Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

KRISIS THYROID

Oleh :
Claudya Sephyani P. Kota Siku

Pembimbing :
dr. Ayu Bidani, Sp.PD

Internsip Periode Maret 2021 – November 2021


Rumah Sakit Umum Daerah Bajawa
Ngada - Flores
BAB 1

PENDAHULUAN
Krisis tiroid adalah kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan diagnosis cepat dan
pengobatan darurat. Kondisi ini bermanifestasi sebagai dekompensasi beberapa organ dengan
manifestasi klinis yang ditemukan seperti kehilangan kesadaran, demam tinggi, gagal jantung, diare,
dan penyakit kuning. Survei nasional baru-baru ini di Jepang telah mengungkapkan bahwa angka
kematian kematian akibat krisis thyroid lebih dari 10% 1.

Kegagalan organ multipel merupakan penyebab kematian paling umum, diikuti oleh gagal
jantung kongestif, gagal pernapasan, aritmia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), perforasi
gastrointestinal, hipoksia jaringan otak, dan sepsis. Bahkan ketika pasien bertahan, memiliki
kerusakan organ bersifat ireversibel meliputi kerusakan otak, penyakit serebrovaskular, insufisiensi
ginjal, dan psikosis.1 Kematian yang terkait dengan badai tiroid diperkirakan 8-25% meskipun telah
mengalami kemajuan dalam pengobatan dan tindakan suportif. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengenali penyakit ini sejak sejak dini dan memulai pengobatan yang agresif untuk mengurangi
angka kematian.5

Infeksi adalah salah satu hal yang dapat mencetuskan krisis tiroid dan perlu mendapat sebuah
perhatian khusus di Intensive Care Unit (ICU). Dimana penatalaksanaannya berupa koreksi pencetus
kelainan tiroid, obati penyakit tiroid yang mendasari, berikan terapi suportif, kontrol gejala adrenergic,
dan hilangkan gejala adrenergik. Terapi definitif penyebab disfungsi tiroid dilakukan apabila
kegawatan telah teratasi.4

Pada penulisan ini akan dipresentasikan sebuah laporan kasus seorang wanita usia 40 tahun
dengan riwayat pembesaran kalenjar tiroid yang tidak mendapatkan pengobatan sebelumnya datang
dengan gejala pneumonia yang kemudian mencetuskan untuk terjadinya krisis tiroid.
BAB II

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. MGM

Usia : 40 Tahun

Tempat/Tanggal Lahir : Bajawa, 24 Desember 1962

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Naru

Agama : Katolik

Suku : Flores

Pekerjaan : Petani

2. Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak

Pasien datang sadar diantar keluarga dengan keluhan sesak sejak kurang lebih 1 jam sebelum ke
rumah sakit. Sesak tidak membaik dengan istirahat dan perubahan posisi. Keluhan disertai batuk
berdahak berwarna putih kekuningan yang dialami sejak kurang lebih 1 minggu. Pasien juga
mengeluhkan dada terasa berdebar-debar sejak sebelum masuk ke rumah sakit. Nyeri perut kanan
atas disertai mual dan muntah sebanyak 6x berisi makanan dan air. Nyeri kepala (-), pusing (-),
demam (+) sejak beberapa hari terakhir ini bersifat naik turun, lemas (+), nafsu makan menurun (+).
Riwayat buang air besar cair sejak 3 hari yang lalu dengan frekuensi 3x dalam satu hari tanpa
disertai darah. Buang air kecil tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Sebelumnya :

 Hiperthyroid sejak 5 tahun dan tidak pernah berobat


 Tuberculosis Paru tuntas pengobatan

Riwayat Pengobatan Sebelumnya :

 OAT 3 tahun yang lalu


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak diketahui

Riwayat Alergi : Tidak ada

Riwayat Asupan Nutrisi : Pasien makan 2-3x sehari, dengan menu makanan bervariasi

3. Pemeriksaan Fisik
GCS : E4V5M6
Keadaan Umum : Sakit sedang
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Denyut Nadi : 158-200 x / menit, kuat angkat, isi cukup
Respirasi : 32x / menit
Suhu : 38,2oC
SpO2 : 99% dengan NRM 10 lpm
VAS : 5 dari 10

Kepala- Leher :
Mata : Conjunctiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Eksoftalmus -/-
Leher : Tampak struma dengan ukuran kurang lebih 7x8cm, asimetris, imobile,
konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan. Pembesaran kelenjar getah bening tidak ditemukan
Thorax
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi (-), ictus cordis tampak pada ICS 5 sinistra
Palpasi : Pergerakan dada kanan = kiri, krepitasi tidak ditemukan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Vesikular +/+, Ronchi +/+ basah kasar , Wheezing -/-
Bunyi jantung S1/S2 tunggal, iregular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Kesan datar, ascites (-), trauma (-), jejas (-)
Auskultasi : Peristaltik kesan meningkat
Palpasi : Nyeri tekan (+) regio epigastrium dan Right upper quadrant, Murphy sign (-),
organomegaly (-)
Perkusi : Timpani, Nyeri perkusi (-)
Extremitas : Akral hangat (+), Edema (-), CRT kurang dari 2 detik
Integumen : Ikterus (-)
Skor Burch Wartofsky
Temperatur : 10
Cardiovascular :
Tachycardia : 25
AF : 10
CHF :0
Gastrointestinal-hepatic dysfunction : 10
(Diare, nausea/vomiting)
CNS disturbance :0
Precipitating Event :0
Total : 55 (Thyroid Storm)

4. Pemeriksaan Penunjang

Hematologi Hasil Satuan Nilai Rujukan


WBC 36,8 103/uL 4.50-11.50
Neutrophil 29,39 103/uL 1.50-7.00
Lymph 3,36 103/uL 1.00-3.70
Mono 3,40 103/uL 0.00-0.70
Eo 0.01 103/uL 0.00-0.40
Baso 0.02 103/uL 0.00-0.10
Ig 0.22 103/uL 0.00-7.00
Neut% 81,2 % 50.0-70.0
Lymph% 9,3 % 25.0-40.0
Mono% 9,4 % 0.0-8.0
Eo% 0.0 % 0.0-5.0
Baso% 0.1 % 0.0-1.0
Ig% 0.6 % 0.0-5.0
RBC 4,40 106/uL 4.50-5.90
HGB 13.1 g/dL 14.0-17.5
HCT 37,2 % 40.0-52.0
MCV 84,5 fL 80.0-96.0
MCH 29,8 pg 28.0-33.0
MCHC 35,2 g/dL 33.0-36.0
RDW-SD 40,9 fL 37.0-54.0
RDW-CV 13,1 % 11.0-16.0
PLT 212 103/uL 150-400

GDS 152 mg/dL <200


SGOT 22 U/L 0-40
SGPT 14 U/L L <41, P <31
Ureum 61 mg/dL 17-43
Creat 0,44 mg/dL < 1,2
As. Urat 4,70 mg/dL L 3,5-7,2, P2,6-6,0
Choles. Total 98 mg/dL <200
Na 133 mmol/L 136-146mmol/L
K 4,0 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L
Cl 97 mmol/L 98-106 mmol/L
Kesan :Leukositosis
EKG

Kesan : Atrial Fibrilasi RVR


Rapid Antigen : Non reaktif
TCM Covid 19 : Negatif
5. Resume
Telah diperiksa pasien perempuan usia 40 tahun dengan keluhan sesak sejak kurang lebih 1 jam
sebelum ke rumah sakit. Sesak tidak membaik dengan istirahat dan perubahan posisi. Keluhan disertai
batuk berdahak berwarna putih kekuningan yang dialami sejak kurang lebih 1 minggu. Pasien juga
mengeluhkan dada terasa berdebar-debar sejak sebelum masuk ke rumah sakit. Nyeri perut kanan atas
disertai mual dan muntah sebanyak 6x berisi makanan dan air. Demam (+) sejak beberapa hari
terakhir ini bersifat naik turun, lemas (+), nafsu makan menurun (+). Riwayat buang air besar cair
sejak 3 hari yang lalu dengan frekuensi 3x dalam satu hari tanpa disertai darah. Pemeriksaan fisik
ditemukan Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD. 120/80mmHg, N. 158-
200x/menit, RR.32x/menit, T. 38,2, SpO2. 99% dengan NRM 10lpm, VAS 5 dari 10. Pada
pemeriksaan leher: tampak struma dengan ukuran kurang lebih 7x8cm, asimetris, imobile, konsistensi
kenyal, tidak nyeri tekan. Pemeriksaan auskultasi thorax ditemukan, Ronchi +/+ basah kasar, bunyi
jantung S1/S2 tunggal, iregular. Pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan lekositosis,
pemeriksaan EKG didapatkan atrial fibrilasi RVR.
6. Diagnosa Kerja
 Krisis Thyroid
 Comunity Aquired Pneumonia
Sepsis
 Atrial Fibrilasi RVR
7. Rencana Terapi
Farmakologi
 IVFD NS 0,9% loading 500cc kemudian 30tpm
 Digoksin 0,5mg dalam 20cc NS bolus lambat dalam 10 menit , evaluasi EKG setelah 6 jam
 Inj. Cefoperazone 2x1gr/IV
 Inj. Levofloxacin 1x750mg/IV
 Inj. Omeprazole 2x40mg/IV
 Metoclopramid 3x10mg/IV
 Methyl prednisolon 2x125mg/IV
 PTU 4x300mg / PO
 Paracetamol 3x500mg/PO
 Bisoprolol 1x5mg/PO

Non Farmakologi

 O2 10lpm/NRM

 Kompres dingin

8. Prognosis

Ad vitam : Dubia ad malam

Ad sanationem : Dubia ad malam

Ad functionam : Dubia ad malam

9. Follow Up
05 September 2021

S O A P

Sesak (+) KU: Sakit sedang Krisis Thyroid  IVFD NS 0,9%


TD: 100/60mmHg CAP 20tpm
Batuk (+)
N: 101 x / menit Sepsis  O2 6lpm/NRM
Nyeri perut kanan atas
R : 26x/menit Atrial Fibrilasi RVR  Diet TKTP
(-)
S: 37,4oC  Inj.
Mual (-) SpO2: 100%/NRM 10 lpm Methylprednisolon
Muntah (-) VAS: 4 dari 10 2x125mg/IV
BAB Cair (-)  Inj. Cefoperazone
Kepala- Leher : 2x1gr/IV
Mata : DBN  Inj. Levofloxacin
Leher : Tampak struma 1x750mg/IV
dengan ukuran kurang  Inj. Ranitidin
lebih 7x8cm, asimetris, 2x50mg/IV
imobile, konsistensi
 Inj. Metoclopramid
kenyal, tidak nyeri
3x10mg/IV /KP
tekan.
 PTU 4x300mg / PO
Thorax
 Paracetamol
Auskultasi
3x650mg/PO
Pulmo: Ves +/+, Rh +/+
 Bisoprolol
basah kasar , Wh -/-,
1x5mg/PO
COR :Bunyi jantung
 Kompres Dingin
S1/S2 tunggal, iregular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : DBN
Extremitas :
Akral hangat (+), Edema (-
), CRT kurang dari 2 detik
Integumen :
Ikterus (-)
06 September 2021

S O A P

Sesak (+) berkurang KU: Sakit sedang Krisis Thyroid  IVFD NS 0,9%
TD: 110/70mmHg CAP 20tpm
Batuk (+) berkurang
N: 78 x / menit Sepsis  O2 5lpm/FM
Nyeri area payudara
R : 24x/menit Atrial Fibrilasi RVR  Diet 1.800kk/hari
kanan (+)
S: 36,6oC (Convert Sinus)  Inj.
Mual (-) SpO2: 96%/FM 5 lpm Methylprednisolon
Muntah (-) VAS: 4 dari 10 2x125mg/IV
BAB Cair (-)  Inj. Cefoperazone
Kepala- Leher : 2x1gr/IV
Mata : DBN  Inj. Levofloxacin
Leher : Tampak struma 1x750mg/IV
dengan ukuran kurang  Inj. Ranitidin
lebih 7x8cm, asimetris, 2x50mg/IV
imobile, konsistensi
 Inj. Metoclopramid
kenyal, tidak nyeri
3x10mg/IV /KP
tekan.
 PTU 4x300mg / PO
Thorax
 Paracetamol
Auskultasi
3x650mg/PO
Pulmo: Ves +/+, Rh -/-
 Bisoprolol
basah kasar , Wh -/-,
1x5mg/PO
COR :Bunyi jantung
S1/S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : DBN
Extremitas :
Akral hangat (+), Edema (-
), CRT kurang dari 2 detik
Integumen :
Ikterus (-)
07 September 2021

S O A P

Sesak (-) KU: Baik Krisis Thyroid  IVFD NS 0,9%


TD: 110/70mmHg CAP 20tpm
Batuk (-)
N: 77 x / menit Sepsis  Diet 1.800kk/hari
Nyeri area payudara (-)
R : 20x/menit Atrial Fibrilasi RVR  Inj.
Mual (-) S: 36,4oC (Convert Sinus) Methylprednisolon
Muntah (-) SpO2: 97%/ Room Air 2x125mg/IV
BAB Cair (-) VAS: 4 dari 10  Inj. Cefoperazone
2x1gr/IV
Kepala- Leher :  Inj. Levofloxacin
Mata : DBN 1x750mg/IV
Leher : Tampak struma  Inj.Ranitidin
dengan ukuran kurang 2x50mg/IV
lebih 7x8cm, asimetris,
 PTU 4x300mg / PO
imobile, konsistensi
 Paracetamol
kenyal, tidak nyeri
3x650mg/PO/KP
tekan.
 Bisoprolol
Thorax
1x5mg/PO
Auskultasi
Pulmo: Ves +/+, Rh -/-
basah kasar , Wh -/-,
COR :Bunyi jantung
S1/S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : DBN
Extremitas :
Akral hangat (+), Edema (-
), CRT kurang dari 2 detik
Integumen :
Ikterus (-)
08 September 2021

S O A P

Sesak (-) KU: Baik Krisis Thyroid Pasien Boleh Pulang


TD: 120/80mmHg (membaik)
Batuk (-)  PTU 3x200mg /PO
N: 76 x / menit CAP
Nyeri area payudara (-)  Propranolol
R : 20x/menit Sepsis
Mual (-) 2x20mg/PO
S: 36,4oC Atrial Fibrilasi RVR
Muntah (-) SpO2: 97%/ Room Air  Cefixime 2x100mg
(Convert Sinus)
BAB dan BAK normal VAS: 4 dari 10 /PO

Kepala- Leher :
Mata : DBN
Leher : Tampak struma
dengan ukuran kurang
lebih 7x8cm, asimetris,
imobile, konsistensi
kenyal, tidak nyeri
tekan.
Thorax
Auskultasi
Pulmo: Ves +/+, Rh -/-
basah kasar , Wh -/-,
COR :Bunyi jantung
S1/S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : DBN
Extremitas :
Akral hangat (+), Edema (-
), CRT kurang dari 2 detik
Integumen :
Ikterus (-)
Hasil Lab. 08 September 2021
Hematologi Hasil Satuan Nilai Rujukan
WBC 16,80 103/uL 4.50-11.50
Neutrophil 12,45 103/uL 1.50-7.00
Lymph 3,07 103/uL 1.00-3.70
Mono 1,28 103/uL 0.00-0.70
Eo 0.00 103/uL 0.00-0.40
Baso 0.00 103/uL 0.00-0.10
Ig 0.08 103/uL 0.00-7.00
Neut% 74,1 % 50.0-70.0
Lymph% 18,3 % 25.0-40.0
Mono% 7,6 % 0.0-8.0
Eo% 0.0 % 0.0-5.0
Baso% 0.0 % 0.0-1.0
Ig% 0.5 % 0.0-5.0
RBC 4,09 106/uL 4.50-5.90
HGB 12,0 g/dL 14.0-17.5
HCT 32,9 % 40.0-52.0
MCV 80,4 fL 80.0-96.0
MCH 29,3 Pg 28.0-33.0
MCHC 36,5 g/dL 33.0-36.0
RDW-SD 38,1 fL 37.0-54.0
RDW-CV 12,5 % 11.0-16.0
PLT 244 103/uL 150-400
BAB III

PEMBAHASAN

1. Pendahuluan

Krisis tiroid adalah kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan diagnosis cepat dan
pengobatan darurat. Kondisi ini bermanifestasi sebagai dekompensasi beberapa organ dengan
manifestasi klinis yang ditemukan seperti kehilangan kesadaran, demam tinggi, gagal jantung, diare,
dan penyakit kuning. Survei nasional baru-baru ini di Jepang telah mengungkapkan bahwa angka
kematian kematian akibat krisis thyroid lebih dari 10%.1,
Kegagalan organ multipel merupakan penyebab kematian paling umum, diikuti oleh gagal
jantung kongestif, gagal pernapasan, aritmia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), perforasi
gastrointestinal, hipoksia jaringan otak, dan sepsis. Bahkan ketika pasien bertahan, memiliki
kerusakan organ bersifat ireversibel meliputi kerusakan otak, penyakit serebrovaskular, insufisiensi
ginjal, dan psikosis.1 Kematian yang terkait dengan badai tiroid diperkirakan 8-25% meskipun telah
mengalami kemajuan dalam pengobatan dan tindakan suportif. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengenali penyakit ini sejak sejak dini dan memulai pengobatan yang agresif untuk mengurangi
angka kematian.5

2. Epidemiologi

Kasus krisis thyroid merupakan kasus yang jarang terjadi. Krisis Thyroid menyumbang sekitar
1% sampai 2% dari dari keseluruhan kasus pasien dengan hipertiroidisme. Sesuai survei Amerika
Serikat, kejadian krisis thyroid berkisar antara 0,57 hingga 0,76 kasus per 100.000 per tahun pada
populasi normal, dan 4,8 hingga 5,6 kasus/100.000 per tahun pada pasien rawat inap. Menurut Survei
Nasional Jepang, kejadian badai tiroid 0,2 per 100.000 penduduk per tahun, sekitar 0,22% dari semua
pasien tirotoksikosis dan 5,4% pasien tirotoksikosis yang dirawat di rumah sakit. Usia rata-rata orang
dengan badai tiroid adalah 42 hingga 43 tahun, yang mirip dengan pasien tirotoksikosis tanpa adanya
krisis tiroid. Rasio laki-laki dan perempuan untuk kejadian krisis thyroid adalah sekitar 1:3, mirip
dengan pada kasus tirotoksikosis tanpa adanya krisis thyroid.5. Tujuh puluh lima persen pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan krisis thyroid meninggal. Tingkat kematian secara keseluruhan
mencapai 10-20%. Disfungsi sistem multipel adalah penyebab kematian yang paling umum, diikuti
oleh gagal jantung , gagal napas, dan sepsis.2

Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin perempuan dan berusia 40 tahun, pasien datang dengan
keluhan sesak napas yang didukung dengan nilai SpO2 86% tanpa oksigen dan jantung berdebar –
debar, yang didukung dengan pemeriksaan elektrocardiografi menunjukkan adanya atrial fibrilasi
dengan respon ventrikel cepat. Pasien juga menunjukkan adanya gejala sepsis. Berdasarkan data
epidemiologi menunjukkan kesesuaian antara kasus dan data yakni jenis kelamin perempuan dan usia
40 tahun, yang berdasarkan data epidemiology memiliki angka kejadian tinggi terhadap krisis
thyroid.

3. Etiologi

Banyak faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya krisis thyroid, baik paada pasien dengan
hipertiroidisme yang terdiagnosis maupun yang tidak terdiagnosis. Tetapi kasus krisis thyroid lebih
sering terjadi pada penyakit Graves, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi dengan
etiologi lain dari hipertiroidisme, seperti pada kasus gondok multinodular toksik dan adenoma tiroid
toksik. Faktor pencetusnya antara lain : Penghentian obat antithyroid secara tiba-tiba, operasi thyroid,
operasi non-throyd, infeksi, ketoasidosis diabetik, infark miokard akut, gangguan kardiovaskular,
gagal jantung, reaksi obat, proses kelahiran, terapi radioiodine (jarang), luka bakar, efek samping
obat mis. amiodaron, anestesi, salisilat. 4,5

Pada kasus ini, beberapa faktor dapat menjadi etiologi terjadinya krisis thyroid pada pasien
yakni pada pemeriksaan fisik leher ditemukan struma multinodular toksik yang menurut keterangan
pasien telah ada sejak 5 tahun yang lalu yang tidak pernah diobati. Hal ini menunjukkan bahwa
pasien memiliki riwayat hiperthyroid yang tidak terkontrol yang menjadi salahsatu faktor penyebab
krisis tiroid. Hipertiroid pada kasus ini kemudian menjadi krisis tiroid akibat dipicu oleh adanya
infeksi. Infeksi sering ditemukan sebagai salah satu faktor pencetus potensial pada kasus krisis tiroid,
seperti infeksi pernafasan, endokarditis dan infeksi saluran kemih, namun mekanisme bagaimana
infeksi sistemik dapat mencetuskan krisis tiroid belum sepenuhnya dimengerti.

Beberapa peneliti menemukan bahwa pada saat terjadinya infeksi maka akan terjadi percepatan
peningkatan turnover dari tiroksin dan triiodotironin. Beberapa studi juga menjelaskan bahwa saat
terjadi infeksi maka sitokin pro inflamasi seperti TNFa, IL-1, dan IL-6 akan mempengaruhi berbagai
protein yang terlibat dalam metabolisme hormon tiroid. Pada pasien ini terjadi infeksi pneumonia
komunitas, hal ini yang kemungkinan mencetuskan untuk terjadinya peningkatan gejala tirotoksikosis
yang menyebabkan munculnya gejala yang mengarah ke krisis tiroid. 3 Pada pasien ini pneumonia
diduga sebagai faktor pemicu untuk terjadinya krisis tiroid pada pasien, ditegakkannya diagnosis
pneumonia khususnya pneumonia komunitas ialah karena pada pasien ditemukan gejala batuk
dengan dahak yang berwarna putih kekuningan sejak 1 minggu disertai adanya demam sejak
beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, dan sesak. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan ronkhi
pada kedua lapangan paru.
4. Patofisiologi

Untuk memahami patofisiologi dan dasar pengobatan krisis tiroid, kita perlu memahami
fisiologi hormon tiroid normal. Fungsi tiroid normal berada di bawah kendali mekanisme umpan
balik antara hipotalamus, hipofisis anterior dan kelenjar tiroid. “Thyrotropin-releasing hormone”
(TRH) merangsang hipofisis anterior untuk melepaskan “thyroid-stimulating hormone” (TSH), yang
mengikat reseptornya pada kelenjar tiroid dan merangsang sintesis dan sekresi hormon tiroid. Sintesis
hormon tiroid terdiri atas lima tahap yang terdiri dari: (a) trapping iodida; (b) oksidasi dan iodinasi;
(c) kopling; (d) penyimpanan; dan (e) pelepasan. Transportasi iodida ke dalam sel folikel tiroid
melalui symporter natrium-iodida merupakan langkah pertama dalam sintesis hormon, yang dikenal
sebagai “perangkap iodida.” Iodida kemudian "dioksidasi dan diatur" oleh enzim tiroid peroksidase
(TPO). Iodinasi residu tirosin pada tiroglobulin (protein kerangka untuk sintesis hormon tiroid)
dikatalisis oleh TPO membentuk tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Hormon tiroid bertindak
melalui aksi intranuklear T3 dengan T4 lebih sebagai "prohormon" . Dua puluh persen T3 berasal
langsung dari kelenjar tiroid dan 80% T3 yang bersirkulasi berasal dari konversi perifer T4 menjadi
T3. Seluruh proses dikendalikan oleh mekanisme umpan balik negatif dengan hormon tiroid perifer
yang menghambat pelepasan dan sintesis TSH dan TRH. Sebagian besar hormon tiroid berikatan
dengan protein (>99%) berupa globulin pengikat tiroid (TBG), transthyretin, dan albumin yang
berada pada sirkulasi, sementara hormon yang tidak terikat atau bebas diserap ke dalam jaringan.1,2,4

Konversi perifer T4 ke T3 dilakukan oleh 5′-deiodinases. Deiodinase D2 aktif dalam keadaan


eutiroid sedangkan pada keadaan hipertiroid deiodinase D1 lebih dominan. Deiodinase D1 rentan
terhadap penghambatan oleh thionamide dan propylthiouracil (PTU). Glukokortikoid dan beta -
blocker menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Pemahaman ini akan membantu kita
memahami alasan di balik penggunaan berbagai kelas obat dalam pengobatan badai tiroid.
Patofisiologi yang tepat dari krisis tiroid belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa hipotesis diangkat
sebagai patofisiologi krisis tiroid yakni : 1,2,4

Peningkatan pelepasan T4 atau T3 dari kelenjar tiroid secara akut

Mekanisme ini merupakan mekanisme yang paling banyak didukung sebagai patofisiologi terjadinya
krisis tiroid. Peningkatan akut hormon T4 atau T3 terlihat setelah terapi radioiodine, tiroidektomi,
penghentian obat antitiroid, dan pemberian agen kontras iodinasi atau yodium. Perbaikan cepat dalam
kondisi klinis setelah pengurangan konsentrasi T4 atau T3 setelah dialisis peritoneal dan
plasmapheresis mendukung teori ini. 1,2,4

Infeksi akut menyebabkan penurunan ikatan protein dan T4 dan T3 dalam serum yang
mengakibatkan peningkatan T4 dan T3 bebas
Penyakit atau infeksi akut menyebabkan penurunan pengikatan protein dan hormon tiroid T4 dan T3,
baik karena penurunan produksi transthyretin atau karena adanya produksi inhibitor protein pengikat
T4 dan T3. Hal ini menyebabkan penurunan bentuk terikat dari hormon tiroid T4 dan T3, yang pada
akhirnya mengakibatkan peningkatan relatif konsentrasi serum hormon, yang menyebabkan
terjadinya krisis tiroid. 1,2,4

Peran aktivasi sistem saraf simpatik

Banyak gejala dan tanda dari krisis tiroid yang mirip dengan adanya kelebihan katekolamin, yang
menunjukkan peran aktivasi dari sistem saraf simpatik. Perbaikan klinis dan gejala setelah pemberian
beta blocker mendukung hipotesis ini. 1,2,4

Augmentasi respons seluler terhadap hormon tiroid

Pada pasien dengan kondisi hipoksemia, ketoasidosis, asidosis laktat, dan infeksi, terjadi peningkatan
respon seluler terhadap hormon tiroid. Terjadi pelepasan fosforilasi oksidatif yang mengarah pada
pembentukan ATP, yang berdampak pada peningkatan konsumsi oksigen, termogenesis, hipertermia
dan vasodilatasi kulit, yang merupakan gejala umum dari krisis tiroid. 1,2,4

5. Gejala Klinis dan Diagnostik

Diagnosis krisis tiroid dapat berdasarkan pemeriksaan klinis saja, dan jika dicurigai suatu krisis
tiroid, pengobatan harus dimulai secara bersamaan tanpa penundaan. Gambaran klinis terdiri dari
gambaran hipertiroidisme yang berlebihan disertai dengan manifestasi disfungsi multiorgan, dengan
adanya faktor pencetus akut. Gejala, tanda, dan gambaran klinis masing-masing tercantum dalam
Tabel berikut.2
Tabel 1. Gejala klinis krisis tiroid2
Hiperpireksia dengan diaforesis merupakan gejala utama yang ditampilkan. Demam tinggi
menyebabkan keringat yang banyak dan menyebabkan kehilangan cairan yang tidak terlihat, yang
merupakan ciri yang membedakan antara krisis tiroid dan tirotoksikosis. Manifestasi kardiovaskular
meliputi palpitasi, takikardia, sesak saat aktivitas, iskemia miokard, dan fibrilasi atrium. Peningkatan
curah jantung dan takiaritmia dapat berkembang menjadi syok kardiogenik. Manifestasi sistem saraf
pusat (SSP) meliputi agitasi, delirium, kebingungan, pingsan, dan koma. Keterlibatan SSP
merupakan faktor prognostik yang buruk dan dapat mengakibatkan kematian. Gejala gastrointestinal
meliputi mual, muntah, diare, sakit perut, obstruksi usus, dan disfungsi hati akut. Muntah dan diare
menambah kehilangan cairan yang signifikan. Disfungsi hati dan hepatomegali disebabkan oleh
kongesti hepar dan hipoperfusi, atau merupakan dampak langsung dari hipertiroidisme. Penyakit
kuning adalah indikator prognostik yang buruk. Beberapa manifestasi klinis yang tidak biasa pada
krisis tiroid meliputi nyeri perut akut, status epileptikus, rhabdomyolysis, hipoglikemia, asidosis
laktat, dan koagulasi intravaskular diseminata.1,2

Burch dan Wartofsky menetapkan skor untuk menetapkan kriteria diagnostik krisis tiroid
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 .Selain Burch dan Wartofsky, Japan Thyroid Association
mensurvei kejadian krisis tiroid di Jepang dan merumuskan kriteria diagnostik spesifik populasi
berdasarkan adanya manifestasi sistem organ klasik seperti yang ditunjukkan pada gambar 2. 1,2
Gambar 1. Kriteria diagnosis krisis thyroid menurut Burch dan Wartofsky 1

Gambar 2. Kriteria diagnosa krisis tiroid berdasarkan Japan Thyroid Association1


Pedoman diagnosa menurut skor Burch dan Wartofsky (BWS) dan Asosiasi Tiroid Jepang
(JTA) keduanya dapat digunakan. Namun, dalam satu penelitian, menunjukkan BWS 45 dilaporkan
lebih sensitif dibandingkan pedoman JTA dalam mendeteksi pasien dengan krisis tiroid.
Direkomendasikan untuk menggunakan kedua kriteria untuk meningkatkan akurasi diagnosis krisis
tiroid. 1,2

Meskipun diagnosis krisis tiroid bersifat klinis, nilai laboratorium tetap diperlukan untuk
membantu dalam diagnosis dan pengobatan. Pemeriksaan lengkap TSH, FT4, FT3 harus dilakukan di
unit perawatan intensif (ICU). Leukositosis menunjukkan infeksi (faktor paling umum untuk krisis
tiroid). Peningkatan nitrogen urea darah dan kelainan fungsi hati dengan peningkatan transaminase
dan hiperbilirubinemia menunjukkan kelainan ireversibel. Hiperkalsemia dapat ditemukan karena
resorpsi tulang yang tinggi yang menyertai hipertiroidisme dan dapat memperburuk dehidrasi.
Hiperglikemia disebabkan oleh kombinasi peningkatan penghambatan pelepasan insulin katekolamin
dan peningkatan glukoneogenesis. 1,2
Penegakan diagnosa krisis tiroid pada kasus ini berdasarkan pemeriksaan klinis karena
keterbatsan dalam pemeriksaan penunjang berupa fungsi tiroid. Berdasarkan anamnesa didapatkan
pasien datang dengan keluhan sesak disertai batuk berdahak berwarna putih kekuningan yang
dialami sejak kurang lebih 1 minggu. Pasien juga mengeluhkan dada terasa berdebar-debar sejak
sebelum masuk ke rumah sakit. Nyeri perut kanan atas disertai mual dan muntah sebanyak 6x berisi
makanan dan air. Demam (+) dan memiliki riwayat buang air besar cair Pemeriksaan fisik
ditemukan takikardi, takipneu, febris, tampak struma dengan ukuran kurang lebih 7x8cm, ronchi +/+
basah kasar, bunyi jantung S1/S2 tunggal, iregular. Pemeriksaan penunjang darah lengkap
didapatkan lekositosis, pemeriksaan EKG didapatkan atrial fibrilasi RVR. Berdasarkan pemeriksaan
klinis tersebut dimasukkan kedalam skor Burch Wartofsky dan mendapatkan skor 55 yang
menunjukkan suatu krisis tiroid.

6. Terapi

Menghambat sintesis hormon tiroid baru

Terapi lini pertama dalam mengobati krisis tiroid yakni dengan menghambat produksi hormon
tiroid baru dengan menggunakan thionamides yang meliputi thiouracils (PTU) dan imidazol
(methimazole dan carbimazole). Dosis PTU adalah 600-1500 mg/hari dengan dosis terbagi setiap 4-6
jam dengan dosis awal 600 mg. Dosis methimazole adalah 80-120 mg/hari dalam dosis terbagi setiap
4-6 jam. Pedoman American Association of Clinical Endocrinologist/American Thyroid Association
merekomendasikan 500-1000 mg dosis awal PTU diikuti oleh 250 mg setiap 4 jam dan 60-80
mg/hari methimazole dalam dosis terbagi. Pemberian Yodium nonradioaktif juga dapat menurunkan
sintesis hormon tiroid. 1,2

Pada pasien ini, diberikan terapi PTU dengan dosis 4x300mg sebagai terapi untuk menghambat
sintesis hormon tiroid baru. Berdasarkan teori yang ada obat ini menghambat tiroid peroksidase
(TPO), sehingga menghambat pembentukan T3 dan T4 dari tiroglobulin. PTU lebih sering digunakan
pada kasus krisis tiroid karena onset kerja yang cepat dan menghambat konversi perifer T4 menjadi
T3 yang dimediasi oleh deiodinase perifer. Selain itu, PTU dapat digunakan dengan aman selama
kehamilan.

Menghambat pelepasan hormon tiroid

Langkah pengobatan berikutnya adalah menghambat pelepasan hormon tiroid yang telah
terbentuk sebelumnya. Pemberian yodium menghambat pelepasan hormon tiroid yang telah terbentuk
sebelumnya dengan menghambat pelepasan iodotironin (T3 dan T4) dari tiroglobulin. Efek yodium
ini memiliki onset yang lebih cepat daripada PTU, dalam menghambat sintesis di kelenjar tiroid yang
memiliki simpanan hormon yang sudah terbentuk. Terapi kombinasi thionamides dan yodium dapat
menurunkan kadar serum T4 ke kisaran normal dalam 4-5 hari. 1,2

Menghambat efek perifer dari hormon tiroid

Stimulasi α dan β adrenergik meningkat pada krisis tiroid. Dengan demikian, blokade
adrenergik merupakan bagian integral dari pengobatan. β-Blocker telah digunakan dalam pengobatan
hipertiroidisme tanpa komplikasi dan dengan komplikasi. Propranolol adalah β -blocker yang paling
umum digunakan karena antagonisme β-adrenergik nonselektif dan kemampuannya untuk memblokir
konversi perifer T4 ke T3. Dosis yang dianjurkan adalah 60-120 mg per oral setiap 6 jam . Untuk
efek yang lebih cepat, propranolol intravena atau β -blocker kerja lebih pendek seperti esmolol dapat
digunakan. Dosis propranolol intravena adalah 0,5-1,0 mg infus lambat untuk dosis awal dan
kemudian 1-2 mg pada interval 15 menit sambil memantau detak jantung dengan ketat. Esmolol
diberikan sebagai bolus awal 0,25-0,5 mg/kg diikuti dengan laju infus kontinu 0,05-0,1 mg/kg per
menit.2 Selain propranolol dan esmolol, pemberian bisoprolol juga dapat diberikan secara oral
dengan dosis 2,5-5 mg/hari.1

Digitalis direkomendasikan untuk menangani takikardia- gagal jantung yang diinduksi karena
fibrilasi atrium, namun, harus digunakan dengan hati-hati karena kemungkinan keracunan digitalis
terutama pada pasien dengan disfungsi ginjal. Selain itu, karena tirotoksikosis mempercepat
pembersihan digoxin, kadar digoxin harus dipantau dan dosisnya disesuaikan. Pengendali laju irama
jantung pada atrial fibrilasi seperti amiodaron kontraindikasi pada pasien dengan hipertiroid. Dimana
hasil metabolisme amiodaron adalah iodium dapat meningkatkan cadangan hormon tiroid (T4) dan
mengurangi konsentrasi adrenoseptor yang diinduksi (T3).1

Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan dada berdebar-debar dan ketika dilakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan EKG didapatkan takikardi dengan denyut nadi >150x/menit
iregular serta hasil EKG berupa atrial fibrilasi dengan respon ventrikel cepat. Pasien diberikan terapi
digoksin dengan dosis 0,5mg dalam 20cc NaCl 0,9% bolus lambat dalam 10 menit. Selain
pemberian digoksin, pasien juga diberikan bisoprolol dengan dosis 1x5mg. Pemberian obat ini sesuai
denga teori yang dijelaskan sebelumnya.

Terapi suportif lain dan resusitasi

Tindakan resusitasi cairan harus dimulai segera dalam penanganan pasien dengan krisis tiroid.
Penanganan segera pada pasien harus dilakukan pada pasien dengan hipertermia, dehidrasi, gagal
jantung kongestif, disritmia, dan pencegahan krisis adrenal. Hipertermia harus dikontrol dengan
pendinginan perifer dan antipiretik. Acetaminophen lebih disukai dibandingkan dengan salisilat
karena salisilat meningkatkan kadar hormon tiroid bebas dengan mengurangi pengikatan pada
globulin, sehingga memperburuk krisis tiroid. Pendinginan perifer harus dilakukan dengan kompres
es, selimut pendingin, atau spons alkohol. Kehilangan cairan akibat hiperpireksia, diare, dan muntah
harus segera dikoreksi. Pasien pada kasus terjadi hipertermia dengan suhu 38,20 C, pada pasien
diberikan anti piretik paracetamol 3x500mg disertai edukasi pada keluarga untuk kompres dingin,
selain hipertermi, pasien juga mengalami gejala ganguan gastro intestinal berupa nyeri uluhati , mual
dan muntah sehingga diberikan inj. Omeprazole 2x40mg dan metoclopramid 3x10mg untuk
mengurangi gejala gastrointestinal. 1,2

Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi tambahan pada krisis tiroid untuk mencegah
insufisiensi adrenal. Kortikosteroid juga membantu dalam mengurangi konversi perifer dari T4 ke
T3. Dosis pemberian yang dianjurkan 300 mg hidrokortison intravena diikuti 100 mg setiap 8 jam.
Pada pasien ini diberikan injeksi kortikosteroid methylprednisolon dengan dosis 2x125mg/IV karena
ketidaksediaan hidrokortison. 1,2

Pengobatan krisis tiroid efektif jika penanganan mencapai pengobatan faktor pencetus. Setiap
fokus infeksi harus diselidiki secara menyeluruh dan antibiotik yang tepat harus dimulai berdasarkan
sensitivitasnya. Pada pasien ini dicurigai terjadi infeksi saluran napas berupa pneumonia dengan
sepsis yang mendasari terjadinya krisis tiroid, sehingga pada kasus ini pasien diberikan 2 jenis
antibiotik golongan cefalosporin gen.III cefoperazone 3x1gr dan antibiotik quinolon 1x750mg.

Pertukaran plasma terapeutik

TPE menjadi pilihan ketika perburukan klinis krisis tiroid setelah terapi lini pertama dan kedua.
Muller dkk. menyarankan inisiasi TPE dini dengan indikasi sebagai berikut: gejala berat (kardio-
tirotoksikosis, manifestasi neurologis, dan miopati berat); perburukan klinis yang cepat;
kontraindikasi untuk terapi lain; dan kegagalan terapi konvensional. 2

Terapi Pembedahan

Indikasi absolut terapi pembedahan krisis tiroid meliputi gagal dengan terapi konvensional,
reaksi memburuk dengan pemberian anti tiroid, tirotoksikosis persisten meskipun terapi obat
antitiroid telah maksimal, karsinoma tiroid yang mendasari, nodul yang mencurigakan keganasan
pada FNAC.2 Pasien pada kasus ini membaik dengan terapi konvensional, hal ini ditandai dengan
kondisi pasien yang membaik pada hari IV perawatan, sehingga tidak diindikasikan untuk menjalani
terapi pembedahan.
BAB IV

KESIMPULAN

Krisis tiroid merupakan kegawatdaruratan di bidang medis terutama bidang endokrin dengan
angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penegakan diagnosis secara dini dan pengelolaan secara tepat
akan memberikan prognosis yang baik juga pada pasien yang terkena krisis tiroid. Diagnosis pasien
krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis yang ada pada pasien, yaitu menggunakan skor kriteria
Burch dan Wartofsky, apabila Skor ≥ 45: kecurigaan sangat tinggi (Highly Suggestive), Skor 25-44:
mengarahkan kemungkinan (suggestive of impending storm), Skor < 25: tidak seperti krisis tiroid
(Unlikely Thyroid Storm). Menurut kriteria dari Burch dan Wartofsky dilihat keluhan pada pasien
apakah terdapat demam tinggi, keluhan pada gastrointestinal atau kuning pada badan, kelainan pada
kardiovasculer, dan riwayat penyakit tiroid sebelumnya. Pengenalan dini badai tiroid dan
pencetusnya merupakan faktor penting dalam mencegah kemungkinan morbiditas dan kematian.
Terapi yang tepat harus segera diberikan, meliputi terapi khusus untuk badai tiroid dan terapi suportif
berdasarkan kondisi dan gejala pasien.

Telah dilaporkan sebuah kasus, perempuan, suku Flores, usia 40 tahun, dengan diagnosis krisis
tiroid dengan struma multinodular toksik dengan Pneumonia Komunitas. Pada kasus ini diduga infeksi
Pneumonia Komunitas merupakan salah satu pencetus untuk terjadinya krisis tiroid, Diagnosis dan
tatalaksana yang tepat sangat penting untuk mencegah terjadinya mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Satoh.T, Isozaki.O, Suzuku.A,dkk. Guidelines for the management of thyroid storm from The
Japan Thyroid Association and Japan Endocrine Society (First edition) The Japan Thyroid
Association and Japan Endocrine Society Taskforce Committee for the establishment of diagnostic
criteria and nationwide surveys for thyroid storm. EndocrineJournal.2016
2. Pandey.R, Kumar.S, Narendra. Thyroid Storm. Book: Goiter.IntecHopen.2019.
https://www.intechopen.com/chapters/70529
3. Shalim.C, Wulandari, C. A Case of Thyroid Storm Precipitated By Pneumonia. IJSR. 2018
4. Misra.M,Bradley,F.ThyroidStorm.MedScape.2020. https://emedicine.medscape.com/article/925147-
overview
5. Pokhrel.B,Aiman.W,Bhusal.ThyroidStorm.NCBI.2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448095/#article-30151.s2)

Anda mungkin juga menyukai