Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus

TETRAPARESE e.c. TRAUMA CERVICAL


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:
Yoga Ichlassul Amal
2207501010260

Pembimbing:
Dr. dr. Anidar, Sp.A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2023
LAPORAN KASUS
`19 Juni 2023
Nama dokter muda : Yoga Ichlassul Amal
Pembimbing : Dr. dr. Anidar, Sp.A(K)

IDENTITAS PASIEN

Nama : Amanda Safira


Jenis Kelamin : Perempuan
No RM : 1-13-27-80
Tanggal lahir : 20-07-2017
Umur : 5 tahun 10 bulan 11 hari
Alamat : Lamjamee, Jaya Baru, Kota Banda Aceh
Tanggal masuk : 18/06/2023

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dan kaku pada leher.

Keluhan Tambahan
Riwayat demam dan kelemahan kedua anggota gerak bawah.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada leher pasca jatuh terduduk
sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Saat terjatuh, pasien belum mengeluhkan
kelemahan anggota gerak, dan belum mersakan kaku dan nyeri pada leher. Lalu
setelah seharian berkegiatan, malam harinya pasien mengeluhkan nyeri pada leher
saat menoleh ke kiri dan ke kanan serta terasa agak kaku, dan pasien mengeluhkan
terasa lemas hingga malas untuk bergerak karena kedua ekstremitas terasa kebas-
kebas, dan ibu pasien mengatakan badan pasien mulai terasa panas namun tidak
diukur berapa suhunya. Keesokan harinya pasien dibawa berurut ke tukang urut
karena keluhan yang dirasakan. Karena demam yang dirasakan naik turun, pasien
dibawa ke Rumah Sakit Harapan Bunda dan dirawat selama 2 hari sebelum
dirujuk ke RSUDZA karena diagnosis Sangkaan Meningitis dan Paraparese e.c.
sangkaan Spinal Cord Injury. Sulit menelan, mual dan muntah disangkal. Dalam
24 jam terakhir pasien sanggup minum ± 1000 cc serta hanya mampu
menghabiskan ½ porsi makanan biasanya. Buang Air Kecil (BAK) ada namun
sedikit, dan Buang Air Besar (BAB) ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah merasakan keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa sebelumnya.

Riwayat Pemakaian Obat


- Injeksi Dexamethasone 3 mg/8 jam (dari rujukan)
- Injeksi Ranitidin 17 mg/8 jam (dari rujukan)
- Injeksi Metamizole Sodium 200 mg/8 jam (dari rujukan)
Riwayat Kehamilan Dan Persalinan
Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, lahir secara sectio caesarea di
Rumah Sakit. Pasien lahir dengan Berat 3900 gram dan panjang badan tidak
diingat, segera menangis, tidak ada riwayat biru saat lahir dan tidak ada riwayat
rawatan NICU. Ibu rutin kontrol kehamilan ke dokter kandungan dan tidak ada
riwayat sakit saat hamil.

Riwayat Imunisasi
Pasien imunisasi lengkap hingga usia 3 tahun.

Riwayat Nutrisi
0 – 6 bulan : ASI Ekslusif
6 bulan – 12 : ASI Ekslusif + MPASI
12 bulan – sekarang : Makanan Keluarga
Pasien sebelum sakit makan 4-5 kali sehari 1 porsi makanan namun selama sakit
pasien mengalami penurunan nafsu makan menjadi 2-3 kali sehari dan hanya
habis ½ dari porsi biasanya.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien tampak lebih tinggi dari teman-teman sebayanya. Pasien saat ini TK dan
aktif dalam sehari-hari. Pasien sudah dapat meniru gerakan tarian dan langsung
dipraktekkan, serta sudah mengenal huruf dan angka dan mulai bealajr menulis.

Riwayat Sosial Ekonomi Dan Kondisi Lingkungan


Pasien tinggal bersama keluarganya, pasien mendapatkan perhatian dan kasih
sayang dari keluarganya, segala kebutuhan sehari-hari dan kesehatan terpenuhi
oleh orang tuanya.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : E4M6V5 (GCS 15) > Compos Mentis
Riwayat Alergi : Ya, Alergi obat Ceftriaxone
Tanda Vital
Tekanan Darah : 97/62 mmHg (TF=95-109/57-69) mmHg
Laju nadi : 110x/Menit
Laju nafas : 23x/Menit
Suhu : 37,2°C
SpO2 : 99% Room Air

Status Gizi
Berat badan : 18,5 kg
Tinggi badan : 119 cm
Lingkar Lengan Atas : 16,5 cm
Lingkar Kepala : 50 cm
BB/U : 92,5%
TB/U : 105%
BB/TB : 84 %
Berat Badan Ideal : 22
Heigh Age : 6 Tahun 7 Bulan

Berdasarkan kurva pertumbuhan CDC 2000, kesan: Gizi Kurang


Sistem Deskripsi
Kulit Warna kulit sawo matang, tidak tampak pucat
Kepala Normocephali, lingkar kepala 50 cm
Rambut Hitam, sebaran rambut merata, dan tidak mudah dicabut
Mata Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat, sklera tidak ikterik,
pupil bulat isokor 2 mm / 2 mm, refleks cahaya langsung positif
di kedua mata, refleks cahaya tak langsung positif di kedua
mata, mata tidak cekung.
Hidung Deformitas tidak ada, pernapasan cuping hidung (-/-), tidak
ditemukan sekret
Telinga Tidak ada deformitas, tidak ada sekret telinga
Mulut Bibir tidak sianosis, mukosa bibir basah
Faring Tidak hiperemis
Leher Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, nyeri saat menoleh
ke kiri dan ke kanan, stiffnes leher (+)
Thorax Inspeksi : Simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada, tidak
ada jaringan parut, iga gambang (+)
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak teraba massa
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru depan
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi
(-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada linea midvlavikula sinistra,
tidak teraba massa
Perkusi : Batas jantung atas : ICS 3 Linea Parasternal Dextra
Batas kanan : ICS 5 Linea Parasternal Dextra
Batas kiri : ICS 6 Linea Midklavikularis Sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I > II, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Soepel, simetris, distensi (+), jejas (-),
Auskultasi : Suara peristaltik kesan normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, tidak teraba massa
Perkusi : Timpani
Ekstremitas Akral teraba hangat, CRT < 2 detik, spastik (+)
Genital Perempuan
Status Neurologis

Tanda Rangsang Sulit dinilai


Meningeal
Nervus Cranialis Dalam batas normal
Sensorik Tidak tampak hiperestesi maupun hipoestesi
Numbness
- -
+ +
Motorik Kekuatan otot
5555 5555
4444 4444
Refleks Fisiologis Refleks biceps (+2/+2)
Refleks Trisep (+2/+2)
Refleks patella (+3/+3)
Refleks achilles (+3/+3)
Kesan : Hiperefleks
Refleks Patologis Reflex Babinski (+/+)
Reflex Chaddock tidak dinilai
Reflex Oppenheim tidak dinilai
Reflex Gordon tidak dinilai

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium

Pemeriksaan 18/06/2023 Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Darah Rutin : 12,0 12,0 – 14,5 g/dL
Hemoglobin
Hematokrit 35 37 – 47 %
Eritrosit 5,0 4,2 – 5,4 106/mm3
Leukosit 13,62 4,5 – 10,5 103/mm3
Trombosit 195 150 – 450 103/mm3
MCV 73 80 – 100 fL
MCH 25 27 – 31 Pg
MCHC 35 32 – 36 %
RDW 13,7 11,5 – 14,5 %
MPV 8,5 7,2 – 11,1 fL
PDW 8,7 fL
Hitung Jenis :
Eosinofil 0 0–6 %
Basofil 0 0–2 %
Netrofil Batang 0 2–6 %
Netrofil Segmen 72 50 – 70 %
Limfosit 22 20 – 40 %
Monosit 6 2–8 %
Faal Hemostasis
PT
Pasien (PT) 14,2 12,0 - 16,5 Detik
Kontrol 13,8 Detik
INR 1,0 <1,5
APTT
Pasien (APTT) 29,6 26,0 - 37,0 Detik
Kontrol 30,4 Detik
Kimia Klinik
Hati & Empedu
AST/SGOT 32 < 31 U/L
ALT/SGPT 15 < 34 U/L
Elektrolit
Kalsium (Ca) 9,8 8,6 – 10,3 mg/dL
Ginjal – Hipertensi
Ureum 16 13 – 43 mg/dL
Kreatinin 0,2 0,51 – 0,95 mg/dL
Elektrolit – Serum
Natrium (Na) 144 132 – 146 mmol/L
Kalium (K) 4,6 3,7 – 5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 113 98 – 106 mmol/L

2. Rontgen

Foto Vertebrae Cervical AP-Lateral:


- Corpus V.C2 berada lebih anterior terhadap C3 (<25%)
- Tidak tampak pemipihan corpus maupun diskontinuitas pada Vertebrae
Cervical yang tervisualisasi
- Processus transversus dan processus spinosus baik
- Tidak tampak penyempitan diskus intervertebralis cervical yang tervisualisasi
- Retropharingeal dan retrotracheal space tak melebar
- Airway space baik
Kesan: Spondylolisthesis anterior C2 (grade 1), airway space baik

Foto Vertebrae Lumbosacral AP-Lateral:


- Struktur tulang baik
- Alignment baik, tidak tampak listhesis
- Tidak tampak pemipihan corpus maupun diskontinuitas pada vertebrae
lumbal
- Pedikel, processus transversus, dan processus spinosus baik
- Tidak tampak penyempitan diskus dan foramen intervetebralis lumbal
- Sacroiliac joint kanan kiri baik
Kesan : Tidak tampak fraktur maupun listhesis pada X-foto vertebrae
lumbosacral yang tervisualisasi

DIAGNOSIS BANDING
1. Tetraparese ec. dd. 1. Spinal cord Injury
2. Acute Transverse Myelitis
3. Sindrom Guillain Barre
2. Sangkaan Meningitis
3. Gizi Kurang

DIAGNOSIS KERJA
1. Tetraparese ec. Spinal Cord Injury
2. Meningitis
3. Gizi Kurang

TATA LAKSANA

1. Suportif
- IVFD 2 : 1 = 500 cc/24 jam ~ 20cc/jam
- Kebutuhan cairan : 1425cc/24 jam
- Kebutuhan kalori : 1430 kkal/24 jam
- Kebutuhan protein : 39,6 gr/24 jam
2. Medikamentosa
- Injeksi Metamizole 200 mg/8 jam
- Injeksi Cefotaxim 850 mg/8 jam
- Injeksi Mecobalamin 200 mg/12 jam
- Injeksi Dexamethasone 5 mg/8 jam
ANALISIS KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien perempuan berusia 5 tahun 10 bulan
dibawa oleh orang tua dengan keluhan nyeri dan kaku pada leher dengan riwayat
trauma jatuh terduduk 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit serta riwayat
demam 4 hari yang lalu setelah trauma. Pasien sudah pernah dibawa ke tukang
pijat namun tidak ada perbaikan tetapi Nampak adanya pembengkakan pada leher.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya stiffness pada leher serta nyeri saat
menoleh kekiri dan kekanan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
peningkatan kadar leukosit terutama pada neutrophil segmen yang menandakan
adanya reaksi infeksi. Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan ditemukan
adanya spondylolisthesis grade 1 (<25%) pada vertebrae cervical. Sehingga
berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan Tetraparese e.c. Spinal
Cord Injury sebagai diagnosis saat ini.
Spinal Cord Injury atau Cedera Medula Spinalis adalah cedera akibat
adanya trauma pada medulla spinalis dan atau struktur sekitarnya yang dapat
menyebabkan perubahan sementara atau permanen terhadap fungsi motorik,
sensorik, dan atau otonom. Berdasarkan data dari WHO terdapat lebih dari
250.000 orang mengalami cedera medulla spinalis setiap tahunnya dan 90% dari
kasus tersebut disebabkan oleh kasus traumatik.1
Parese berdasarkan kamus kedokteran merupakan suatu keadaan
terdapatnya kelemahan otot aibat kerusakan atau penyakit yang menyerang saraf.2
Tetraparese juga sering diistilahkan dengan quadriparese, yang keduanya
bermakna parese keempat ekstremitas. “Tetra” dari Bahasa yunani sedangkan
“Quadra” dari Bahasa latin. Tetraparese dapat terjadi karena gangguan pada
nervus perifer, otot, maupun myoneural junction; substansia grisea medulla
spinalis; atau upper motor neuron bilateral disegmen servikal medulla spinalis,
batang otak, maupun otak besar.3 Tetraparese ini dapat dicurigai disebabkan
adanya kerusakan saraf baik di Upper Motor Neuron (UMN) maupun Lower
Motor Neuron (LMN).
Trauma medulla spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung pada
tulang belakang yang menyebabkan lesi medulla spinalis sehingga menimbulkan
gangguan neurologis. Penyebab kerusakan medulla spinalis tersering adalah
traumatik, seperti dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau
hiperekstensi. Namun ada beberapa yang disebabkan non-traumatik seperti
kanker, infeksi, dan penyakit sendi intervertebralis.4 Setiap pasien dengan trauma
terutama pada vertebra cervical mengalami nyeri pada daerah vertebra yang
terkena trauma, dan biasa disertai dengan kelemahan kedua anggota gerak.1,5
Kerusakan medulla spinalis dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-
gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien
mengalami kegagalan fungsi total. Menurut American Spinal Cord Injury
Association terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut
American Spinal Cord Injury Association, yaitu: (1) Central cord syndrome; (2)
Anterior cord syndrome; (3) Brown-Sequard syndrome; (4) Cauda equina
syndrome; dan (5) Conus medularis syndrome. Sindrom inkomplit yang sangat
jarang terjadi yaitu Posterior cord syndrom. Mekanisme tersering pada cedera
medulas spinalis adalah gaya translasional tidak langsung pada vertebra seperti
seperti hiperekstensi dan fleksi-rotasi yang mendadak yang mengakibatkan cedera
medulla spinalis. Cedera juga dapqat diakibatkna oleh kompresi langsung pada
medulla spinalis.4 Cedera inkomplit memiliki kemungkinan keluaran yang lebih
baik dibanding-kan cedera komplit servikal, torakal, atau torakolumbal. Studi
sebelumnya menyebutkan bahwa hampir tidak terjadi perbaikan pada cedera
medulla spinalis komplit. Cedera medula spinalis komplit yang bisa mengalami
perbaikan dapat diidentifikasi dengan tes elektrofisiologi yang menunjukkan
serabut saraf yang masih intak pada stadium subakut maupun kronik. Studi otopsi
menunjukkan bahwa pada cedera medula spinalis komplit masih terdapat daerah
anatomi yang intak.4,6
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini dikeluhkan adanya nyeri di leher
dan terasa kaku serta kedua ekstremitas terasa kebas-kebas dan lemah hingga sulit
digerakkan. Pasien terjatuh dengan posisi terduduk namun tidak memunculkan
gejala segera setelah jatuh. Kelemahan kedua anggota gerak mulai dirasakan pada
malam hari 12 jam setelah terjatuh diikuti rasa demam. Pasien tidak mengeluhkan
sesak napas, mula, muntah, gangguan menelan, kejang, dan batuk. Keluhan
seperti ini baru pertama dirasakan. Cedera pada kasus ini dapat diklasifikasikan
kedalam cedera inkomplit karena hanya didapatkan kelemahan kedua anggota
gerak. Posisi terjatuh duduk dapat menyebabkan dislokasi pada tulang vertebra
sehingga dapat dicurigai menekan medulla spinalis pada tingkat tertentu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri saat menoleh kekiri dan
kekanan pada leher, serta stiffness pada leher. Pada pemeriksaan status neurologis
pada ekstremitas, kekuatan motorik ekstremitas superior maksimal (5/5) dan
kekuatan motorik ekstremitas inferior melemah (4/4). Refleks fisiologis
meningkat (hiperefleks). Reflex patologis tampak Babinski (+) pada tungkai
bawah.
Pemeriksaan penunjang yang disarankan meliputi pemeriksaan laboratorik
darah dan pemeriksaan radiologik, dianjurkan dengan 3 posisi standar
(anteroposterior, lateral, dan odontoid) untuk vertebra servikal, serta posisi AP
dan lateral untuk vertebra torakal dan lumbal. Berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratorium ditemukan adanya leukositosis, penurunan kadar kreatinin, serta
peningkatan klorida. Hal ini menunjukkan adanya respon peradangan akibat
trauma yang terjadi, serta kreatinin yang rendah menunjukkan bahwa tidak
berkurangnya kontraksi otot karena tidak adanya kontraksi yang terjadi pada
kedua ekstremitas sehingga keratin yang harusnya digunakan saat kontraksi otot
agar mengahsilkan kreatinin dalam metabolism otot. Klorida yang tinggi juga
menunjukkan adanya gangguan dalam metabolism tertentu, sehingga peningkatan
dari klorida ini juga dapat menunjukkan gejala kelemahan otot. Pada kasus ini
pemeriksaan penunjang yang dilakukan ada pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan foto cervical dan lumbosacral AP-Lateral dan tidak dilakukan CT
Scan atau MRI dengan pertimbangan pasien menunjukkan adanya perbaikan saat
di RSUDZA karena merupakan pasien rujukan. Berdasarkan hasil foto nampak
adanya pergeseran pada VC2 kesan Spondylolisthesis grade 1 (<25%).
Spondylolisthesis adalah istilah yang mengacu pada ketidakstabilan tulang
belakang, di mana tulang di dalam tulang belakang cenderung meluncur ke depan
di atas vertebra di bawahnya. Hal ini sering menyebabkan rasa sakit dan tekanan
di leher dan punggung. Kondisi ini sering menyakitkan dan dapat mengurangi
mobilitas umum dan gerakan.7 Pada kasus yang tidak menunjukkan kelainan
radiologik, pemeriksaan lanjutan CTScan dan MRI sangat dianjurkan. MRI
merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi medula spinalis
akibat trauma.8
Kejadian tetraparese dapat dicurigai diakibatkan oleh kerusakan UMN
maupun LMN, dan juga dapat disebabkan oleh kerusakan pada neuromuscular
junction dan pada otot. Berdasarkan kasus, pasien mengalami kelemahan anggota
gerak dengan adanya gangguan neurologis berupa reflex fisiologis meningkat,
ditemukannya reflex patologis, tidak terdapat atrofi pada otot, serta tidak terdapat
fasikulasi. Hal ini sesuai dengan tanda adanya kerusakan pada UMN karena
adanya lesi dimedula spinalis. Kerusakan dapat terjadi dalam bentuk jaringan
skar, atau kerusakan karena tekanan dari vertebra atau diskus intervertebralis. Hal
ini berbeda dengan lesiyang terjadi pada LMN yang berpengaruh pada serabut
saraf yang berjalan dari kornu anterior medulla spinalis hingga ke otot.5,9
Upper Motor Neuron (UMN) tersusun atas susunan pyramidal dan susunan
ekstrapiramidal. Susunan pyramidal terdiri atas traktus kortikospinalis dan traktus
kortikobulbar. Traktus kortikobulbar berfungsi sebagai gerakan-gerakan otot
kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal berfunghsi sebagai gerakan-
gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Hal inilah yang mendasari jika kelemahan
yang terjadi pada kasus ini merupakan akibat dari adanya kerusakan pada UMN
tepatnya pada traktus kortikospinal yang berfungsi pada anggota gerak.9
Terapi pada kasus cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensorik dan motorik. Pasien dengan
cedera medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali
normal. Lesi medula spinalis komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam
72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula
spinalis inkomplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Bila fungsi
sensorik di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan
>50%.4
Farmakoterapi standar pada Spinal Cord Injury berupa metilprednisolon 30
mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah
cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah
cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu
dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus
metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah
cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena
kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini
efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan
dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total.10,11
Mekanisme kerja metilprednisolon ialah menurunkan respon inflamasi
dengan menekan migrasi netrofil dan menghambat peningkatan permeabilitas
vaskular. Metilprenidsolon menghambat kerja lipid peroksidase dan hidrolisis
sehingga dapat menghambat destruksi membran sel. Kerusakan membran sel
mencapai puncak sekitar 8 jam oleh karena itu, metilprednisolon harus di-berikan
dalam rentang waktu tersebut. Lipid peroksidasemengacu pada degradasi oksidatif
lipid, yaitu proses dimana radikal bebas mengambil elektron dari lipid pada
membran sel, yang mengakibatkan kerusakan sel.11
Pencegahan komplikasi sangat berperan penting. Tindakan rehabilitasi medik
merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis.
Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training harus dilakukan sedini mungkin.
Tujuan utama fisioterapi ialah untuk mempertahankan range of movement (ROM)
dan kemampu-an mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot. Terapi okupasional
terutama ditujukan untuk memperkuat dan memper-baiki fungsi ekstremitas atas,
serta mem-pertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari. Pembentukan
kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.
Prognosis bonam pada kasus ini karena selama perawatan pasien mengalami
perbaikan neurologic. Pasien SCI yang berusia <50 tahun biasanya memiliki
prognosis baik; dalam waktu singkat 97% kasus mengalami kesembuhan, memper-
oleh kembali kemampuan mobilisasi, dan dapat melakukan kegiatan harian dengan
normal. Pasien berusia >50 tahun memiliki prognosis lebih buruk; hanya 17% kasus
yang mengalami kesembuhan. Bila lesi disebabkan oleh perdarahan atau iskemia,
prognosis biasanya lebih buruk dan penyembuhan spontan sulit terjadi.5,6,12,13
KESIMPULAN
Pada pasien ini diagnosis Tetraparese e.c. Spinal Cord Injury didiukun
berdasarkan anamnesis dengan ditemukannya adanya cedera pada leher ditandai
dengan nyeri pada leher dan kekakuan yang dirasakan. Hal ini merupakan salah
satu etiologi dari kelemahan otot gerak yang dirasakan karena berhubungan
dengan adanya penekanan pada medulas spinalis yang diakibatkan dari trauma.
Trauma yang terjadi pada vertebra servikal akan menimbulkan gejala tetraparese
karena. Hal ini didukung dengan adanya hasil foto x-ray pada vertebra servikal
dan lumbosacral, yang menunjukkan adanya spondylolisthesis grade 1(<25%)
pada VC2 terhadap corpus VC3 sehingga menekan medullaspinalis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Surya Atmadja A, Sekeon SAS, Ngantung DJ. Diagnosis and Treatment of


Traumatic Spinal Cord Injury Diagnosis Dan Tatalaksana Cedera Medula
Spinalis Traumatik. J Sinaps. 2021;4:25–35.
2. Goodrich JA. Lower (Subaxial) Cervical Spine Fractures and Dislocations.
Medical Collage of Georgia. 2008.
3. Ropper A, Samuel M, Klein JP. Adam and Victor’s Principle of Neurology.
10 ed. Mc Graw Hill Education; 2014.
4. Pertiwi GMD, Berawi K. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula
Spinalis. Med Proffession J Lampung [Internet]. 2017;7:48–52. Tersedia
pada:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/720/pdf
5. van Middendorp JJ, Goss B, Urquhart S, Atresh S, Williams RP, Schuetz
M. Diagnosis and Prognosis of Traumatic Spinal Cord Injury. Glob Spine
J. 2011;1:001–7.
6. Maja JPS. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Cedera Servikal Medula
Spinalis. J Biomedik. 2014;5.
7. Mierau D, Cassidy JD, Sc B, Fccs C. Degenerative spondylolisthesis in the
cervical spine : a report of a case. 1984;28:368–70.
8. Mahadewa TG., Maliawan S. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan
tulang belakang. Jakarta: Sagung Seto; 2009.
9. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology. 10 ed. New
York: Mc Graw Hill Education; 2018.
10. Brown J, Johnston R. Acute Spinal Cord Compression. In: Hughes R,
editor. Neurological Emergencies. 4 ed. BMJ Books; 2003.
11. Baskin D. Spinal Cord Injury. In: Evans R, editor. Neurology and Trauma.
New York: Oxford University Press; 2006.
12. Dinata IGS, Yasa AAGWP. The Overview of Spinal Cord Injury. Ganesha
Med. 2021;1:103.
13. Basu S. Spinal injuries in children. Front Neurol. 2012;JUL:1–8.

Anda mungkin juga menyukai