Disusun oleh:
Son Ardianto
406212001
Pembimbing:
dr. Ardy, Sp.PD
dr. Ardy,Sp.PD
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RS HUSADA
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sph Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal Lahir : 25 Desember 1983 Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah No. CM : 00.44.20.3128
Alamat : Jakarta Tgl Masuk RS : 8 Juli 2022
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pembengkakan perut, kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok dan minum – minuman beralkohol. Pasien berolahraga rutin 3 hingga
4 kali seminggu. Jam kerja pasien mencapai 70-80 jam perminggu.
G. Riwayat alergi
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.
Telinga
Nyeri tekan tragus -/-, nyeri tekan mastoid -/-, nyeri tekan aurikula -/-, liang telinga
lapang, sekret -/-, serumen -/-, kartilago aurikula dbn
Hidung : bentuk normal, deviasi septum -, rinorea -/-, sekret -/-
Thorax
Pulmo
Inspeksi : dinding toraks simetris saat statis maupun dinamis, retraksi -/-
Palpasi : Stem fremitus kanan-kiri depan-belakang simetris
Perkusi : Redup di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Cor
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba, heaves (-), thrill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I & II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, hepatomegaly (-), splenomegaly (-), nyeri tekan
epigastrik (-), murphy sign (-)
Perkusi : Timpani diseluruh kuadran abdomen
Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- +/+
Clubbing finger -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
Deformitas -/- -/-
Kulit: Warna kulit hitam, lesi (-), turgor kulit baik, ikterik (-), sianosis (-).
Kelenjar getah bening (KGB): Tidak terdapat pembesaran KGB preaurikular,
postaurikular, submental, submandibula, servikal, supraklavikula, nyeri tekan (-)
B. EKG
Kesan : Normal
C. Radiologi
Rontgen Thorax AP (09/07/2022)
V. RESUME
Telah diperiksa seorang pasien Laki – laki dengan keluhan bengkak perut dan edema
kedua tungkai kaki sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat Hipertensi
dan DM tipe 2, pada pemeriksaan fisik di temukan edema kedua tungkai kaki, edema
tidak nyeri, konjungtiva anemis, dan perkusi redup pada seluruh lapang paru.
VII. PENGKAJIAN
Terapi Farmakologi
Hari ke – 1 – ke – 6
• Bicnat 3x1 tab
• Tablet tambah darah 1x1 tab
• Kapsul CaCO3 3x1 tab
• Asam folat 3x1 tab
Amlodipin 1x5 mg
• Cetirizin (malam) 1x10 mg
• Vit b12 3x50 mg
• Prorenal 3x2 tab
• Kalitake 3x1 sach
• Lactulose 2x15 cc
• Furosemide IV 2x1 amp
• Calqluc
Hari ke – 5
B-Complex 2x1 tab
Clindamicin 300 3x1 tab
NaCl 3x500 mg
Acetylcistein 3x200 mg
Curcuma 2x1
Depakote 3x200 mg
Cotrimoxazol 1x900 mg
Fluconazole 1x150 mg
OAT
Ranitidine 3x1 amp
Ceftriaxon drip 1x2 gr
Levofloxacin 1x1 fls
Micostatin drop 3x1 ml
Edukasi
• Menjelaskan mengenai penyakitnya, rencana monitoring dan tatalaksana
• Mengusahakan agar status gizi pasien dapat menjadi normal
• Edukasi pasien untuk rutin hemodialisa seminggu 2 kali
• Edukasi pasien untuk mengurangi asupan protein untuk mengurangi beban ginjal
• Edukasi pasien mengenai 4 pilar edukasi DM (menjelaskan penyakit DM, asupan
nutrisi, Olahraga, Penggunaan obat – obatan)
• Edukasi pasien untuk memperbanyak mengkonsumsi sayur dan buah
• Edukasi pasien untuk berolahraga teratur 3-5 kali perminggu, minimal 30 menit
• Edukasi pasien untuk mengurangi asupan garam dan makanan yang tinggi natrium
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik sering ditemukan pada pasien lansia (≥65 tahun), yaitu
sebesar 38%, diikuti dengan pasien berusia 45 – 64 tahun (12%) dan 18 – 44 tahun
(6%). Penyakit ginjal kronik ditemukan sedikit lebih tinggi pada wanita (14%)
dibandingkan dengan laki – laki (12%) dan lebih sering ditemukan juga pada ras
kulit hitam non – hispanik (16%), yang disusul oleh ras kulit putih dan non –
hispanik asia (13%). Studi lain juga menemukan adanya peningkatan prevalensi
CKD, dimana pada tahun 2010 didapatkan prevalensi CKD semua stadium (1 – 5)
pada pasien berusia ≥20 tahun mencapai 10,4% pada laki – laki dan 11,8% pada
perempuan. Pada studi yang sama juga didapatkan prevalensi CKD yang sedikit
lebih tinggi dinegara berkembang dibandingkan dengan negara maju, dengan 8,6%
dan 9,6% pada laki – laki dan wanita dinegara maju dan 10,6% dan 12,5% pada laki
– laki dan wanita dinegara berkembang. Prevalensi global CKD stadium 3 – 5 pada
studi terbaru berada diangka 4,7% pada laki – laki dan 5,8% pada perempuan.3,4
Gambar 1. Epidemiologi CKD di Amerika Serikat.3
C. Etiologi
Etiologi CKD yang tersering adalah:5
Diabetes mellitus tipe 2 (30 – 50%)
Diabetes mellitus tipe 1 (3,9%)
Hipertensi (27,2%)
Glomerulonefritis Primer (8,2%)
Nefritis Tubulointersisial Kronik (3,6%)
Penyakit kistik atau Herediter (3,1%)
Vaskulitis atau Glomerulonefritis Sekunder (2,1%)
D. Patofisiologi
Patofisologi CKD dibagi menjadi 2 fase, fase awal adalah fase mekanisme awal
yang spesifik terhadap etiologi yang mendasarinya dan fase lanjutan adalah
mekanisme progresif, yang melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang
tersisa. Pada CKD terjadi pengurangan massa ginjal, yang mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai kompensasinya.
Hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus yang terjadi sebagai proses adaptasi
yang berlangsung singkat. Setelah proses adaptasi ini selesai, akan terjadi proses
maladaptasi berupa distorsi aksitektural glomerulus, abnormalitas fungsi podosit,
dan gangguan barrier filtrasi yang menyebabkan sklerosis nefron yang masih
tersisa. Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin – angiotensin – aldosteron intrarenal juga
berkontribusi terhadap hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. aktivasi
jangka panjang renin – angiotensin – aldosteron sebagian besar diperantai oleh
Transforming Growth Factor – β (TGF – β).1,6
Gambar 3. Patofisiologi Terjadinya CKD.7
E. Klasifikasi
Klasifikasi CKD dilihat berdasarkan nilai GFR serta Albuminuria, untuk klasifikasi
nilai GFR pembagiannya sebagai berikut:2
G1 GFR ≥90 ml/min/1,73 m2
G2 GFR 60 – 89 ml/min/1,73 m2
G3a 45 – 59 ml/min/1,73 m2
G3b 30 – 44 ml/min/1,73 m2
G4 15 – 29 ml/min/1,73 m2
G5 <15 ml/min/1,73 m2
Pasien CKD sangat umum untuk mengalami asidosis metabolik. Sebagian besar
pasien masih dapat mengasamkan urin, tetapi memproduksi ammonia dalam jumlah
yang lebih sedikit, sehingga tidak dapat mengekskresi proton dalam jumlah yang
normal dengan urin. Hiperkalemia akan membuat produksi ammonia semakin
sedikit. Kombinasi hiperkalemia dan hiperkloremia serta asidosis metabolik
terkadang sering terlihat bahkan pada pasien dengan CKD stadium awal (1 – 3).
Sebagian besar pasien akan mengalami asidosis metabolik yang ringan (sangat
jarang pH <7,35).6
Pemeriksaan fisik yang detail dapat menemukan etiologi dari CKD. Tanda deplesi
volume cairan menandakan intake cairan yang kurang, mua, muntah, diare atau
overdiuresis, sedangkan tanda kelebihan volume cairan mungkin diakibatkan oleh
gagal jantung, gagal hepar, atau sindrom nefrotik. Adanya retinopati pada
funduskopi menandakan terjadinya hipertensi atau diabetes kronik. Bruit aorta
abdomen atau carotis menandakan gangguan renovaskular. Nyeri pinggang atau
pembesaran ginjal menandakan adanya penyakit ginjal polikistik, pielonefritis,
nefrolitiasis, uropati obstruktif.8
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang wajib dilakukan pada pasien dengan CKD adalah
fungsi ginjal, USG, elektrolit (sodium, kalium, fosfor, kalsium), analisa gas darah
(AGD), hematologi rutin, faal hemostasis, EKG, rontgen thorax, dan
Ekokardiografi. Pemeriksaan fungsi ginjal digunakan untuk menilai stadium CKD,
sedangkan pemeriksaan USG digunakan untuk melihat abnormalitas struktural dari
ginjal. Pemeriksaan fosfor dan kalsium diperlukan mengingat pada CKD,
metabolisme fosfor dan kalsium terganggu akibat hiperparatiroidisme sekunder.
Untuk menentukan Etiologi yang mendasari, gambar dibawah ini menampilkan
pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menentukan etiologi CKD yang
mendasari pada pasien.9
Gambar 5. Pemeriksaan Penunjang untuk menentukan Etiologi CKD.9
H. Diagnosis
Diagnosis CKD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari
anamnesis akan didapatkan keluhan seperti lemas, mual, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan serta gejala komplikasi yang menyertai, seperti anemia,
uremia, gangguan elektrolit, dll. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda –
tanda komplikasi serta etiologi yang mendasari, serta dari pemeriksaan penunjang
terlihat adanya penurunan fungsi ginjal yang disertai dengan gangguan elektrolit dll.
Untuk kriteria diagnosis CKD, dapat menggunakan KDIGO 2012 dan KDOQI
2002.9
Gambar 6. Kriteria Diagnosis CKD Menurut KDIGO.2
Anemia
Anemia yang terjadi pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi Eritropoitin.
Hal lain yang ikut berperan adalah defisiensi besi, kehilangan darah, masa hidup
eritrosit yang pendek, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Penatalaksanaan terutama
ditujukan pada penyebab utamanya. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Pemberian EPO harus melihat status besi karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi darah pada
CKD harus dilakukan secara hati – hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11 – 12 g/dL.1
J. Komplikasi
Komplikasi CKD mengenai hampir semua sistem organ. Pasien dengan GFR <60
ml/min/1,73 m2 harus menjalani monitoring komplikasi secara periodik. Evaluasi
klinis mungkin dapat mendeteksi komplikasi gastrointestinal, neurologis,
dermatologis, dan komplikasi muskuloskeletal, sedangkan evaluasi laboratoris
dapat mendeteksi komplikasi seperti abnormalitas elektrolit, gangguan kalsium atau
fosfor dan anemia.9
K. Prognosis
Apabila pasien tidak memiliki proteinuria, maka fungsi ginjal masih dalam keadaan
stabil. Penurunan fungsi ginjal tidak akan terjadi sampai terdapat peningkatan
proteinuria. Pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal yang tak terelakkan
cenderung mengalami penurunan fungsi ginjal sesuai dengan keparahan proteinuria,
yang dapat diperlambat dengan kontrol tekanan darah yang baik serta penggunaan
ACE – I. Semakin berat derajat CKD dan usia pasien, maka angka harapan hidup
dari pasien juga semakin menurun.10
B. Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi di dunia.
World Health Organization (WHO) di tahun 2014 menyatakan bahwa setidaknya 8,5%
orang berusia ≥18 tahun di dunia menderita diabetes mellitus. Pada tahun 2019 juga di
dapatkan data bahwa diabetes melitus menyebabkan setidaknya 1,5 juta kematian dan
48% dari total kematian tersebut terjadi pada usia <70 tahun.12
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021 memperkirakan
terdapat 537 juta orang berusia antara 20-79 tahun di dunia yang menderita diabetes
melitus dan angka ini diprediksi akan terus meningkat dan mencapai 643 juta penderita di
tahun 2030 dan menjadi 783 juta penderita di tahun 2045.13
Gambar 8. Diabetes di Seluruh Dunia pada tahun 2021 (Usia 20-79 tahun).13
2021 2045
1 China 140.9
2 India 74.2
3 Pakistan 33.0
5 Indonesia 19.5
6 Brazil 15.7
7 Meksiko 14.1
8 Bangladesh 13.1
9 Jepang 11.0
10 Mesir 10.9
Tabel 2. 10 negara di dunia dengan kasus diabetes melitus (usia 20-79 tahun) terbanyak pada
tahun 2021.14
Gambar 11. Prevalensi (%) Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Menurut Kelompok
Umur.15
C. Etiopatogenesis
Diabetes Melitus memiliki etiologi yang berbagai macam dan dibedakan berdasarkan
klasifikasinya.
D. Klasifikasi
1. Diabetes Tipe 1 (akibat destruksi sel beta autoimun, biasanya menyebabkan defisiensi
insulin absolut, termasuk diabetes autoimun laten saat dewasa).
2. Diabetes Tipe 2 (karena hilangnya sekresi insulin sel beta yang adekuat secara
progresif sering dengan latar belakang resistensi insulin).
3. Diabetes Tipe Spesifik akibat sebab lain, misalnya sindrom monogenik diabetes
(diabetes neonatus dan maturity-onset diabetes of the young/MODY), penyakit
pankreas eksokrin (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), dan diabetes karena zat
kimia atau obat (seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS,
atau setelah transplantasi organ).
4. Diabetes Gestasional (diabetes yang di diagnosis pada trimester kedua atau ketiga
kehamilan).18
Diabetes tipe 1 dan tipe 2 merupakan penyakit heterogen yang perjalanan dan
presentasi penyakitnya bervariasi. Klasifikasi diperlukan untuk pemberian terapi, namun
beberapa individu tidak dapat di klasifikasikan ke dalam tipe 1 atau tipe 2 secara jelas
saat awal di diagnosis. Paradigma tradisional yang membagi diabetes tipe 2 hanya
terdapat pada orang dewasa dan diabetes tipe 1 hanya terjadi pada anak-anak tidak lagi
akurat karena kedua penyakit terdapat pada kedua kelompok usia. Anak-anak dengan
diabetes tipe 1 biasanya memiliki gejala poliuria/polidipsi, dan setidaknya sepertiganya
datang dengan ketoasidosis diabetikum.18
E. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus, namun
kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti
keluhan klasik diabetes melitus (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) dan atau keluhan lain (lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita).17
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
Atau
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP)
Tabel 3. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes.17
1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m 2) yang disertai dengan ≥1 faktor
risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu (Afrika-Amerika, Latin, Native American, Asian
American, Pacific Islander)
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG)
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes (HbA1C ≥ 5,7%)
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko diatas
3. Wanita dengan DMG harus diperiksa seumur hidup setidaknya setiap 3 tahun sekali.
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap tiga tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang setiap satu tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.17
F. Tatalaksana
Anamnesis (usia saat terkena diabetes, pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik,
dan riwayat perubahan berat badan).
Pemeriksaan fisik (tinggi dan berat badan, tekanan darah, funduskopi, mulut tiroid,
jantung, pemeriksaan kaki, dan kulit).
Pemeriksaan penunjang (glokosa darah puasa, 2 jam postprandial, HbA1c).
Skrining untuk komplikasi (profil lipid, tes fungsi hati, fungsi ginjal, rontgen dada,
pemeriksaan kaki secara komprehensif).
Edukasi
Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang
dengan ulkus maupun neuropati perifer dan peripheral arterial disease (PAD)
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air.
2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka.
6. Keirngkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari
kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan
pada ujung-ujung jari kaki.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak
tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.
Pemberian Insulin akan diberikan apabila terdapat kondisi dibawah ini :19
a. HbA1c saat diperiksa ≥7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
b. HbA1c saat diperiksa >9%
c. Penurunan BB yang cepat
d. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
e. Krisis hiperglikemia
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g. Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, dll.)
h. Kehamilan dengan DM/DMG yang tidak terkendali dengan pengaturan diet
i. Gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
k. Perioperatif
Insulin memiliki beberapa jenis berdasarkan lama kerjanya, yang dibagi menjadi
kerja cepat (rapid acting), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(Intermediate – acting), kerja panjang (long – acting), kerja ultra panjang (Ultra
long – acting) dan campuran. Efek samping utama yang dimiliki oleh insulin
adalah hipoglikemia serta reaksi alergi.19
Perempuan : >50
G. Komplikasi
A. Infeksi
Infeksi yang terjadi pada diabetes melitus dapat memperburuk kontrol kadar gula
darah yang ada pada tubuh, dengan semakin tingginya kadar gula darah, maka
kerentanan seorang individu terhadap infeksi semakin tinggi, dan akan terjadi seperti
itu seterusnya, sehingga perlu tatalaksana infeksi dengan kadar gula darah (dengan
menggunakan insulin). Berikut ini beberapa infeksi yang dapat terjadi pada pasien
dengan diabetes melitus:17
Tuberkulosis (TBC)
pada pasien dengaan diabetes melitus, diagnosis dan manajemen TBC lebih sulit
dilakukan karena terjadi perubahan gambaran klinis penyakit dan kultur sputum
menjadi (+) menjadi lebih lama. Diabetes melitus juga mempersulit dalam
menentukan terapi TBC karena terapi farmakologi TBC menjadi lebih lama dan
banyak mengalami interaksi dengan obat diabetes. Selain itu, pada pasien DM
dengan TBC dapat mengalami hepatitis akibat obat – obatan antituberkulosis.
Pemeriksaan skrining pada pasien diabetes melitus dengan TBC sangat
dianjurkan untuk mendeteksi penyakit lebih dini. Skrining yang dianjurkan berupa
penilaian gejala batuk, apabila gejala belum mengarah ke TBC, pemeriksaan
penunjang tidak disarankan. Apabila ada gejala yang mulai mengarah ke TBC,
maka pemeriksaan penunjang berupa foto polos dada dan pemeriksaan sputum
dianjurkan untuk dilakukan. Saat sudah terdiagnosis TBC, hati – hati dengan
pengunaan rifampicin karena akan mengurangi efektivitas obat oral antidiabetik.
Penggunaan isoniazid memiliki efek samping neuropati perifer yang dapat
menyerupai neuropati diabetikum dan diberikan vitamin B6 selama pengobatan.
Infeksi saluran kemih
Sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan dihubungkan dengan derajat
keparahan penyakit. Faktor risikonya berupa kontrol kadar gula darah yang buruk,
durasi diabetes melitus yang sudah lama, vaginitis berulang.
Infeksi saluran pernapasan
Penyebab tersering adalah Streptococcus pneumonia dan virus influenza dan
direkomendasikan imunisasi influenza setiap tahun pada semua individu penderita
diabetes melitus yang berusia lebih dari 60 tahun
Infeksi telinga
Penyakit telinga tersering yang terjadi adalah otitis eksterna maligna yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
B. Kaki Diabetes
Kaki diabetes adalah komplikasi tersering pada penderita diabetes melitus. Kaki
diabetes terjadi oleh karena kerusakan saraf (neuropati perifer), penyakit arteri perifer
atau keduanya. Pemeriksaan kaki pada pasien dengan diabetes melitus perlu dilakukan
secara komprehensif minimal satu tahun sekali. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
inspeksi, palpasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior serta pemeriksaan sensorik.
Apabila ditemukan tanda – tanda berikut ini, maka hal–hal tersebut perlu diwaspadai: 17
Kulit kering, bersisik
Rambut kaki menipis
Kelainan bentuk dan warna kuku
Kalus di bagian telapak kaki
Perubahan bentuk jari – jari dan telapak kaki
Bekas luka atau riwayat amputasi jari
Kaki baal, kesemutan atau tidak terasa
Kaki terasa dingin
Perubahan warna kulit kaki
Setiap pasien diabetes melitus perlu diedukasi untuk mencegah terjadinya ulkus
diabetikum, hal–hal yang perlu disampaikan adalah:17
Derajat Karakteristik
2 Ulkus meluas ke ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia dalam tanpa adanya abses atau
osteomielitis
C. Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan salah satu komplikasi dari diabetes melitus yang
disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah. Penyakit yang termasuk dalam
kategori ini adalah Ketoasidosis diabetikum serta Hyperglicemic Hyperosmolar State
(HHS). Ketoasidosis diabetikum sering didapatkan pada diabetes melitus tipe 1 dan
seringkali tidak mendapatkan penanganan yang tepat sehingga meningkatkan
morbiditas dan lama waktu perawatan, tetapi seiring perbaikan penanganan pasien dan
pemeriksaan yang semakin baik, tingkat mortalitas akibat ketoasidosis diabetikum
sudah berkurang jauh dalam 20 tahun terakhir menjadi <1%, sedangkan HHS sering
terjadi pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan tingkat mortalitas dilaporkan di
angka 5%-16%
Beberapa penyebab yang dapat memicu terjadinya krisis hiperglikemia adalah infeksi
(infeksi saluran kemih dan pneumonia pada HHS), ketidakpatuhan terhadap terapi
insulin yang diberikan (pada ketoasidosis diabetikum), penyebab non-infeksi lain
seperti infark miokard, penggunaan alkohol dan pankreatitis serta psikologis seperti
depresi dan gangguan makan. Ketoasidosis diabetikum terjadi karena terjadinya
penurunan sirkulasi dari insulin yang beredar didalam tubuh akibat peningkatan
hormon yang menurunkan sekresi insulin (counter-regulatory hormones). Keadaan
tersebut akan membuat hati meningkatkan produksi glukosa melalui proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis. Peningkatan rasio glukagon/insulin akan
menurunkan aktivitas enzim malonyl coenzyme A. Keadaan defisiensi insulin ini juga
menyebabkan aktivasi dari lipase dan meningkatkan pemecahan trigliserida menjadi
asam lemak bebas yang kemudian akan dioksidasi menjadi badan keton yang
selanjutnya akan menurunkan kadar bikarbonat. Pada HHS, sekresi insulin yang lebih
tinggi diduga menjadi faktor terpenting yang mencegah terjadinya ketosis.
Gejala yang dapat dialami seseorang dengan ketoasidosis diabetikum Gejala klasik
DM (polidipsia, poliuria dan polifagia), Penurunan berat badan, Lemas, Mual dan
muntah sedangkan tanda yang dapat dijumpai adalah penurunan kesadaran,
hipotermia, tanda dehidrasi (membran mukosa yang kering serta turgor kulit yang
buruk) takikardia, takipneu, dan yang paling khas untuk ketoasidosis adalah
pernafasan yang cepat dan dalam (Kussmaul) dan nafas yang berbau seperti aseton.
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan trias hiperglikemia, ketonemia
(adanya benda keton dalam urin (+2 pada urine dipstick atau darah) serta temuan
asidosis metabolik (penurunan pH <7,3 dan bikarbonat darah). Diagnosis ketoasidosis
diabetikum dibuat berdasarkan tanda dan gejala serta adanya trias ketoasidosis
diabetikum yang ditemukan pada pemeriksaan penunjang. Untuk HHS, tanda dan
gejala yang dapat timbul hampir sama dengan ketoasidosis diabetikum tetapi
umumnya terjadi pada individu berusia ≥60 tahun. Diagnosis dapat dibedakan
berdasarkan hasil laboratoium dimana pada HHS, kadar glukosa darah yang ditemukan
dapat mencapai >600 mg/dL dan osmolaritas darah yang >320 mOsm/Kg serta pH
>7,3 dan kadar bikarbonat darah >18 mEq/L.
Tatalaksana Krisis hiperglikemia bertujuan untuk memperbaiki kondisi dehidrasi,
hiperglikemia dan hiperosmolalitas, ketidakseimbangan elektrolit, ketonemia dan
menemukan penyebab yang mendasari. Pemeriksaan tanda – tanda vital secara
berkala, penghitungan pemberian cairan, dosis insulin yang tepat serta urine output
sangat diperlukan untuk menilai respon klinis dari pasien. Selain itu, pemeriksaan
glukosa dan elektrolit, pH, bikarbonat, dan anion gap dilakukan setiap 2-4 jam.
D. Komplikasi Makroangiopati
Komplikasi Makroangiopati pada diabetes melitus terdiri dari penyakit jantung
koroner, penyakit serebrovaskular (stroke iskemik atau hemoragik) dan penyakit arteri
perifer. Pada penyakit jantung koroner, ada dua mekanisme yang mendasari, yaitu
hiperglikemia dan resistensi insulin. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang akan menginaktivasi nitric Oxide
(NO), sehingga akan terjadi disfungsi endotel. Reactive Oxygen Species juga
berkontribusi terhadap terhadap penyakit jantung koroner dengan mengaktifkan
Protein Kinase C (PKC) yang akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi dan matriks
ekstraselular. Hasil akhir yang terjadi adalah terjadinya gangguan homeostasis dari
vaskular dan meningkatkan kejadian komplikasis vaskular. Resistensi insulin juga
berperan dalam terjadinya penyakit jantung koroner melalui inaktivasi enzim
endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS). Resistensi insulin yang terjadi diakibatkan
oleh obesitas, dimana jaringan adiposa akan menghasilkan asam lemak bebas dan
mediator inflamasi lainnya. Resistensi insulin yang terjadi juga diakibatkan karena
berkurangnya fungsi dari glucose transporter type 4 (GLUT-4).
Selain penyakit jantung koroner, diabetes melitus juga meningkatkan risiko terjadinya
stroke. Sebuah studi mendapatkan bahwa kejadian stroke meningkat 35% pada pasien
yang memiliki diabetes melitus4. Studi lain juga mendapatkan data bahwa pada
individu yang menderita diabetes, risiko terjadinya stroke iskemik meningkat 2,3 kali
lebih tinggi dan 1,6 kali lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan individu
yang tidak menderita diabetes melitus.
Penyakit arteri perifer juga menjadi salah satu komplikasi makroangiopati diabetes
lainnya. Penelitian di Jerman mendapatkan bahwa pada pasien dengan usia lebih dari
65 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk munculnya penyakit arteri
perifer, dimana disebut penyakit arteri perifer apabila Ankle Brachial Index (ABI)
<0,9. Pada pasien dengan penyakit arteri perifer, risiko terjadinya ulkus akibat iskemia
meningkat 20% dalam waktu 10 tahun.
E. Komplikasi Mikroangiopati
Komplikasi mikroangiopati pada diabetes dapat mengenai pembuluh darah mata
(retinopati), ginjal (nefropati) dan saraf (neuropati). Mekanisme yang mendasari
terjadinya komplikasi mikroangiopati pada diabetes adalah adanya pembentukan
advanced glycation products (AGEs), Stress oksidatif, inflamasi derajat rendah dan
adanya neovaskularisasi vasa vasorum. Pada retinopati, risiko terjadinya komplikasi
ini berbanding lurus dengan derajat keparahan hiperglikemia. Pasien dapat mengalami
gejala pandangan yang buram, floaters, kebutaan yang permanen, namun pada stadium
awal sering tidak ada gejala dan ditemukan secara tidak sengaja saat funduskopi.
Pada pasien nefropati diabetikum sering tanpa gejala (asimptomatik) pada awal
timbulnya penyakit, pada stadium lanjut dapat timbul gejala seperti kelelahan, urin
yang berbusa, dan edema pada kaki yang disebabkan karena hipoalbuminemia dan
sindrom nefrotik(asimptomatik), tetapi dalam hasil laboratorium dapat ditemukan
adanya albuminuria yang persisten (>300 miligram/24 jam atau >200
mikrogram/menit).
F. Neuropati Diabetikum
Neuropati diabetikum merupakan gangguan pada sistem saraf perifer yang disebabkan
oleh penyakit diabetes melitus. Terkadang neuropati diabetikum menyebabkan kaki
penderita diabetes melitus menjadi “mati rasa” sehingga dapat menyebabkan luka
yang tidak diketahui oleh penderita diabetes melitus tersebut, dan tanpa pemeriksaan
kaki yang menyeluruh maka dapat menyebabkan terjadinya ulkus diabetikum.
Neuropati diabetikum merupakan komplikasi kronik tersering dari diabetes melitus
dan datang dengan gejala yang berbeda – beda.21 Prevalensi neuropati diabetikum di
Indonesia untuk neuropati diabetikum sendiri mencapai 63,5% dari seluruh penderita
diabetes melitus yang berjumlah 1785 orang pada suatu penelitian.22
Neuropati diabetikum dapat terjadi secara simetris maupun asimetris, pada tipe
simetris dapat terjadi neuropati simetris distal, neuropati autonomik, neuropati
pseudodiabetik dll., sedangkan pada tipe asimetris dapat terjadi neuropati
radikuloplexus lumbosakral, neuropati radikuloplexus servikolumbal, dll. 23 Dari sekian
banyak klasifikasi tersebut, yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus adalah
tipe simetris distal (Distal Symemetric Polyneuropathy (DSPN)
Morfin 10 – 120
Opioid kuat
Ketiga Oksikodon 10 – 120
H. Prognosis
Prognosis pasien dengan diabetes melitus sangat dipengaruhi oleh derajat pengendalian
penyakitnya. Hiperglikemia kronis dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi
mikrovaskular, seperti yang ditunjukkan dalam Diabetes Control and Complications
Trial (DCCT) pada individu dengan diabetes tipe 1 dan United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) pada individu dengan diabetes melitus tipe 2.29
Pengembalian ke regulasi glukosa normal selama upaya untuk mencegah
perkembangan pra-diabetes menjadi diabetes merupakan indikator yang baik dalam
memperlambat perkembangan penyakit, dan hal ini terkait dengan prognosis yang lebih
baik.29