium I (Stadium analgesia)


2. Stadium II (Stadium eksitasi atau stadium delirium)
3. Stadium III (Stadium anestesia atau stadium operasi)
4. Stadium IV (Stadium paralysis)
Penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi :

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Laboratorium
4. Klasifikasi Status Fisik
5. Masukan Oral
6. Premedikasi
7. Obat-obat Induksi Intravena
8. Pemeliharaan Anastesi (Maintanance)
9. Pemulihan Anastesi
DAFTAR PUSTAKA

Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for


Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
Dobson, M.B.,ed. Dharma A., 1994 Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta

Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun
2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012;
210-218
Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed on
2 juni 2014
Ganiswara, Silistia G., 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology).
Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta,
Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-
343100#0.
Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai