Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS UJIAN

CKD End Stage et causa Diabetes Melitus Tipe 2

Disusun oleh:
Son Ardianto
406212001

Pembimbing:
dr. Ardy, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RS HUSADA


PERIODE 13 JUNI – 20 AGUSTUS 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Son Ardianto


NIM : 406212001
Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Judul : Laporan Kasus Ujian CKD End Stage et causa Diabetes Melitus
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RS Husada
Pembimbing : dr. Ardy,Sp.PD

Jakarta, Agustus 2022

dr. Ardy,Sp.PD
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RS HUSADA

Nama Mahasiswa : Son Ardianto


NIM : 406212001
Dokter Pembimbing : dr. Ardy, Sp.PD

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sph Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal Lahir : 25 Desember 1983 Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah No. CM : 00.44.20.3128
Alamat : Jakarta Tgl Masuk RS : 8 Juli 2022

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pembengkakan perut, kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan bengkak pada perut, kedua tungkai kaki. Awalnya keluhan
bengkak pada perut, semakin lama bengkak menyebar ke tungkai. Keluhan pasien ini disertai
dengan Gatal, lemas dan nyeri. Pada awalnya pasien mengabaikan keluhan tersebut, tapi lama
kelamaan pasien merasakan tidak nyaman. Pasien sehari-hari mengkonsumsi minuman dingin
dan makan-makanan luar. BAB dan BAK normal. Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi
dan DM Tipe 2 yang terkontrol.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat Hipertensi dan DM tipe 2 terkontrol

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa didalam keluarga disangkal.
E. Riwayat Asupan Nutrisi
Pasien sehari-hari mengkonsumsi minuman dingin dan makan-makanan luar dan makan 3
kali dalam sehari. Namun, semenjak mengalami keluhan, pasien merasakan nafsu makannya
menurun

F. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok dan minum – minuman beralkohol. Pasien berolahraga rutin 3 hingga
4 kali seminggu. Jam kerja pasien mencapai 70-80 jam perminggu.

G. Riwayat alergi
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Apatis
Glasgow Coma Scale : 15 (E4M6V5)
Tanda-Tanda Vital
 Tekanan Darah : 150/90 mmHg
 Nadi : 75 x/menit, regular, isi cukup, kuat angkat
 Frekuensi nafas : 28 x/menit, regular, torako-abdominal
 Suhu : 36,70C
 Saturasi Oksigen : 99% tanpa oksigen
Data Antopometri
Berat Badan : 43 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 16 kg/m2
Status Gizi : Underweight
STATUS INTERNUS:
 Kepala
Bentuk dan ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut didominasi warna hitam,
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, tidak tampak kelainan kulit kepala.
 Mata
konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor

 Telinga
Nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, nyeri tekan aurikula -/-, liang telinga
lapang, sekret -/-, serumen -/-, kartilago aurikula dbn
 Hidung : bentuk normal, deviasi septum -, rinorea -/-, sekret -/-

 Mulut : bibir kering +, sianosis (-), coated tongue (-)

 Leher : letak trakea di tengah, pembesaran KGB (-)

 Thorax
 Pulmo
 Inspeksi : dinding toraks simetris saat statis maupun dinamis, retraksi -/-
 Palpasi : Stem fremitus kanan-kiri depan-belakang simetris
 Perkusi : Redup di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
 Cor
 Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba, heaves (-), thrill (-)
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : BJ I & II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Tampak datar
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Supel, hepatomegaly (-), splenomegaly (-), nyeri tekan
epigastrik (-), murphy sign (-)
 Perkusi : Timpani diseluruh kuadran abdomen
 Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- +/+
Clubbing finger -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
Deformitas -/- -/-

 Kulit: Warna kulit hitam, lesi (-), turgor kulit baik, ikterik (-), sianosis (-).
 Kelenjar getah bening (KGB): Tidak terdapat pembesaran KGB preaurikular,
postaurikular, submental, submandibula, servikal, supraklavikula, nyeri tekan (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI (08/07/2022)
Hemoglobin 6,7 ↓ g/dL 13.5 – 17.5
Eritrosit 3.15 ↓ 106 µL 4.50 – 5.90
Hematokrit 21 ↓ % 35 – 47
MCV 66 ↓ fL 81.2 – 94.0
MCH 21 ↓ Pg/mL 27.1 – 32.5
MCHC 35 g/dL 31.8 – 35.9
Trombosit 305 103/ µL 150 – 440
Leukosit 4,9 103/ µL 4.0 – 11.0
KIMIA KLINIK (08/07/2022)
Klorida 113 ↑ mmol/L 98 – 109
GDS Cito 91 mg/dL 70 – 200
Ureum Darah 195 ↑ mg/dL 19 – 49
Creatinin Darah 14,64 ↑ mg/mL 0,9 – 1,3
eGFR 3,8 ↓ ml/min/1,73 m2 7,8 – 116,0
Kalium 6↑ mmol/L 3,5 – 5
Natrium 136 mmol/L 136 – 146
Interpretasi: anemia mikrositik hipokrom, hiperkloremia, hiperkalemia, gangguan faal
ginjal

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


HEMATOLOGI (09/07/2022)
FAAL HEMOSTASIS
APTT (pasien) 48,5 ↑ detik 31 – 37
APTT (kontrol) 32 detik
KIMIA KLINIK
Kalium 6,6 ↑ mmol/L 3,5 – 5
IMUNOLOGI
Anti HIV Non Reaktif S/CO Non Reaktif
Hepatitis Marker Non Reaktif S/CO Non Reaktif

Anti HCV Non Reaktif INDEX Non Reaktif

Interpretasi: pemanjangan APTT dan Hiperkalemia

B. EKG

Kesan : Normal
C. Radiologi
 Rontgen Thorax AP (09/07/2022)

Diafragma dan Sinus Kostofrenikus tampak normal


Jantung membesar, elongasi aorta
Mediastinum superior tidak melebar
Paru Hilus dan corakan vascular paru normal
Fibrosis paru kanan dan Infiltrat paracardial kiri
Tulang-tulang kosta intact
Kesan: Kardiomegali dengan elongasi aorta
Fibrosis Bilateral

V. RESUME
Telah diperiksa seorang pasien Laki – laki dengan keluhan bengkak perut dan edema
kedua tungkai kaki sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat Hipertensi
dan DM tipe 2, pada pemeriksaan fisik di temukan edema kedua tungkai kaki, edema
tidak nyeri, konjungtiva anemis, dan perkusi redup pada seluruh lapang paru.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kesan Anemia Mikrokopik Hipokrom,


Gangguan faal ginjal, Hiperkloremia, Hiperkalemia, gangguan faal hemostasis, dan
adanya kardiomegali, elongasi aorta serta fibrosis intersisial pada rontgen thorax AP.

VI. DAFTAR DIAGNOSA


 Diagnosis Kerja : CKD End Stage
 Diagnosis Tambahan:
o Hipertensi Grade I
o Diabetes Melitus tipe II

VII. PENGKAJIAN
Terapi Farmakologi
Hari ke – 1 – ke – 6
• Bicnat 3x1 tab
• Tablet tambah darah 1x1 tab
• Kapsul CaCO3 3x1 tab
• Asam folat 3x1 tab
Amlodipin 1x5 mg
• Cetirizin (malam) 1x10 mg
• Vit b12 3x50 mg
• Prorenal 3x2 tab
• Kalitake 3x1 sach
• Lactulose 2x15 cc
• Furosemide IV 2x1 amp
• Calqluc

Hari ke – 5
 B-Complex 2x1 tab
 Clindamicin 300 3x1 tab
 NaCl 3x500 mg
 Acetylcistein 3x200 mg
 Curcuma 2x1
 Depakote 3x200 mg
 Cotrimoxazol 1x900 mg
 Fluconazole 1x150 mg
 OAT
 Ranitidine 3x1 amp
 Ceftriaxon drip 1x2 gr
 Levofloxacin 1x1 fls
 Micostatin drop 3x1 ml

Hari ke – 6 (Rawat Jalan)


Clindamysin 3x1 tab
Curcuma 200 mg 2x1
Acetycystane 3x1 tab
NaCl 3x1 tab
Pyrazinamide 1x1
Rifampicin 1x1/2
Fluconazole 1x1
INH 1x1
Vitamin B Complek 2x1
Vitamin B6 1x1
Etambutol 1x1
Cotrimoxacol 1x2
Levofloxacin 1x1
Fenitoin 3x1
Terapi Non – farmakologi
• Pemasangan CDL 11-07-2022
• Hemodialisa 13-07-2022
Rencana Evaluasi
- Pemantauan kondisi klinis untuk menentukan keberhasilan pengobatan
- Pemantauan laboratorium Fungsi Ginjal untuk melihat penurunan fungsi ginjal
- Hemodialisa 2 kali dalam seminggu

Edukasi
• Menjelaskan mengenai penyakitnya, rencana monitoring dan tatalaksana
• Mengusahakan agar status gizi pasien dapat menjadi normal
• Edukasi pasien untuk rutin hemodialisa seminggu 2 kali
• Edukasi pasien untuk mengurangi asupan protein untuk mengurangi beban ginjal
• Edukasi pasien mengenai 4 pilar edukasi DM (menjelaskan penyakit DM, asupan
nutrisi, Olahraga, Penggunaan obat – obatan)
• Edukasi pasien untuk memperbanyak mengkonsumsi sayur dan buah
• Edukasi pasien untuk berolahraga teratur 3-5 kali perminggu, minimal 30 menit
• Edukasi pasien untuk mengurangi asupan garam dan makanan yang tinggi natrium

VIII. PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

I. Chronic Kidney Disease (CKD)


A. Definisi
Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal didefinisikan sebagai suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel yang
pada suatu derajat tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap.
Sedangkan berdasarkan KDIGO, CKD didefinisikan sebagai abnormalitas dari
struktur atau fungsi ginjal yang terjadi selama >3 bulan. Abnormalitas struktur
disini dapat dilihat dari albuminuria, sedimen urin, gangguan elektrolit, maupun
gangguan struktur ginjal yang terlihat dari pencitraan, sedangkan abnormalitas
fungsi ginjal dilihat dari nilai GFRnya.1,2

B. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik sering ditemukan pada pasien lansia (≥65 tahun), yaitu
sebesar 38%, diikuti dengan pasien berusia 45 – 64 tahun (12%) dan 18 – 44 tahun
(6%). Penyakit ginjal kronik ditemukan sedikit lebih tinggi pada wanita (14%)
dibandingkan dengan laki – laki (12%) dan lebih sering ditemukan juga pada ras
kulit hitam non – hispanik (16%), yang disusul oleh ras kulit putih dan non –
hispanik asia (13%). Studi lain juga menemukan adanya peningkatan prevalensi
CKD, dimana pada tahun 2010 didapatkan prevalensi CKD semua stadium (1 – 5)
pada pasien berusia ≥20 tahun mencapai 10,4% pada laki – laki dan 11,8% pada
perempuan. Pada studi yang sama juga didapatkan prevalensi CKD yang sedikit
lebih tinggi dinegara berkembang dibandingkan dengan negara maju, dengan 8,6%
dan 9,6% pada laki – laki dan wanita dinegara maju dan 10,6% dan 12,5% pada laki
– laki dan wanita dinegara berkembang. Prevalensi global CKD stadium 3 – 5 pada
studi terbaru berada diangka 4,7% pada laki – laki dan 5,8% pada perempuan.3,4
Gambar 1. Epidemiologi CKD di Amerika Serikat.3

C. Etiologi
Etiologi CKD yang tersering adalah:5
 Diabetes mellitus tipe 2 (30 – 50%)
 Diabetes mellitus tipe 1 (3,9%)
 Hipertensi (27,2%)
 Glomerulonefritis Primer (8,2%)
 Nefritis Tubulointersisial Kronik (3,6%)
 Penyakit kistik atau Herediter (3,1%)
 Vaskulitis atau Glomerulonefritis Sekunder (2,1%)

Gambar 2. Etiologi penyebab CKD.6

Etiologi CKD juga dapat dibagi berdasarkan 3 kategori dibawah ini:5

 Pre – renal  Gagal Jantung kronik, sirosis, nekrosis tubular akut


 Intrarenal  Vaskular Ginjal (Nefrosklerosis (tersering), stenosis arteri
renalis), Glomerular (nefritik atau nefrotik), serta Tubular dan Intersisial
(penyakit ginjal polikistik)
 Post – renal  obstruksi kronik seperti gangguan prostat, nefrolitiasis atau
tumor abdomen atau pelvis

D. Patofisiologi
Patofisologi CKD dibagi menjadi 2 fase, fase awal adalah fase mekanisme awal
yang spesifik terhadap etiologi yang mendasarinya dan fase lanjutan adalah
mekanisme progresif, yang melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang
tersisa. Pada CKD terjadi pengurangan massa ginjal, yang mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai kompensasinya.
Hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus yang terjadi sebagai proses adaptasi
yang berlangsung singkat. Setelah proses adaptasi ini selesai, akan terjadi proses
maladaptasi berupa distorsi aksitektural glomerulus, abnormalitas fungsi podosit,
dan gangguan barrier filtrasi yang menyebabkan sklerosis nefron yang masih
tersisa. Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin – angiotensin – aldosteron intrarenal juga
berkontribusi terhadap hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. aktivasi
jangka panjang renin – angiotensin – aldosteron sebagian besar diperantai oleh
Transforming Growth Factor – β (TGF – β).1,6
Gambar 3. Patofisiologi Terjadinya CKD.7

E. Klasifikasi
Klasifikasi CKD dilihat berdasarkan nilai GFR serta Albuminuria, untuk klasifikasi
nilai GFR pembagiannya sebagai berikut:2
 G1  GFR ≥90 ml/min/1,73 m2
 G2  GFR 60 – 89 ml/min/1,73 m2
 G3a  45 – 59 ml/min/1,73 m2
 G3b  30 – 44 ml/min/1,73 m2
 G4  15 – 29 ml/min/1,73 m2
 G5  <15 ml/min/1,73 m2

Sedangkan untuk klasifikasi Albuminuria dibagi menjadi 3 kelas, yaitu:2

 A1  <30 mg/g atau <3 mg/mmol


 A2  30 – 300 mg/g atau 3 – 30 mg/mmol
 A3  > 300 mg/g atau >30 mg/mmol
Gambar 4. Klasifikasi CKD berdasarkan GFR dan Albuminuria.2

F. Tanda dan Gejala


Pada stadium paling dini dari CKD (sampai GFR 60%), pasien masih belum
memiliki keluhan (asimptomatik), tetapi sudah mengalami peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum. Apabila GFR pasien sudah berada diangka 30%, mulai
terjadi keluhan seperti :1,8
 Nokturia
 Badan lemah
 Mual
 Penurunan nafsu makan
 Penurunan berat badan
 Gejala uremia (anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, urin berbusa)

Pasien CKD sangat umum untuk mengalami asidosis metabolik. Sebagian besar
pasien masih dapat mengasamkan urin, tetapi memproduksi ammonia dalam jumlah
yang lebih sedikit, sehingga tidak dapat mengekskresi proton dalam jumlah yang
normal dengan urin. Hiperkalemia akan membuat produksi ammonia semakin
sedikit. Kombinasi hiperkalemia dan hiperkloremia serta asidosis metabolik
terkadang sering terlihat bahkan pada pasien dengan CKD stadium awal (1 – 3).
Sebagian besar pasien akan mengalami asidosis metabolik yang ringan (sangat
jarang pH <7,35).6

Pasien dengan CKD juga dapat mengeluhkan gejala komplikasi, seperti


hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, dan gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, klorida).1

Pemeriksaan fisik yang detail dapat menemukan etiologi dari CKD. Tanda deplesi
volume cairan menandakan intake cairan yang kurang, mua, muntah, diare atau
overdiuresis, sedangkan tanda kelebihan volume cairan mungkin diakibatkan oleh
gagal jantung, gagal hepar, atau sindrom nefrotik. Adanya retinopati pada
funduskopi menandakan terjadinya hipertensi atau diabetes kronik. Bruit aorta
abdomen atau carotis menandakan gangguan renovaskular. Nyeri pinggang atau
pembesaran ginjal menandakan adanya penyakit ginjal polikistik, pielonefritis,
nefrolitiasis, uropati obstruktif.8

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang wajib dilakukan pada pasien dengan CKD adalah
fungsi ginjal, USG, elektrolit (sodium, kalium, fosfor, kalsium), analisa gas darah
(AGD), hematologi rutin, faal hemostasis, EKG, rontgen thorax, dan
Ekokardiografi. Pemeriksaan fungsi ginjal digunakan untuk menilai stadium CKD,
sedangkan pemeriksaan USG digunakan untuk melihat abnormalitas struktural dari
ginjal. Pemeriksaan fosfor dan kalsium diperlukan mengingat pada CKD,
metabolisme fosfor dan kalsium terganggu akibat hiperparatiroidisme sekunder.
Untuk menentukan Etiologi yang mendasari, gambar dibawah ini menampilkan
pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menentukan etiologi CKD yang
mendasari pada pasien.9
Gambar 5. Pemeriksaan Penunjang untuk menentukan Etiologi CKD.9

H. Diagnosis

Diagnosis CKD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari
anamnesis akan didapatkan keluhan seperti lemas, mual, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan serta gejala komplikasi yang menyertai, seperti anemia,
uremia, gangguan elektrolit, dll. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda –
tanda komplikasi serta etiologi yang mendasari, serta dari pemeriksaan penunjang
terlihat adanya penurunan fungsi ginjal yang disertai dengan gangguan elektrolit dll.
Untuk kriteria diagnosis CKD, dapat menggunakan KDIGO 2012 dan KDOQI
2002.9
Gambar 6. Kriteria Diagnosis CKD Menurut KDIGO.2

Gambar 7. Kriteria Diagnosis CKD Menurut KDOQI.9


I. Tatalaksana
Tatalaksana CKD dibagi menjadi :1

- Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


- Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
- Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
- Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
- Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan GFR, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1

Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid


Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan GFR pada pasien
penyakit ginjal kronis. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain : gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1

Memperlambat perburukan Fungsi Ginjal


Ada 2 cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, pertama adalah
membatasi asupan protein. Pembatasan protein dimulai saat GFR ≤60
ml/mnt/1,73 m2. Protein yang diberikan adalah 0,6 – 0,8 g/kgbb/hari, untuk
jumlah kalori yang diberikan sama dengan individu sehat (30 – 35
kkal/kgbb/hari). Bila terjadi malnutrisi, maka jumlah asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Protein perlu dikurangi komsumsinya pada pasien CKD
karena protein tidak disimpan didalam tubuh, melainkan dipecah menjadi urea
dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal, sehingga
pemberian diet tinggi protein pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion anorganik lain, mengakibatkan sindrom uremia.
Pembatasan fosfat juga diperlukan untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.1
Cara ke – 2 untuk memperlambat perburukan fungsi ginjal adalah dengan
terapi farmakologis yang bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan
nefron dengan mengurangi hipertensi dan hipertrofi intraglomerulus.
Antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah penghambat Enzim
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor/ACE-I). Obat ini terbukti
dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal melalui mekanismenya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Yang termasuk kedalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.1

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi


Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam – basa
Restriksi garam dan penggunaan diuretik kuat mungkin diperlukan untuk menjaga
keadaan euvolemia. Restriksi garam dan penggunaan diuretik yang berlebih dapat
mengakibatkan deplesi cairan ekstraselular dan menyebabkan penurunan GFR.
Restriksi cairan dilakukan apabila terdapat keadaan hiponatremia. Ekspansi
volume cairan ekstraselular yang tidak dapat diatasi dengan restriksi garam dan
diuretik mungkin merupakan indikasi untuk memulai terapi pengganti ginjal.
Hiperkalemia merespon terhadap restriksi kalium, menghindari suplementasi
kalium dan penggunaan obat yang mengeluarkan kalium (ACE – I dan ARB).
Gangguan asam – basa akan merespon terhadap suplementasi sodium bikarbonat.
Pemberian bikarbonat direkomendasikan apabila kadar bikarbonat di rentang 20 –
23 mmol/L.

Gangguan Metabolisme Kalsium dan Fosfat


Diet rendah fosfat dan pemberian agen pengikat fosfat direkomendasikan untuk
mengatasi masalah ini. Agen ini diberikan saat makan untuk mengurangi
penyerapan fosfat pada sistem gastrointestinal. Agen pengikat fosfat yang sering
diberikan adalah Kalsium asetat dan Kalsium karbonat. Efek samping utama yang
sering dirasakan oleh pasien adalah akumulasi kalsium dan hiperkalsemia.
Pemberian kalsitriol memiliki efek supresi secara langsung pada sekresi
PTH dan secara tidak langsung juga menekan ekspresi PTH dengan meningkatkan
konsentrasi kalsium yang terionisasi. KDOQI merekomendasikan kadar PTH
target adalah 150 – 300 pg/mL.

Anemia
Anemia yang terjadi pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi Eritropoitin.
Hal lain yang ikut berperan adalah defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup
eritrosit yang pendek, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Penatalaksanaan terutama
ditujukan pada penyebab utamanya. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Pemberian EPO harus melihat status besi karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi darah pada
CKD harus dilakukan secara hati – hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11 – 12 g/dL.1

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
GFR
<15 ml/min/1,73 m2. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

J. Komplikasi
Komplikasi CKD mengenai hampir semua sistem organ. Pasien dengan GFR <60
ml/min/1,73 m2 harus menjalani monitoring komplikasi secara periodik. Evaluasi
klinis mungkin dapat mendeteksi komplikasi gastrointestinal, neurologis,
dermatologis, dan komplikasi muskuloskeletal, sedangkan evaluasi laboratoris
dapat mendeteksi komplikasi seperti abnormalitas elektrolit, gangguan kalsium atau
fosfor dan anemia.9

K. Prognosis
Apabila pasien tidak memiliki proteinuria, maka fungsi ginjal masih dalam keadaan
stabil. Penurunan fungsi ginjal tidak akan terjadi sampai terdapat peningkatan
proteinuria. Pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal yang tak terelakkan
cenderung mengalami penurunan fungsi ginjal sesuai dengan keparahan proteinuria,
yang dapat diperlambat dengan kontrol tekanan darah yang baik serta penggunaan
ACE – I. Semakin berat derajat CKD dan usia pasien, maka angka harapan hidup
dari pasien juga semakin menurun.10

II. Diabetes Melitus


A. Definisi
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan keadaan
hiperglikemia yang kronik. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena beberapa faktor, seperti
tidak adekuatnya jumlah insulin dalam tubuh, kurangnya kerja insulin atau keduanya.
Akibat keadaan hiperglikemia yang berkepanjangan, akan terjadi komplikasi seperti
kerusakan ataupun gangguan fungsi organ lainnya. Organ yang dapat terkena adalah
mata, ginjal, serabut saraf, jantung, dan pembuluh darah.11

B. Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi di dunia.
World Health Organization (WHO) di tahun 2014 menyatakan bahwa setidaknya 8,5%
orang berusia ≥18 tahun di dunia menderita diabetes mellitus. Pada tahun 2019 juga di
dapatkan data bahwa diabetes melitus menyebabkan setidaknya 1,5 juta kematian dan
48% dari total kematian tersebut terjadi pada usia <70 tahun.12
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021 memperkirakan
terdapat 537 juta orang berusia antara 20-79 tahun di dunia yang menderita diabetes
melitus dan angka ini diprediksi akan terus meningkat dan mencapai 643 juta penderita di
tahun 2030 dan menjadi 783 juta penderita di tahun 2045.13
Gambar 8. Diabetes di Seluruh Dunia pada tahun 2021 (Usia 20-79 tahun).13

2021 2045

Rank IDF Number of Diabetes Comperative Number of Diabetes Comperative


Region people with prevalence diabetes people with prevalence diabetes
diabetes (%) prevalence diabetes (%) prevalence
(millions) (%)i (millions) (%)ii

World 536,6 10,5 9,8 783,2 12,2 11,2

1 MENA 72,2 16,2 18,1 135,7 19,3 20,4

2 NAC 50,5 14,0 11,9 62,8 15,2 14,2

3 SEA 90,2 8,7 10,0 151,5 11,3 11,3

4 WP 205,6 11,9 9,9 260,2 14,4 11,5

5 SACA 32,5 9,5 8,2 48,9 11,9 9,8

6 EUR 61,4 9,2 7,0 69,2 10,4 8,7

7 AFR 23,6 4,5 5,3 54,9 5,2 5,6

Tabel 1. Prevalensi individu berusia 20 – 79 tahun dengan diabetes melitus.13


Menurut data dari IDF, di tahun 2021 Indonesia menduduki peringkat ke lima dan
merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara dari 10 negara di dunia dengan
jumlah penderita diabetes melitus pada individu berusia antara 20 – 79 tahun mencapai
19,5 juta orang.14

Urutan Negara Jumlah penderita DM (juta)

1 China 140.9

2 India 74.2

3 Pakistan 33.0

4 Amerika Serikat 32.2

5 Indonesia 19.5

6 Brazil 15.7

7 Meksiko 14.1

8 Bangladesh 13.1

9 Jepang 11.0

10 Mesir 10.9

Tabel 2. 10 negara di dunia dengan kasus diabetes melitus (usia 20-79 tahun) terbanyak pada
tahun 2021.14

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahun 2018, Banten menduduki


peringkat ke sembilan dari 34 provinsi dengan jumlah penderita diabetes melitus
terbanyak. Prevalensi diabetes melitus berdasarkan kelompok umur pada Riskesdas 2018,
didapatkan angka tertinggi pada rentang usia 55 – 64 tahun (6,3%) diikuti dengan usia 65
– 74 tahun (6,0%), 45 – 54 tahun (3,9%), 75+ tahun (3,3%), 35 – 44 tahun (1,1%), 25 –
34 tahun (0,2%), dan yang terendah adalah usia 15 – 24 tahun (0,1%). Data dari
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2019 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
melitus menurut jenis kelamin lebih banyak terdapat pada wanita yaitu sebesar 1,78%
dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar 1,21%.15
Gambar 9. Prevalensi (%) Diabetes Melitus pada Riskesdas Tahun 2018.15

Gambar 10. Prevalensi (%) Diabetes Melitus Menurut Jenis Kelamin.15

Gambar 11. Prevalensi (%) Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Menurut Kelompok
Umur.15
C. Etiopatogenesis

Diabetes Melitus memiliki etiologi yang berbagai macam dan dibedakan berdasarkan
klasifikasinya.

 Diabetes Melitus tipe 116


Diabetes melitus tipe 1 terjadi akibat adanya kerusakan pada sel β pada kelenjar
endokrin pankreas. Sel β ini berfungsi untuk menghasilkan hormon insulin, jika sel
penghasil insulin rusak, maka akan terjadi penurunan produksi hormon insulin dalam
tubuh. Faktor – faktor yang menyebabkan kerusakan sel β ini berbagai macam,
diantaranya faktor genetik, lingkungan dan imunologi.
Penderita diabetes melitus tipe 1 umumnya tidak memiliki riwayat dalam
keluarganya, hanya sekitar 10 – 15% pada pasien diabetes melitus tipe 1 yang
memiliki riwayat keluarga pada generasi pertama (orangtua) atau generasi kedua
(saudara kandung). Terdapat gen yang menjadi faktor predisposisi untuk seseorang
terkena diabetes melitus tipe 1, yaitu gen yang terletak pada area yang mengatur
ekspresi major histocompatibility complex (MHC). Gen tersebut dikenal dengan nama
Human Leukocyte Antigen (HLA) yang terletak di kromosom 6. Gangguan pada gen
lain seperti polimorfisme pada kromosom 11 juga berperan pada 15% kasus.
Faktor lingkungan juga memainkan peranan penting dalam patogenesis diabetes
melitus tipe 1. Faktor lingkungan yang dimaksud seperti adanya mikroorganisme
seperti virus (rubella, coxsackievirus B atau enteroviruses), toksin dan bahan makanan
(seperti susu sapi, sereal). Mekanisme yang mendasari hal ini masih belum dipahami
dengan baik, tetapi faktor ini dapat diubah sehingga perubahan pada faktor ini dapat
mengurangi insidens diabetes melitus tipe 1.
Terdapat tiga faktor pada sistem imun yang berperan dalam terjadinya diabetes
melitus tipe 1, yaitu toleransi imun, sistem imun selular dan sistem imun humoral.
Pada sisi toleransi imun, seseorang dapat terkena diabetes melitus tipe 1 apabila sistem
imun sering terpapar antigen spesifik secara berulang dan mengalami mekanisme
reorganization. Kerusakan sel β pankreas terjadi akibat adanya mekanisme apoptosis
dan nekrosis yang disebabkan oleh sistem imun selular, dimana terjadinya inflamasi
menghasilkan sitokin pro– inflamasi (IL-1, tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan
interferon-γ (INF-γ) yang di rangsang oleh autoreaktvitas limfosit T. Sistem imun
humoral juga menghasilkan autoantibodi yang bisa memulai terjadinya diabetes
melitus tipe 1 dalam beberapa tahun.
 Diabetes Melitus tipe 217
Pada diabetes melitus tipe 2 terjadi resistensi insulin yang terjadi di berbagai organ
seperti sel otot, hati, sel β pankreas, sel lemak, gastrointestinal, sel α pankreas, ginjal
dan otak. Hal ini dikenal sebagai Egregious Eleven.
Pada sel α pankreas terjadi peningkatan proses glukoneogenesis akibat keadaan
sel tubuh yang mengalami kurang energi akibat resistensi insulin yang terjadi,
sehingga terjadi peningkatan keadaan basal dibandingkan individu yang normal. Pada
penderita diabetes juga terjadi resistensi efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
terjadinya peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma.
Terjadinya peningkatan kadar asam lemak bebas akan menyebabkan terjadinya
peningkatan glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi insulin pada hepar dan otot.
Gangguan kerja insulin juga terjadi pada sel otot yang diakibatkan oleh karena
gangguan fosforilasi tirosin sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel
otot, penurunan sintesis glikogen dan penurunan oksidasi glukosa. Pada hepar terjadi
resistensi insulin sehingga memicu terjadinya peningkatan glukoneogenesis.
Terjadinya resistensi insulin juga menyebabkan seseorang menjadi lebih mudah lapar.
Pada kolon juga akan terjadi perubahan keseimbangan flora normal. Efek inkretin
pada usus halus yang terjadi pada usus halus juga berhubungan dengan resistensi
insulin. Peningkatan transporter glukosa (SGLT-2) di ginjal juga akan menyebabkan
peningkatan reabsorbsi glukosa di ginjal. Pada lambung akan terjadi penurunan sekresi
amilin akibat kerusakan sel β pankreas, menyebabkan semakin cepatnya pengosongan
lambung dan peningkatan penyerapan glukosa di usus halus. Pada sistem imun juga
terbukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (inflamasi derajat rendah) yang
berhubungan kuat dengan patogenesis diabetes melitus tipe 2.
Gambar 12. Etiologi Hiperglikemia.17

D. Klasifikasi

Diabetes dapat di klasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu:

1. Diabetes Tipe 1 (akibat destruksi sel beta autoimun, biasanya menyebabkan defisiensi
insulin absolut, termasuk diabetes autoimun laten saat dewasa).
2. Diabetes Tipe 2 (karena hilangnya sekresi insulin sel beta yang adekuat secara
progresif sering dengan latar belakang resistensi insulin).
3. Diabetes Tipe Spesifik akibat sebab lain, misalnya sindrom monogenik diabetes
(diabetes neonatus dan maturity-onset diabetes of the young/MODY), penyakit
pankreas eksokrin (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), dan diabetes karena zat
kimia atau obat (seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS,
atau setelah transplantasi organ).
4. Diabetes Gestasional (diabetes yang di diagnosis pada trimester kedua atau ketiga
kehamilan).18
Diabetes tipe 1 dan tipe 2 merupakan penyakit heterogen yang perjalanan dan
presentasi penyakitnya bervariasi. Klasifikasi diperlukan untuk pemberian terapi, namun
beberapa individu tidak dapat di klasifikasikan ke dalam tipe 1 atau tipe 2 secara jelas
saat awal di diagnosis. Paradigma tradisional yang membagi diabetes tipe 2 hanya
terdapat pada orang dewasa dan diabetes tipe 1 hanya terjadi pada anak-anak tidak lagi
akurat karena kedua penyakit terdapat pada kedua kelompok usia. Anak-anak dengan
diabetes tipe 1 biasanya memiliki gejala poliuria/polidipsi, dan setidaknya sepertiganya
datang dengan ketoasidosis diabetikum.18

E. Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus, namun
kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti
keluhan klasik diabetes melitus (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) dan atau keluhan lain (lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita).17

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan klasik

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP)

Gambar 13. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus.17

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2019)
.

HbA1c (%) Glukosa Darah Puasa Glukosa plasma 2 jam setelah


(mg/dL) TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200

Pre-Diabetes 5,7 - 6,4 100-125 140-199


Normal <5,7 70-99 70-139

Tabel 3. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes.17

Gambar 14. Cara Pelaksanaan TTGO.17

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus


tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik
diabetes melitus yaitu:17,18

1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m 2) yang disertai dengan ≥1 faktor
risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu (Afrika-Amerika, Latin, Native American, Asian
American, Pacific Islander)
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG)
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes (HbA1C ≥ 5,7%)
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko diatas
3. Wanita dengan DMG harus diperiksa seumur hidup setidaknya setiap 3 tahun sekali.
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap tiga tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang setiap satu tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.17

Gambar 15. Pemeriksaan Risiko DM.18

F. Tatalaksana

Tatalaksana diabetes melitus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang


diabetes serta terbagi menjadi tiga tujuan, yaitu:
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2019)

 Jangka pendek: membebaskan pasien dari keluhan diabetes melitus, memperbaiki


kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
 Jangka panjang: menghambat munculnya komplikasi mikroangiopati dan
makroangiopati
 Tujuan akhir: menurunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus
Langkah–langkah penatalaksanaan umumnya adalah sebagai berikut:17

Anamnesis (usia saat terkena diabetes, pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik,
dan riwayat perubahan berat badan).

 Pemeriksaan fisik (tinggi dan berat badan, tekanan darah, funduskopi, mulut tiroid,
jantung, pemeriksaan kaki, dan kulit).
 Pemeriksaan penunjang (glokosa darah puasa, 2 jam postprandial, HbA1c).
 Skrining untuk komplikasi (profil lipid, tes fungsi hati, fungsi ginjal, rontgen dada,
pemeriksaan kaki secara komprehensif).

Sedangkan untuk penatalaksanaan khususnya terdiri dari empat pilar:17

 Edukasi
Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang
dengan ulkus maupun neuropati perifer dan peripheral arterial disease (PAD)

1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air.

2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka.

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan


mengoleskan krim penyebab pada kulit kaki yang kering.

5. Potong kuku secara teratur.

6. Keirngkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari
kamar mandi.

7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan
pada ujung-ujung jari kaki.

8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.


9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat
khusus.

10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak
tinggi.

11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.

Tabel 4. Elemen edukasi perawatan kaki.19


 Terapi nutrisi medis (TNM)  terdiri dari penentuan komposisi makanan dan kalori
harian
a. Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama
karbohidrat yang berserat tinggi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
- Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan
selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari.
b. Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
- Komposisi yang dianjurkan:
o Lemak jenuh (SAFA) <7% kebutuhan kalori.
o Lemak tidak jenuh ganda (PUFA) <10%.
o Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 12-15%.
o Rekomendasi perbandingan lemak jenuh : lemak tidak jenuh tunggal : lemak
tidak jenuh ganda = 0,8 : 1,2 : 1.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
tak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak atau susu fullcream.
- Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah <200 mg/hari.
c. Protein
- Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/kgBB per hari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya
bernilai biologik tinggi.
- Pasien diabetes melitus yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein
menjadi 1-1,2 g/kgBB perhari.
- Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
Sumber bahan makanan protein dengan kandungan saturated fatty acid
(SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging kambing dan
produk hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk dikonsumsi.
d. Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk pasien diabetes melitus sama dengan orang
sehat yaitu <1500 mg per hari.
- Pasien diabetes melitus yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
- Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan bahan
makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah garam dapur,
monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan
natrium nitrit.
e. Serat
- Pasien diabetes melitus dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
- Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20-35 gram per hari.
f. Pemanis Alternatif
- Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi
pemanis berkalori dan pemanis tidak berkalori.
- Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian
dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
- Glukosa alkohol antara lain isomalt, laktilol, maltilol, manitol, sorbitol dan
xylitol.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien diabetes melitus karena dapat
meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan
seperti buah dan seyuran yang mengandung fruktosa alami.
- Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin, acesulfame potasium,
sukrosa, neotame.
 Latihan Fisik sebanyak 3-5 kali dalam seminggu sekitar 30-45 menit dengan total 150
menit per minggu dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien.
- Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai >70% denyut jantung
maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik. Pasien
dengan kadar glukosa dasarh <100 mg/dL harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik.
- Pasien diabetes asimtomatik tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus
sebelum memulai aktivitas fisik intensitas ringan-sedang seperti berjalan cepat.
Subyek yang akan melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria
risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan
fisik.
- Pada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang
tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance
training (latihan beban) 2 – 3 kali per minggu.
 Terapi Farmakologi (obat antihiperglikemia oral dan suntik)19
Terdapat berbagai macam obat yang dapat digunakan dalam pengobatan, dimana
terdapat 6 golongan obat antihiperglikemia oral berdasarkan cara kerjanya, yaitu:
1. Insulin secretagogue  Memacu sekresi Insulin melalui sel beta pankreas 
Sulfonilurea dan Glinid
2. Insulin Sensitizers  Metformin (Biguanid)  mengurangi glukoneogenesis
dan memperbaiki intake glukosa di jaringan perifer
3. Tiazolidindione  menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa  meningkatkan intake glukosa di jaringan perifer
 Pioglitazone
4. Penghambat Alfa Glukosidase  menghambat absorpsi glukosa dalam usus
halus dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase  Acarbose
5. Penghambat Enzim Dipeptidil Peptidase – 4 (DPP – 4)  menghambat lokasi
pengikatan pada DPP – 4  mencegah inaktivasi glucagon-like peptide (GLP
– 1)  Vildagliptin, Sitagliptin
6. Penghambat Enzim Sodium Glucose co – Transporter 2  menghambat
reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa
melalui urin  Glifozin

Pemberian Insulin akan diberikan apabila terdapat kondisi dibawah ini :19
a. HbA1c saat diperiksa ≥7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
b. HbA1c saat diperiksa >9%
c. Penurunan BB yang cepat
d. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
e. Krisis hiperglikemia
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g. Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, dll.)
h. Kehamilan dengan DM/DMG yang tidak terkendali dengan pengaturan diet
i. Gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
k. Perioperatif
Insulin memiliki beberapa jenis berdasarkan lama kerjanya, yang dibagi menjadi
kerja cepat (rapid acting), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(Intermediate – acting), kerja panjang (long – acting), kerja ultra panjang (Ultra
long – acting) dan campuran. Efek samping utama yang dimiliki oleh insulin
adalah hipoglikemia serta reaksi alergi.19

Gambar 16. Pedoman Tatalaksana farmakologi pada Pasien dengan Diabetes


Melitus.19

Gambar 17. Empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus.20

Seseorang sudah dikatakan memiliki diabetes melitus yang terkontrol apabila


sudah memenuhi kriteria yang sudah di tentukan berikut ini:17
Parameter Sasaran

Indeks massa tubuh (IMT) (kg/m2) 18,5 – 22,9

Tekanan Darah Sistolik (mmHg) <140

Tekanan Darah Diastolik (mmHg) <90

HbA1c (%) <7 atau individua

Glukosa darah preprandial kapiler (mg/dL) 80 – 130

Glukosa darah 2 jam Post Prandial kapiler <180


(mg/dL)

Kolesterol LDL (mg/dL) <100

<70 (bila risiko


Kardiovaskular sangat tinggi)

Trigliserida (mg/dL) <150

Kolesterol HDL (mg/dL) Laki – laki : >40

Perempuan : >50

Apo-B (mg/dL) <90

*Untuk pasien lansia, target terapi HbA1c antara 7,5 – 8,5%

Tabel 5. Kriteria pasien DM terkontrol.17

G. Komplikasi
A. Infeksi
Infeksi yang terjadi pada diabetes melitus dapat memperburuk kontrol kadar gula
darah yang ada pada tubuh, dengan semakin tingginya kadar gula darah, maka
kerentanan seorang individu terhadap infeksi semakin tinggi, dan akan terjadi seperti
itu seterusnya, sehingga perlu tatalaksana infeksi dengan kadar gula darah (dengan
menggunakan insulin). Berikut ini beberapa infeksi yang dapat terjadi pada pasien
dengan diabetes melitus:17
 Tuberkulosis (TBC)
pada pasien dengaan diabetes melitus, diagnosis dan manajemen TBC lebih sulit
dilakukan karena terjadi perubahan gambaran klinis penyakit dan kultur sputum
menjadi (+) menjadi lebih lama. Diabetes melitus juga mempersulit dalam
menentukan terapi TBC karena terapi farmakologi TBC menjadi lebih lama dan
banyak mengalami interaksi dengan obat diabetes. Selain itu, pada pasien DM
dengan TBC dapat mengalami hepatitis akibat obat – obatan antituberkulosis.
Pemeriksaan skrining pada pasien diabetes melitus dengan TBC sangat
dianjurkan untuk mendeteksi penyakit lebih dini. Skrining yang dianjurkan berupa
penilaian gejala batuk, apabila gejala belum mengarah ke TBC, pemeriksaan
penunjang tidak disarankan. Apabila ada gejala yang mulai mengarah ke TBC,
maka pemeriksaan penunjang berupa foto polos dada dan pemeriksaan sputum
dianjurkan untuk dilakukan. Saat sudah terdiagnosis TBC, hati – hati dengan
pengunaan rifampicin karena akan mengurangi efektivitas obat oral antidiabetik.
Penggunaan isoniazid memiliki efek samping neuropati perifer yang dapat
menyerupai neuropati diabetikum dan diberikan vitamin B6 selama pengobatan.
 Infeksi saluran kemih
Sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan dihubungkan dengan derajat
keparahan penyakit. Faktor risikonya berupa kontrol kadar gula darah yang buruk,
durasi diabetes melitus yang sudah lama, vaginitis berulang.
 Infeksi saluran pernapasan
Penyebab tersering adalah Streptococcus pneumonia dan virus influenza dan
direkomendasikan imunisasi influenza setiap tahun pada semua individu penderita
diabetes melitus yang berusia lebih dari 60 tahun
 Infeksi telinga
Penyakit telinga tersering yang terjadi adalah otitis eksterna maligna yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
B. Kaki Diabetes
Kaki diabetes adalah komplikasi tersering pada penderita diabetes melitus. Kaki
diabetes terjadi oleh karena kerusakan saraf (neuropati perifer), penyakit arteri perifer
atau keduanya. Pemeriksaan kaki pada pasien dengan diabetes melitus perlu dilakukan
secara komprehensif minimal satu tahun sekali. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
inspeksi, palpasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior serta pemeriksaan sensorik.
Apabila ditemukan tanda – tanda berikut ini, maka hal–hal tersebut perlu diwaspadai: 17
 Kulit kering, bersisik
 Rambut kaki menipis
 Kelainan bentuk dan warna kuku
 Kalus di bagian telapak kaki
 Perubahan bentuk jari – jari dan telapak kaki
 Bekas luka atau riwayat amputasi jari
 Kaki baal, kesemutan atau tidak terasa
 Kaki terasa dingin
 Perubahan warna kulit kaki
Setiap pasien diabetes melitus perlu diedukasi untuk mencegah terjadinya ulkus
diabetikum, hal–hal yang perlu disampaikan adalah:17

 Selalu memakai alas kaki didalam ataupun diluar ruangan


 Hindari penggunaan sepatu tanpa kaus kaki
 Tidak menggunakan zat kimia ataupun plester untuk membuang kalus
 Jangan menggunakan sepatu yang sempit atau bertepi tajam dan selalu dilakukan
pemeriksaan sepatu bagian dalam
 Mengganti kaus kaki setiap hari
 Kuku kaki dipotong tegak lurus
 Kalus dan kulit menonjol harus dipotong dilayanan kesehatan
Sedangkan apabila pasien sudah memiliki ulkus diabetikum, perlu diperhatikan
derajat ulkus dan tingkat keparahan infeksi serta dilakukan pengawasan perbaikan luka
apabila sudah terjadi infeksi. Penilaian dalam pengawasan perbaikan luka dinilai dari
segi ukuran, kedalaman, penampakan dan lokasi, dan untuk derajat infeksi memiliki 4
(empat) derajat, sedangkan untuk klasifikasi kaki diabetes, digunakan klasifikasi
Wagner.17

Derajat Karakteristik

0 Kulit kaki intak, dapat disertai deformitas atau selulitis

1 Ulkus Superfisial pada kulit dan jaringan subkutan

2 Ulkus meluas ke ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia dalam tanpa adanya abses atau
osteomielitis

3 Ulkus dalam dengan osteomielitis atau abses

4 Gangren pada sebagian kaki bagian depan atau tumit

5 Gangren ekstensif yang melingkupi seluruh kaki

Tabel 6. Klasifikasi Wagner17

Derajat Infeksi Gambaran Klinis

Derajat 1 (tidak terinfeksi) Tidak ada kelainan

Derajat 2 (ringan) Lesi superfisial, dengan minimal 2 (dua)


kriteria berikut :

 Teraba hangat di sekitar luka


 Eritema >0,5 - 2 cm
 Nyeri lokal
 Indurasi/bengkak lokal
 Sekret purulen
Penyebab infeksi lain harus disingkirkan

Derajat 3 (sedang) Eritema > 2cm serta satu dari temuan :

 Infeksi yang menyerang jaringan dibawah kulit


/jaringan subkutan
Tidak ada respons inflamasi sistemik

Derajat 4 (berat) Minimal 2 (dua) tanda respons sistemik :


 Suhu >390C atau <360C
 Frekuensi nafas >90kali/menit
 PaCO2 <32 mmHg
 Leukosit >12.000 atau <4.000 U/L
Limfosit immatur >10%

Tabel 7. Klasifikasi derajat luka ulkus diabetikum terinfeksi.17

C. Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan salah satu komplikasi dari diabetes melitus yang
disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah. Penyakit yang termasuk dalam
kategori ini adalah Ketoasidosis diabetikum serta Hyperglicemic Hyperosmolar State
(HHS). Ketoasidosis diabetikum sering didapatkan pada diabetes melitus tipe 1 dan
seringkali tidak mendapatkan penanganan yang tepat sehingga meningkatkan
morbiditas dan lama waktu perawatan, tetapi seiring perbaikan penanganan pasien dan
pemeriksaan yang semakin baik, tingkat mortalitas akibat ketoasidosis diabetikum
sudah berkurang jauh dalam 20 tahun terakhir menjadi <1%, sedangkan HHS sering
terjadi pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan tingkat mortalitas dilaporkan di
angka 5%-16%
Beberapa penyebab yang dapat memicu terjadinya krisis hiperglikemia adalah infeksi
(infeksi saluran kemih dan pneumonia pada HHS), ketidakpatuhan terhadap terapi
insulin yang diberikan (pada ketoasidosis diabetikum), penyebab non-infeksi lain
seperti infark miokard, penggunaan alkohol dan pankreatitis serta psikologis seperti
depresi dan gangguan makan. Ketoasidosis diabetikum terjadi karena terjadinya
penurunan sirkulasi dari insulin yang beredar didalam tubuh akibat peningkatan
hormon yang menurunkan sekresi insulin (counter-regulatory hormones). Keadaan
tersebut akan membuat hati meningkatkan produksi glukosa melalui proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis. Peningkatan rasio glukagon/insulin akan
menurunkan aktivitas enzim malonyl coenzyme A. Keadaan defisiensi insulin ini juga
menyebabkan aktivasi dari lipase dan meningkatkan pemecahan trigliserida menjadi
asam lemak bebas yang kemudian akan dioksidasi menjadi badan keton yang
selanjutnya akan menurunkan kadar bikarbonat. Pada HHS, sekresi insulin yang lebih
tinggi diduga menjadi faktor terpenting yang mencegah terjadinya ketosis.
Gejala yang dapat dialami seseorang dengan ketoasidosis diabetikum Gejala klasik
DM (polidipsia, poliuria dan polifagia), Penurunan berat badan, Lemas, Mual dan
muntah sedangkan tanda yang dapat dijumpai adalah penurunan kesadaran,
hipotermia, tanda dehidrasi (membran mukosa yang kering serta turgor kulit yang
buruk) takikardia, takipneu, dan yang paling khas untuk ketoasidosis adalah
pernafasan yang cepat dan dalam (Kussmaul) dan nafas yang berbau seperti aseton.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan trias hiperglikemia, ketonemia
(adanya benda keton dalam urin (+2 pada urine dipstick atau darah) serta temuan
asidosis metabolik (penurunan pH <7,3 dan bikarbonat darah). Diagnosis ketoasidosis
diabetikum dibuat berdasarkan tanda dan gejala serta adanya trias ketoasidosis
diabetikum yang ditemukan pada pemeriksaan penunjang. Untuk HHS, tanda dan
gejala yang dapat timbul hampir sama dengan ketoasidosis diabetikum tetapi
umumnya terjadi pada individu berusia ≥60 tahun. Diagnosis dapat dibedakan
berdasarkan hasil laboratoium dimana pada HHS, kadar glukosa darah yang ditemukan
dapat mencapai >600 mg/dL dan osmolaritas darah yang >320 mOsm/Kg serta pH
>7,3 dan kadar bikarbonat darah >18 mEq/L.
Tatalaksana Krisis hiperglikemia bertujuan untuk memperbaiki kondisi dehidrasi,
hiperglikemia dan hiperosmolalitas, ketidakseimbangan elektrolit, ketonemia dan
menemukan penyebab yang mendasari. Pemeriksaan tanda – tanda vital secara
berkala, penghitungan pemberian cairan, dosis insulin yang tepat serta urine output
sangat diperlukan untuk menilai respon klinis dari pasien. Selain itu, pemeriksaan
glukosa dan elektrolit, pH, bikarbonat, dan anion gap dilakukan setiap 2-4 jam.

D. Komplikasi Makroangiopati
Komplikasi Makroangiopati pada diabetes melitus terdiri dari penyakit jantung
koroner, penyakit serebrovaskular (stroke iskemik atau hemoragik) dan penyakit arteri
perifer. Pada penyakit jantung koroner, ada dua mekanisme yang mendasari, yaitu
hiperglikemia dan resistensi insulin. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang akan menginaktivasi nitric Oxide
(NO), sehingga akan terjadi disfungsi endotel. Reactive Oxygen Species juga
berkontribusi terhadap terhadap penyakit jantung koroner dengan mengaktifkan
Protein Kinase C (PKC) yang akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi dan matriks
ekstraselular. Hasil akhir yang terjadi adalah terjadinya gangguan homeostasis dari
vaskular dan meningkatkan kejadian komplikasis vaskular. Resistensi insulin juga
berperan dalam terjadinya penyakit jantung koroner melalui inaktivasi enzim
endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS). Resistensi insulin yang terjadi diakibatkan
oleh obesitas, dimana jaringan adiposa akan menghasilkan asam lemak bebas dan
mediator inflamasi lainnya. Resistensi insulin yang terjadi juga diakibatkan karena
berkurangnya fungsi dari glucose transporter type 4 (GLUT-4).
Selain penyakit jantung koroner, diabetes melitus juga meningkatkan risiko terjadinya
stroke. Sebuah studi mendapatkan bahwa kejadian stroke meningkat 35% pada pasien
yang memiliki diabetes melitus4. Studi lain juga mendapatkan data bahwa pada
individu yang menderita diabetes, risiko terjadinya stroke iskemik meningkat 2,3 kali
lebih tinggi dan 1,6 kali lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan individu
yang tidak menderita diabetes melitus.
Penyakit arteri perifer juga menjadi salah satu komplikasi makroangiopati diabetes
lainnya. Penelitian di Jerman mendapatkan bahwa pada pasien dengan usia lebih dari
65 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk munculnya penyakit arteri
perifer, dimana disebut penyakit arteri perifer apabila Ankle Brachial Index (ABI)
<0,9. Pada pasien dengan penyakit arteri perifer, risiko terjadinya ulkus akibat iskemia
meningkat 20% dalam waktu 10 tahun.

E. Komplikasi Mikroangiopati
Komplikasi mikroangiopati pada diabetes dapat mengenai pembuluh darah mata
(retinopati), ginjal (nefropati) dan saraf (neuropati). Mekanisme yang mendasari
terjadinya komplikasi mikroangiopati pada diabetes adalah adanya pembentukan
advanced glycation products (AGEs), Stress oksidatif, inflamasi derajat rendah dan
adanya neovaskularisasi vasa vasorum. Pada retinopati, risiko terjadinya komplikasi
ini berbanding lurus dengan derajat keparahan hiperglikemia. Pasien dapat mengalami
gejala pandangan yang buram, floaters, kebutaan yang permanen, namun pada stadium
awal sering tidak ada gejala dan ditemukan secara tidak sengaja saat funduskopi.
Pada pasien nefropati diabetikum sering tanpa gejala (asimptomatik) pada awal
timbulnya penyakit, pada stadium lanjut dapat timbul gejala seperti kelelahan, urin
yang berbusa, dan edema pada kaki yang disebabkan karena hipoalbuminemia dan
sindrom nefrotik(asimptomatik), tetapi dalam hasil laboratorium dapat ditemukan
adanya albuminuria yang persisten (>300 miligram/24 jam atau >200
mikrogram/menit).

F. Neuropati Diabetikum
Neuropati diabetikum merupakan gangguan pada sistem saraf perifer yang disebabkan
oleh penyakit diabetes melitus. Terkadang neuropati diabetikum menyebabkan kaki
penderita diabetes melitus menjadi “mati rasa” sehingga dapat menyebabkan luka
yang tidak diketahui oleh penderita diabetes melitus tersebut, dan tanpa pemeriksaan
kaki yang menyeluruh maka dapat menyebabkan terjadinya ulkus diabetikum.
Neuropati diabetikum merupakan komplikasi kronik tersering dari diabetes melitus
dan datang dengan gejala yang berbeda – beda.21 Prevalensi neuropati diabetikum di
Indonesia untuk neuropati diabetikum sendiri mencapai 63,5% dari seluruh penderita
diabetes melitus yang berjumlah 1785 orang pada suatu penelitian.22

Neuropati diabetikum terjadi karena berbagai faktor, diantaranya adalah faktor


metabolik, vaskular, inflamasi dan neurodegeneratif. Pada faktor metabolik, glukosa
akan menyebabkan terjadinya jalur metabolik patologis, seperti jalur polyol yang
mengubah glukosa menjadi sorbitol melalui enzim aldose reduktase. Adanya jalur
metabolisme ini menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas pompa Na/K sehingga
meningkatkan osmolaritas intraselular dan menghasilkan stres oksidatif. Adanya stres
oksidatif akan merusak sel saraf dan menurunkan kecepatan konduksi sistem saraf.23

Pada jalur vaskular terdapat adanya disfungsi mikrovaskular yang memberikan


suplai darah ke sel saraf. Kelainan yang terjadi pun cukup banyak, terdiri dari
penebalan membran basal, edema pada endotel pembuluh darah serta proliferasi tunika
intima sehingga menyebabkan sirkulasi darah ke sel saraf tidak lancar. Adanya proses
degenerasi pada sel saraf juga dapat memainkan peran penting. Menurunnya jumlah
insulin berarti juga terjadi penurunan Insulin – like Growth Factor (IGF-1) dan faktor
pertumbuhan saraf lainnya. Ketiadaan faktor ini akan menyebabkan proses degerenasi
sel saraf lebih cepat terjadi. Sel inflamasi juga menyebabkan masuknya sitokin pro –
inflamasi ke dalam sel saraf dan merusak sel saraf tersebut.23

Gambar 18. Patofisiologi neuropati diabetikum.24

Neuropati diabetikum dapat terjadi secara simetris maupun asimetris, pada tipe
simetris dapat terjadi neuropati simetris distal, neuropati autonomik, neuropati
pseudodiabetik dll., sedangkan pada tipe asimetris dapat terjadi neuropati
radikuloplexus lumbosakral, neuropati radikuloplexus servikolumbal, dll. 23 Dari sekian
banyak klasifikasi tersebut, yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus adalah
tipe simetris distal (Distal Symemetric Polyneuropathy (DSPN)

Gejala pada penderita Neuropati diabetikum dapat berupa gejala sensorik,


motorik dan autonomik. Dari ketiga gejala tersebut, gejala sensorik menjadi gejala
yang paling sering muncul di antara gejala yang lain. Gejala sensorik yang muncul
dapat berupa gejala positif (dimana pasien mengalami respons yang berlebih terhadap
stimulus) seperti kesemutan (parestesia) dan rasa nyeri serta gejala negatif dimana
pasien seperti mengalami mati rasa (rasa tebal) pada bagian tubuh tertentu. 23 Selain
gejala sensorik yang menjadi gejala tersering penderita neuropati diabetikum, gejala
autonom juga dapat muncul sebagai manifestasi klinis pada penderita neuropati
diabetikum dan muncul dengan gejala gangguan buang air besar (BAB) dan buang air
kecil (BAK) serta gejala motorik dapat berupa kelemahan otot. Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan adanya penurunan refleks fisiologis pada daerah yang terkena
(refleks achilles, patella, biceps, triceps, dan brachioradialis) serta berkurangnya
sensasi dalam nyeri dan raba halus. 25 Umumnya dalam membantu diagnosis neuropati
perifer dapat dilakukan pemeriksaan neurofisiologis berupa studi elektrofisiologi
(Nerve Conduction Study) dan elektromiologi.26

Tatalaksana neuropati perifer terbagi menjadi tatalaksana farmakologi dan non


– farmakologi. Untuk tatalaksana farmakologi sendiri terbagi menjadi tiga lini, yaitu
sebagai berikut:27

Lini Obat Jenis Obat Rentang dosis


(mg/hari)

Gabapentin 150 – 600


Gabapentinoids
Pregabalin 300 – 3600

Antidepressan Amitriptilin 10 – 150

Pertama Trisiklik (TCAs)

Penghambat Duloxetine 20 – 120


reuptake Serotonin
Venlafaxine 150 – 225
Norepinefrine
(SNRI)

Kedua Opioid Tramadol 25 – 400


Tapentadol 50 – 600

Lidokain 5% gel atau patch


Obat topikal
Capcaisin 8% patch

Morfin 10 – 120
Opioid kuat
Ketiga Oksikodon 10 – 120

Neurotoksin Toksin Botulinum 25 – 300 Unit

Tabel 8. Tatalaksana neuropati berdasarkan lini27

Untuk tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan fisioterapi ataupun


ergoterapi. Fisioterapi bertujuan untuk memperbaiki stabilitas saat berdiri dan berjalan
apabila pasien tersebut mengalami gangguan berjalan serta memperbaiki fungsi
keseimbangan, koordinasi, dan propioseptif yang dapat dicapai dengan terapi okupasi
dan fisioterapi jenis lainnya.28

H. Prognosis
Prognosis pasien dengan diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh derajat pengendalian
penyakitnya. Hiperglikemia kronis dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi
mikrovaskular, seperti yang ditunjukkan dalam Diabetes Control and Complications
Trial (DCCT) pada individu dengan diabetes tipe 1 dan United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) pada individu dengan diabetes melitus tipe 2.29
Pengembalian ke regulasi glukosa normal selama upaya untuk mencegah
perkembangan pra-diabetes menjadi diabetes merupakan indikator yang baik dalam
memperlambat perkembangan penyakit, dan hal ini terkait dengan prognosis yang lebih
baik.29

Hubungan CKD dengan Diabetes Melitus


Penyakit ginjal pada diabetes melitus tipe 2 sering ditemukan pada usia tua dan sering
juga disebabkan oleh etiologi lain, sehingga tumpang tindih dengan diabetes melitus.
Prevalensi penyakit ginjal diabetik mengalami peningkatan yang cukup dramatis di
seluruh dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi diabetes pada dewasa tercatat meningkat
dari 9,8% pada tahun 1988 – 1994 ke angka 12,3% pada tahun 2011 – 2012. Beberapa
studi juga membuktikan bahwa penyakit ginjal pada diabetes melitus tipe 2 melibatkan
patofisiologi yang lebih rumit dibandingkan dengan diabetes melitus tipe 1. Satu studi
dari Amerika Serikat yang melakukan pemeriksaan biopsi ginjal pada pasien dengan
diabetes tipe 2 dan penyakit ginjal menemukan bahwa penyakit diabetik mikrovaskular
terdapat dalam 37% kasus, penyakit ginjal non diabetik pada 36% kasus, seperti
nefrosklerosis atau penyakit ginjal imunologi, sedangkan gabungan penyakit ginjal
diabetik dan non – diabetik ditemukan pada 27% kasus.30,31
Patogenesis dan progresifitas nefropati diabetikum tampaknya diakibatkan karena
interaksi antara jalur metabolik dan hemodinamik, yang sering mengalami gangguan
pada pasien dengan diabetes. Akumulasi produksi matriks protein ekstraselular yang
berlebih di ginjal dipertimbangkan memainkan peran yang penting dalam perkembangan
dan progresifitas nefropati diabetik. TGF – β dilihat sebagai faktor penting dalam mediasi
efek profibrotik dalam stimulus patologis yang bervariasi, seperti hiperglikemia dan
angiotensin II. Pada diabetes melitus, produksi matriks ekstraselular dan TGF – β
mengalami peningkatan, menyebabkan akumulasi yang berlebih pada ginjal.32
Hiperglikemia menginduksi cedera vaskular melalui jalur kompleks yang saling
tumpang tindih, termasuk pembentukan advanced glycation end-products (AGE),
aktivasi Protein Kinase C (PKC) dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS).
Terdapat bukti baru bahwa ROS mungkin memainkan peran penting dalam memulai dan
progresifitas nefropati diabetik. Produksi ROS melalui nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase terlibat dalam patogenesis nefropati diabetik.
Translokasi PKC yang diinduksi oleh diabetes terhadap membran ginjal, berhubungan
dengan produksi superokside yang bergantung NADPH dan peningkatan konsentrasi
vascular endothelial growth factor (VEGF) ginjal, serum dan urin.32
Gambar 19. Patofisiologi Penyakit Ginjal pada Diabetes Melitus.32

Hubungan CKD dengan Hipertensi


Sejumlah mekanisme berkontribusi dalam perkembangan hipertensi dalam CKD.
Peningkatan tonus simpatetik, yang diakibatkan oleh adanya sinyal aferen yang
dihasilkan oleh penurunan fungsi ginjal, berkontribusi dalam perkembangan hipertensi
pada CKD. Selagi GFR mengalami penurunan, terdapat peningkatan regulasi dari sistem
Renin – angiotensin – aldosteron (RAAS), yang menyebabkan retensi garam dan air.
Disfungsi endotel merupakan karakteristik pada CKD stadium lanjut dan berhubungan
dengan hupertensi. Peningkatan kekakuan arteri juga terlihat pada pasien dengan CKD
dan merupakan faktor risiko yang independen terhadap kejadian kardiovaskular. Setelah
hipertensi terjadi, beberapa faktor, termasuk peningkatan metabolisme oksidatif, yang
berakibat kepada hipoksia renal, dapat mempercepat progresi CKD lebih lanjut.33
Gambar 20. Patofisiologi terjadinya CKD dengan Hipertensi.33

Hubungan Hipertensi dengan Diabetes Melitus


Hipertensi dan Diabetes Melitus merupakan 2 komorbid utama yang menjadi faktor
risiko atherosklerosis dan komplikasinya, termasuk serangan jantung dan stroke.
Terdapat 2 faktor utama yang sering menyebabkan hipertensi dan diabetes melitus terjadi
secara tumpang tindih, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang
mempengaruhi termasuk adanya gangguan pada gen yang mengkode angiotensinogen,
adrenomedullin, apolipoprotein, dan α – adducin, dimana gen – gen ini berhubungan
dengan kondisi diabetes, hipertensi, disglikemia atau sindrom metabolik. Kemudian
terdapat faktor lingkungan yang juga memainkan peran penting dalam terjadinya
hipertensi dan diabetes melitus, seperti periode kehamilan dan faktor gaya hidup seperti
diet dan aktivitas fisik. Gaya hidup yang digolongkan kedalam kategori tidak sehat
adalah konsumsi natrium dalam jumlah tinggi, alkohol dan lemak jenuh, merokok,
kurangnya aktivitas fisik, dan stress mental. Resistensi insulin diduga juga memiliki
peran dalam terjadinya hipertensi.
Hipertensi dan Diabetes melitus memiliki banyak sekali jalur (pathway) bersama,
seperti obesitas, inflamasi, stress oksidatif, resistensi insulin, dan stress mental. Obesitas
sudah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting untuk hipertensi dan diabetes. Obesitas
secara umum terjadi karena kombinasi adanya gangguan pusat makan di otak,
ketidakseimbangan pemasukan dan pengeluaran energi, serta variasi genetik. Gen obese
(ob) yang ditemukan pada tahun 1950 merupakan gen pertama yang diidentifikasi yang
berhubungan dengan obesitas. Setelah penemuan gen Ob, penelitian sudah menemukan
beberapa gen yang juga berhubungan dengan obesitas, yaitu gen FTO (promosi obesitas
dan overeating), GNDPA 2, BCDIN3D/FAIM2, SH2B1, dan KCTD15. Obesitas,
diabetes dan hipertensi memiliki gen yang sama.34
Inflamasi derajat rendah terjadi pada diabetes dan hipertensi. Penanda inflamasi
(C – Reactive Protein (CRP)) ditemukan meningkat pada diabetes, hipertensi dan
sindrom metabolik. Renin – angiotensin – aldosteron system (RAAS) memainkan peran
penting dalam patofisiologi vaskular. Adanya Angiotensin II bertanggung jawab dalam
memancing inflamasi vaskular dan menginduksi stress oksidatif. Angiotensin II akan
menstimulasi NADH/NADPH oksidase, dan mengaktifkan Rho/Rho kinase, Protein
kinase C (PKC), dan mitogen-activated protein kinase (MAPK). Angiotensin II juga
menurunkan regulasi faktor transkripsi proinflamasi seperti nuclear factor-κB (NF-κB),
menyebabkan penghasilan dan sekresi ROS, sitokin proinflamasi, kemokin, dan molekul
adhesi. Faktor – faktor ini akan menyebabkan disfungsi endotel dan cedera vaskular.
Angiotensin II juga memiliki efek menurunkan regulasi mRNA dan protein Peroxisome
proliferator-activated receptor (PPAR)-α dan γ, menyebabkan penurunan kapasitas
aktivitas anti – inflamasi PPAR dan aktivasi inflamasi. Penggunaan statin, ACE – I, dan
ARB juga dapat menurunkan inflamasi vaskular pada pasien dengan diabetes dan
hipertensi.34
Resistensi insulin, yang merupakan gangguan aksi dari insulin, menyebabkan
gangguan penyerapan glukosa, menunjukkan gangguan respon terhadap insulin pada otot
rangka, hepar, adiposit, dan jaringan kardiovaskular. Peningkatan aktivitas RAAS juga
dapat menyebabkan resistensi insulin melalui stimulasi reseptor Angiotensin II tipe 1,
dimana akan memancing peningkatan produksi ROS di adiposit, otot rangka dan jaringan
kardiovaskular. Resistensi insulin juga berhubungan dengan pensinyalan insulin,
gangguan fibrinolisis, dan inflamasi. Resistensi insulin diduga terjadi akibat adanya
abnormalitas dari molekul kunci dalam jalur pensinyalan insulin, seperti overekspresi
fosfatase dan penurunan regulasi dan/atau aktivasi protein kinase, menyebabkan
abnormalitas dalam ekspresi dan aksi berbagai macam sitokin.34
Stressor adalah stimulus ekstrinsik atau intrinsik yang menyebabkan gangguan
fisiologi dan psikologi. Stress mental kronis, yang diakibatkan dari gaya hidup yang
modern (stress pekerjaan, kekerasan domestik, dan bencana alam), sering berhubungan
dengan gangguan fisiologis dan psikologis, yang secara tidak langsung menyebabkan
diabetes dan hipertensi. Stress mental berhubungan dengan obesitas pada pasien dengan
hipertensi dan diabetes. Aksis hipotalamus – pituitari – adrenal diduga sebagai
mekanisme kunci yang menghubungan obesitas, hipertensi dan stress kronik.34

Gambar 20. Patifisologi Hipertensi dan Diabetes.34


Daftar Pustaka

1. Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Setiati, S, Alwi, I, Sudoyo, A, K, Marcellus,


Setiyohadi, B, Syam, A. Buku ajar Ilmu Penyakit dalam. Edisi ke-6. Interna Publishing:
2014.
2. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO 2012 Clinical Practice
Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Official
Journal of the International Society of Nephrology. 2013;3(1). Available from :
https://kdigo.org/wp-content/uploads/2017/02/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf
3. Center for Disease control and Prevention. Chronic Kidney Disease in the United States,
2021. CDC. 2021. Available from: https://www.cdc.gov/kidneydisease/pdf/Chronic-
Kidney-Disease-in-the-US-2021-h.pdf
4. Kovesdy, CP. Epidemiology of Chronic Kidney Disease: an Update 2022. Kidney
International Supplements. 2022;12: 7 – 11. Available from:
https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2157171621000666?
token=B971F0CDE19850F7A1D9677E5ACAF0145320ED67878A02BED79D69A1B02
97F59C06623D566880B2594A094D7CBBFE371&originRegion=eu-west-
1&originCreation=20220816033255
5. Vaidya, SR, Aeddula, NR. Chronic Renal Failure. Statpearls. 2021. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535404/
6. Harrison, T.R Resnick, W.R Wintrobe, M.M Thorn G. M. Harrison’s Principles of
Internal. 19th Editi. McGraw Hill; 2015.
7. https://calgaryguide.ucalgary.ca/complications-of-chronic-kidney-disease-ckd/
8. Chen, TK, Knicely, DH, Grams, ME. Chronic Kidney Disease and Management. JAMA.
2019;322(13): 1294 – 304. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7015670/
9. Snyder, S, Pendegraph, B. Detection and Evaluation of Chronic Kidney Disease. Am
Fam Phy. 2005;72(9). 1723-32. Available from:
https://www.aafp.org/dam/brand/aafp/pubs/afp/issues/2005/1101/p1723.pdf
10. Neild, GH. Life Expectancy with Chronic Kidney Disease: an Educational Review.
Pediatr Nephrol. 2017;32(2): 243-8. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5203814/
11. Kharroubi, AT., Darwish, HM. Diabetes Mellitus: The Epidemic of the Century. World
Journal of Diabetes. 2015;6(6):850. https://doi.org/10.4239/WJD.V6.I6.850
12. World Health Organization. Diabetes. 2021. Available from: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/diabetes
13. International Diabetes Federation. Diabetes in SEA. 2019. Available from:
https://www.idf.org/our-network/regions-members/south-east-asia/diabetes-in-sea.html
14. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas | Tenth Edition. 2021. Available
from: https://diabetesatlas.org/
15. Kemenkes RI. Infodatin 2020 Diabetes Melitus. 2020.
16. Paschou, SA., Papadopoulou-Marketou, N., Chrousos, GP., Kanaka-Gantenbein, C. On
type 1 diabetes mellitus pathogenesis. Endocrine Connections. 2018;7;(1): R38.
https://doi.org/10.1530/EC-17-0347
17. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. 2019.
18. American Diabetes Association. ADA 2021. 2021:44.
19. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2021.
20. Yacoub, T. G. Combining clinical judgment with guidelines for the management of type
2 diabetes: Overall standards of comprehensive care. Postgraduate Medicine.
2014;126(3): 85–94. https://doi.org/10.3810/pgm.2014.05.2758
21. Pop-Busui, R., Boulton, A. J. M., Feldman, E. L., Bril, V., Freeman, R., Malik, R. A.,
Sosenko, J. M., & Ziegler, D. Diabetic neuropathy: A position statement by the American
diabetes association. Diabetes Care. 2017;40;(1): 136–54. https://doi.org/10.2337/dc16-
2042
22. Soewondo, P., Soegondo, S., Suastika, K., Pranoto, A., Soeatmadji, D. W., &
Tjokroprawiro, A. The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on control and
complications of type 2 diabetic patients in Indonesia. 2010. Medical Journal Indonesia.
2010;19;(4): 235–44. https://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/view/412/404
23. Nascimento, OJM. do, Pupe, CCB., Cavalcanti, EBU. Diabetic neuropathy. Revista Dor,
17. 2016. https://doi.org/10.5935/1806-0013.20160047
24. Eslinger, amanda. Diabetic Polyneuropathy: Pathogenesis and Clinical Findings | Calgary
Guide. 2014. https://calgaryguide.ucalgary.ca/diabetic-polyneuropathy-pathogenesis-and-
clinical-findings/
25. Abraham, A., Alabdali, M., Alsulaiman, A., Albulaihe, H., Breiner, A., Katzberg, H. D.,
Aljaafari, D., Lovblom, L. E., & Bril, V. The sensitivity and specificity of the
neurological examination in polyneuropathy patients with clinical and
electrophysiological correlations. 2017. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0171597
26. Tavee, J. Nerve conduction studies: Basic concepts. In Handbook of Clinical Neurology
(Vol. 160, pp. 217–224). 2019. Elsevier B.V. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-64032-
1.00014-X
27. Cavalli, E., Mammana, S., Nicoletti, F., Bramanti, P., & Mazzon, E. The neuropathic
pain: An overview of the current treatment and future therapeutic approaches.
International Journal of Immunopathology and Pharmacology. 2019;33.
https://doi.org/10.1177/2058738419838383
28. Sommer, C., Geber, C., Young, P., Forst, R., Birklein, F., & Schoser, B.
Polyneuropathies Etiology, Diagnosis, and Treatment Options. Deutsches Arztebl
International. 2018;115; 83–90. https://doi.org/10.3238/arztebl.2018.083
29. Khadori, R. Type 2 Diabetes Mellitus. Medscape. 2021. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#a6
30. Nordheim, E, Jenssen, TG. Chronic Kidney Disease in Patients with Diabetes Mellitus.
Endocrine Connections. 2021;10: 151-9. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8111312/pdf/EC-21-0097.pdf
31. Alicic, RZ, Rooney, MT, Tuttle, KR. Diabetic Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol.
2017;12(12): 2032 – 45. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5718284/
32. Cao, Z, Cooper, ME. Pathogenesis of Diabetic Nephropathy. Journal of Diabetes
Investigation. 2011;2(4): 243-7. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4014960/pdf/jdi-2-243.pdf
33. Pugh, D, Gallacher, P, Dhaun, N. Management of Hypertension in Chronic Kidney
Disease. Drugs. 2019: 365 – 79. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6422950/pdf/40265_2019_Article_1064.
pdf
34. Cheung, BM, Li, C. Diabetes and Hypertension: Is There a Common Metabolic
Pathway?. Curr Atheroscler Rep. 2012;14: 160-6. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3314178/pdf/11883_2012_Article_227.p
df

Anda mungkin juga menyukai