Oleh:
Pembimbing:
Chronic renal failure (CRF) merupakan kondisi yang sering kali baru
disadari setelah mencapai stadium lanjut. Menurut Kidney Disease Improving
Global Outcomes (KDIGO) tahun 2012 dalam Clinical Practice Guideline for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, Gagal Ginjal Kronik
(GGK) didefinisikan sebagai kelainan pada struktur maupun fungsi ginjal yang
terjadi dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan dengan efek terhadap kesehatan1.
Prevalensi global PGK sebesar 13,4% dengan 48% di antaranya mengalami
penurunan fungsi ginjal dan tidak menjalani dialisis dan sebanyak 96% orang
dengan kerusakan ginjal atau fungsi ginjal yang berkurang tidak sadar bahwa
mereka memiliki PGK 2.
2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Mual muntah
Riwayat Penyakit sekarang : Pasien rujukan dari RSUD Bajawa dengan diagnosis
CKD St V, Hipertensi Urgency, Hiperurisemia, Dispepsia sindrom gastroenteritis
akut. Sebelumnya pasien mengeluh mual muntah yang dirasakan dua minggu
SMRS di Bajawa. Keluhan disertai dengan sesak napas sejak 2 minggu dan
memberat 30 menit SMRS, sesak nafas meemberat jika pasien berbaring dan
berkurang saat pasien duduk. Bengkak pada kelopak mata, kedua tangan dan kaki.
Nyeri perut (+), BAB cair 1x dan BAK sedikit-sedikit.
Riwayat penyakit dahulu: Riwayat Hipertensi, kolesterol, asam urat dari tahun
2015 tidak terkontrol.
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
midclavicula sinistra
Abdomen
Inspeksi : Datar, supel.
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Datar, Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani, nyeri tekan epigastrik (+), Nyeri ketok
CVA, ballotement (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Jejas (-), edema
(+/+)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
EKG :Sinus rhytm, normal ECG
Laboratorium: Darah Lengkap
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Laki-laki : 3.5-7.2
Asam urat 20.19 mg/dl Meningkat
Perempuan : 2.6-6.0
Kolesterol
163 mg/dl <200 Normal
total
Laki-laki : 0.7-1.3
Creatinin 23.17 mg/Dl Meningkat
Perempuan : 0.5-1.1
Radiologi :
Foto Thorax : Kesan cardiomegali dengan bendungan paru, efusi pleura
bilateral (19/05/2021)
Foto Thorax : Kesan kardiomegali, pulmo dalam batas normal
(21/05/2021)
2.4 Assesment
1. CKD stage V
2. Gastropati uremikum
3. Hiponatremia
4. Hipoglikemia
5. Hipertensi grade I
2.5 Planning
A. Planning diagnostik : Cek ulang elektrolit post koreksi 6 jam, USG
abdomen
B. Planning terapi
IVFD NaCl 0.9 % LL
Diet rendah garam < 2 gr/ hari
CaCO3 3 x 1 tablet
Furosemid 40-0-0 iv
Cek GDS/8 Jam, jika < 70 mg/dl tatalaksana sesuai protap
Omeprazol 2 x 40 mg iv
Ondansetron 3 x 4 mg iv
Captopril 2 x 25 mg
Koreksi hiponatremia dengan NaCl 3% 27 cc/jam
Pro Hemodialisa : Keluarga menolak cuci darah
C. Planning monitoring : TTV, keluhan, cek GDS/8 jam
Follow Up (21/05/2021)
Subyektif : Badan lemas, mual (-) muntah (-), batuk sesekali, nyeri ulu hati
(+), nyeri perut (+), sesak berkurang, nyeri dada -, BAB dan BAK dalam batas
normal.
Obyektif
TD :140/80mmHg
N : 80x/menit
RR :20x/menit reguler
Suhu : 36,7
SpO2 : 97 %
Mata : CA(-/-) SI (-/-), edema palpebra (+)
Pulmo : Auskultasi: Vesikuler (-/-), Rhonki (+/+) halus di basal paru,
wheezing (-/-)
Cor : S1 S2 tunggal reguler
Abdomen: Datar, Supel, bising usus (+) nyeri tekan epigastrium (+), nyeri
ketok CVA (D)/ (S)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (+/+) minimal, CRT < 2”
GDP : 82 mg/dl
Laboratorium
Natrium : 130 mmol/L
Kalium : 4.0 mmol/L
Klorida : 104 mmol/L
USG Abdomen (21/05/2021)
Hidronefrosis dextra ringan dan hidroureter dextra, tidak tampak batu di
ren dextra
Hidronefrosis sinistra sedang dengan hidroureter sinistr, serta nefrolitiasis
sinistra multipel > 3 bua, kecil-kecil ukuran sekitar 3 mm di pole inferior
Fatty liver
Distensi vesica urinaria (saran : lacak kemungkinan retensi urin ec cystitis,
os post miksi, vesica distensi)
Assesment
1. CKD stage V
2. Gastropati uremikum
3. Hiponatremia
4. Hipoglikemia
5. Hipertensi grade I
6. Hidronefrosis bilateral
7. Nefrolitiasis Sinistra
P : Pdx : -
PTh :
IVFD D 5% 500 cc/24 jam
Diet rendah garam < 2 gr/ hari
CaCO3 3 x 1 tablet
Furosemid 40-0-0 iv
Cek GDS/8 Jam, jika < 70 mg/dl tatalaksana sesuai protap
Omeprazol 2 x 40 mg iv
Ondansetron 3 x 4 mg iv
Captopril 2 x 25mg
Planning monitoring : TTV, keluhan, cek GDS/8 jam
Follow Up (22/05/2021)
Subyektif : Badan lemas, mual (-) muntah (-), batuk sesekali, nyeri ulu hati
berkurang, nyeri perut (+), sesak berkurang, nyeri dada (-), BAK dalam
batas normal, BAB (-)
Obyektif
TD :130/70mmHg
N : 78x/menit
RR :20x/menit
Suhu : 36,5
SpO2 : 98 %
Mata : CA(-/-) SI (-/-), edema papebra (+)
Pulmo :Auskultasi: Vesikuler (-/-), Rhonki (-/-) wheezing (-/-)
Cor : S1 S2 tunggal reguler
Abdomen: Cembung, Supel, bising usus (+) nyeri tekan epigastrium (+),
nyeri ketok CVA (D)/ (S)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2”
Assesment
1. CKD stage V
2. Gastropati uremikum
3. Hiponatremia
4. Hipoglikemia
5. Hipertensi grade I
6. Hidronefrosis bilateral
7. Nefrolitiasis Sinistra
P : Pdx : -
PTh :
Diet rendah garam < 2 gr/ hari
CaCO3 3 x 1 tablet
Asam folat 2 x 1 tablet
Furosemid 40-0-0 po
Cek GDS/8 Jam, jika < 70 mg/dl tatalaksana sesuai protap
Omeprazol 2 x 20 mg iv
Ondansetron 3 x 4 mg prn mual
Captopril 3 x 25 mg po
Keluar rumah sakit
Planning monitoring : TTV, keluhan,
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan keadaan abnormalitas pada ginjal
yang terjadi dalam onset lebih dari 3 bulan dengan berpengaruh pada kesehatan,
yang ditandai dengan adanya penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR < 60
ml/min/1,73 m2), dan terdapat anomali pada struktur dan fungsi ginjal (KDIGO
2012) 1. GGK dapat dikonfirmasi, jika terjadi 1 atau lebih gejala-gejala sebagai
penanda. Gejala – gejala tersebut yaitu:
Albuminuria (AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30 mg/g)
Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit dan segmen lainnya akibat gangguan tubulus
Adanya kelainan yang terdeteksi pada pemeriksaan histologi
Adanya kelainan yang terdeteksi pada pemeriksaan imaging
Riwayat adanya transplantasi ginjal
GFR < 60 mL/min/1.73 m2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik stadium 5 di seluruh dunia tahun
2012 mencapai 13,4% dan 10,6% dengan gagal ginjal kronik stadium 3. Global
Prevalence Of Chronic Kidney Disease mencatat pada tahun 2016 di Amerika,
GGK diketahui sebagai salah satu permasalahan utama dalam masalah kesehatan
yang terjadi pada 13% populasi penduduk Amerika. Prevalensi penyakit GGK
diperkirakan akan terus meningkat jika direfleksikan pada pertumbuhan populasi
lansia dan peningkatan pasien dengan penyakit diabetes melitus dan hipertensi.
Sedangkan di Eropa pada tahun 2016, prevalensi penyakit GGK mencapai 11,86%
yang didominasi GGK stadium 3 hingga stadium 51,2,4.
Data mengenai penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia, menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) dan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun
2013, didapatkan prevalensi penyakit GGK pada populasi usia 15 tahun
mencapai 0,2%. Prevalensi GGK pada jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan provinsi tertinggi di Indonesia dengan penyakit GGK yaitu
Sulawesi Tengah (0,5%), diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara (0,4%)3.
2.3 Etiologi
Dari data literatur dapat diketahui bahwa PGK dapat timbul akibat penyakit
intrinsik ginjal primer, abnormalitas anatomi atau terjadi obstruksi akibat
komplikasi sekunder dari penyakit sistemik lain, dan akibat penanganan PGA
yang tidak optimal. Penyebab paling umum timbulnya PGK adalah diabetes
mellitus, hipertensi, dan glomerulonephritis.
Lain-lain 13,8
Sumber : Sudoyo et al (2009)
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko GGK dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Faktor Genetik
Pada faktor genetik, kemunculan penyakit GGK berpengaruh pada
abnormalitas pada uromodulin, apolipoprotein1, dan sistem renin-
angiotensin (RAS). Faktor Genetik juga berpengaruh pada
penyakit GGK di keluarga terdekat dimana prevalensinya
mencapai 23%2,5.
b. Jenis Kelamin
Data dari Japanese Society for Dialysis Therapy, prevalensi kasus
GGK stadium akhir lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
wanita yaitu sekitar 1,41%. Hal ini diteliti dapat dipicu oleh
perbedaan tingkat hormon. Pada laki-laki, hormon testosterone
dapat memicu kerusakan pada fungsi ginjal. Testosterone dapat
meningkatkan fibrosis dan produksi matriks mesangial,
menstimulasi RAS sehingga meningkatkan retensi sodium yang
berakibat pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Namun,
hal ini dapat berubah jika tidak diikuti dengan gaya hidup yang
lebih sehat pada masing-masing individu5.
c. Usia
Kasus GGK lebih banyak terjadi pada usia tua, seiring terjadinya
penurunan fungsi ginjal pada usia 60 tahun (50% fungsi ginjal)
akibat berkurangnya nefron ginjal dan menurunnya kemampuan
regenerasi sel. Penderita GGK di usia lanjut juga memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi akibat menurunnya nilai GFR yaitu
rata-rata 15mL/menit/1,73 m2. Penurunan GFR ini akan
menyebabkan menurunnya rata-rata aliran plasma dan penurunan
kapiler glomerulus yang dapat memicu adanya kehilangan massa
renal, hialinisasi arteriol aferen, peningkatan glomerular sclerotic,
dan fibrosis tubulointerstitial6.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Penyakit GGK dapat terjadi akibat tekanan darah yang tinggi
terutama pada kapiler glomerulus sehingga darah yang mengalir
ke unit – unit fungsional ginjal terganggu, dan dapat berlanjut ke
hipoksia yang menyebabkan adanya kematian sel. Selain itu,
kerusakan pembuluh darah ginjal akibat hipertensi juga dapat
memicu sekresi zat-zat toksin yang diikuti peningkatan tekanan
darah berlebih dan memperparah kondisi kerusakan ginjal.
Kondisi vasokontriksi pembuluh darah ginjal yang terjadi terus
menerus dapat menyebabkan End Stage Renal Disease (ESRD)
atau bisa disebut gagal ginjal terminal5,6.
b. Merokok
Berdasarkan penelitian dari Kazancioglu et all., perokok aktif
dengan jumlah konsumsi rokok > 20 batang per hari dapat
meningkatkan risiko terjadinya GGK. Setiap konsumsi rokok 5
batang per hari diteliti sekitar 31% dapat meningkatkan kadar
serum kreatinin hingga > 0,3 mg/dL. Merokok dapat menghambat
aliran darah ke organ-organ vital tubuh, salah satunya ginjal.
Selain itu, zat-zat toksin dalam rokok juga berpengaruh dalam
penghambatan efek obat-obat anti-hipertensi yang nantinya dapat
memicu terjadinya penyakit ginjal akibat hipertensi yang tidak
terkontrol5.
c. Diabetes Melitus (DM)
Penyakit penyerta diabetes melitus pada gagal ginjal kronik
ditandai dengan adanya kadar gula darah yang tinggi dalam darah
(hiperglikemia), dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein. GGK termasuk salah satu komplikasi mikrovaskular
penyakit DM. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan
kerusakan pembuluh darah renal yang berakibat pada kerusakan
glomerulus dan memicu terjadinya kegagalan filtrasi albumin
(protein) sehingga dapat lolos bersama urin yang disebut
mikroalbuminuria5,6.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi berdasarkan penyebab, kategori
Glomerular Filtration Rate (GFR), dan Albuminuria, seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.2. Klasifikasi Gagal Ginjal berdasarkan Nilai GFR
Kategori GFR (ml/min/1,73m2) Keterangan
GFR
G1 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun
G3a 45-59 Sedikit ke cukup menurun
G3b 30-44 Cukup ke Sangat menurun
G4 15-29 Sangat menurun
G5 <15 Gagal ginjal
Sumber : KDIGO (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease
2.6 Patofisiologi
Secara fisiologis, laju aliran darah ke ginjal berkisar antara 400ml/100g
jaringan per menit dimana lebih besar dibandingkan pada organ-organ vital lain
seperti otak, jantung, dan hati. Akibatnya, jaringan pada ginjal akan sangat mudah
terpapar banyak agen ataupun substansi yang bersifat toksin dan berpotensi
merusak jaringan. Selain itu, filtrasi glomerulus ginjal juga sangat bergantung
pada tekanan intra dan transglomerulus sehingga membuat pembuluh kapiler
glomerulus sangat sensitif terhadap kerusakan hemodinamik seperti pada
hipertensi ataupun hiperfiltrasi7. Secara umum, kerusakan pada ginjal dapat
disebabkan akibat reaksi imunologik (diawali dengan adanya kompleks sel imun),
hipoksia jaringan atau iskemia, agen eksogen (obat-obatan yang bersifat
nefrotoksik seperti OAINS, agen endogen (glukosa, paraprotein, dll), dan kelainan
genetik yang nantinya dapat memicu terjadinya glomerulosclerosis dan fibrosis
tubulointerstitial yang terdapat pada GGK7,8.
Elemen penting dari jalur perjalanan gagal ginjal kronik meliputi: (1)
Penurunan jumlah nefron, (2) Hipertensi kapiler glomerulus, (3) Proteinuria.
Kerusakan ginjal juga dapat diinisiasi oleh kondisi hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit polikistik ginjal dan glomerulonefritis. Pada kasus penurunan jumlah
nefron, nefron yang tersisa akan mengalami hipertrofi sebagai respon kompensasi
dari menurunnya fungsi ginjal akibat hilangnya massa nefron. Kondisi hipertrofi
ini memicu adanya hiperfiltrasi glomerulus dan fungsi tubular baik reabsorpsi
maupun sekresi. Kondisi ini akan menyebabkan perkembangan hipertensi
glomerular yang dimediasi angiotensin II dan berkorelasi dengan hipertensi arteri
sistemik. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dari arteri aferen dan
eferen sehingga dapat menyempitkan arteri eferen dan meningkatkan tekanan
kapiler glomerulus. Hal ini membuat pori-pori membran dasar glomerulus meluas.
Perubahan struktur ini membuat protein lolos dari filtrasi glomerulus7,8
Ekskresi protein lewat nefron dapat meningkatkan hilangnya massa nefron
secara progresif. Protein yang disaring yaitu albumin, transferrin, faktor
komplemen, immunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II bersifat toksik pada
tubulus ginjal. Lolosnya protein pada tubulus ginjal, akan mengaktifkan sel-sel
tubulus ginjal, yang menyebabkan regulasi produksi sitokin inflamasi dan
vasoaktif, seperti endotelin, monocyte chemoattractant protein (MCP-1), dan
regulated upon action, normal T cell expressed and secreted (RANTES).
Proteinuria juga dikaitkan dengan aktivasi komponen pelengkap pada membran
apikal tubulus proksimal. Kumpulan bukti yang ada menunjukkan bahwa aktivasi
komplemen intratubular mungkin merupakan mekanisme utama kerusakan
progresif pada proteinuric nephropathies. Selanjutnya, kondisi ini dapat
menyebabkan adanya kerusakan di interstitial, terbentuknya jaringan parut pada
tubulus ginjal, dan hilangnya massa nefron secara progresif sehingga nefron yang
tersisa tidak mampu mempertahankan stabilitas fungsi ginjal dan terjadi
penurunan GFR.
Pada diabetes melitus, didapatkan kondisi dimana kandungan gula dalam
darah tinggi. Kondisi ini, dapat memicu terjadinya perubahan struktural pada
kompartemen ginjal. Awalnya, kondisi ini dapat memicu terjadinya penebalan
pada membran glomerulus. Selain itu dapat juga terjadi kehilangan pembukaan
endotelial, pelebaran matriks mesangial, dan apoptosis podosit dari foot processes.
Penebalan dinding kapiler dan tubular glomerulus dapat terjadi sekitar 1-2 tahun
sejak terdiagnosis DM, dan pelebaran matriks mesangial dapat terjadi sekitar 5-7
tahun sejak terdiagnosis DM. Pada tahap akhir diabetes, dapat terjadi adanya
perubahan interstisial dan pergabungan glomerulopati yang dapat menjadi
sclerosis baik segmental hingga global. Pada pasien DM, penurunan GFR,
albuminuria, dan hipertensi turut berpengaruh pada terjadinya pelebaran matriks
mesangial dan dianggap kurang berpengaruh pada luas membran basal
glomerulus9
Kerusakan patogenik awal
Kerusakan
mesangium
2.9 Tatalaksana
Manajemen pasien GGK sesuai guideline dari KDIGO 2012 difokuskan
pada beberapa masalah yakni blokade “renin angiotensin aldosterone system”
(RAAS) dan kontrol tekanan darah, penanganan kondisi koomorbid seperti
diabetes mellitus, penyakit jantung, dan mengedukasi pasien untuk lebih
multidisipliner dalam menjaga kestabilan tubuh seperti menjaga pola makan (diet
ginjal), menghentikan gaya hidup kurang sehat (rokok, alkohol), dan
memeriksakan kondisi secara berkala ke pusat kesehatan13. Tatalaksana pasien
GGK dapat disingkat menjadi “BE ACTIVE” yaitu Blood Pressure Control,
Erythropoiesis Stimulating Agent, Acidosis Management, Cardiovascular Risk
Assessment, Timing, Iron, Insulin and Glucose management, Vitamin D & Bone
disease, Eat (Diet)14.
Blood Pressure Control (Kontrol Tekanan Darah)
Tekanan darah optimal yang harus dicapai untuk penderita GGK menurut
JNC 8 adalah < 140/90 mmHg. Target tekanan darah ini dipertimbangkan untuk
menghindari adanya hipotensi akibat adanya ketidakseimbangan aliran darah ke
ginjal, yang nantinya dapat menyebabkan kelemahan tubuh dan penurunan
kesadaran pada penderita GGK. Menurut KDIGO 2012, target tekanan darah yang
harus dicapai pada pasien GGK adalah <140/90 mmHg bila kadar albuminuria
pada kisaran < 30 mg/24 jam1,13.
Pemilihan terapi antihipertensi pada pasien GGK menurut JNC 8 dan
KDIGO 2012, digunakan lini terapi ACE-Inhibitor (ACE-I) ataupun Angiotensin
Reseptror Blocker (ARB). ACE-Inhibitor dan ARB sama-sama memiliki dampak
positif pada pasien GGK dimana keduanya dapat menghambat progresifitas
penyakit GGK dengan menahan ekskresi protein pada urin sekitar 35-40%. Selain
itu, ACE-Inhibitor dan ARB juga dapat mengurangi permeabilitas membrane
glomerulus, membatasi proteinuria, dan memfiltrasi mediator-mediator inflamasi.
Pemilihan terapi ACE-Inhibitor dan ARB disesuaikan dengan kebutuhan,
kemampuan, dan pilihan yang diinginkan pasien. Para ahli merekomendasikan
terapi inisial antihipertensi pada GGK menggunakan ACE-Inhibitor. Namun,
harus dilakukan pemantauan terhadap kontraindikasi ACE-I yang muncul pada
pasien seperti batuk-batuk, dan terdapat peningkatan kadar kalium dan serum
kreatinin. Jika terjadi, maka substitusi ACE-I ke ARB dapat dipertimbangkan1,13.
Erythropoiesis Stimulating Agent (Anemia)
Pada pasien GGK, anemia sangat sering muncul akibat berkurangnya massa
nefron yang dapat memicu menurunnya eritropoetin pada ginjal. Terapi awal yang
diterima yaitu terapi erythropoietic-stimulating agent (ESA) yang diberikan
kepada semua pasien gagal ginjal kronik dengan kadar hemoglobin antara 9-10
g/dL. Suplementasi zat besi diperlukan oleh sebagian besar pasien gagal ginjal
kronik untuk melengkapi persediaan besi yang habis oleh kehilangan darah yang
terus berlanjut dan kebutuhan zat besi. Terapi zat besi parenteral meningkatkan
respon terhadap terapi ESA dan mengurangi dosis yang dibutuhkan untuk
mencapai dan mempertahankan indeks target. Sebaliknya, terapi oral dibatasi oleh
penyerapan dan kepatuhan yang buruk karena efek samping. Pemberian epoetin
alfa secara subkutan lebih disukai daripada intravena, karena dosis subkutan yang
mempertahankan indeks target yaitu 15% sampai 30% lebih rendah dari dosis
intravena. Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh lebih lama daripada epoetin alfa
dan aktivitas biologis yang panjang. Dosis diberikan lebih jarang, mulai seminggu
sekali bila diberikan secara intravena atau subktan. Efek samping yang paling
umum dari penggunaan ESA yaitu hipertensi1,8,13,15.
Selain pemberian ESA, dan suplementasi zat besi, pasien GGK dengan
anemia juga dapat diberi suplementasi asam folat untuk mencegah adanya
defisiensi asam folat. Jika kadar Hb pasien turun terlalu rendah, maka
dipertimbangkan untuk memberi transfusi PRC (Packed Red Cell) terutama pada
pasien GGK dengan kadar Hb < 7 g/dL13,15,16.
Penanganan Asidosis
Ginjal berperan dalam pengaturan keseimbangan asam basa. Pada gagal
ginjal kronik, terjadi penurunan fungsi ginjal dimana reabsorpsi bikarbonat
dipertahankan namun ekskresi hydrogen terganggu karena fungsi ginjal untuk
menghasilkan ammonia terganggu dan terjadi akumulasi ion hydrogen (H+).
Umumnya asidosis diterapi dengan pemberian natrium bikarbonat / asam sitrat.
Dosis pemberian biasanya disesuaikan dengan pengukuran gas dan pH darah,
diberikan ½ dosis awal, dan ½ dosis sisa selama 24 jam. Dapat diberikan 2-5
mEq/kg secara intravena > 4-8 jam, sambil dilakukan pemantauan asam basa
pasien untuk dosis selanjutnya jika masih diperlukan8,13.
Cardiovascular Risk Assessment (Faktor Risiko Kelainan Jantung)
Pada pasien dengan GGK, terdapat faktor risiko yang berpengaruh pada
penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, dan diabetes mellitus. Pada GGK, akan
terdapat sindroma metabolik, peningkatan protein C-reaktif, dan abnormalitas
metabolisme mineral terutama kalsium. Berdasarkan rekomendasi dari KDIGO
(2012) untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular pada GGK, termasuk
interfensi memperlambat penurunan GFR, modifikasi gaya hidup (stop merokok,
menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik), dan penggunaan terapi
ACE-Inhibitor atau ARB spesifik yang dikombinasikan dengan anti hipertensi
lain dan manajemen faktor risiko kardiovaskular lain seperti gula darah, dan
dislipidemia13.
Pada pasien GGK, pilihan terapi berupa golongan Statin juga dapat
diberikan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular dan progresifitas
GGK dengan mengurangi derajat albuminuria. Sesuai guideline KDIGO (2012),
penggunaan statin dikategorikan pada1:
1. Pasien GGK non-dialisis usia 50 tahun, tanpa melihat ada tidaknya
albuminuria
2. Pasien GGK non-dialisis dan non-transplantasi organ usia 18-49 tahun dan
terhitung > 10% untuk 10 tahun insiden kematian jantung koroner dan
infark miokard non-fatal (termasuk penyakit jantung koroner, DM, stroke
iskemik)
3. Pasien GGK dengan transplantasi organ, tanpa melihat usia
4. Rekomendasi dilanjutkan terapi pada pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan statin sebelum memulai hemodialisa
5. Tidak direkomendasikan sebagai terapi pasien GGK yang sangat
berpengaruh pada hemodialisa
Pada pasien GGK, terapi antiplatelet juga dapat diberikan dengan tujuan
mencegah terjadinya risiko penyakit kardiovaskular di kemudian hari13.
Timing (Waktu Inisiasi Hemodialisa)
Pada pasien dengan GGK, menurut KDOQI, terapi hemodialisa dapat
dimulai saat GFR < 15ml/min/1.73m2. Sebelum memulai dialisis, dilakukan
persiapan dan komunikasi dengan pasien terkait akses hemodialisis ataupun
peritoneal dialysis, selain itu akses vascular juga harus dibuat (vein mapping).
Pada pasien GGK dengan progresifitas penyakit yang cukup tinggi, langkah terapi
hemodialisa dan transplantasi organ dapat dipertimbangkan terutama pada
stadium 3 akhir bergantung pada kondisi dan kestabilan pasien10.
Zat Besi, Insulin & Manajemen Glukosa
Terapi zat besi pada pasien GGK digunakan untuk mengatasi keadaan
defisiensi besi yang nantinya dapat mempengaruhi proses pengikatan dan
transport O2 dalam darah. Selain pada kadar zat besi yang rendah, pemberian
terapi zat besi juga direkomendasikan pada pasien GGK yang menerima terapi
agen stimulasi eritropoiesis pada keadaan anemia. Target terapi zat besi yaitu
kadar Fe 25%, dan serum ferritin 300-500 ng/ml15. Pada manajemen gula darah,
target terapi yang dicapai yaitu HbA1c 7% baik pada DM tipe 1 dan DM tipe 2.
Tujuannya, untuk mengurangi progresifitas nefropati diabetikum. Sebagai terapi
inisial paling aman, dapat diberikan insulin basal (Levemir) dengan dosis inisial
10unit/hari atau kombinasi. Pemilihan obat oral antihiperglikemik tidak terlalu
disarankan karena risiko hipoglikemik yang tinggi akibat fungsi ginjal menurun
pada GGK dan obat antihiperglikemik oral disekresi lebih panjang di ginjal.
Namun, obat antihiperglikemik oral juga dapat digunakan sebagai terapi alternatif,
seperti golongan sulfonilurea (Glimepirid)13.
Vitamin D (Mineral & Kelainan Tulang)
Target utama pengobatan adalah kontrol kadar fosfor serum, karena ini
merupakan parameter awal yang mengganggu homeostasis. Namun, serum fosfor
bisa sulit dikendalikan, terutama pada stadium akhir gagal ginjal kronik.
Penatalaksanaan hiperparatiroidisme sekunder seringkali membutuhkan
pengobatan tambahan dengan analog vitamin D. Serum fosfor dapat dikendalikan
dengan pemberian phosphate-binding agents. Agen pengikat fosfat menurunkan
penyerapan fosfor dari usus dan merupakan agen lini pertama untuk
mengendalikan serum fosfor dan kalsium. KDOQI merekomendasikan bahwa
unsur kalsium dari pengikat yang mengandung kalsium sebaiknya tidak melebihi
1500 mg per hari, dan asupan harian total dari semua sumber tidak melebihi 2000
mg8.
Suplementasi vitamin D dapat digunakan untuk menurunkan kadar serum
hormon paratiroid pada pasien gagal ginjal kronik. Ergocalciferol dan
cholecalciferol telah terbukti efektif dalam menurunkan sekresi hormon paratiroid
pada pasien gagal ginjal kronik stadium 1 dan 3. Kalsitriol, 1,25-
dihidroksivitamin D3, secara langsung menekan sekresi mengurangi hiperplasia
paratiroid. Analog vitamin D terbaru, parikalsitol dan dokserkalsiferol dapat
digunakan sebagai terapi hiperkalemia, dan untuk parikalsitol dapat digunakan
sebagai terapi hiperfosfatemia8,13.
DIET
Diet Protein
Pembatasan protein dapat mengurangi kadar BUN dan hasil metabolisme
protein toksik yang belum diketahui. Selain itu, dapat juga mengurangi
asupan kalium, fosfat dan produksi ion hidrogen yang berasal dari
protein. Asupan rendah protein dapat mengurangi beban ekskresi
sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus,
dan cedera sekunder pada nefron intak. Status nutrisi pasien harus
diamati untuk memastikan bahwa berat badan dan indikator lainnya
seperti albumin serum tetap stabil (≥3 g/dl)6,8.
Diet Kalium
Pada GGK, salah satu komplikasi yang sering terjadi yaitu hiperkalemi,
sehingga diet kalium perlu dilakukan. Target kalium yang diperbolehkan
dalam diet yaitu 40-80 mEq/hari. Selain itu, pemantauan penggunaan
obat-obat dan makanan yang dapat menyebabkan hiperkalemia juga perlu
dilakukan untuk menjaga kadar kalium tetap stabil6,8.
Diet Natrium dan Cairan
Asupan natrium yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya retensi cairan,
edema perifer, edema paru, hipertensi, dan gagal jantung kongestif.
Selain itu, bila asupan natrium kurang akan terjadi hipovalemia,
penurunan GFR, dan pemburukan fungsi ginjal. Sehingga penting untuk
menentukan asupan natrium yang optimal bagi setiap pasien6,8.
2.10 Komplikasi
1. Hipernatremia
Ginjal memiliki fungsi untuk menjaga kestabilan natrium dan air. Pasien
dengan GGK biasanya mengalami retensi natrium dan air akibat adanya
kerusakan struktur ginjal sehingga ekskresi natrium dan air berkurang. Akibatnya,
retensi natrium dan air terjadi terus menerus sehingga dapat meningkatkan kadar
natrium dalam darah dan menyebabkan edema paru1,8,13.
2. Hiperkalemia
Pada pasien GGK, terjadi gangguan ekskresi kalium akibat penurunan laju
GFR. Selain itu, juga terjadi pelepasan kalium intraseluler yang berlebih.
Akibatnya, terjadi penumpukan kalium dalam darah dan meningkatkan kadar
kalium (hiperkalemia)1,8,13.
3. Hipertensi
Hipertensi sering dijumpai pada pasien GGK. Keadaan ini dapat dipicu
akibat adanya gangguan pada renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS)
dalam ginjal sebagai fungsi regulasi tekanan darah tubuh. Pada pasien GGK,
terjadi penurunan perfusi di ginjal, akibat penebalan pembuluh darah ginjal
sehingga ginjal secara patologis memproduksi renin berlebih. Renin merupakan
suatu protease yang dibentuk sel juxtaglomerular yang berfungsi memecah
angiotensin di darah menjadi angiotensin I yang kemudian akan dirubah menjadi
angiotensin converting enzyme (ACE) dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan efek vasokonstriksi secara
langsung dan merangsang produksi aldosterone di korteks adrenal. Aldosterone
berfungsi untuk retensi natrium dan air sehingga mempertahankan cairan
intravascular. Aktivasi resultan RAAS menyebabkan adanya hipertensi akibat
efek vascular langsung dari aldosterone dan peningkatan volume sirkulasi karena
reabsorpsi Na+ dimediasi aldosterone1,8,13.
4. Asidosis Metabolik
Ginjal berperan dalam pengaturan kesimbangan asam basa. Seiring dengan
penurunan fungsi ginjal, reabsorpsi bikarbonat dipertahankan, namun eksresi
hidrogen berkurang karena kemampuan ginjal menghasilkan amonia terganggu,
sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen. Akumulasi ion H+ menyebabkan adanya
asidosis metabolik, yang ditandai bikarbonat serum 15-20 mEq/L, peningkatan
anion > 17 mEq/L, dan kadar pH tubuh <7,35. Asidosis metabolik umumnya
muncul saat GFR menurun di bawah 25 mL/menit/1,73 m28,13.
5. Kelainan Mineral dan Tulang
Gangguan metabolisme mineral dan tulang umum terjadi pada pasien gagal
ginjal kronik dan termasuk kelainan pada hormon paratiroid, kalsium, fosfor dan
vitamin D. Kelainan ini dapat digambarkan sebagai karakteristik statik
hiperparatiroidisme sekunder dan osteodistrofi ginjal. Ketika fungsi ginjal
menurun terjadi penurunan eliminasi fosfor yang mengakibatkan hiperfosfatemia
dan penurunan konsentrasi kalsium serum secara timbal balik. Kelenjar paratiroid
mengeluarkan hormon paratiroid sebagai respon peningkatan kadar fosfat dan
penurunan konsentrasi kalsium. Ketika penyakit ginjal berkembang, proses
aktivasi vitamin D terganggu dan menyebabkan berkurangnya penyerapan
kalsium dalam usus dan memburuknya hiperparatiroidisme. Jumlah vitamin D dan
reseptor penginduksi kalsium yang lebih sedikit menyebabkan pengembangan
osteodistrofi ginjal8,13.
6. Hiperhomosisteinemia
Homosistein merupakan salah satu asam amino sulfur yang merupakan
precursor langsung dari sintesis l-metionin. Kadar homosistein ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu: pengaturan genetik dari enzim metabolisme metionin,
dan defisiensi vitamin B12, B6 serta Asam folat. Kondisi hiperhomosisteinemia
terjadi hampir pada 85% pasien gagal ginjal kronik. Pada pasien gagal ginjal
kronik dengan terapi hemodialisa rutin, sering mengalami defisiensi berbagai
vitamin, termasuk vitamin B dan asam folat sehingga metabolisme metionin tidak
dapat berjalan dan kadar homosistein dalam darah meningkat. Kondisi
hiperhomosisteinemia dapat menyebabkan komplikasi pada kardiovascular dan
progresifitas GGK. Hiperhomosisteinemia memicu terbentuknya stress oksidatif
yang dapat menyebabkan disfungsi endotel yang dapat menyebabkan remodelling
dan hipertrofi pada pembuluh darah. Hiperhomosisteinemia juga dapat
mengaktivasi metalloproteinase dan sintesis kolagen berlebih sehingga
menurunkan elastisitas pembuluh darah. Hal ini juga dapat menyebabkan
terbentuknya sitokin pro inflamasi dan membentuk aterosklerosis pada gagal
ginjal kronik23,24.
7. Anemia
Pengurangan massa nefron menurunkan produksi eritropoietin pada ginjal,
yang merupakan penyebab utama anemia pada pasien gagal ginjal kronik.
Peningkatan besi dibutuhkan ketika produksi sel darah merah dirangsang oleh
erythropoietin stimulating agent (ESA) seperti epoetin alfa. Defisiensi besi umum
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Suplementasi zat besi sering dibutuhkan
untuk mencegah dan memperbaiki defisiensi besi. Hepsidin adalah hormon yang
diproduksi oleh hati yang bertanggung jawab pada pengaturan besi. Produksi
hepsidin juga disebabkan karena adanya inflamasi atau infeksi. Akibatnya,
kenaikan hepsidin pada kondisi inflamasi dapat menyebabkan penyerapan zat besi
dan produksi sel darah merah yang tidak efekif. Faktor lain yang dapat
menyebabkan anemia pada gagal ginjal kronik adalah berkurangnya umur sel
darah merah (dari normal 120 hari menjadi 60 hari pada pasien gagal ginjal
stadium 5, kekurangan folat, kehilangan darah akibat pengujian laboratorium dan
hemodialisis1,8,13,15.
BAB 4
PEMBAHASAN