Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Barru
Tanggal Masuk : 25 Desember 2015
No RM : 333391

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas dialami sejak ± 1 minggu yang lalu dan memberat 2 hari terakhir.Sesak
dirasakan pada saat pasien istirehat atau tidur terlentang.Pasien mengeluh terbangun
tengah malam karena sesak.Nyeri dada tidak ada.Pasien mengakui sudah minum obat
namun sakit tidak berkurang.Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati yang dialami sejak ±
1 minggu yang lalu.Keluhan sesak napas tidak disertai mual dan muntah.
BAB: Biasa, kesan normal
BAK: Lancar, kesan cukup
.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya ada sejak ± 9 bulan yang lalu, Riwayat
dirawat dibagian jantung RSWS 4 minggu yang lalu dengan keluhan sesak.
Riwayat nyeri dada ada, saat pertama kali dirawat dirumah sakit. Nyeri dada
kiri dirasakan menjalar ke tangan kiri,bahu dan leher. Kualitas nyeri berupa
nyeri tumpul seperti rasa tertindih dan rasa berat. Nyeri dada dialami lebih dari
20 menit, tidak hilang dengan istirahat. Nyeri dada disertai keringat dingin,
mual, dan terkadang muntah, sesak dan lemas.

1
 Riwayat hipertensi ada kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu.
 Riwayat Diabetes Mellitus ada sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu. Pasien
ambil suntikan insulin secara teratur.
 Riwayat asma disangkal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : diakui, ibu pasien memiliki riwayat hipertensi
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal

III. FAKTOR RISIKO


a. Tidak dapat dimodifikasi:
Perempuan 65 tahun. Riwayat sesak dan nyeri dada sebelumnya
b. Dapat dimodifikasi:
Hipertensi, Diabetes Mellitus

IV. PEMERIKSAAN FISIS


 Status generalis
Sakit sedang / gizi baik / compos mentis

 Tanda vital
Tekanan darah: 130/70 mmHg
Nadi: 88 kali per menit
Pernapasan : 28 kali per menit
Suhu: 36,5° C

2
 Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (+), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+ 3cm H2O

 Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 4 kanan
Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan:ronchi +/+ di basal paru,
wheezing -/-
 Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di garis parasternalis, dan batas jantung
kiri di linea midaksilaris kiri
Auskultasi : BJ: S I/II regular, Murmur tidak ada

 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+)

 Pemeriksaan Ekstremitas
Edema -/-

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
WBC 9.8 [10^3/mm3] 4.0 - 10.0
RBC 3.41 [10^6/mm3] 4.50 - 6.50
HGB 10.5 g/dL 14.0 – 18.0
HCT 30.7 % 40.0 – 54.0
PLT 296 [10^3/mm3] 150 - 400

3
PT 42.9 detik 10 - 14
INR 4.05 -
APTT 43.1 detik 22.0 – 30.0
Ureum 41 mg/dl 10 – 50
Creatinine 1.62 mg/dl < 1.1

SGOT 29 U/L < 38

SGPT 9 U/L < 41

CK 66.80 U/L < 167 U/L

CK-MB 11.3 U/L < 25

Troponin I 0.35 ng/ml < 0.01

Natrium 144 mmol/l 136 – 145

Kalium 4.8 mmol/l 3.5 – 5.1

Klorida 110 mmol/l 97 – 111

GDP 103 mg/dl 110

GD2PP 171 mg/dl <200

HBA 1c 8.1 % 4–6

Kolesterol total 216 mg/dl 200

Kolesterol HDL 43 mg/dl >55

Kolesterol LDL 126 mg/dl <130

Trigliserida 163 mg/dl 200

b. Foto Thorax

4
Kesan :
Pneumonia dextra
Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru
Atherosclerosis aortae
Efusi pleura sinistra

c. EKG

5
Interpretasi
• Sinus rythum
• Heart rate 100 beat per minute
• Inferior and lateral wall ischemic
• Left ventricle hypertrophy
• ST elevation at aVR
• Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 100 bpm, normoaksis, iskemik inferior dan lateral,
hiperrofi ventrikel kiri, elevasi ST pada aVR

II. DIAGNOSIS
Non ST- Elevasi Myocardial Infarction
Congestive Heart Failure NYHA 3
Hypertension grade 1
Diabetes Mellitus type 2 non obese

6
III. TERAPI
 O2 4 lpm via nasal canule
 Furosemide 40mg/12jam/IV
 Captopril 12,5mg/8jam/oral
 Isosorbid Dinitrate 10mg/8jam/oral
 Simvastatin 20mg/24jam/oral
 Clopidogrel 75mg/24jam/oral
 Omeprazole 40mg/24jam/IV
 Neurodex 1tab/24jam/oral
 Urine catheter

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

NON ST-ELEVATION MYOCARD INFARCTION


1. Definisi

7
Infark miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina
tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak
meningkat, diagnosis mengarah UAP.

2. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak
selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai
vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak
mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi
dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal).
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi
plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

3. Manifestasi Klinis
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan
berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian
nitrogliserin.

8
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat.
Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil
dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau
normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah
kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang
disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan
pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara
friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI.

4. Faktor Risiko
a. Tidak dapat diubah
 Umur seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit jantung akan
meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal ini terkait dengan
kemungkinan terjadinya atherosclerosis yangmakin besar, terkait dengan deposit
lemak serta elastisistas pembuluh darah yang makin menurun seiring dengan
bertambahnya umur.
 Jenis kelamin  lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.
Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah wanita menopause, insidensi
terjadinya hampir sama
 Genetik  terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria brakhialis,
pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media.
b. Dapat diubah
 Merokok  zat-zat yang terkandung di dalam rokok serta asap rokok itu sendiri
merupakan zat radikal bebas yang bersifat oksidatif dan dapat merusak pembuluh
darah. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya penurunan elastisitas
maupun kesehatan dari jantung, yang bisa juga menjadi premature tidak lagi mengacu
pada umur.
 Hipertensi  dengan kondisi hipertensi, diketahui bahwa beban usaha serta kontraksi
jantung telah meningkat untuk mengompensasi kondisi di perifer yang kemungkinan

9
telah mengalami atherosclerosis. Dan tidaklah tidak mungkin bahwa plak yang ada di
perifer tersebut akan mengalami ruptur dan menyumbat pembuluh darah koroner.
 Diabetes mellitus  individu dengan penyakit ini rentan menderita atherosclerosis
karena akan mengalami berbagai proses yang tidak lazim did alam tubuhnya, terutama
di tingkat seluler, yang nantinya akan mempengaruhi pembuluh darah dan reaksi-
reaksi yang terjadi di dalamnya
 Dislipidemia  terkait dengan kadar lemak dan kolesterol yang tidak terkontrol, yang
kemungkinan akan menempel di pembuluh darah
 Dan lain-lain.

1. Penegakan Diagnosa
Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu
 Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.
 Perubahan elektrokardiografi (EKG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut,
EKG pasien dengan trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi
elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST
digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI.
 Peningkatan petanda biokimia.
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik .Oleh
sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah
yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-
MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan
cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum protein-protein
ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.

EKG
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-
normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis

10
Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di
sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20
menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi
gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI.

2. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk mengontrol
simtom dan mencegah progresifitas dari NSTEMI, atau setidaknya mengurangi tingkat
kerusakan miokard. Terapi serta pencegahan untuk NSTEMI dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :

Anti Iskemia
Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya
terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler
yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus,
preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra. penyekat beta oral
hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra. Pemberian penyekat
beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA
tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III.
Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode
angina.
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat
nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra.

11
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi
dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh
menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau
angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30
mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala
gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk
terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.

Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator
arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan
diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang
seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan
untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi
keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra
terhadap penyekat beta.
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi
penyekat beta.
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan
kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.

12
Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading
150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa
memandang strategi pengobatan yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual
antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada
pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi
bersama dengan antikoagulan atau steroid.
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian
indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang
hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90
mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian
clopidogrel kemudian dihentikan).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor.
Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima
strategi invasif ketika tidak bias mendapatkan ticagrelor.
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat.
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan
penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau

13
clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik
yang tinggi.
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan)
setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan
NSAID non-selektif ).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan. Penggunaan
penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah
mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin
sebelum angiografi atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara
konservatif.
Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet.
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut.
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang
paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan.
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor
GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.

14
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul
rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan

Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat
diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah
yang masih efektif.
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua
atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih.
5.6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan
menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien
dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang
telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra,
pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi,
atau penyakit ginjal kronik (PGK).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas. Pilih jenis
dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada.
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap
inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal
jantung

15
Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua
penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika
tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien
keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/
dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai

3. Komplikasi
Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI, sehingga menimbulkan
komplikasi seperti :
- Aritmia
- Gagal jantung
- Komplikasi mekanik
- Shock kardiogenik

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

1. Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung


(cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO
mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang.Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi
yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme
kompensasi melalui perubahan - perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel.Salah satu
respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling
pressure) dari jantung atau preload.Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga
mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal
jantung kongestif.Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang
sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam waktu singkat menimbulkan berbagai

16
tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat mengadakan mekanisme kompensasi yang
kronis maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif akut (Dumitru, I., 2010).

2. Epidemiologi

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 per
1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung umur. Menurut
penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia
75 – 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila
dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan
meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung
berat lebih dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan
550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan oleh gagal
jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang pasti (Maggioni, A.,
2005).

Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal.Secara epidemiologi cukup penting
untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung.Di negara maju penyakit arteri koroner dan
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi
penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi.Pada beberapa keadaan, sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal
jantung.Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.Penyakit jantung
koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-
laki dan 27% pada wanita.Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga
merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung
(Rodeheffer, R., 2005).

Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL
juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi
telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa

17
penelitian.Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri.Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi
ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia
ventrikel.Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung (Jackson, G., 2000).

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan


disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup
ataupun penyakit pada perikardial.Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori
fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi.Kardiomiopati
dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,
penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan)


meski secara sporadik masih memungkinkan.Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut
miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan
obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).Kardiomiopati restriktif
ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan
dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian
ventrikel (Rodeheffer, R., 2005).

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini
sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.Penyebab utama terjadinya gagal jantung
adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta)
menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).Aritmia sering ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi
ventrikel kiri pada penderita hipertensi.Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan (Rodeheffer, R., 2005).

18
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut
maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkoholik).Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus.Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin.Obat – obatan juga dapat menyebabkan
gagal jantung.Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga
dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

Klasifikasi

Pembahagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan fungsional


jantung yaitu:

 Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.


 Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-
hari tanpa keluhan.
 Kelas 3: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
 Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus
tirah baring

1. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi Klinis Umum Deskripsi Mekanisme

Sesak napas (juga disebut dyspnea) Sesak napas selama Darah dikatakan
melakukan aktivitas “backs up” di
(paling sering), saat pembuluh darah paru
istirahat, atau saat tidur, (pembuluh darah yang
yang mungkin datang kembali dari paru ke
tiba-tiba dan jantung) karena
membangunkan. Pasien jantung tidak dapat
sering mengalami mengkompensasi
kesulitan bernapas suplai darah.Hal ini
sambil berbaring datar menyebabkan cairan
dan mungkin perlu bocor ke paru-paru.
untuk menopang tubuh
bagian atas dan kepala

19
di dua bantal. Pasien
sering mengeluh
bangun lelah atau
merasa cemas dan
gelisah.

Batuk atau mengi yang persisten Batuk yang Cairan menumpuk di


menghasilkan lendir paru-paru (lihat di
darah-diwarnai putih atas).
atau pink.

Penumpukan kelebihan cairan dalam Bengkak pada Aliran darah dari


jaringan tubuh (edema) pergelangan kaki, kaki jantung yang
atau perut atau melambat tertahan
penambahan berat dan menyebabkan
badan.  cairan untuk
menumpuk dalam
jaringan. Ginjal
kurang mampu
membuang natrium
dan air, juga
menyebabkan retensi
cairan di dalam
jaringan.

Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat


sepanjang waktu dan memompa cukup
kesulitan dengan darah untuk
kegiatan sehari-hari, memenuhi kebutuhan
seperti belanja, naik jaringan tubuh. 
tangga, membawa
belanjaan atau berjalan.

Kurangnya nafsu makan dan mual Perasaan penuh atau Sistem pencernaan
sakit perut. menerima darah yang
kurang, menyebabkan
masalah dengan
pencernaan.

Kebingungan dan gangguan berpikir Kehilangan memori Perubahan pada


dan perasaan menjadi tingkat zat tertentu
disorientasi.  dalam darah, seperti
sodium, dapat

20
menyebabkan
kebingungan.

Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar- Untuk "menebus"


debar, yang merasa kerugian dalam
seperti jantung Anda memompa kapasitas,
balap atau berdenyut. jantung berdetak lebih
cepat.

(American Heart Association, 2011)

DAFTAR PUSTAKA

1. Daga LC, Kaul U, Mansoor A.


Approach STEMI and
NSTEMI. Association of Physicians India. 2011;Vol 59.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Infark Miokard
Akut Tanpa Elevasi ST. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
3. Loscazlo J, Libby P, Braunwald E. Harrison's Principle of Internal Medicine Disorder of
the Cardiovascular System2010.
4. Indonesia PDSK. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 2015;3.
5. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC. 2007.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. 2010.

21
7. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007

22

Anda mungkin juga menyukai