Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

NON-ST SEGMENT ELEVATION ACUTE CORONARY SYNDROME +


HYPERTENSIVE HEART DISEASE + CONGESTIVE HEART FAILURE

OLEH :

Ferisa Paraswati, S.Ked


K1B122037

PEMBIMBING
dr. Jamaluddin, M.Kes., Sp.JP.,FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ferisa Paraswati, S.Ked.

NIM : K1B122037

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Judul Laporan Kasus : Non-ST Segment Elevation Acute Coronary Syndrome +


Hypertensive Heart Disease + Congestive Heart Failure

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo.

Kendari, Oktober 2022


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Jamaluddin, M.Kes.,Sp.JP.,FIHA

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I STATUS PASIEN..................................................................................................1
A. IDENTITAS PASIEN............................................................................................1
B. ANAMNESIS........................................................................................................1
C. PEMERIKSAAN FISIK.........................................................................................2
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................................4
E. RESUME.............................................................................................................11
F. DIAGNOSIS SEMENTARA...............................................................................11
G. DIAGNOSIS BANDING.....................................................................................11
H. FOLLOW UP.......................................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................Error! Bookmark not defined.
A. DEFINISI..............................................................Error! Bookmark not defined.
B. EPIDEMIOLOGI.................................................................................................15
C. PATOFISIOLOGI................................................................................................17
D. DIAGNOSIS........................................................................................................18
E. TATALAKSANA.................................................................................................23
BAB III ANALISIS KASUS...........................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................36

iii
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Tangga lahir : 04 Mei 1964
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Alamat : Kolaka Timur
No RM : 27-XX-X4
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Nyeri dada
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke UGD RSUD Kota Kendari dengan keluhan nyeri
dada yang dialami sejak 1 bulan yang lalu dan semakin memberat sejak
kemarin. Nyeri dada dirasakan diseluruh lapang dada, menjalar ke
epigastrium. Nyeri dada awalnya dirasakan hilang timbul kemudian nyeri
dirasakan seperti tertekan dan berlangsung terus menerus dengan durasi >
20 menit sejak kemarin. Nyeri dada semakin memberat saat pasien
beraktivitas dan membaik saat beristirahat.
Pasien juga mengeluh sesak, pasien mengatakan sulit tidur di malam
hari akibat sesak yang dirasakan dan sesak berkurang ketika istirahat.
Pasien mengatakan nyeri berkurang ketika istirahat. Pasien juga mengeluh
sakit kepala (+), demam (+), batuk (+), mual (+) dan muntah (+).
3. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (+)

1
 Riwayat penyakit jantung (+)
 Riwayat penyakit hipertensi (+)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat diabetes melitus (+)
 Riwayat penyakit ginjal (-)
4. Riwayat kebiasaan
 Aktivitas fisik (+)
 Riwayat makan tidak teratur (+)
 Riwayat alkohol (-)
 Riwayat merokok (+)
5. Riwayat sosial ekonomi
 Kondisi ekonomi pasien tergolong menengah ke bawah
6. Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
 Kedua orang tua dan saudara hipertensi (+)
7. Riwayat pengobatan
Rutin mengonsumsi obat dari dokter
 Cardisan 10 mg tablet/24 jam
 Captopril 25 mg tablet/12 jam
C. PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM : Sakit sedang
KESADARAN : Composmentis (GCS E4M6V5)
STATUS GIZI : BB TB IMT
TANDA VITAL
TD Nadi Pernafasan Suhu
190/100 102x/Menit 24x/Menit 370C/Axillar
mmHg (Reguler)

Status Generalis
Kulit Berwarna putih, pucat (-)

2
Kepala
Rambut Normocephal, simetris (+)
Berwarna hitam, tidak mudah tercabut.
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), Exopthalmus
(-/-), edema palpebra -/-, Gerakan bola mata dalam batas
normal, pupil refleks (+)
Hidung Napas cuping hidung (-) rinorhea (-)
Telinga Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)
Mulut Bibir pucat (-), perdarahan gusi (-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
JVP 5+2 cm H2O
Thoraks Inspeksi
Kelainan bentuk dada (-)
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan
Retraksi sela iga (-)
Bekas luka/scar (-)
Palpasi
Massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor (+/+)
Auskultasi
Bunyi nafas vesikuler +/+, Rhonki basah halus -/-, Wheezing
-/-
Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada ICS 4 linea parasternalis dextra

3
Batas jantung kiri ICS V linea midcalvicularis sinistra.

Auskultasi
BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
Abdomen cembung, asites (-)
Auskultasi
Bising usus (+)
Palpasi
Nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi
Timpani
Ekstremitas Inspeksi
 Akral hangat
 Edema Pitting +/+
 CRT < 2 detik
 Sianosis (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah Rutin (10/10/2022)

Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

WBC 16.6 4.0-10.00 103/uL

Neu# 14.83 1.1-7.0 103/uL

Neu% 89.5 50.0-70.0 %

RBC 5.64 4.50-5.50 106/uL

HGB 16.0 11.0-17.00 g/dl

HCT 50.0 37.0-48.0 %

MCHC 32.0 31.9-37.0 g/dl

4
2. Laboratorium Kimia Darah (10/10/2022)

Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

GDS 299 < 200 mg/dl

3. Foto Thorax PA

 Cor : CTI < 50%, conus pulmonal dalam batas normal

 Tulang-tulang, sinus, diafragma, trachea dalam batas normal

Kesan : normal

4. EKG
 10/10/2022

1. Irama : Sinus
2. Regularitas : Reguler
3. Frekuensi/HR : 100 x/menit
4. Gelombang P : Normal
5. Interval PR : Normal
6. Kompleks QRS:
 Lebar : Normal
 Aksis : Normal
 Konfigurasi :

5
LVH (R di V5/V6 .>26 mm atau R di V5/V6 + S di V1/V2>35 mm)
Poor R Progresif
7. Segmen ST : ST Elevasi
8. Gelombang T : Normal
9. Kesimpulan : Irama sinus, HR 100 x/menit, Normoaxis, LVH,
Poor R Progresif, ST elevasi lead V2,V3,V4 disebabkan oleh LVH
 11/10/2022

1. Irama : Sinus
2. Regularitas : Reguler
3. Frekuensi/HR : 89 x/menit
4. Gelombang P : Normal
5. Interval PR : Normal
6. Kompleks QRS :
 Lebar : Normal
 Aksis : Normal
 Konfigurasi :
LVH (R di V5/V6 .>26 mm atau R di V5/V6 + S di V1/V2>35 mm)
Poor R Progresif
7. Segmen ST : ST Elevasi

6
8. Gelombang T : Normal
9. Kesimpulan : Irama sinus, HR 8 x/menit, Normoaxis,
LVH, Poor R Progresif, ST elevasi lead V2,V3,V4 disebabkan
oleh LVH
 12/10/2022

1. Irama : Sinus
2. Regularitas : Reguler
3. Frekuensi/HR : 89 x/menit
4. Gelombang P : Normal
5. Interval PR : Normal
6. Kompleks QRS :
• Lebar : Normal
• Aksis : Normal
• Konfigurasi :
LVH (R di V5/V6 .>26 mm atau R di V5/V6 + S di
V1/V2>35 mm)
Poor R Progresif
7. Segmen ST : ST Elevasi
8. Gelombang T : Normal

7
9. Kesimpulan : Irama sinus, HR 8 x/menit, Normoaxis,
LVH, Poor R Progresif, ST elevasi lead V2,V3,V4 disebabkan oleh
LVH
 13/10/2022

1. Irama : Sinus
2. Regularitas : Reguler
3. Frekuensi/HR : 100 x/menit
4. Gelombang P : Normal
5. Interval PR : Normal
6. Kompleks QRS :
• Lebar : Normal
• Aksis : Normal
• Konfigurasi :
LVH (R di V5/V6 .>26 mm atau R di V5/V6 + S di
V1/V2>35 mm)
Poor R Progresif
7. Segmen ST : ST Elevasi
8. Gelombang T : Normal

8
9. Kesimpulan : Irama sinus, HR 8 x/menit, Normoaxis,
LVH, Poor R Progresif, ST elevasi lead V2,V3,V4 disebabkan
oleh LVH
 14/10/2022

1. Irama : Sinus
2. Regularitas : Reguler
3. Frekuensi/HR : 89 x/menit
4. Gelombang P : Normal
5. Interval PR : Normal
6. Kompleks QRS :
• Lebar : Normal
• Aksis : Normal
• Konfigurasi :
LVH (R di V5/V6 .>26 mm atau R di V5/V6 + S di
V1/V2>35 mm)
Poor R Progresif
7. Segmen ST : ST Elevasi
8. Gelombang T : Normal

9
9. Kesimpulan : Irama sinus, HR 8 x/menit, Normoaxis,
LVH, Poor R Progresif, ST elevasi lead V2,V3,V4 disebabkan oleh
LVH
 15/10/22

1. Irama : Sinus
2. Regularitas : Reguler
3. Frekuensi/HR : 98 x/menit
4. Gelombang P : Normal
5. Interval PR : Normal
6. Kompleks QRS :
• Lebar : Normal
• Aksis : Normal
• Konfigurasi :
LVH (R di V5/V6 .>26 mm atau R di V5/V6 + S di
V1/V2>35 mm)
Poor R Progresif
7. Segmen ST : ST Elevasi
8. Gelombang T : Normal

10
9. Kesimpulan : Irama sinus, HR 8 x/menit, Normoaxis,
LVH, Poor R Progresif, ST elevasi lead V2,V3,V4 disebabkan oleh
LVH

E. RESUME
 Seorang pasien perempuan usia 58 tahun datang ke UGD RSUD Kota
Kendari dengan keluhan sesak nyeri dada
 Nyeri dada dirasakan diseluruh lapang dada, menjalar ke epigastrium.
 Nyeri dada awalnya dirasakan hilang timbul kemudian nyeri dirasakan
seperti tertekan dan berlangsung terus menerus dengan durasi > 20 menit
sejak kemarin
 Nyeri dada dialami sejak 1 bulan yang lalu dan semakin memberat sejak
kemarin
 Pasien mengatakan nyeri dada semakin memberat saat pasien beraktivitas
dan membaik saat beristirahat
 Pasien juga mengeluh sesak, pasien mengatakan sulit tidur di malam hari
akibat sesak yang dirasakan dan sesak berkurang ketika istirahat.
 Pasien juga mengeluh sakit kepala (+), demam (+), batuk (+), mual (+)
dan muntah (+).
 Pada pemeriksaan foto thoraks PA didapatkan kesan kardiomegali
 EKG didapatkan ST elevasi dan Poor R Progresif yang disebabkan oleh
LVH
F. DIAGNOSIS SEMENTARA
Non-ST Segment Elevation Acute Coronary Syndrome + Hypertensive Heart
Disease + Congestive Heart Failure
G. DIAGNOSIS BANDING
 ST segmen elevation myocardial infarction
 Edema pulmonal akut

11
H. FOLLOW UP
Hasil follow up pasien disajikan pada tabel berikut:
Hari/ Anamnesis dan Pemeriksaan Instruksi DPJP
Tanggal Fisik
Senin, S : Nyeri dada dirasakan sejak 1 Inj. Vasola/24 jam
10/10/2022 bulan yang lalu, dirasakan NTG 3cc/SP/jam
memberat sejak > 12 jam yang Inj. Novorapid 3x6 IU
lalu, nyeri dada meningkat saat Candesartan 16 mg/24 jam
beraktivitas berat, lebih ringan Simvastatin 20 mg/24 jam
pada saat beristirahat disertai Aspilet 80 mg/24 jam
sesak, demam, pusing, mual dan CPG 75 mg/24 jam
muntah. Inj. Pantoprazole/12 jam
O : KU Sakit sedang, kesadaran Inj. Ondansentron/12 jam
composmentis Amlodipin 10 mg/24 jam
TTV
TD: 190/100 mmHg
N: 102 x/menit
S: 370C
RR : 24x/menit
SpO2 : 98%
Pemfis
Thoraks : Vesikuler (+/+)
Abdomen : Bising usus 8 x/m
Ekstremitas : Pitting edema kedua
tungkai
Thorax PA : Normal
EKG :
A :NST-ACS + HHD + DM
Selasa, S : pasien mengatakan nyeri dada Inj. Vasola/24 jam
11/10/2022 O : KU sakit sedang, kesadaran NTG 3cc/SP/jam
composmentis Inj. Novorapid 3x6 IU

12
TTV Candesartan 16 mg/24 jam
TD: 173/111 mmHg Simvastatin 20 mg/24 jam
N: 96x/menit Aspilet 80 mg/24 jam
RR : 20x/menit CPG 75 mg/24 jam
S : 38,90C Inj. Pantoprazole/12 jam
SpO2 : 98% Inj. Ondansentron/12 jam
A :NST-ACS + HHD + DM Amlodipin 10 mg/24 jam
Inj. Paracetamol 3x1 gr/8
jam
Rabu, S : pasien mengatakan nyeri dada Inj. Vasola/24 jam
12/10/2022 berkurang Inj. Novorapid 3x6 IU
O : KU sakit sedang, kesadaran Candesartan 16 mg/24 jam
composmentis Simvastatin 20 mg/24 jam
TTV Aspilet 80 mg/24 jam
TD: 150/88 mmHg CPG 75 mg/24 jam
N: 80 x/menit Inj. Lanzoprazole/12 jam
RR : 20 x/menit Inj. Ondansentron/12 jam
S : 370C Amlodipin 10 mg/24 jam
SpO2 : 98% Inj. Paracetamol 3x1 gr/8
A : NST-ACS + HHD + DM jam
Bisoprolol 2,5 mg/24 jam
Kamis, S : pasien mengatakan nyeri dada Inj. Vasola/24 jam
13/10/2022 berkurang Inj. Novorapid 3x6 IU
O : KU sakit sedang, kesadaran Candesartan 16 mg/24 jam
composmentis Simvastatin 20 mg/24 jam
TTV Aspilet 80 mg/24 jam
TD : 186/111 mmHg CPG 75 mg/24 jam
N : 100 x/menit Inj. Lanzoprazole/12 jam
RR : 22 x/menit Inj. Ondansentron/12 jam
S : 370C Amlodipin 10 mg/24 jam
Inj. Paracetamol 3x1 gr/8

13
SpO2 : 99% jam
A : NST-ACS + HHD + DM Bisoprolol 2,5 mg/24 jam
Jumat, S : pasien mengatakan nyeri dada Inj. Vasola/24 jam
14/10/2022 berkurang Inj. Novorapid 3x6 IU
O : KU sakit sedang, kesadaran Candesartan 16 mg/24 jam
composmentis Simvastatin 20 mg/24 jam
TTV Aspilet 80 mg/24 jam
TD: 154/110 mmHg CPG 75 mg/24 jam
N: 117 x/menit Inj. Pantoprazole/24 jam
RR: 20 x/menit Inj. Ondansentron/12 jam
S : 37,50C Amlodipin 10 mg/24 jam
SpO2 : 98% Inj. Paracetamol 3x1 gr/24
A : NST-ACS + HHD + CHF + jam
DM Bisoprolol 2,5 mg/24 jam
Inj. Furosemid 3x2/8 jam
HCT 1x1/24 jam
Petidin 0,5 cc/jam
Sabtu, S : Pasien mengatakan nyeri dada, Pasien dirujuk
15/10/2022 rasa panas di dada
O : KU sakit sedang, kesadaran
composmentis
TTVTD: 134/62 mmHg, N: 80
x/menit, RR : 22 x/menit, S : 360C,
SpO2 : 98%
A : NST-ACS + HHD + CHF
+DM

BAB II

14
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom koroner akut atau SKA adalah suatu terminologi yang
menggambarkan spektrum klinis atau kumpulan gambaran penyakit yang
meliputi angina pektoris tidak stabil atau APTS (unstable angina/ UA), infark
miokard non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST
elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q
atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial
infarction/STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan
presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau
CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia
ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS[1].
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi
Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI), Infark Miokard non ST-elevasi
(NSTEMI), dan Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP)[1,2]. Pada Infark Miokard
Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner sehingga
menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium,
yang pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST,
sedangkan pada Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang
tidak menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh miokardium, sehingga pada
pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST[2].
B. EPIDEMIOLOGI
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit
kardiovaskuler merupakan penyebab kematian terbesar di dunia, diperkirakan
17,3 juta orang meninggal dunia karena penyakit kardiovaskuler setiap
tahunnya dan 45% diantaranya diakibatkan oleh penyakit jantung koroner
(PJK). Menurut WHO 80% kematian global akibat penyakit jantung terjadi
pada masyarakat miskin dan menengah [3].
The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari

15
1 juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap
tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65
tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.
Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama (20%)
penduduk Amerika[4].
Prevalensi SKA berdasarkan diagnosis dokter menurut data Riskesdas
tahun 2013 adalah sebesar 0,5% atau sekitar 883.447 pasien, sedangkan
berdasarkan diagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 1,5% atau mencapai
2.650.340 pasien [5]
Data tahun 2016, Penyakit jantung koroner menduduki urutan ke 7
sebagai penyakit tidak menular tertinggi di Sulawesi Tenggara. Penderita
penyakit jantung koroner di Sulawesi tenggara sendiri berkisar 6.158 orang
yang terdiagnosis penyakit jantung coroner.
Penyakit jantung koroner memiliki faktor risiko yang tidak bisa
dimodifikasi dan bisa dimodifikasi[6].
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
 Riwayat penyakit jantung koroner (PJK) pada keluarga
 Usia > 45 tahun, semakin bertambah usia seseorang maka risiko
penyakit jantung semakin tinggi.
 Jenis kelamin, jenis kelamin (laki-laki lebih berisiko dari pada
perempuan),
 Ras, ras Afrika dan Asia memiliki faktor risiko yang lebih tinggi
terkena penyakit jantung.
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
 Hipertensi
 Diabetes mellitus
 Hiperkolesterolemia
 Merokok
 Gaya hidup sedenter
 Diet tinggi lemak

16
 Obesitas
 Stres
C. PATOFISIOLOGI
Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis
arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan
pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium. Iskemia
miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai
oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri
koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium.
Contoh lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil,
peningkatan frekuensi denyut jantung dapat menyebabkan terjadinya
iskemi karena meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium, tanpa
diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium.
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan
peristiwa yang awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah
pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika
iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark
miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark
miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan)
atau transmural (terjadi pada semua lapisan)[7].
Penyakit jantung koroner terjadi karena ketidakseimbangan antara
demand dan supplay dimana terjadi kebutuhan yang meningkat atau
penyediaan yang menurun, atau bahkan gabungan diantara keduanya. Lima
proses patofisiologi yang berperan terhadap perkembangan UA/NSTEMI:
a. Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan trombus non oklusif
(penyebab yang paling berperan). Terjadinya ruptur menyebabkan
aktivasi, adhesi dan agregasi platelet yang menyebabkan aktivasi
terbentuknya trombus. Trombus dapat menyumbat pembuluh darah
secara total atau parsial.
b. Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh spasme arteri koroner
epikardium, resistensi pembuluh darah koroner, vasokonstriksi lokal

17
seperti tromboksan A2 yang dilepaskan dari trombosit, disfungsi endotel
koroner, dan stimulus adrenergik termasuk dingin dan kokain
c. Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang disebabkan oleh
pembentukan aterosklerotik yang progresif atau restenosis pasca intervensi
koroner perkutan
d. Inflamasi
e. Angina pektoris tidak stabil sekunder yang menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen atau penurunan suplai oksigen (misalnya dalam
keadaan takikardi, demam, hipotensi, atau anemia)[8].

D. DIAGNOSIS
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi
lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul waktu istirahat atau timbul karena
aktivitas yang minimal. Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan
foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan
SKA, dan Definitif SKA dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal
(angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu,
atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop[9].
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40
tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika

18
berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit
jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA [9].
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas
risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National
Cholesterol Education Program) [9].
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau
batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah[9].
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai
keluhan SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah
pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis
kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi
fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam
dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop),
riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular[9] :

19
1. Anamnesis
Nyeri dada merupakan gejala kardinal pasien infark miokard akut.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:[10].
 Lokasi pada substernal, retrosternal, prekordial
 Karakteristik nyeri seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
ditusuk, diperas, dipelintir
 Dapat menjalar ke lengan kiri, ke leher, rahang bawah, punggung
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat
 Nyeri dapat dicetuskan oleh latihan fisik, stress, udara dingin, setelah
makan
 Dapat disertai mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas,
dan lemas.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Gejala atipikal seperti nyeri
epigastrium, gangguan pencernaan, dan nyeri pleuritik dapat mengacaukan
diagnosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan adalah untuk menegakkan diagnosis
banding dan mengidentifikasi pencetus iskemia, komplikasi iskemia,
penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Selain itu,
pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis),
dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai
representasi SKA[8].
Pemeriksaan fisik umumnya dalam batas normal kecuali terdapat
komplikasi atau komorbid[9]. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup
mitral akut, suara jantung tiga (S3), hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah
halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang
dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri
pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan
dalam memikirkan diagnosis banding SKA[9].

20
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat
darurat.Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG
sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle
Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang
persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun
adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25mV. Sedangkan
pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05
mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang >0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah >0,5 mV. Depresi
segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien
STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien

21
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran
EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif
dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST
seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks
QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak
ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah
infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina
Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3
dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen
ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (2
sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG
yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang
nondiagnostik.
2. Pemeriksaan marka jantung
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut
akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T
untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu
keluhan angina dan perubahan EKG[9]
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat
sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN).Tes
yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk

22
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada
pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam
setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu bila terjadi
nekrosis luas. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia,
pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam
waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap
sampai 2 hari.[6]
Kriteria diagnosis definitif pasien ACS berdasarkan Indonesian Heart
Asosiation yaitu nyeri dada angina ( angina tipikal ), EKG dengan gambaran
elevasi yang diagnostic untuk IMA-EST, depresi ST, atau inversi T yang
diagnostic sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan
baru, serta biomarka jantung yag meningkat[1].

E. TATALAKSANA
1. Terapi awal fase akut[8,9]
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan
diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.
a. Tirah baring
b. Oksigen harus diberikan segera bagi pasien dengan saturasi O2 arteri<
95% atau pasien yang mengalami distres pernapasan. Oksigen
diberikan 2-4 liter/menit
c. Oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
d. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih
cepat.
e. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

23
 Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik.
 Clopidogrel, dosis awal 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik)
f. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
g. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
2. Terapi lanjutan[8]
a. Anti iskemia
1) Beta blocker
Beta blocker direkomendasikan bagi pasien UAP atau
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan
selama tidak terdapat kontra indikasi. Beta bloker juga
diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
selama tidak ada kontra indikasi. Beta bloker oral hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama. Beta blocker juga diindikasikan
untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak
ada indikasi kontra. Beberapa beta blocker yang sering dipakai
dalam praktek klinik dapat dilihat pada gambar 1 :

24
Gambar 1. Jenis dan dosis beta bloker untuk IMA
2) Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena
yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir
diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
a. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan
dalam fase akut dari episode angina
b. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada
berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5
menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra
c. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten,
gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama
UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena
tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti
menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau
angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).
d. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal,
bradikardia berat (<50x/menit), takikardia tanpa gejala
gagal jantung, infark ventrikel kanan, dan pada pasien yang
telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase.

25
Gambar 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
3) Calcium channel blockers (CCB)
Calcium channel bloker, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik
karena mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. CCB golongan
dihidroperidone direkomendasikan untuk mengurangi gejala
bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan beta bloker.CCB
golongan non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien
NSTEMI kontra indikasi terhadap beta-blocker.
a. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi
gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan beta-
blocker
b. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien
NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap beta-blocker
c. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti terapi beta-blocker
d. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina
vasospastik
e. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-
release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi
dengan beta-blocker.

26
Gambar 3. Jenis dan dosis CCB untuk terapi IMA
b. Anti platelet
 Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa kontra indikasi
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg/hari.
 Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada
indikasi kontra seperti risiko perdarahan.
 Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan
penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan
riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi
H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.
 Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali
sehari.
 Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari.
 Pemberian loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak
bisa mendapatkan ticagrelor

27
 Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap
hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang
dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat.
 Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi
(termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan
selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau
clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat
risiko kejadian iskemik yang tinggi.
 Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan
(atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap
aman.
 Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID
(penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-selektif.

Gambar 4. Jenis dan dosis anti platelet untuk IMA


c. Penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat
diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan
risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat)
apabila risiko perdarahan rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan
secara rutin sebelum angiografi atau pada pasien yang mendapatkan
DAPT yang diterapi secara konservatif.
d. Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.

28
 Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan
berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah
2,5 mg setiap hari secara subkutan.
 Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU
untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP IIb/IIIa)
perlu diberikan saat IKP.
 Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien
dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak
tersedia.
 Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau
enoksaparin tidak tersedia.
 Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian
antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari
rumah sakit.

Gambar 5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk terapi IMA


e. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita
pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis.

29
 Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada kontra indikasi, pada pasien dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK).
 ARB diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran
terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.

Gambar 6. Jenis dan dosis ACE-I untuk terapi IMA


f. Statin
Statin harus dipertimbangkan untuk semua pasien dengan gejala
penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (termasuk
riwayat angina atau infark miokard akut), penyakit arteri oklusi
(termasuk riwayat penyakit vaskuler perifer, stroke tanpa perdarahan
atau serangan iskemik transien). Terapi statin dosis tinggi hendaknya
dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi
untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL.

I. PROGNOSIS
Non-ST segmen elevation myocardial infarction (NSTEMI) merupakan
kondisi koroner yang tidak stabil dengan kecenderungan untuk terjadi
iskemia berulang dan komplikasi lain yang dapat mengarah ke kematian atau
infark miokard. Penilaian risiko pada kontak medis pertama dapat membantu
menentukan prognosis pasien.
Penilaian risiko meliputi penilaian klinis, gambaran ekokardiografi,
biomarker, dan skor risiko. Gejala yang timbul saat istirahat, takikardi,
hipotensi, dan gagal jantung memiliki prognosis buruk. Gambaran EKG

30
normal memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan adanya inversi
gelombang T atau depresi segmen ST.
Pada usia <65 tahun, wanita memiliki prognosis lebih baik dibandingkan
laki-laki. Adanya anemia, hiperglikemia, gagal ginjal merupakan penanda
prognosis yang kurang baik[8].

Stratifikasi Risiko Pasien Dengan ACS yang Dikonfirmasi :


1. Very High Risk
 Ketidakstabilan hemodinamik:
o Gagal jantung / syok kardiogenik
o Komplikasi mekanis infark miokard
 Aritmia atau henti jantung yang mengancam jiwa
 Iskemia berulang atau berkelanjutan (misalnya nyeri dada refraktori
untuk perawatan medis) atau segmen ST dinamis berulang dan / atau
perubahan gelombang T, terutama dengan:
o Elevasi segmen ST intermiten
o Perubahan de Winter T Wave
o Sindrom Wellens (atau sindrom LMCA)
o Peningkatan ST yang tersebar luas di dua atau lebih wilayah
koroner
2. High Risk
 Naik dan/atau turunnya kadar troponin yang konsisten dengan infark
miokard
 Episode dinamis segmen ST dan / atau perubahan gelombang T
dengan atau tanpa gejala
 Skor GRACE >140
3. Intermediate Risk
 Diabetes melitus
 Insufisiensi ginjal (laju filtrasi glomerulus < 60mL / menit / 1,73m2)
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%

31
 Revaskularisasi sebelumnya:
o Intervensi koroner perkutan
o Bypass arteri koroner grafting
 GRACE skor >109 dan <140
4. Low Risk
 Pasien dengan NSTEACS yang memiliki keduanya:
o tidak ada gejala berulang
o tidak ada kriteria risiko (seperti yang tercantum di atas)

32
BAB III
ANALISIS KASUS
KASUS TEORI
Jenis kelamin dan usia : Riwayat penyakit jantung
Tn. A usia 58 tahun koroner (PJK) pada keluarga, usia (lebih
dari 45 tahun), jenis kelamin (laki-laki
lebih berisiko dari pada perempuan)
merupakan faktir resiko SKA yang tidak
dapat dimodifikasi[7]
Gejala klinis : Sindrom Koroner Akut :
Pasien datang ke UGD RSUD Nyeri dada merupakan gejala
Kota Kendari dengan keluhan kardinal pasien infark miokard akut.
nyeri dada yang dialami sejak 1 Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
bulan yang lalu dan semakin lokasi substernal, retrosternal,
memberat sejak kemarin. Nyeri prekordial; sifat nyeri seperti ditekan,
dada dirasakan diseluruh lapang rasa terbakar, ditindih benda berat,
dada, menjalar ke epigastrium. ditusuk, diperas, dipelintir; penjalaran
Nyeri dada awalnya dirasakan biasanya ke lengan kiri, ke leher, rahang
hilang timbul kemudian nyeri bawah, punggung; nyeri membaik atau
dirasakan seperti tertekan dan hilang dengan istirahat; faktor pencetus
berlangsung terus menerus dengan seperti latihan fisik, stress, udara dingin,
durasi > 20 menit sejak kemarin. setelah makan; gejala yang menyertai
Nyeri dada semakin memberat ialah mual, muntah, sulit bernapas,
saat pasien beraktivitas dan keringat dingin, cemas, dan lemas.
membaik saat beristirahat. Sebagian besar pasien cemas dan tidak
Pasien juga mengeluh sesak, bisa istirahat[6]
pasien mengatakan sulit tidur di Hipertensi merupakan salah satu
malam hari akibat sesak yang faktor risiko SKA. Hipertensi dapat
dirasakan dan sesak berkurang mempercepat timbulnya aterosklerosis
ketika istirahat. Pasien karena tekanan darah yang tinggi dan

33
mengatakan nyeri berkurang menetap akan menimbulkan trauma
ketika istirahat. Pasien juga langsung terhadap dinding pembuluh
mengeluh sakit kepala (+), darah arteri koronaria sehingga
demam (+), batuk (+), mual (+) memudahkan terjadinya aterosklerosis
dan muntah (+). koroner[7].

Pemeriksaan penunjang : Adanya keluhan angina akut dan


EKG :Pada pemeriksaan pemeriksaan EKG ditemukan elevasi
elektrokardiografi didapatkan ST segmen ST yang menetap, diagnosisnya
elevasi namun ST elevasi yang ada adalah infark miokard dengan
pada EKG pasien menetap nonelevasi segmen ST (NSTEMI) atau
dikarenakan LVH. Gambaran Angina Pektoris tidak stabil (APTS/
EKG pasien juga menunjukkan UAP). Depresi segmen ST yang
Poor R progresif diagnostik untuk iskemia adalah sebesar
Thoraks AP : ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1
Dalam batas normal mV di sadapan lainnya. Inversi
gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut[8].
Tatalaksana:  Vasola (fondaparinuks) sebagai
antikoagulan untuk mencegah/
Inj. Vasola/24 jam
menghambat terbentuknya thrombus.
Inj. Novorapid 3x6 IU
 Aspilet (Aspirin) merupakan
Candesartan 16 mg/24 jam antiplatelet yang bekerja pada jalur

Simvastatin 20 mg/24 jam COX untuk menghambat


pembentukan tromboksan A2.
Aspilet 80 mg/24 jam
 Clopidogrel merupakan antiplatelet
CPG 75 mg/24 jam yang bekerja pada jalur

Inj. Pantoprazole/24 jam penghambatan ADP


 Pantoprazole (PPI) penghambat
Inj. Ondansentron/12 jam
pompa proton untuk menurunkan

34
Amlodipin 10 mg/24 jam asam lambung
 Simvastatin (statin) sebagai anti
Inj. Paracetamol 3x1 gr/24 jam
inflamasi untuk menstabilkan plak.
Bisoprolol 2,5 mg/24 jam
 Amlodipin (CCB) untuk menurunkan
Inj. Furosemid 3x2/8 jam tekanan darah

HCT 1x1/24 jam  Bisoprolol (Beta Blocker)


menghambat adenoresepyor beta
Petidin 0,5 cc/jam
dijantung, pembuluh darah perifer,
bronkus, pancreas, dan hati.
 Furosemide (diuretik)
direkomendasikan pada pasien gagal
jantung dan tanda-tanda klinis/ gejala
kongesti.
 Candesartan (ARB) digunakan untuk
menurunkan afterload.
 HCT (Hidroklorotiazid) diuretic
untuk menurunkan preload dengan
mengeluarkan cairan
 Petidin (analgesic) untuk
manajemen nyeri

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Montalescot G. On behalf of the OPERA investigators. STEMI and NSTEM I


are two distinct pathophysiological entities: reply. Eur Heart J. 2007;21:
2685-6.

2. Dwi Sanjani, R., Nurkusumasari, N., Surakarta Korespondensi, M., & Dwi
Sanjani Alamat, R. (2020). SINDROM KORONER AKUT Acute Coronary
Syndrome. Jurnal Kesehatan, 99, 397–409.

3. Muhibbah, M., Wahid, A., Agustina, R., & Illiandri,h.. O. (2019).


Karakteristik Pasien Sindrom Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap Ruang
Tulip Di Rsud Ulin Banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences,
3(1), 6.

4. Oliver, J. (2016). Exercise Pada Pasien Dengan St Elevasi Miokard Infark


(Stemi). Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

5. Ibrahim,et,al. (2015). Clinical Pathology and Majalah Patologi Klinik


Indonesia dan Laboratorium Medik. Jurnal Indonesia, 21(3), 261–265.

6. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI

7. Myrtha, R. 2012. Patofi siologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192. Vol. 39(4).

8. Torry, S. R. V., Panda, L., & Ongkowijaya, J. (2014). Gambaran Faktor


Risiko Penderita Sindrom Koroner Akut. E-CliniC, 2(1), 1–8.

9. PERKI (2018). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat.

10. Hanafi B., Trisnohadi., Muhadi. 2017. Angina Pektoris Stabil/Infark Miokard
Akut tanpa elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed VI.
Jakarta: Interna Publishing

11. PERKI (2016). Panduan praktik klinis (ppk) dan clinical pathway (cp)
penyakit jantung dan pembuluh darah.

36

Anda mungkin juga menyukai