Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE DENGAN DENGAN ATRIAL FIBRILASI


NORMO RAPID VENTRICULAR RESPONSE

Pembimbing:
dr. Arinta Setyasari, Sp.JP, FIHA

Disusun Oleh :
Bambang Aditya Rahmadani, S. Ked
I4061172016

STASE ILMU PENYAKIT JANTUNG


RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
CIMAHI
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:


CONGESTIVE HEART FAILURE DENGAN DENGAN ATRIAL FIBRILASI
NORMO RAPID VENTRICULAR RESPONSE
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Maret 2019

Pembimbing Penulis

dr. Arinta Setyasari, Sp.JP, FIHA Bambang Aditya Rahmadani

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 49 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : KP Pasir Honje RT.01/12 Sela Cau, Bandung Barat
Tanggal MRS : 07 Maret 2019

1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan muncul saat beraktivitas
seperti berjalan kurang dari 50 meter. Pasien mengatakan bahwa cukup
sering terbangun pada malam hari dikarenakan oleh sesaknya. Pasien biasa
tidur menggunakan 2 hingga 3 bantal. Pasien pernah mengeluhkan nyeri
dada seperti ditekan yang juga dirasakan menjalar sampai ke bahu dan
tangan, pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati ada, keluhan berdebar-
debar kadang-kadang, namun sering hilang timbul. Pasien juga
mengeluhkan kedua kaki bengkak, bengkak pada perut tidak ada, batuk
(-), pilek (-), demam (-), mual dan muntah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, keluhan
nyeri dada seperti ditekan juga pernah, nyeri dada yang menjalar sampai
ke bahu dan tangan juga pernah pada tahun 2015. Pasien dirawat di rumah
sakit dengan riwayat gangguan irama jantung dan gangguan. Terdapat

3
riwayat hipertensi sejak 4 tahun yang lalu dan rutin minum obat. Riwayat
DM tidak ada. Penyakit ginjal atau penyakit kronis lainnya disangkal.
Riwayat kolesterol tinggi tidak diketahui.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat pengobatan paru, hipertensi, diabetes, stroke, maupun
penyakit ginjal dan jantung pada keluarga disangkal.

Riwayat Sosial:
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok. Pasien tidak minum
alkohol, pasien mengatakan cukup sering mengkonsumsi makanan
berminyak.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status Gizi : Gizi Baik (BMI: 22,5 kg/m2)
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Denyut Nadi : 105 kali/menit, irreguler
Frekuensi Napas : 22 kali/menit
Temperatur : 36,8O C
Saturasi O2 : 96%

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor


diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)

4
Mulut : Bibir sianosis (-),mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah
(-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular reflex (-), JVP 5+4
cmH2O
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri statis maupundinamis,retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil paru kanan dan kiri sama, massa (-), nyeri
tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki (+/+) basal
paru, wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba ICS V linea axilaris anterior, trhill (-)
Perkusi : Batas jantung kiri atas pada ICS III linea parasternalis
sinistra, batas jantung kanan atas pada ICS III linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri bawah pada ICS
VII linea axillaris anterior, batas jantung kanan bawah di
ICS V linea parasternal dextra
Auskultasi : SI/SII irregular, murmur (+), S3 gallop (-), ekstrasistol (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus dalam batas normal
Palpasi : Soepel, massa (-), nyeri tekan pada ulu hati (+), hepar dan
limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat, edema+/+, CRT <2 detik

5
Skor Framingham untuk pasien ini :
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspneu Edema ekstremitas
(+) (+)
Distensi vena leher Batuk malam hari
(-) (-)
Ronkhi paru Dispneu d’effort
(+) (+)
Kardiomegali Hepatomegali
(-) (-)
Edema paru akut Efusi pleura
(-) (-)
Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
(-) normal
Peninggian tekanan vena jugularis (-)
(+) Takikardi (105 x/menit)
Refluks hepatojugular (+)
(-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematologi Rutin (07/03/2019)
Hemoglobin : 13.3 g/dl (Normal: 13.0 – 18.0)
Eritrosit : 4,8 x 106/µl (Normal: 4.0 – 5.5)
Leukosit : 10,8 x 103/µl (Normal: 4.0 – 10.0)
Hematokrit : 39,2 % (Normal: 38.0 – 51.0)
Trombosit : 188 x 103/µl (Normal: 150 – 450)
MCV : 82,2 fL (Normal: 75.0 – 100.0)
MCH : 27,9 Pq (Normal: 25.0 – 32.0)
MCHC : 33,9 g/dl (Normal: 32.0 – 36.0)
RDW : 13,3 % (Normal: 10.0 – 16.0)
Basofil : 0,6% (Normal: 0.0 – 1.0)
Eosinofil : 6,5% (Normal: 1.0-4.0)
Neutrofil : 57,7% (Normal: 50.0-80.0)
Limfosit : 27,8% (Normal: 25.0-50.0)
Monosit : 7,4% (Normal: 4.0-8.0)

6
Na : 144 mmol/L (Normal: 136-145)
K : 3.50 mmol/L (Normal: 3.60-5.20)
Klorida : 105 mmol/L (Normal: 98-106)
GDS : 91mg/dl
Ureum : 36 mg/dl (Normal: 10-50)
Creatinin : 1.0 mg/dl (Normal: 0.6-1.1)
Troponin I : <0.01 ng/mL (Normal: <0.02)
EKG (07 Maret 2019)

a. Irama : Sinus takikardia


b. Frekuensi : 100 kali/menit, ireguler
c. Axis: Normo Axis Deviation
d. Gelombang P: tidak ada
e. Interval PR: sulit dinilai

7
f. Kompleks QRS: lebar 0,08s
g. Interval QT : sulit dinilai
h. Segmen ST : ST depresi V5-V6
i. Abnormalitas : tidak ditemukan gelombang P, RR’ ireguler, LV strain
pattern pada V6
j. Q patologis pada V2 dan V3

Kesan: Atrial Fibrilasi normo rapid ventrikular response, Left Ventricular


Hypertrophy dengan normo axis deviation dan infark anteroseptal.

1.5. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis Klinis : Congestive Heart Failure FC III-IV dengan Atrial
Fibrilasi normo Rapid Ventrikular Response
Diagnosis Anatomis : Kardiomegali
Diagnosis Etiologis : Hipertensi Esensial
1.6. TATALAKSANA
- O2 2-4 lpm
- Digoxin tablet 1x0,25mg PO
- Inj. Lasix 2x1 ampul IV
- Candesartan tablet 1x8mg PO
- Simarc tablet 1x2mg PO
- Nitrokaf tablet 2x2,5mg tablet PO

1.7. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam

8
BAB II
PEMBAHASAN

Pasien atas nama Ny. I, 49 tahun, datang dengan keluhan sesak napas yang
dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan muncul saat
beraktivitas seperti berjalan kurang dari 50 meter. Pasien mengatakan bahwa
cukup sering terbangun pada malam hari dikarenakan oleh sesaknya. Pasien biasa
tidur menggunakan 2 hingga 3 bantal. Pasien pernah mengeluhkan nyeri dada
seperti ditekan yang juga dirasakan menjalar sampai ke bahu dan tangan, pasien
juga mengeluhkan nyeri ulu hati ada, keluhan berdebar-debar kadang-kadang,
namun sering hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan kedua kaki bengkak,
bengkak pada perut tidak ada, batuk (-), pilek (-), demam (-), mual (-), muntah (-).
Keluhan dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan
merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Penyebab dari sesak nafas
dapat dibagi menjadi 4 tipe. A). Tipe kardiak yaitu gagal jantung, penyakit arteri
koroner, infark miokard, kardiomiopati, disfungsi katup, hipertrofi ventrikel kiri,
hipertrofi asimetrik septum, pertikarditis, aritmia. B). Tipe pulmoner yaitu
penyakit paru obstruktif kronis, asma, penyakit paru restriksi, gangguan penyakit
paru, herediter, pneumotoraks. C). Tipe Campuran kardiak dan pulmoner yaitu
PPOK dengan hipertensi, pulmoner, emboli paru kronik. D). Tipe Non kardiak
dan non pulmoner yaitu Kondisi metabolik, nyeri, gangguan neuromuskular,
gangguan panik, hiperventilasi, psikogenik, gangguan asam basa, gangguan di
saluran pencernaan (reflux, spasme oesophagus, tukak peptic).1,2,3
Pada kasus ini keluhan sesak napas pada pasien disebabkan oleh kardio
yang dapat disebabkan oleh gagal jantung. Oleh karena menurunnya perfusi
jaringan, tubuh berusaha untuk mengambil oksigen lebih banyak untuk diedarkan.
Peningkatan kebutuhan oksigen berdampak pada peningkatan frekuensi
pernapasan, yang diartikan sebagai sesak napas.
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal

9
jantung kanan dan gagal jantung kongestif yakni gabungan gagal jantung kiri dan
kanan.4
Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu d’effort, kelelahan, orthopnea,
paroksismal nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi
derap S3 dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena
pulmonalis. Gagal jantung kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting edema,
asites, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, pembesaran jantung
kanan, irama derap atrium kanan, murmur dan bunyi P2 mengeras, sedangkan
gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gejala gabungan keduanya.4
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor berdasarkan kriteria framingham,
ditambah dengan pemeriksaan penunjang. Adapun kriteria tersebut sebagai
berikut:
Kriteria Mayor yakni:
a. dispneu nokturnal paroksismal atau orthopneu,
b. peningkatan tekanan vena jugularis,
c. ronki basah tidak nyaring,
d. kardiomegali,
e. edema paru akut,
f. irama derap S3,
g. peningkatan vena > 16 cm H2O dan
h. refluks hepatojugular.
Kriteria Minor yakni:
a. edema pergelangan kaki,
b. batuk pada malam hari,
c. dispneu d’effort,
d. hepatomegali,
e. efusi pleura,
f. kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum dan
g. takikardi (>120x/menit).

10
Berdasarkan kiretria framingham untuk pasien ini didapatkan keluhan
berupa cukup sering terbangun pada malam hari diakibatkan oleh sesaknya, pada
pemeriksaan didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis dan terdapat bunyi
ronki basal. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan gejala berupa sesak
terutama yang dipengaruhi saat beraktivitas (dispneu d’effort) dan pada
pemeriksaan didapatkan edem ekstremitas pada kedua kaki dan denyut nadi yang
lebih dari 100 kali/menit, selain itu pasien juga lebih nyaman tidur menggunakan
2 hingga 3 bantal. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum dari
pasien adalah tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tanda-tanda vital
sebagai berikut tekanan darah 130/90 mmHg, heart rate 105 x/menit irregular,
respiration rate 22x/menit, suhu badan 36,8°C, dan saturasi oksigen sebesar 96%
tanpa O2, adanya pelebaran batas jantung, rhonki pada kedua lapang paru serta
edema pada kedua tungkai bawah pasien. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena kriteria framingham sudah
terpenuhi.
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi
menjadi empat kelas, yaitu: Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm), Kelas II
(B) : basah dan hangat (wet – warm), Kelas III (L) : kering dan dingin (dry –
cold), Kelas IV (C) :basah dan dingin (wet – cold).
Pembagian New York Heart Association berdasarkan fungsional jantung yaitu:
a. Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.

11
b. Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitassehari-hari tanpa keluhan.
c. Kelas 3: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan.
d. Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan timbulnya sesak napas ketika
melakukan aktivitas sehari-hari berupa sesak timbul saat sedang membersihkan
rumah atau sedang mencuci pakaian. Keluhan tersebut dapat diklasifikasikan
dalam NYHA fungsional ke III-IV.
Hasil EKG pada pasien menunjukkan gambaran berupa irama ireguler
dengan nadi 100kali/menit dan normo axis deviation. Ditemukan abnormalitas
berupa tidak adanya gelombang p disertai interval RR yang ireguler, sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil EKG adalah atrial fibrilasi. Atrial fibrilasi
adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan
ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung,
yaitu sebesar 350-650 x/menit. Atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi, cepat dan tidak
teratur. Respon ventrikel bisa cepat (bila >100 kali/menit), lambat (bila <60
kali/menit) dan normal (bila 60-100 kali/menit). Pada AF yang tidak tertangani
ventricular rate bisa 120-160 kali/menit.1,4
Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada sifat
elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus, vagal
serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat. Pada
kasus ini, pasien merupakan jenis AF normo rapid ventricular response karena
laju ventrikel 100 kali permenit.
Mekanisme AF antara lain 1) melibatkan beberapa sirkuit reentrant di
dalam atrium dan 2) pencetusan cepat multifokus di otot atrial hingga vena
pulmonal. Untuk AF yang menetap, dibutuhkan sejumlah sirkuit reentrant, dan
atrium yang membesar yang dapat meningkatkan potensi terjadinya hal ini. Jadi,
AF yang menetap sering dikaitkan dengan pembesaran atrium kanan atau kiri.

12
Dengan demikian, penyakit yang meningkatkan tekanan dan ukuran atrium
meningkatkan AF, termasuk gagal jantung, hipertensi, penyakit arteri koroner dan
penyakit paru. Penyebab AF yang diidentifikasi pada pasien ini karena gagal
jantung akibat long standing hypertension.
AF yang terjadi pada pasien ini secara klinis membahayakan karena: 1)
laju ventrikel yang cepat dapat menurunkan cardiac output, mengakibatkan
kongesti paru (terutama pada pasien dengan ventrikel kiri yang hipertrofi sehingga
penurunan kontraksi atrium normal dapat mengurangi secara signifikan volume
ventrikel kiri dan stroke volume) dan 2) tidak adanya kontraksi atrium terorganisir
mendorong stasis darah di atrium, meningkatkan risiko pembentukan trombus,
terutama pada pelepasan atrium kiri yang merupakan penyebab penting stroke.
Dengan demikian pengobatan AF mempertimbangkan tiga aspek aritmia: (1) laju
kontrol ventrikel hingga <100 kali, (2) pertimbangkan metode untuk
mengembalikan ritme sinus, dan (3) penilaian kebutuhan antikoagulan untuk
mencegah tromboembolisme.1,4,5
AF adalah aritmia paling umum di gagal jantung seperti halnya yang
terjadi pada pasien ini. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli
(terutama stroke) dan dapat menganggu fungsi jantung, yang menyebabakan
gejala gagal jantung. Prognosis pasien gagal jantung dengan AF buruk dan
biasanya kejadian AF pada gagal jantung terkait dengan usia pasien dan
keparahan gagal jantung. AF harus diklasifikasikan dan dikelola sesuai dengan
pedoman AF saat ini yaitu:5
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi
pertama.Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi tanpa memandang durasi atau
berat ringannya gejala yang muncul.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis

13
ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu
kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan
dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
d. AF persisten lama (long standing persistent)
AF yang bertahan hingga ≥1 tahun dan strategi kendali irama masih akan
diterapkan.
e. Permanen AF
AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter sehingga strategi kendali
irama sudah tidak digunakan lagi.Apabila strategi kendali irama masih
digunakan makan AF masuk ke kategori AF persisten lama.
Pada kasus ini kejadian atrial fibrilasi merupakan AF yang baru dideteksi
pertama pada saat masuk rumah sakit. Etiologi yang terkait dengan AF terbagi
menjadi beberapa faktor:6
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi yaitu Pericarditis/miocarditis, Amiloidosis dan
sarcoidosis, Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi yaitu Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin yaitu Hipertiroid, Feokromositoma
e. Neurogenik yaitu Stroke, Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium yaitu Infark miocardial
g. Obat-obatan yaitu Alkohol, Kafein

14
h. Keturunan/genetik
Faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah :Diabetes Melitus,
Hipertensi, Penyakit Jantung Koroner, obesitas, Penyakit Katup Mitral, Penyakit
Tiroid, Penyakit Paru-Paru Kronik, Post. Operasi jantung, Usia ≥ 60 tahun, Life
Style. Pada kasus ini faktor risiko berupa hipertensi.
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
antikoagulan untuk mencegah tromboembolisme. Pemberian antikoagulan untuk
mencegah tromboembolisme didasarkan pada stratifikasi risiko stroke terhadap
berbagai faktor resiko stroke. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor
risiko umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari. Antikoagulan
oral sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan skor ≥ 2 pada pria dan ≥ 3
pada wanita. Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan
dengan risiko perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial
yang bersifat fatal atau menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED telah
divalidasi pada banyak studi kohort berkorelasi baik dengan perdarahan
intrakranial. Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien AF harus dilakukan
dan jika skor HAS-BLED ≥ 3 maka perlu perhatian khusus, pengawasan berkala
dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Pada kasus
skor CHA2DS2-VASc adalah 3. Skor HAS-BLED adalah 0. Kedua skor tersebut
menunjukkan bahwa pasien diindikasikan kuat menggunakan antikoagulan oral
tanpa disertai dengan risiko perdarahan intrakranial

15
Gambar 2.1: Skor CHA2DS2-VASc and HAS-BLED7
Terapi trombotik yang dipergunakan untuk pencegahan terjadi stroke pada
pasien AF meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru).
Pada pasien ini digunakan antagonis vitamin K yakni warfarin sebagai agen
pencegah tromboembolisme. Warfarin dan antagonis vitamin K adalah
antikoagulan pertama yang digunakan pada AF dan saat ini digunakan secara luas.
Terapi antagonis vitamin K menurunkan risiko stroke hingga 2/3 dibandingkan
kontrol (aspirin atau tanpa terapi). Namun penggunaan antagonis vitamin K
diatasi dengan interval dosis yang sempit, perlunya monitor INR yang sering
untuk mencapai dosis terapetik obat yang optimal. Antagonis vitamin K
merupakan satu-satunya antikoagulan oral yang efektif pada pasien AF dengan
gangguan katup jantung.4,5
Dosis warfarin yang direkomendasikan untuk awal pemberian adalah 2 mg
- 5 mg/hari. Namun pada penggunaan warfarin perlu diperhatikan tanda-tanda
perdarahan yang mungkin saja akan dialami. Pada penggunaan warfarin perlu
dikontrol dengan dilakukan pemeriksaan INR (international Normalized Ratio)
untuk mengukur derajat dari pengenceran darah dimana kontrol bagi penderita AF
adalah 2.0-3.0 dengan target 2.5 dimana jika lebih dari target ini maka konsistensi
darah akan menjadi encer sehingga resiko terjadinya pendarahan lebih besar. INR
biasanya dicek 2 hari setelah penggunaan warfarin kemudian tiap minggu dan bila
stabil INR diperiksa setiap bulan.5

16
Pada pasien diberikan terapi digoxin 0,25mg peroral bila laju jantung
belum terkontrol.4 Pemberian digoxin dapat digunakan untuk meningkatkan
kontraktilitas jantung dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja
jantung menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal
elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan
peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.
Pada pasien diberikan nitrokaf 2x2,5mg yang mengandung glyceryl
trinitrate untuk mengatasi keluhan angina atau nyeri mendadak di dada, gagal
jantung serta digunakan untuk merilekskan pembuluh darah dan mempertahankan
aliran darah ke jantung dan meringankan gejala angina.
Pasien juga diberikan candesartan yang mana merupakan obat
penghambat reseptor angioensin II (ARB) yang bermanfaat untuk menurunkan
tekanan darah. Angotensin II merupakan zat yang bekerja dengan membuat
pembuluh darah menyempit. Obat ini bekerja dengan menghambat efek dari zat
tersebut. Saat angiotensin II dihambat, pembuluh darah akan lemas dan melebar
sehingga aliran darah menjadi lebih lancar dan tekanan darah turun.
Pemberian diuretik pada pasien ini berupa furosemid. Diuretik
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia
(kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur
sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.8
Gambar 2.2 dosis diuretik pada gagal jantung8

17
BAB III
KESIMPULAN

Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan muncul saat beraktivitas seperti
berjalan kurang dari 50 meter. Pasien mengatakan bahwa cukup sering terbangun
pada malam hari dikarenakan oleh sesaknya. Pasien biasa tidur menggunakan 2
hingga 3 bantal. Pasien pernah mengeluhkan nyeri dada seperti ditekan yang juga
dirasakan menjalar sampai ke bahu dan tangan, pasien juga mengeluhkan nyeri
ulu hati ada, keluhan berdebar-debar kadang-kadang, namun sering hilang timbul.
Pasien juga mengeluhkan kedua kaki bengkak, bengkak pada perut tidak ada,
batuk (-), pilek (-), demam (-), mual dan muntah (-).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum dari pasien adalah
tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tanda-tanda vital sebagai berikut
tekanan darah 130/90 mmHg, heart rate 105 x/menit irregular, respiration rate
22x/menit, suhu badan 36,8°C, dan saturasi oksigen sebesar 96% tanpa O2 adanya
pelebaran batas jantung, rhonki pada kedua lapang paru serta edema pada kedua
tungkai bawah pasien. Dari pemeriksaan darah tidak ditemukan kelainan.
Kemudian pada pemeriksaan EKG ditemukan Atrial Fibrilasi normo rapid
ventrikular response, Left Ventricular Hypertrophy dengan normo axis deviation
dan infark anteroseptal.
Sehingga disimpulkan diagnosa klinis pasien adalah Congestive Heart
Failure FC III-IV dengan Atrial Fibrilasi Normo Rapid Ventrikular Response
dengan diagnosa anatomis kardiomegali serta diagnosa etiologi hipertensi esensial
yang sudah dimiliki pasien sejak 4 tahun terakhir.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of


Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia.
Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225-243.
2. Aslan A, Bathini P, Smith R. ACC/AHA Guidelines for the Management of
Patients with ST Elevation Myocardial Infarction. Cardiac Cath Conference;
2004.
3. American Heart Association. Atrial Fibrillation (for Professionals). American
Heart Association, Inc; 2008.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata
Laksana FIbrilasi Atrium. PERKI; 2014.
5. Kirchoff P, et al. ESC Guidelines for the management of atrial fibrilation
developed in collaboration with EACTS: The task force for the
management of atrial fibrilation of the European Society of Cardiology
(ESC). 2016. European Heart Journal doi:10.1093/eurheartj/ehw/210;
6. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K. Relationship between left
atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular
chronic atrial fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal 67; 2003.
7. Lane. Use of the CHA2DS2-VASc and HAS-BLED Scores to Aid Decision
Making for Thromboprophylaxis in Nonvalular Atrial Fibrillation.2012.
8. Siswanto B, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto R, Nauli S, et al.
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 1st ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015.

19

Anda mungkin juga menyukai