Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE EC HYPERTENSION HEART DISEASE

Disusun oleh :
dr. Risti Maulani Sindih

Pendamping :
dr. Kiky Mamat Kurnia

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA INDRAMAYU


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE 14 OKTOBER 2019- 13 OKTOBER 2020
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Risti Maulani Sindih
Nama Wahana : RS Bhayangkara Indramayu
Topik : CHF ec HHD
Tanggal (kasus) : 02 April 2019
Nama Pasien : Tn. SBT No RM : 097***
Tanggal Presentasi : 06 April 2020 Nama Pendamping : dr. Kiky Mamat Kurnia
Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Indramayu
Objektif Presentasi : Diagnosis dan Penatalaksanaan CHF ec HHD
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen  Masalah Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi Laki-laki usia 61 tahun, datang dengan keluhan sesak yang memberat
sejak 1 hari SMRS
Tujuan  Mengetahui penegakan diagnosis yang tepat pada pasien sesak nafas
dan mengetahui penatalaksanaan kegawatdaruratan pada kasus CHF
ec HHD
Bahan bahasan  Tinjauan Pustaka  Riset Kasus  Audit
Cara membahas  Diskusi Presentasi dan  Email  Pos
diskusi
Data pasien Nama : Tn. SBT No registrasi : 097***
Nama klinik : RS Bhayangkara Indramayu Telp : (0234) Terdaftar sejak :
507878 10 Januari 2020
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis : CHF ec HHD
2. Gambaran Klinis:
± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak, sesak dirasakan hilang timbul, dirasakan saat
beraktivitas berat seperti bekerja mengangkat barang lebih dari 1 jam. Sesak berkurang
dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Pasien nyaman tidur dengan
4 bantal. Terbangun pada malam hari ketika tidur (-). Batuk (-), mengi (-), demam (-),
nyeri dada (-), nyeri ulu hati (-), sembab pada kedua kaki (+). Keluhan jantung berdebar-
debar (-), sakit kepala ringan (+). Mual (-), muntah (-). BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien belum berobat.

± 1 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak bertambah hebat. Sesak hilang timbul,
dirasakan ketika beraktivitas seperti berjalan jauh dari kamar ke luar rumah, sekitar ± 20
meter. Sesak berkurang dengan istirahat. Pasien nyaman tidur dengan 4 bantal. Sesak
tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Demam (-), nyeri dada (-), mengi (-), jantung
berdebar-debar (-), sakit kepala ringan (+). Sesak disertai batuk (+) tidak berdahak,
hilang timbul, darah (-). Pasien juga mengeluh terbangun saat malam hari karena sesak
dan batuk ada, frekuensi 1-2 kali tiap malam. Mual (-), muntah (-). Sembab pada kedua
kaki (+). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien belum berobat.

± 1 hari SMRS pasien merasakan sesak bertambah berat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca
dan emosi. Sesak dirasakan terus menerus dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien
lebih nyaman duduk daripada berbaring. Sesak disertai batuk tidak berdahak. Demam
(-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (-), sakit kepala sedang (+). Mual (-), muntah
(-). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat ke IGD Rumkit
Bhayangkara Indramayu.

3. Riwayat kesehatan/penyakit
- Riwayat darah tinggi sejak 3 tahun yang lalu, pasien tidak rutin minumobat
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat pengobatan TB paru disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat merokok disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
4. Riwayat keluarga: riwayat hipertensi diakui pada ibu pasien. Riwayat asma, alergi,
diabetes mellitus pada keluarga disangkal
5. Riwayat pekerjaan: pasien adalah petani
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan)
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan yang bermata pencaharian utama sebagai petani
bersama istri dan anak-anak dan biaya kesehatan ditanggung oleh bpjs.
 Lain-lain:

Pemeriksaan Fisik:
 Keadaan Umum
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Kompos mentis
 Tekanan darah: 150/100 mmHg
 Nadi : 110 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
 Pernapasan : 36 x/menit, regular, abdominotorakal
 Suhu aksila : 37ºC
 Berat badan : 60 kg
 Tinggi badan : 165 cm
 IMT : 22,05 kg/m2
 Status gizi : Normoweight

 Keadaan Spesifik
 Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, alopesia (-),
distribusi merata.

 Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, RC (+/+)

 Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang, sekret (-),
epistaksis (-)

 Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah berselaput (-),
atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)

 Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri tekan
mastoid (-)

 Leher
JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).

 Thoraks
Inspeksi : Statis simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)

Paru

 Inspeksi : Statis simetris kiri = kanan, dinamis tidak ada bagian dinding dada yang
tertinggal
 Palpasi : Stem fremitus simetris kanan = kiri
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
 Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus di kedua basal paru, wheezing
(-)
Jantung

 Inspeksi : Iktus cordis terlihat


 Palpasi : Iktus cordis teraba di linea axillaris anterior ICS VI, thrill (+)
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dextra
 Auskultasi : HR = 110 x/menit, reguler, murmur sistolik (+) grade 4/6 dengan
punctum maximum di mitral, gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-)
 Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae, permukaan rata,
tepi tajam. Lien tidak teraba, nyeri tekan suprapubik (-), ballotement (-)
 Perkusi : Shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Genitalia : Tidak diperiksa
 Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema pretibial (+) pada kedua kaki,
sianosis (-), clubbing finger (-)

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,1 g/dL 13-18

Leukosit 10.2 103/µL 4.8-10.8

Eritrosit 5,1 106/µL 4.7-6.1

Hematokrit 43 % 42-52

Trombosit 214 103/µL 150-450

Hitung jenis
Basofil 0 0-1 Normal
Eosinofil 0 1-6 Menurun
Neutrofil 53 50-70 Normal
Limfosit 26 20-40 Normal
Monosit 7 2-8 Normal
Retikulosit 1,5 % 0,5-1,5 % Normal
KIMIA KLINIK
Ureum 24 mg/dL 16.6-48.5
Creatinin 0,7 mg/dL 0.5-0.9

Calsium 8,1 mg/dL 8.4 – 9.7

BSS 158 mg/dL <200

Natrium 138 mg/dL 135-155

Kalium 4,0 mg/dL 3.5-5.5

 Rontgen Thorax (10 September 2017)

Pada pemeriksaan foto thorax PA didapatkan:

o CTR > 50 %, jantung membesar, bentuk jantung boot shaped


o Trakea di tengah. Mediastinum superior tidak melebar.
o Kedua hilus tampak menebal
o Tampak sefalisasi
o Corakan bronkovaskuler meningkat di kedua lapangan paru
o Tak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru.
o Diafragma licin, sudut costophrenicus lancip.
o Tulang-tulang dan jaringan lunak baik.
Kesan:

Kardiomegali + edema paru bilateral

 EKG
Interpretasi : Irama sinus reguler, HR: 110 x/menit, axis normal, gelombang P
(+) normal, QRS complex 0,045 detik, QT Interval 0,32 detik, R/S V1 <1, S V1 +
R V5 > 35, ST segment – T wave abnormality (-),
Kesan : Sinus takikardia
 Tatalaksana:

Non farmakologi:

 Istirahat tirah baring


 O2 nasal kanul 3L/menit

Farmakologi
- IVFD NaCl 0,9% gtt x/menit
- Inj. Furosemid 20mg/12 jam IV
- Spirola 1 x 25 mg PO
- Lisinopril 1 x 2.5 mg PO

 Follow up
Tanggal 03 April 2020

S Sesak (+), lemas (+), nyeri dada (-), demam (-)


O:

Keadaan umum Tampak sakit sedang

Kesadaran Compos mentis

Tekanan darah 140/90 mmHg

Nadi 100 x/menit

Pernapasan 26 x/ menit

Temperatur 36,5 oC

Keadaan spesifik

Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Leher JVP (5+2) cm H2O

Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)

Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri

Palpasi: Stem fremitus simetris kanan dan kiri

Perkusi: Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi basah halus di kedua


lapang paru, wheezing (-)

Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Jantung
Palpasi: Iktus cordis teraba di linea axillaris anterior ICS VI, thrill
(+)

Perkusi: Batas jantung atas ICS II

Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri linea midclavicularis sinistra

Auskultasi: HR = 100x/menit, reguler, murmur sistolik (+) grade


4/6 seluruh katup dengan punctum maximum di mitral, gallop (-)

Inspeksi: Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-)

Palpasi: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari dibawah arcus
costae, permukaan rata, tepi tajam. Lien tidak teraba, nyeri tekan
Abdomen suprapubik (-), ballotement (-)

Perkusi: Shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-)

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Tidak diperiksa

Akral hangat (+), palmar pucat (-), pitting edema (+) pada kedua
kaki, sianosis (-), clubbing finger (-)

Genitalia

Ekstremitas

A CHF ec. HHD

P Non Farmakologis

- Istirahat tirah baring


- O2 nasal kanul 3L/menit
Farmakologis

- IVFD NaCl 0,9% gtt x/menit


- Inj. Furosemid 20mg/12 jam IV
- Spirola 1 x 25 mg PO
- Lisinopril 1 x 2.5 mg PO
Daftar Pustaka :
1. Panggabean M. Gagal Jantung. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A W, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam A F, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th Ed. Internal
Publishing FKUI. Jakarta. 2014. p 1132-5.
2. Kotchen, T.A., 2008. Hypertensive Vascular Disease. In: Fauci, A.S., et al., eds. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA: McGraw-Hill, 1549-1558.
3. Pickering, T.G., Ogedegbe, G., 2008. Epidemiology of Hypertension. In: Fuster, V., et al.,
eds. Hurst’s the Heart. Volume 2. 12th ed. USA: McGraw-Hill, 1551-1565.
4. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpsom IA. Gagal Jantung. Dalam: Lecture Notes
Kardiologi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga Medical Series. 2002; 80-97
5. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I. Editor. Jilid kedua Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing. 2009;
1596-1604
6. Makmun L. H. Penyakit Jantung Pada Usia Lanjut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI Jilid III. Interna Publishing. Jakarta. 2009. p 1790.
7. Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus
Sindrom Koroner Akut. Departemen Kesehatan. Jakarta. 2006.
8. Idrus A. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A W,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A F, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
6th Ed. Internal Publishing FKUI. Jakarta. 2009. p 1741-44.
9. Veronique L R. Epidemiology of Heart Failure. American Heart Association. Circ Res.
2013; 113:646-659.
10. Kusmana D, Setianto B, Tobing, PL. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Standar Pelayanan
Medik RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Edisi kedua. Jakarta. 2003;
170-80
11. Ismail D. Penyakit Jantung Hipertensi : Patogenesis dan Patofisiologi Terkini. Makmun, LH,
Alwi I, Mansjoer A. Dalam : Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit
Kardiovaskuler II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003
12. Kusmana D, Setianto B, Tobing, PL. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Standar Pelayanan
Medik RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Edisi kedua. Jakarta. 2003;
170-80
13. Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2004,hal 173-181
14. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. h. 83-6.

Hasil Pembelajaran
1. Identifikasi Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik CHF ec HHD
2. Diagnosis klinis CHF ec HHD
3. Tatalaksana CHF ec HHD
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama sesak hebat sejak 1 hari
SMRS. Keluhan sesak telah ada sejak 1 bulan yang lalu, namun semakin hari sesak dirasakan
semakin parah. Dapat disimpulkan bahwa sesak bersifat kronis. Kemungkinan penyakit pada os
dengan sesak kronis antara lain Asma, TB, PPOK, penyakit jantung, efusi pleura, dan gangguan
ginjal. Pertimbangan klinis mengenai keluhan sesak napas dapat dibagi menjadi beberapa
gangguan pada organ tubuh. Gangguan pada organ paru terutama menjadi pertimbangan utama,
diikuti gangguan jantung yang dapat menimbulkan sesak napas apabila terjadi edema paru,
gangguan pada ginjal juga dapat menimbulkan retensi cairan dan berakibat pada edem paru.

Os adalah seorang laki-laki, berusia 61 tahun. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
bahwa os tidak ada keluhan demam, serta pada rontgen tidak ditemukan infiltrat di lapangan atas
paru, sehingga kemungkinan keluhan disebabkan oleh TB dapat disingkirkan. Selain itu, sesak
pada os ini tidak dipengaruhi oleh cuaca, emosi, dan debu, serta tidak ada keluhan mengi,
sehingga kemungkinan asma dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan barrel chest, tidak ada suara ekspirasi memanjang,
tidak ada wheezing, serta tidak ada gerakan dinding dada yang tertinggal, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sesak pada os tidak disebabkan oleh PPOK atau efusi pleura.

Selain itu, pada os ini didapatkan JVP (5+2) cmH 2O, hepatojugular reflux (+), distensi vena –
vena leher (+), ronkhi basah halus di basal kedua lapang paru, batas jantung kiri membesar, serta
hepatomegali. Hasil – hasil tersebut merupakan gejala–gejala yang timbul pada gagal jantung
kongestif, serta termasuk dalam kriteria Framingham yang digunakan dalam mendiagnosis gagal
jantung.

Untuk mendiagnosis gagal jantung, dapat digunakan kriteria Framingham sebagai berikut:

Kriteria Major Kriteria Minor


Paroksismal Nokturnal Dispnea (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi Vena Leher (+) Batuk malam hari (+)
Ronkhi Paru (+) Dispnea d’effort (+)
Edema Paru Akut (+) Hepatomegali (+)
Gallop S3 (-) Efusi Pleura (-)
Peninggian Tekanan Vena Jugularis Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
(+) normal
Refluks Hepatojugular (+) Takikardia (>120x/menit)

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan apabila terdapat 1 gejala mayor serta 2
gejala minor. Pada pasien ini terdapat 6 gejala mayor dan 4 kriteria minor, sehingga diagnosis
gagal jantung kongestif dapat ditegakkan.

Didapatkan dari anamnesis bahwa pasien mengalami gejala sesak napas saat istirahat.
Berdasarkan klasifikasi NYHA, pasien ini telah termasuk pada kategori NYHA IV, di mana
telah terjadi hambatan aktifitas fisik yang nyata. Klasifikasi NYHA penting untuk diperhatikan
karena untuk menilai prognosis dan evaluasi pengobatan gagal jantung.

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner, serta penyakit jantung tiroid.
Melihat usia pasien, kemungkinan gagal jantung disebabkan penyakit jantung bawaan dapat
disingkirkan. Pasien ini memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 3 tahun SMRS dan
EKG tidak menunjukkan adanya iskemia, sehingga dapat disimpulkan bahwa os menderita gagal
jantung kongestif e.c. penyakit jantung hipertensi.

Tatalaksana awal yang dapat diberikan pada os adalah diuretik berupa furosemid untuk
mengurangi beban preload jantung dan ARB berupa valsartan yang memiliki fungsi sebagai
vasodilator, dan antagonis aldosteron yang dapat mencegah remodelling jantung Walaupun
pasien mengalami hipertensi, pemberian obat-obatan golongan CCB (calsium channel blocker)
harus dihindari karena memiliki efek inotropik negatif yang dapat memperburuk keadaan gagal
jantung
TINJAUAN PUSTAKA

A. CONGESTIVE HEART FAILURE


3.1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak lagi mampu memompa
darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun darah balik
masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh (forward failure), atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi
dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya.4

3.2. Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam enam kategori utama:4,5
a. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle
branch block), kurangnya kontraktilitas (kardiomiopati)
b. Kegagalan jantung yang berhubungan dengan overload seperti hipertensi sistemik
(peningkatan tekanan darah di atas 140/90 mmHg) atau hipertensi pulmonal
(peningkatan tekanan darah di paru-paru akibat kongesti pulmonal)
c. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup
d. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme kardiak (takikardi)
e. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade)
f. Kelainan kongenital jantung
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju penyakit arteri
koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan
penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit untuk
menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi
bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study
dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.
Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung.6

Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol
HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan
dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko
terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik aritmia
atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel
kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.7

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan


disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital,
katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat
kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi.
Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi
abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya
antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-
Strauss dan poliarteritis nodosa.8

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal


dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya
kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris
yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik
obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.7,8,9
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat
ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya
gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan
regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload)
sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia
sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan
struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan
gagal jantung seringkali timbul bersamaan.6

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung
akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2–3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus
seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung
terhadap otot jantung.6

3.3. Epidemiologi
Di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit
jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup sering disebabkan
oleh penyakit jantung rematik, yaitu penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis
aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung
dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.1

Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50
tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang
berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang
yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir
5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap
tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. Hal ini
menunjukkan adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.6,9

Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis
kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit,
dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.9

Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat


dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis
pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan
salah satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1
tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu
5 tahun setelah diagnosis mereka. Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien
gagal jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan
terdapat lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun
pertama.1,6

3.4. Patofisiologi
3.4.1. Mekanisme dasar
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang
efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatkan volume akhir diastolik
ventrikel (LVDEP), terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Derajat
peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya
LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan
ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke
belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena
paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan
onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika
kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema
interstisial. Peningkatan cairan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke
dalam alveoli dan terjadilah edema paru.4,10
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan
vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel
kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi
pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik.4
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh
regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian.
Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup antroventrikularis,
atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.4,10

3.4.2. Mekanisme Kompensasi


Terdapat 3 mekanisme kompensasi pada gagal jantung, yaitu: (1) meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin
memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal jantung dan pada keadaan istirahat. Namun,
kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat
beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi kurang
efektif.4,10,11
a. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan mengakibatkan
respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis
merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi
aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal kulit dan ginjal)
untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah
kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling.4
Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung,
terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang
beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada akhirnya
respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun, katekolamin
akan berkurang pengaruhmya terhadap kerja ventrikel. Berkurangnya respons
ventrikel yang gagal terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan berkurangnya
derajat pergeseran akibat rangsangan ini. Perubahan ini dapat disebabkan karena
cadangan norepinephrin pada miokardium menjadi berkurang pada gagal jantung
kronis.4,10

b. Peningkatan Beban Awal melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensi-Aldosteron


Aktivasi renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air
oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan
beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hukum
Starling. Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi
glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3) interaksi renin
dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, (4)
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi aldosteron
dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus
pengumpul.4
Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan
menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati,
sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan
meningkat pada gagal jantung berat, yang selanjutnya akan meningkatkan absorpsi
air pada duktus pengumpul.4

c. Hipertrofi ventrikel
Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium.
Sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial bergantung pada jenis beban
hemodinamik yang yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu
beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya
ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respon miokardium
terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta ditandai dengan dilatasi dan
bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga terjadi akibat bertambahnya
jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola hipertrofi ini disebut
hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris. Apapun susunan pasti sarkomernya,
hipertrofi miokardium akan meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel.4,10

3.5. Klasifikasi Gagal Jantung


Menurut New York Heart Assosiation (NYHA), gagal jantung diklasifikasikan
menjadi empat kelas, yaitu:12
a. Kelas 1: Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak
napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
b. Kelas 2: Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa
menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak napas, atau nyeri.
c. Kelas 3: Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti yang tersebut di atas.
d. Kelas 4: Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.
Sedangkan stadium gagal jantung menurut American College of Cardiology
terdiri atas empat stadium, yaitu:11,12
a. Stadium A. Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantungtetapi
tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung.
b. Stadium B. Adanya struktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak
bergejala
c. Stadium C. Adanya struktur yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal
jantung
d. Stadium D. Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan
pengobatan standar

3.6. Manifestasi Klinis


Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks.1,6

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, Sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA)
serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis
melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.1

Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin


II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari
pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.1,6

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi
sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.1

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA)
serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi .sistem simpatis
melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan
katekolamin).1,6

Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan
peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus
vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.1,6

Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur
hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.1,6
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium
di tubulus renal.1,6

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada


gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian
diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel endotel
pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi
natrium.1

Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat


gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30–40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik
dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.1

Tabel. Manifestasi Klinis Gagal Jantung

Manifestasi
Deskripsi Mekanisme
Klinis Umum
Sesak napas Sesak napas selama Darah dikatakan “backs up”
(juga disebut melakukan aktivitas di pembuluh darah paru
dyspnea) (paling sering), saat (pembuluh darah yang
istirahat, atau saat tidur, kembali dari paru ke jantung)
yang mungkin datang karena jantung tidak dapat
tiba-tiba dan mengkompensasi suplai
membangunkan. Pasien darah. Hal ini menyebabkan
sering mengalami cairan bocor ke paru-paru.
kesulitan bernapas
sambil berbaring datar
dan mungkin perlu
untuk menopang tubuh
bagian atas dan kepala
di dua bantal. Pasien
sering mengeluh
bangun lelah atau
merasa cemas dan
gelisah.
Batuk atau Batuk yang Cairan menumpuk di paru-
mengi yang menghasilkan lendir paru (lihat di atas).
persisten darah-diwarnai putih
atau pink.
Penumpukan Bengkak pada Aliran darah dari jantung
kelebihan pergelangan kaki, kaki yang melambat tertahan dan
cairan dalam atau perut atau menyebabkan cairan untuk
jaringan tubuh penambahan berat menumpuk dalam
(edema) badan.  jaringan. Ginjal kurang
mampu membuang natrium
dan air, juga menyebabkan
retensi cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat
sepanjang waktu dan memompa cukup darah untuk
kesulitan dengan memenuhi kebutuhan
kegiatan sehari-hari, jaringan tubuh.
seperti belanja, naik
tangga, membawa
belanjaan atau berjalan.
Kurangnya Perasaan penuh atau Sistem pencernaan menerima
nafsu makan sakit perut. darah yang kurang,
dan mual menyebabkan masalah
dengan pencernaan.
Kebingungan Kehilangan memori dan Perubahan pada tingkat zat
dan gangguan perasaan menjadi tertentu dalam darah, seperti
berpikir disorientasi.  sodium, dapat menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan Jantung berdebar-debar, Untuk "menebus" kerugian
denyut jantung yang merasa seperti dalam memompa kapasitas,
jantung Anda balap jantung berdetak lebih cepat.
atau berdenyut.

Gambar. Gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF

3.7. Penegakkan Diagnosis


Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi,
foto toraks, ekokardiografi-doppler. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk
diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.
Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:4
• Kriteria mayor:
a. Paroksismal nocturnal dispnu
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
• Kriteria minor:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120 x/menit)

Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan hal-hal sebagai berikut.


a. Keadaan umum dan tanda vital
Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami
gangguan saat beristirahat, kecuali perasaan tidak nyaman saat berbaring pada
permukaan datar selama lima menit. Pada gagal jantung yang lebih berat, pasien
harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak
dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak napas yang dirasakan.
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada gagal jantung ringan, namun
berkurang pada gagal jantung berat, karena adanya disfungsi ventrikel kiri yang
berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya
penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik
disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer
menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan
kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik yang berlebih.
b. Pemeriksaan vena jugularis dan leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium
kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan
vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala deangkat dengan
sudut 450. Pada gagal jantung stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal
pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan
peningkatan tekanan abdomen.
c. Pemeriksaan paru
Pulmonary crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan
dari rongga intravaskular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki
dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai wheezing ekspiratoar
(asma kardial). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik
untuk gagal jantung. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan
sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan ke dalam rongga pleura.
d. Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung sering tidak memberikan informasi yang berguna
mengenai tingkat keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali ditemukan, maka
apex cordis biasanya berubah lokasi di bawah ICS V dan atau sebelah lateral dari
midclavicularis line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
Pada beberapa pasien, suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada
apex. S3 atau prodiastolik gallop paling sering ditemukan pada pasien dengan
volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan sering kali
menandakan gangguan hemodinamika. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid
biasa ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut.
e. Abdomen dan ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien
jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat
berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Asites dapat timbul
sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan vena hepatik dan sistem vena
yang berfungsi dalam drainase peritoneum. Jaundice dapat ditemukan dan
merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan
indirek meningkat. Ikterik ini disebabkan karena terganggunya fungsi hepar
sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia hepatoseluler. Edema perifer adalah
manifestasi cardinal jantung, namun hal ini tidaklah spesifik dan biasanya tidak
terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer biasanya
simetris, beratya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering
terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas.
f. Cardiac cachexia
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat
badan dan cachexia yang bermakana. Mekanisme dari cachexia pada gagal jantung
dapat melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting metabolic rate,
anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh
pada perut. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang
buruk.

3.8. Pemeriksaan Penunjang


Dapat dilakukan pemeriksana penunjang sebagai berikut.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah
darah rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin, SGOT/SGPT,
dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal
jantung dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan elektrolit, menilai
fungsi ginjal dan hati mangukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik).
b. Foto thoraks
Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan bentuk
jantung, struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai melalui
pengukuran cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran
jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter
penting pada follow-ip pasien dengan gagal jantung.
c. EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan. Kepentingan utama
dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertrofi pada
ventrikel kiri atau riwayat Infark myocard (ada atau tidaknya Q wave). EKG normal
biasanya menyingkirkan adanya disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung,
miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan regional dinding jantung
saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Fitur yang
paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left ventricular
ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling ventrikel kiri, dan perubahan pada
fungsi diastolik.

3.9. Penatalaksanaan
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki
pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya
hidup yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan
prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif.
Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi risiko penyakit
kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup pada
tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada uji jangka-
pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah terbukti mencegah
perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan jika intervensi-intervensi
ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang cukup untuk menghindari terapi
obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang diperlukan untuk kontrol tekanan
darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara efektif mengurangi tekanan darah
adalah penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl, peningkatan masukan kalium,
pengurangan konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara keseluruhan.

Tabel. Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi

Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI


<25 kg/m2

Reduksi garam < 6 g NaCl/hari

Adaptasi rencana diet Diet yang kaya buah-buahan, sayur-


jenis-DASH sayuran, dan produk susu rendah-lemak
dengan kandungan lemak tersaturasi dan
total yang dikurangi

Pengurangan konsumsi Bagi mereka yang mengkonsumsi alkohol,


alkohol minumlah 2 gelas/hari untuk laki-laki dan
1 gelas/hari untuk wanita

Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan


cepat selama 30 menit/hari

Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi


tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan
penurunan berat badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan
peningkatan sensitivitas insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3/1 mmHg
telah diamati terjadi dengan reduksi berat badan rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik
teratur memudahkan penurunan berat badan, mengurangi tekanan darah, dan
mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit kardiovaskular. Tekanan darah dapat
dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama 30 menit, seperti jalan cepat, 6-
7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih dan frekuensi kurang.

Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl,


dan variasi ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis,
penurunan tekanan darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-7.4 g
(75-125 mEq) menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada
individu hipertensif dan reduksi yang lebih rendah pada individu normotensif. Diet
yang kurang mengandung kalium, kalsium, dan magnesium berkaitan dengan tekanan
darah yang lebih tinggi dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi. Perbandingan
natrium-terhadap-kalium urin memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap tekanan
darah dibanding natrium atau kalium saja. Suplementasi kalium dan kalsium memiliki
efek antihipertensif moderat yang tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan
darah, suplementasi kalium mungkin berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke.
Penggunaan alkohol pada individu yang mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari
(satu gelas standar mengandung ~14 g etanol) berhubungan dengan tekanan darah yang
lebih tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol berkaitan dengan reduksi tekanan darah.
Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau alkohol dapat mempengaruhi tekanan
darah masihlah belum diketahui.

Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8


minggu, diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak
mengurangi tekanan darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau
hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian menjadi <6 g (100 mEq) menambah
efek diet ini pada tekanan darah. Buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan sumber
yang kaya akan kalium, magnesium, dan serat, dan produk susu merupakan sumber
kalsium yang penting.

Terapi farmakologis

Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan darah 140/90


mmHg. Derajat keuntungan yang diperoleh dari agen-agen antihipertensif berhubungan
dengan besarnya reduksi tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10-
12 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama memberikan
reduksi risiko sebesar 35-40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD dalam 5 tahun dari
mula penatalaksanaan. Risiko gagal jantung berkurang sebesar >50%. Terdapat variasi
yang nyata dalam respon individual terhadap kelas-kelas agen antihipertensif yang
berbeda, dan besarnya respon terhadap agen tunggal apapun dapat dibatasi oleh
aktivasi mekanisme counter-regulasi yang melawan efek hipotensif dari agen tersebut.
Pemilihan agen-agen antihipertensif, dan kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara
individual, dengan pertimbangan usia, tingkat keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko
penyakit kardiovaskular lain, kondisi komorbid, dan pertimbangan praktis yang
berkenaan dengan biaya, efek samping, dan frekuensi pemberian obat.

Diuretik

Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama,


sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat
pompa Na+/Cl- di tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium.
Dalam jangka panjang, mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide
bersifat aman, memiliki efikasi tinggi, dan murah serta mengurangi kejadian klinis.
Mereka memberikan efek penurunan-tekanan darah tambahan ketika dikombinasikan
dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor angiotensin. Sebaliknya,
penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang efektif. Dosis
biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena
peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia, resistansi insulin,
peningkatan kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik
hemat kalium, amiloride dan triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium
epitel di nefron distal. Agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang lemah namun
dapat digunakan dalam kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap
hipokalemia. Target farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter Na+-
K+-2Cl- di lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan bagi
pasien hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin serum
refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema karena
alasan-alasan lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang poten, seperti
monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin

ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar


bradikinin, dan mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor
angiotensin II menyediakan blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek angiotensin
II pada reseptor AT2 yang tidak tersekat dapat menambah efek hipotensif. Kedua kelas
agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang efektif yang dapat digunakan sebagai
terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen
penyekat alfa. Efek samping ACE inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara
lain adalah insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada
ginjal dengan lesi stenotik pada arteri renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan
terhadap insufisiensi ginjal yang diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah
dehidrasi, CHF, dan penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid. Batuk kering
terjadi pada ~15% pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang
mengkonsumsi ACE inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada individu yang
berasal dari Asia dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang
Kaukasia. Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping
yang kadang terjadi baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor
angiotensin.

Antagonis aldosteron

Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan


sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang terutama
efektif pada pasien dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi resistan, dan
aldosteronisme primer. Pada pasien dengan CHF, spironolakton dosis rendah
mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah sakit karena gagal jantung ketika
diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional dengan ACE inhibitor,
digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan reseptor progesteron
dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan abnormalitas
menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh agen yang lebih baru, eplerenone,
yang merupakan antagonis aldosteron selektif. Eplerenone baru-baru ini disetujui di US
untuk penatalaksanaan hipertensi

Beta blocker

Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah


jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme lain
yang diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah adalah
efek pada sistem saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif
pada pasien hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif mereka dikuatkan
oleh pemberian bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta blocker
secara selektif menghambat reseptor 1 jantung dan kurang memiliki pengaruh pada
reseptor2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular; namun tampak tidak terdapat
perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker kardio selektif dan non kardio
selektif. Beta blocker tertentu memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah
jelas apakah aktivitas ini memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung.
Beta blocker tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian
kematian mendadak (sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium
rekuren. Pada pasien dengan CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko
perawatan di rumah sakit dan mortalitas. Carvedilol dan labetalol menyekat kedua
reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider. Keuntungan potensial dari
penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan hipertensi masih perlu
ditentukan.

Penyekat adrenergik

Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui


penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang efektif,
yang digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan agen-agen lain.
Namun dalam uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti
mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan
perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas agen antihipertensif lain. Agen-agen
ini juga efektif dalam menangani gejala tractus urinarius bawah pada pria dengan
hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan reseptor
postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien
dengan pheokromositoma.

Agen-agen simpatolitik

Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer


dengan menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien dengan
neuropati otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena denervasi
baroreseptor. Kerugian agen ini antara lain somnolens, mulut kering, dan hipertensi
rebound saat penghentian. Simpatolitik perifer mengurangi resistansi perifer dan
konstriksi vena melalui pengosongan cadangan norepinefrin ujung saraf. Walaupun
merupakan agen antihipertensif yang potensial efektif, kegunaan mereka dibatasi oleh
hipotensi orthostatik, disfungsi seksual, dan berbagai interaksi obat.

Penyekat kanal kalsium

Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel,


yang mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri dari
bermacam agen yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine (verapamil),
benzothiazepine (diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-nifedipine). Digunakan
sendiri atau dalam kombinasi dengan agen-agen lain (ACE inhibitor, beta blocker, 1-
adrenergic blocker), antagonis kalsium secara efektif mengurangi tekanan darah;
namun, apakah penambahan diuretik terhadap penyekat kalsium menghasilkan
penurunan lebih lanjut pada tekanan darah adalah tidak jelas. Efek samping
sepertiflushing, sakit kepala, dan edema dengan penggunaan dihydropyridine
berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator arteriol; edema disebabkan
peningkatan gradien tekanan transkapiler, dan bukan karena retensi garam dan cairan.

Vasodilator Langsung

Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap


sebagai agen lini pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam
kombinasi yang menyertakan diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah vasodilator
direk yang poten yang memiliki efek antioksidan dan penambah NO, dan minoxidil
merupakan agen yang amat poten dan sering digunakan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal yang refrakter terhadap semua obat lain. Hydralazine dapat menyebabkan
sindrom mirip-lupus, dan efek samping minoxidil antara lain adalah hipertrikosis dan
efusi perikardial.

3.10. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi
prognosisnya masih tetap jelek, di mana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada
pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi
ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin
plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan
akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya
adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami
gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif
yang sangat cermat.14
DAFTAR PUSTAKA
1. Panggabean M. Gagal Jantung. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A W, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam A F, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th Ed.
Internal Publishing FKUI. Jakarta. 2014. p 1132-5.
2. Kotchen, T.A., 2008. Hypertensive Vascular Disease. In: Fauci, A.S., et al., eds.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA: McGraw-Hill,
1549-1558.
3. Pickering, T.G., Ogedegbe, G., 2008. Epidemiology of Hypertension. In: Fuster, V.,
et al., eds. Hurst’s the Heart. Volume 2. 12th ed. USA: McGraw-Hill, 1551-1565.
4. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpsom IA. Gagal Jantung. Dalam: Lecture
Notes Kardiologi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga Medical Series. 2002; 80-97
5. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I. Editor. Jilid kedua Edisi kelima. Jakarta: Interna
Publishing. 2009; 1596-1604
6. Makmun L. H. Penyakit Jantung Pada Usia Lanjut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi VI Jilid III. Interna Publishing. Jakarta. 2009. p 1790.
7. Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Departemen Kesehatan. Jakarta. 2006.
8. Idrus A. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A
W, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A F, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. 6th Ed. Internal Publishing FKUI. Jakarta. 2009. p 1741-44.
9. Veronique L R. Epidemiology of Heart Failure. American Heart Association. Circ
Res. 2013; 113:646-659.
10. Kusmana D, Setianto B, Tobing, PL. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Standar
Pelayanan Medik RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Edisi
kedua. Jakarta. 2003; 170-80
11. Ismail D. Penyakit Jantung Hipertensi : Patogenesis dan Patofisiologi Terkini.
Makmun, LH, Alwi I, Mansjoer A. Dalam : Prosiding Simposium Pendekatan
Holistik Penyakit Kardiovaskuler II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003
12. Kusmana D, Setianto B, Tobing, PL. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Standar
Pelayanan Medik RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Edisi
kedua. Jakarta. 2003; 170-80
13. Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2004,hal 173-181
14. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. h. 83-6.

Anda mungkin juga menyukai