Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR Maret 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST ELEVATION MYOCARD INFARCTION INFERIOR WITH


KILLIP II

DISUSUN OLEH :
Maharani Ave Maria Purba C111 14 114
Ikmal Hisyam C111 14 829

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Zaenab Djafar, Sp.PD., FINASIM, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama dan NIM : Maharani Ave Maria Purba C111 14 114


Ikmal Hisyam C111 14 829
Judul Laporan Kasus : ST Elevasi Miocardial Infarction (STEMI) Inferior
with Killip II

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan


Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 7 Maret 2018

Supervisor Pembimbing,

Dr. Zaenab Djafar, Sp.PD., FINASIM., Sp.JP., FIHA


BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Masita
Umur : 70 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pensiun
Agama : Islam
Alamat : Sinjai
Tanggal Masuk: 19 Februari 2018
No. RM : 833194

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan nyeri dada dirasakan sejak 7 hari yang lalu saat pasien
sedang duduk berkumpul dengan keluarganya. Nyeri dada
dirasakan seperti tertekan beban berat atau tertindis dengan durasi
lebih dari 20 menit dan terjadi hilang timbul. Keluhan disertai
dengan mual tapi tidak muntah, sesak napas, rasa lemas dan
keringat dingin. Demam tidak ada, sakit kepala tidak ada, batuk
tidak ada, ada nyeri ulu hati. Sebelumnya pasien telah dirawat di
RSUD Sinjai namun keluhan tidak berkurang sehingga pasien
dirujuk ke Pusat Jantung Terpadu (PJT) RSWS tanggal 19 Februari
2018. Buang air besar normal dan buang air kecil lancar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada
 Riwayat hipertensi sejak 4 tahun lalu, tidak teratur berobat
dengan Amilodipine dengan tensi rata-rata 140/90 mmHg
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat dislipidemi disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat nyeri dada dalam keluarga disangkal
 Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat dislipidemi dalam keluarga disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok 10 tahun lalu
 Riwayat minum alkohol disangkal

III. FAKTOR RESIKO


1. Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia 70 tahun
2. Dapat Dimodifikasi
Hipertensi

IV. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Generalis
Sakit sedang / Gizi kurang / Compos mentis
BB : 45 kg
TB : 160 cm
IMT : 17.58 kg/m2
2. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-), udem palpebra (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+3cmH2O
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 43 kali/menit
Pernapasan : 26 kali/menit
Suhu : 36,5 0C Sianosis (-)
Leher : Limfadenopati(-), pembesaran tiroid(-)
4. Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru hepar ICS 6
kanan
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan
ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
5. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS 4 garis
parasternalis kanan, dan batas jantung kiri di
ICS 5 linea midaksilaris kiri. Batas jantung
atas di ICS 2 sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2 murni regular, murmur
(-)
6. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
7. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas hangat, edema (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG (tanggal 19 Februari 2018)
Interpretasi
1. Ritme : Sinus ritme
2. Denyut jantung : 45 kali/menit
3. Regularitas : Reguler
4. Axis : Normoaksis
5. Morfologi
Gelombang P : Normal, 0,08 detik
PR Interval : Normal, 0,16 detik
Kompleks QRS : Normal, 0,16 detik
Segmen ST : LBBB, Elevasi di Lead II, III, aVF
Gelombang T : Normal, 0,15 mv
6. Kesimpulan :
Sinus rythm, HR 45 bpm regular, normoaxis, Left Bundle
Branch Block, ST Elevation II, III, aVF Inferior Myocardial
Infarction
b. Laboratorium (tanggal 22 Februari 2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
WBC 11.77 (103/uL) 4.00-10.00
RBC 3.33 (106/uL) 4.00-6.00
HGB 9.1 (g/dL)* 12.0-16.0
HCT 28.0 (%) 37.0-48.0
MCV 84.1 (fL) 80.0-97.0
MCH 27.3 (pg) 26.5-33.5
PLT 411 (103/uL)* 150-400
PT 16.2 detik* 10-14
INR 1.53 -
APTT 35.7 detik* 22.0-30.00
Ureum 65 mg/dl* 10-50
Creatinine 1.49 mg/dl* L(<1.3), P(<1.1)
SGOT 118 U/L* <38
SGPT 295 U/L* <41
CK 506.19 U/L* L(<190), P(<167)
CK-MB 42.4 U/L* <25
Troponin I >10.00 ng/ml* <0.01
Natrium 137 mmol/l 136-145
Kalium 4.3 mmol/l 3.5-5.1
Klorida 104 mmol/l 97-111

c. Pemeriksaan Foto Thoraks


Terdapat kardiomegali dan efusi pleura bilateral

d. Pemeriksaan Ekokardiografi
- Fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan menurun
- EF 46 % biplane
- Dilatasi semua ruang jantung
- Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik
- Hipokinetik segmental

VI. DIAGNOSIS
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Inferior Onset >24 jam
dengan Killip II disertai dengan Efusi Pleura

VII. TERAPI
1. NaCl 0,9% 500 ml/24 jam/intravena
2. Oksigen 4 liter/menit/nasal canul
3. Isosorbid dinitrat 5 mg/sublingual
4. Aspilet 80 mg/24 jam/oral
5. Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral
6. Spironolactone 25 mg/24 jam/
7. Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral
8. Nefrosteril 250 cc/24 jam/drips
VIII. RESUME
Seorang pria berusia 70 tahun rujukan RS Sinjai dengan STEMI
Inferior Onset >24 jam. Awalnya pasien merasakan nyeri dada seperti
tertekan beban berat atau tertindis dan terjadi hilang timbul, disertai
dengan mual tapi tidak muntah, serta sesak napas, rasa lemas, keringat
dingin, dan nyeri ulu hati.Riwayat masuk ke puskesmas dengan denyut
nadi lambat kemudian dirujuk ke RS Sinjai. Tidak ada riwayat
pemakaian trombolitik. Dirawat selama kurang lebih 4 hari, sesak
napas dialami sementara dirawat Tekanan darah=100/70 mmHg, nadi
43 kali/menit, pernapasan 26 kali/menit. JVP R+3 cmH2O. Ronki pada
basal paru di kedua lapangan paru, terutama sebelah kiri. Riwayat
hipertensi sejak 4 tahun lalu, tidak teratur berobat dengan Amilodipine
dengan tensi rata-rata 140/90 mmHg. Riwayat nyeri dada sebelumnya
disangkal dan riwayat dalam keluarga disangkal. Riwayat merokok 10
tahun lalu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian dan kecacatan yang
paling banyak. Salah satu bentuk penyakit kardiovaskuler terbanyak
adalah arteriosklerosis koroner atau disebut juga penyakit jantung koroner.
Arteriosklerosis koroner adalah proses dimana arteri menjadi kaku dan
menebal, merupakan bentuk penyakit kardiovaskuler yang terbanyak
dengan faktor risiko seperti bertambahnya usia, merokok, hipertensi,
diabetes, hiperkolesterol, gangguan fungsi ginjal, obesitas, kurangnya
aktivitas fisik dan riwayat keluarga. Sehingga dapat dikatan bahwa
sejumlah intervensi berbasis individu maupun populasi dapat
mempengaruhi prevalensi penyakit kardivaskuler.
Arteriosklerosis koroner mengganggu pasokan darah ke otot jantung
(miokardium) sehingga penderita akan merasa nyeri dada yang memberat
saat aktivitas ataupun emosi dan lega karena istirahat. Kondisi ini disebut
angina pectoris stabil. Penyempitan aliran darah miokard yang akut akan
menyebabkan iskemia, yang tidak dipicu oleh aktivitas, penderita akan
merasakan keluhan lebih lama berkepanjangan. Kondisi ini disebut
sebagai Sindroma Koroner Akut (SKA) dimana plak yang terbentuk di
dinding arteri koroner mengalami erosi atau ruptur secara tiba-tiba yang
kemudian merangsang pembekuan darah (trombosis) sehingga
menghalangi aliran darah.
Obstruksi koroner ini mungkin berdurasi pendek, dan mungkin tidak
menyebabkan kerusakan sel miokard (nekrosis), dimana sindrom klinis
disebut angina tidak stabil. Angina tidak stabil dapat menyebabkan
perubahan reversibel pada elektrokardiogram (EKG) namun tidak
menyebabkan peningkatan troponin, protein yang dilepaskan oleh infark
miokard. Iskemia yang menyebabkan nekrosis miokard (infark) akan
mengakibatkan peningkatan troponin (NICE, 2011).
2. Defenisi
Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia
hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Bila infark iskemia menyebabkan
infark hanya berumur pendek atau hanya mempengaruhi wilayah
miokardium kecil, EKG akan sering tidak menunjukkan kelainan atau
perubahannya yang sedikit. Sindrom ini disebut non-ST-segment elevation
myocardial infarction (NSTEMI). Bila iskemia menyebabkan infark
miokard (MI) yang berkepanjangan, orang yang terkena biasanya akan
mengalami nyeri dada yang lebih parah dan berkelanjutan, seringkali
disertai sesak napas, mual dan berkeringat. Gejalanya bisa atipikal,
terutama pada wanita, orang tua, dan penderita diabetes. Troponin jantung
tidak hanya akan dilepaskan, namun EKG biasanya akan menunjukkan
elevasi segmen ST, sehingga jenis serangan jantung yang lebih parah ini
disebut infark miokard ST-segmen elevasi (STEMI) (NICE, 2011)

3. Epidemiologi
Saat ini ada sekitar 1 juta pria dan hampir 500.000 wanita yang memiliki
MI di Inggris. Laporan pada tahun 2012 di Inggris menggambarkan lebih
dari 79.000 penerimaan masuk rumah sakit karena MI di tahun
sebelumnya, 41% STEMI dan 59% NSTEMI. Angka kejadian MI dua kali
lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan, dimana usia rata-rata
mereka untuk MI pertama adalah 65 tahun, sementara perempuan
memiliki MI pertama di usia 73 tahun (NICE, 2011).
Angka mortalitas penyakit kardiovaskular di Indonesia mengalami
peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004
dibandingkan sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data
terakhir dari National Heart Survey, menunjukkan bahwa penyakit
serebrokardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia.
Studi kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi Jakarta
menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di Jakarta.
Data registri dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari tahun
2008-2009 mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana
sebanyak 654 orang mengalami STEMI (Irmalita, 2015)

4. Faktor Resiko
a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
- Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia.
Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko
lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik.
- Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan
kejadiannya lebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada
laki-laki lebih besar daripada wanita dan kondisi ini terjadi hampir 10
tahun lebih dini pada wanita.
- Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung daripada ras African
American. Kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna,
laki-laki mendominasi kematian, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan
lebih sering ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.
- Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga
langsung yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70
tahun merupakan faktor risiko independen. Agregasi PJK keluarga
menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini.

b. Faktor yang Dapat Dimodifikasi


- Hiperlipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan peningkatan kadar kolesterol
atau trigliserida serum di atas batas normal.
- Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan pompa.
- Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar
50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok
pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan
dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok.
- Riwayat penyakit diabetes mellitus
Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi
aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.

5. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya infark miokard akut disebabkan karena ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat
atherosklerosis atau plak.
a) Proses terjadinya fissura dan ruptur plak
Oklusi total atau hampir total sering terjadi secara tiba-tiba pada
arteri yang sebelumnya sudah mengalami stenosis. Hasil otopsi
menunjukkan bahwa lesi arteri pasien sindroma koroner akut
(SKA) memiliki gambaran morfologi yang kompleks dan
eksentrik, yaitu adanya ruptur plak yang ditutupi thrombus. Plak
matur terbentuk dari dua komponen yaitu inti kaya lipid dan
protein matriks ekstraseluler yang membentuk fibrous cap. Adanya
penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltrasi sel busa
berhubungan dengan fissura dan ruptur plak. Sebagian besar lesi
ini mengalami ruptur pada tempat yang mengalami stress mekanik
paling besar, misalnya pada daerah pertemuan plaque cap dengan
intima normal sekitarnya, atau pada daerah lengkungan
penumpukan lemak. Fissura terbentuk pada daerah cap yang lemah
dan bukan pada bagian yang mengalami stress besar. Hal ini
berhubungan dengan proteinase yang disekresi oleh makrofag yang
dapat merusak fibrous cap.
b) Thrombosis akut dan agregasi platelet
Thrombosis lokal dapat terjadi setelah ruptur plak. Inti lipid
merupakan substrat utama pembentukan thrombus yang kaya
platelet. Otot polos maupun sel busa dalam inti berhubungan
dengan ekspresi tissue factor pada plak yang tidak stabil. Apabila
terjadi kontak dengan darah, tissue faktor berinteraksi dengan
faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
mengakibatkan terbentuknya thrombin dan penumpukan fibrin
lokal. Beberapa lesi vascular akut dapat pulih kembali jika fissura
fissure dapat diperbaiki oleh adanya keseimbangan antara
thrombosis dan trombolisis.
Agregasi platelet dan pelepasan komponen granuler yang dapat
meningkatkan perlekatan platelet, vasokonstriksi, dan
pembentukan thrombus merupakan respon yang terjadi akibat
ruptur dinding endotel. Faktor sistemik dan inflamasi juga berperan
terhadap perubahan jalur hemostasis dan koagulasi, serta dapat
berperan pada terbentuknya intermittent thrombosis yang
merupakan karakteristik SKA. Reaktan yang dilepaskan pada fase
akut inflamasi, sitokin, infeksi kronik, dan katekolamin dapat
menyebabkan rangsangan sistemik yang dapat meningkatkan
produksi tissue factor, aktivitas prokoagulasi, dan
hiperagregabilitas platelet.
c) Vasospasme arteri coroner
Walaupun bukan merupakan pathogenesis dasar SKA, vasopasme
episodik dapat mengubah plak arteri koroner yang sebelumnya
stabil menjadi tidak stabil yaitu terjadi ruptur intima, penetrasi
makrofag dan agregasi trombosit.

6. Manifestasi Klinis
a. Nyeri dada
Mayoritas pasien infark miokard datang dengan keluhan nyeri dada.
Perbedaan dengan nyeri pada angina adalah nyeri pada infark miokard
lebih panjang yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang
dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan
istirahat akan tetapi pada infark tidak hilang dengan istirahat. Nyeri
dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat
dingin atau perasaan takut
b. Sesak nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolik vetrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas
merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan
biasanya lebih sering pada infark inferior dan stimulasi diafragma pada
infark inferior juga bisa menyebabkan cegukan terlebih-lebih apabila
diberikan martin untuk rasa sakitnya.
d. Nadi
Nadi biasanya cepat, kecuali bila ada blok atau hambatan AV yang
komplit atau inkomplit. Dalam beberapa jam, kondisi klinis pasien
mulai membaik, tetapi demam sering berkembang.

7. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemfis
Keluhan utama pada saat anamnesis adalah nyeri dada/angina atau
ketidaknyamanan berupa rasa tertekan dan berat yang muncul saat
istirahat atau saat aktivitas ringan selama lebih atau sama dengan 10-
20 menit. Nyeri paling sering terasa dibagian retrosternal dan menjalar
ke lengan, leher, ataupun rahang. Nyeri dada juga dapat disertai
dengan keringat dingin, dyspnea, lemas, mual, nyeri perut, atau sinkop.
Suatu sesak nafas saat aktivitas onset baru yang tidak dapat dijelaskan
atau sesak saat aktivitas yang semakin bertambah dapat dianggap
sebagai suatu angina ekuivalen. Pasien usia tua (≥ 75 tahun) dan
perempuan sering datang dengan angina atipikal begitu juga pasien
dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan dementia.
Angina atipikal biasanya berupa dari nyeri epigastrium, nyeri menelan,
rasa tertusuk atau nyeri pleuritik. Lansia, penderita diabetes dan pasien
NSAID mungkin menderita silent myocardial infarction. Pasien ini
umumnya ditemukan mengalami syok kardiogenik, hipotensi, aritmia
dan blok konduksi dan gagal ventrikel kiri akut. Faktor-faktor yang
meningkatkan kemungkinan antara lain usia tua, jenis kelamin laki-
laki, riwayat PJK dikeluarga, adanya penyakit arteri perifer,
insufisiensi ginjal, riwayat infark miokard sebelumnya, dan
revaskularisasi koroner sebelumnya (Kumar, 2009)
Pemeriksaan fisik pada infark miokard pada umumnya normal.
Apabila ditemukan tanda-tanda gagal jantung atau instabilitas
hemodinamik, sebaiknya segera ditentukan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat. Peran penting dari pemeriksaan 4 fisik
yakni untuk menentukan diagnosis banding, baik itu penyebab nyeri
dada nonkardiak dan penyakit jantung non-iskemik misalnya emboli
paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung valvular,
pneumothorax, atau aneurisme aorta abdominalis (Overbaugh, 2009)

b. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead harus dikerjakan dalam 10 menit setelah
pertama masuk ke rumah sakit. Karakteristik EKG pada sindroma
koroner akut dapat berupa ST depresi atau perubahan gelombang T,
apabila ditemukan suatu ST elevasi diagnosis STEMI dapat langsung
ditegakkan. Jika EKG awal normal, namun gejala tetap sama,
sebaiknya EKG diulang rekam kembali 15 menit sekali apabila pasien
mangalami gejala iskemik kembali dan hasilnya dibandingkan dengan
EKG sewaktu tidak ada keluhan. Membandingkan EKG dengan EKG
sebelumnya sangat diperlukan terutama pada pasien dengan
koeksistensi penyakit jantung lainnya seperti hipertropi ventrikel kiri
dan infark miokard sebelumnya. Perekaman EKG sebaiknya diulang
sekurang-kurangnya pada 6, 9 dan 24 jam pertama kali gejala. EKG
sebelum keluar dari rumah sakit juga disarankan untuk memastikan
dan juga sebagai data EKG dasar untuk dibandingkan apabila pasien
selanjutnya mengalami serangan berulang (ESC, 2012)

c. Biomarker
Sel miokard yang mengalami injuri akan melepaskan protein dan
enzim yang dikenal dengan penanda biokimia kardiak ke dalam darah.
Penanda biokimia ini membantu para dokter untuk mementukan
apakah pasien mengalami suatu infark miokard akut. Manfaat dari
berbagai penanda kimia ditentukan oleh waktu dan durasi peningkatan
kadarnya didarah. Troponin T dan troponin I merupakan penanda
biokimia kadiak yang paling spesifik dibandingkan dengan enzim
jantung tradisional seperti CKMB dan myoglobin. Protein ini dalam
keadaan normal tidak ditemukan diserum darah oleh karena itu
peningkatan kadar diserum kedua penanda biokimia ini dapat
memprediksi derajat pembentukan trombus dan embolisasi
mikrovaskular yang berkaitan dengan lesi koroner (Overbaugh, 2009).
Kadar troponin I dan T mengalami peningkatan dalam empat
sampai enam jam dari injuri miokard. Kadar troponin I tetap
meningkat selama 4- 7 hari sedangkan troponin T tetap meningkat
dalam 10-14 hari. Troponin kardiak merupakan penanda biokimia
pilihan dalam mendiagnosis sindrom koroner akut karena peningkatan
kadarnya berkaitan dengan diagnosis yang lebih akurat, prediksi risiko
tinggi kejadian kardiovaskuler yang akan datang bahkan bila kadar
CKMB normal atau meningkat ringan. Selain itu troponin mengurangi
positif palsu ketika terjadi suatu injuri muskuloskeletal (contohnya
trauma atau pembedahan). Apabila pada laboratorium tidak tersedia
troponin maka CKMB dapat dipilih sebagai alternatifnya, dimana
CKMB merupakan enzim spesifik kardiak yang dilepaskan dalam
empat sampai enam jam setelah injuri dan tetap meningkat selama 48
sampai 72 jam setelah injuri. Penanda kardiak lainnya adalah
mioglobin yang merupakan suatu protein heme, tidak bersifat spesifik
kardiak namun masih dapat dipertimbangkan sebagai penanda
biokimia yang bermakna karena meningkat pertama kali setelah terjadi
kerusakan miokard (Lenderink, et al., 2011)

8. Penatalaksanaan
a. Pengobatan Awal
Terapi yang harus diberikan adalah 325 mg (sebaiknya) aspirin non
enterik dilapisi untuk dikunyah. Clopidogrel harus diberikan loading
dose 300 sampai 600 mg untuk semua pasien. Pasien menjalani PCI
primer harus menerima loading dose 600 mg atau dua kali lipatnya.
Pasien juga harus menerima obat untuk menghilangkan rasa sakit,
termasuk analgesik opioid (morfin sulfat intravena) jika tersedia. Nitrat
sublingual atau intravena dapat diberikan jika tekanan darah sistolik
≥120 mmHg. Jika sistolik tekanan darah adalah ≥100 mmHg tapi
kurang dari 120 mmHg, nitrat harusnya dipantau dengan hati-hati.
Obat antiinflamasi non steroid (NSAID, selain aspirin) tidak boleh
diberikan untuk menghilangkan nyeri. Terapi reperfusi merupakan
dasar penanganan STEMI dan harus diterapkan pada semua pasien
yang hadir dalam waktu 12 jam timbulnya gejala. Terapi perfusi yang
paling efektif adalah PCI primer bila tersedia (Daga, 2011)
b. Fibrinolitik
Tenecteplase memiliki keuntungan menjadi fibrinspesifik, dapat
diberikan sebagai dosis bolus, dan memiliki kejadian yang lebih
rendah reaksi hipersensitivitas. Tenecteplase harus diberikan dengan
dosis 0,5 mg / kg berat badan.
c. Antiplatelet
Aspirin dan clopidogrel harus diberikan pada pengobatan awal. Dosis
yang diberikan untuk perawatan adalah aspirin (75-100 mg) dan
clopidogrel (75 mg). Sesuai Update ACC / AHA Focused terbaru,
Glycoprotein antagonis IIb / IIIa dapat secara selektif digunakan pada
pasien menjalani PCI primer dalam setting dual antiplatelet terapi
dengan UFH atau bivalirudin sebagai antikoagulan di laboratorium
kateterisasi, pada saat prosedur dimana ada trombus besar atau pasien
sudah menerima loading thienopyridine yang tidak adekuat.
Abciximab, eptifibatide dan tirofiban dapat diberikan dan bersifat
sama efektif dan dapat digunakan tergantung dengan ketersediaan
lokal.
d. Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet.
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan
berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5
mg setiap harisecara subkutan 4. Bila antikoagulan yang diberikan
awal adalah fondaparinuks, penambahanbolus UFH (85 IU/kg
diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yangmendapatkan
penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien
denganrisiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik
atauheparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis
yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau
enoksaparintidak tersedia.
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian
antikoagulasiperlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari
rumah sakit.
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.
e. Beta-Blocker, ACE inhibitor/ARB, Nitrat, Statin
Pemblokir beta oral harus diberikan dalam 24 jam pertama untuk
pasien yang tidak mengalami gagal jantung atau pada pasien dengan
resiko syok kardiogenik, serta yang memiliki kontraindikasi lain untuk
terapi beta-blocker. ACE inhibitor dan perawatan ARB harus diberikan
untuk menghindari hipotensi. ACE inhibitor meningkatkan survival
pada pasien yang memiliki (LVEF ≤40%) dan yang mengalami gagal
jantung serta STEMI. Manfaatnya adalah secara proporsional lebih
rendah diantara pasien berisiko rendah. ACE inhibitor harus dimulai
dalam 24 jam pertama setelah STEMI jika tidak ada kontraindikasi.
ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak mentolerir ACE
inhibitor. Nitrat dapat digunakan untuk rasa sakit. Statin dosis tinggi
harus dimulai sedini mungkin selama tinggal di rumah sakit sebagai
bagian tindakan pencegahan sekunder.
f. Terapi jangka panjang
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah
a. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama
merokok, dengan ketat
b. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg)
diindikasikan tanpa henti
c. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga
12 bulan setelah STEMI s
d. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
e. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang
f. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol
g. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan
gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan
h. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia
9. Klasifikasi Killip
Klasifikasi Killip adalah suatu klasifikasi klinis sederhana yang telah
diteliti pada penderita STEMI. Pasien dengan kelas Killip yang lebih
tinggi ditemukan memiliki insidens lebih tinggi penyakit arteri koroner
angiografi berat, disfungsi ventrikel, dan infark miokard. Kesadaran kelas
Killip pasien pada presentasi merupakan langkah penting dalam strategi
stratifikasi risiko. (El Menyar, 2012)

Tabel 9.1. Mortalitas 30 hari berdasarkan Kelas Killip


10. Prognosis
a. Manifestasi Klinis
Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut,
adanya diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis
pasien dapat diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba.
Adanya gejala saat istirahat memberikan prognosis yang buruk. Selain
itu, nyeri yang berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia,
hipotensi dan gagal jantung juga merupakan pertanda peningkatan
risiko dan memerlukan diagnosis dan penanganan segera.
b. Pemeriksaan EKG
Pertanda EKG. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal.
Pasien dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis
yang lebih baik dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T.
Selain itu, adanya depresi segmen ST saat tiba, inversi gelombang T
yang dalam di sadapan anterior, depresi segmen ST ≥0,1 mV atau
≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang bersebelahan, dan elevasi
segmen ST ≥0,1 mV di sadapan aVR memberikan prognosis yang
lebih buruk.

11. Komplikasi
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding
anterior, iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI
merupakan faktor risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi
mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI,
meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya
pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini
mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat
mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat
menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral
atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan
ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas
saat operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk
komplikasi mekanis yang berat.
Komplikasi kardiak:
- Regurgitasi katup mitral
- Ruptur jantung
- Ruptur septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kiri
DAFTAR PUSTAKA

1. Aygul N, et al. Prevalence of risk factors of ST segment elevation myocardial


infarction, 2009
2. Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach STEMI and NSTEMI. Association
of Physicians India. 2011;Vol 59.
3. Davies MJ. The pathophysiology of acute coronary syndromes. Heart (British
Cardiac Society) 2000;83(3):361–366.
4. El-Menyar et al. 2012. Killip classification in patients with acute coronary
syndrome: insight from a multicenter registry. American Journal of
Emergency Medicine.
5. European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guideline for the Diagnosis
and Treatment of Acute and and Chronic Heart Failure.
6. Fox KA, Dabbous OH, Goldberg RJ, et al. Prediction of risk of death and
myocardial infarction in the six months after presentation with acute
coronary syndrome: prospective multinational observational study (GRACE).
BMJ 2006;333:1091.
7. Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto By, Tobing DPL, Firman D, et al.
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. 3rd ed. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia; 2015
8. Kumar A, Cannon CP. 2009. Acute coronary syndromes: diagnosis and
management part 1. J. Mayo Clin Proc. 84(10): 917–38.
9. Myocardial Ischaemia National Audit Project [MINAP] How the NHS cares
for patients with heart attacks: tenth public report 2011. London: NICOR:
National Institute for Cardivascular Outcomes Research, University College
London; 2011. Dapat diakses melalui:
http://www.ucl.ac.uk/nicor/audits/minap/publicreports/pdfs/minappublicrepor
t
10. National Institute for Health and Clinical Excellence. NICE clinical guideline
126. London: National Institute for Health and Clinical Excellence; 2011. The
management of stable angina. Dapat diakses melalui:
http://guidance.nice.org.uk/CG126.
11. Overbaugh KJ (2009). Acute coronary syndrome. AJN 109(5): 45-52.
12. Prof. Dr. Peter Kabo PhD, MD, Bagaimana Menggunakan Obat-Obat
Kardiovaskuler Secara Rasional , Balain Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2012
13. Van de Werf F, Bax J, Betriu A, et al. Management of acute myocardial
infarction in patients presenting with persistent ST-segment elevation: the
Task Force on the Management of STSegment Elevation Acute Myocardial
Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2008;29:2909-
45.

Anda mungkin juga menyukai