ST ELEVATION MIOCARD
DISUSUN OLEH :
SURIYANTI LISTIN
C 111 09 295
KONSULEN:
DR. dr. IDAR MAPPANGARA, SPPD, SPJP, FIHA
1
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Supervisor
2
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Mr. Bs
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 62 tahun
Alamat : BTN MINASAUPA
MRS : 20 februari 2014
MR : 651823
Perawatan : CVCU
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri dada
Anamnesis terpimpin :
Nyeri dada kiri dirasakan sejak 4 hari yang lalu dan dirasakan 2 hari terakhir
sebelum masuk rumah sakit,Nyeri seperti terbakar dan menjalar ke lengan
kiri. Durasi ± 10 menit dan dirasakan saat istirahat. Keringat dingin (+) dan
rasa berdebar-debar (+) terutama saat nyeri dada. Pusing (-) dan sakit kepala
(-). Batuk (-) dan lendir (-).Sesak napas (-), riwayat sesak napas sebelumnya
(-). Mual (-), muntah (- ), nyeri ulu hati (-).
BAK :Lancar, Kuning
BAB :Kuning, Biasa
Riwayat penyakit dahulu :
• Riwayat Diabetes Mellitus (-)
• Riwayat Hipertensi (+) 2 tahun yang lalu tidak berobat teratur
• Riwayat Dislipidemia (-)
• Riwayat mengkonsumsi rokok (+) sejak muda ± 1 bungkus perhari
• Riwayat nyeri dada sebelumnya (-)
• Riwayat penyakit jantung (-)
• Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga (-)
3
C. PEMERIKSAAN FISIS
Status generalis
GCS 15 (E4M6V5)
BB: 50 kg, Tb: 150 cm, IMT: 22,2 kg/m2
Sakit sedang / gizi cukup / sadar
Tanda vital
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,70C
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
Auskultasi : BP: Vesikuler,
Bunyi tambahan: ronki -/- pada basal paru, wheezing -/-
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apex jantung tidak tampak
Palpasi : Apex jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung bawah : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV Line parasternalis dextra
Auskultasi : BJ: S I/II regular, murmur (-), gallop (-)
4
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
Pemeriksaan Ekstremitas
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
EKG
6
Interpretasi
• Ritme : Reguler
• Heart Rate : 100 x/ minute
• Axis : normoaxis
• P Wave : 0.08s
• PR Interval : 0.12s
• QRS Duration : 0.06s
• ST Segment : ST Elevasi pada lead III, aVF
• T inverted : Lead II,III,aVF,V5-V9
7
• Kesimpulan : Ritme sinus, Heart Rate 100x/mnt, Infark miokard
pada Inferior et posterior
E. DIAGNOSA
STEMI Inferior et Posterior Killip I Onset > 24 jam
HT grade II
F. TERAPI
- O2 2- 4 lpm via nasal canul
- IVFD Nacl 0,9 % 500 cc/24 hour
- Aspilet 80 mg (loading dose 2x80 mg)
- Clopidogrel 75 mg (loading dose 4x75 mg)
- Farsorbid 5 mg/SL(K/P)
- Farsorbid 10 mg 3x1
- Simvastatin 1x 20 mg
- Alprazolam 0,5 mg 0-0-1
- Valsartan 1x80 mg
- Laxadyn syr 0-0-2 C
G. ANJURAN
- Echocardiography
- Angiography
PEMBAHASAN
8
A. PENDAHULUAN
B. PATOFISOLOGI
9
C. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat
diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang
tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli
arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi,
arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
D. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja yang ditegakkan dari kasus adalah STEMI (ST Elevation
Myocardial Infarction). Dengan dasar anamnesis nyeri dada yang khas dan
gambaran EKG yang menunjukkan adanya Elevasi ST ≥ 2mm, minimalJika
dilakukan pemeriksaan enzim jantung dan hasil troponin T yang meningkat, maka
semakin memperkuat diagnosis, namun keputusan untuk memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA), prinsip utama pelaksanaan adalah time is
muscle.
1. Nyeri dada :
10
Sifat nyeri dada (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA:
- Lokasi: substernal, retrosternal, dan perikordial.
- Sifat nyeri: rasa sakit ditekan, terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas,
dipelintir.
- Penjalaran: lengan kiri, leher, punggung, interskapula, perut, lengan kanan
bawah.
- Nyeri membaik/menghilang dengan istirahat/nitrat.
- Factor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
- Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas,
lemas.
11
- Orthopnea
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
- Dyspnea at rest
Perbedaan prinsip DOE pada individu normal dengan penderita gagal
jantung kiri adalah derajat aktivitas yang menyebabkan keluhan.Pada individu
normal beban latihan berat menyebabkan dispneu.Pada gagal jantung kiri yang
makin berat, intensitas latihan yang menyebabkan dispneu yang tidak terjadi
sebelumnya.DOE pada gagal jantung kiri merupakan akibat dari desaturasi arteri,
hipertensi vena pulmonalis, dan stiff lung.
3. Pemeriksaan fisis
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat, seringkali
ekstremitas pucat dan keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.
4. EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI.Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.Pemeriksaan ini merupakan
landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan
gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat
untuk dilakukan terapi reperfusi.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
Infark Miokard Gelombang Q. Sebagian kecil tetap menetap menjadi Infark
Miokard Non Gelombang Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi
segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau
non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
12
Gambar 1 Hasil pemeriksaan EKG pada pasien STEMI
13
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama
infark.
14
- cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam. Enzim cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan Infark Miokard Akut adalahmengurangi/menghilangkan
nyeri dada, Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruang yang terpat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
1. Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman pada dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
15
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG
intravena.NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.Tapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistol <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan
(infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih, dan hipotensi).
b. Beta-Bloker
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian beta-bloker
IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24
detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Limabelas menit setelah
dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap
6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
c. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
16
samping adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga dapat terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan
tekanan darah arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi
tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan
NaCl 0,9%. Morfin juga dapat memberikan efek samping bradikardia, blok
jantung derajat tinggi, terutama pada pasien dengan infark posterior. Namun
hal ini dapat dicegah dengan pemberian atropin 0,5 mg IV
17
1. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka
arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah
sakit.
18
2. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien
paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
PCI.
B. Kontraindikasi relatif
- Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
- Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
- Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
19
- Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
- Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
- Pungsi vaskular yang tak terkompresi
- Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
- Kehamilan
- Ulkus peptikum aktif
- Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase
mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama
dibandingkan dengan tPA.
20
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan.
b. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat
beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.
1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal
STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri
koroner yang terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada
STEMI.Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan
mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah
komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian
ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan
stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi
segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis
adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan
sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik
fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan
infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali.
21
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2
dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk
pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien
dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi,
menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah
serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat
dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi
reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi
(18%).
3) Beta blocker
Beta blocker pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang
diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Beta blocker intravena memperbaiki hubungan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang
serius.Terapi beta blocker pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapatkan terapi ACE inhibitor, kecuali pada
pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi
sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik,
atau riwayat asma).
22
4) ACE Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan
aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE
menunjukkan manfaat ACE Inhibitor pada pasien dengan risiko tinggi
(pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan
atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat ACE Inhibitor menahun pasca
infark. ACE Inhibitor harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien
STEMI. Pemberian ACE Inhibitor harus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.
F. KOMPLIKASI
1. Aritmia
Beberapa bentuk aritmia mungkin timbul pada IMA.Hal ini disebabkan
perubahan-perubahan listrik jantung sebagai akibat iskemia pada tempat infark
atau pada daerah perbatasan yang mengelilingi, kerusakan sistem konduksi, lemah
jantung kongestif atau keseimbangan elektrolit yang terganggu.
Aritmia ventrikel: ekstra sistol ventrikel (VES) sering terjadi pada IMA.
Takikardia ventrikel (VT) atau fibrilasi ventrikel (VF) penyebab utama kematian
mendadak sebelum mencapai coronary care unit.VES dapat merupakan pencetus
timbulnya VT atau VF.
VES yang merupakan “peringatan” akan terjadinya VT atau VF adalah:
- Fenomena R on T : interval yang pendek antara komplek sinus dengan VES
- VES yang sering > 4/menit
- Repetitif VES : couple, triple, quatriple
- Bentuk multiple dari dari VES pada 1 sadapan
VT atau VF tanpa ada VES sebelumnya dapat pula terjadi. Aritmia atrial:
atrial takikardia, atrial fibrilasi, atrial flutter jarang terjadi, tetapi bila ada
23
menyebabkan gangguan/kemudian hemodinamik. Bradiaritmia akibat kerusakan
nodus SA atau AV sering terjadi pada IMA di dinding inferior.
3. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah
mengalami infark yang masif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel
kiri.Selain pengobatan awal dan keberhasilan revaskularisasi primer melalui
PTCA di beberapa RS, syok kardiogenik tetap merupakan penyebab kematian
utama pada pasien rawat inap yang menderita infark miokardium.Syok
kardiogenik merupakan lingkaran setan perubahan hemodinamik progresif hebat
yang ireversibel, dimana terjadi penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi
koroner, dan peningkatan kongesti paru. Bila terjadi hipotensi, asidosis metabolik
dan hipoksemia selanjutnya akan semakin menekan fungsi miokardium. Insidensi
syok kardiogenik adalah 10-15% kasus sedangkan kematiannya mencapai 68%
jika tidak segera diobati.Terapinya menggunakan obat trombolitik, pompa balon
intra-aorta (IAPB) dan revaskularisasi awal dengan angioplasti atau cangkok
pintas arteria koronaria (CABG) dapat menurunkan mortalitas.
4. Emboli/Tromboemboli
Merupakan komplikasi klinis nyata pada infark miokardium akut dalam
10% kasus (terutama dengan infark yang luas pada dinding anterior).EKG 2
24
dimennsi memperlihatkan sekitar sepertiga penderita infark anterior memiliki
trombi dalam ventrikel kiri, tetapi jarang terjadi pada penderita infark inferior dan
posterior. Tromboembolisme dianggap merupakan faktor penting yang berperan
dalam kematian sekitar 25% pasien infark yang meninggal setelah dirawat
inap.Emboli arteri berasal dari trombi mural dalam ventrikel kiri dan dapat
menyebabkan stroke bila terdapat dalam sirkulasi serebral.Sebagian besar emboli
paru terjadi di vena tungkai dan terbatasnya aliran darah ke jaringan menyebabkan
meningkatnya risiko.
G. PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:
i. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana ; S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
ii. Klasifikasi Forrester, berdasarkan monitoring hemodinamik indeks
jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
25
iii. TIMI risk score, adalah sistem prognostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai
pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.
26