Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

BRONKIEKTASIS EX TUBERULOSIS

OLEH :

Wa Ode Dzayumrih, S.Ked


K1B122023

PEMBIMBING
dr. Yusuf Musafir Kolewora.Sp.P

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama :Wa Ode Dzayumrih, S.Ked.

NIM : K1B122023

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Judul Laporan Kasus : Bronkiektasis ex TB

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo.

Kendari, Oktober 2022


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Yusuf Musafir Kolewora,Sp.P

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I STATUS PASIEN..................................................................................................1
A. IDENTITAS PASIEN............................................................................................1
B. ANAMNESIS........................................................................................................1
C. PEMERIKSAAN FISIK.........................................................................................2
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................................4
E. RESUME.............................................................................................................11
F. DIAGNOSIS SEMENTARA...............................................................................11
G. DIAGNOSIS BANDING.....................................................................................11
H. FOLLOW UP.......................................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................Error! Bookmark not defined.
A. DEFINISI..............................................................Error! Bookmark not defined.
B. EPIDEMIOLOGI.................................................................................................15
C. PATOFISIOLOGI................................................................................................17
D. DIAGNOSIS........................................................................................................18
E. TATALAKSANA.................................................................................................23
BAB III ANALISIS KASUS...........................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................36

iii
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Tangga lahir : 01-07-1982
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Alamat : Konawe Selatan
No RM : 27-XX-X5
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Nyeri dada
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke UGD RSUD Kota Kendari dengan keluhan nyeri
dada yang dialami sejak kurang lebih bulan yang lalu yang di rasakan
hilang timbul dan semakin memberat sejak beberapa jam sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dada semakin memberat saat pasien beraktivitas dan
membaik saat beristirahat.
Pasien juga mengeluh batuk,batuk berdahak di sertai darah (+) yang di
rasakan kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, demam (+)
hilang timbul, Pasien mengatakan mengalami mual (+),muntah (+) Pasien
juga mengeluh sakit kepala (+). Buang air besar dan buang air kecil dalam
batas normal.
3. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)

1
 Riwayat penyakit hipertensi (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat berobat TB (+) tahun 2015
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat penyakit ginjal (-)
4. Riwayat kebiasaan
 Aktivitas fisik (+)
 Riwayat makan tidak teratur (-)
 Riwayat alkohol (-)
 Riwayat merokok (+)
5. Riwayat sosial ekonomi
 Kondisi ekonomi pasien tergolong menengah ke bawah
6. Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
 Kedua orang tua dan saudara hipertensi (-)
7. Riwayat pengobatan
 Paracetamol
 Codein
 Azitromisin
C. PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM : Sakit sedang
KESADARAN : Composmentis (GCS E4M6V5)
STATUS GIZI : BB TB IMT
TANDA VITAL
TD Nadi Pernafasan Suhu
120/80mmHg 84x/Menit 22x/Menit 37,50C/Axillar
(Reguler)

Status Generalis
Kepala Normocephal, simetris (+)

2
Rambut
Berwarna hitam, tidak mudah tercabut.
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), Exopthalmus
(-/-), edema palpebra -/-, Gerakan bola mata dalam batas
normal, pupil refleks (+)
Hidung Napas cuping hidung (-) rinorhea (-)
Telinga Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)
Mulut Bibir pucat (-), perdarahan gusi (-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks Inspeksi
Kelainan bentuk dada (-)
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan
Retraksi sela iga (-)
Bekas luka/scar (-)
Palpasi
Nyeri tekan (+)Massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor (+/+)
Auskultasi
Bunyi nafas vesikuler +/+, Rhonki +/+, Wheezing -/-
Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada ICS 4 linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea midcalvicularis sinistra.

Auskultasi
BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallop (-)

3
Abdomen Inspeksi
Abdomen cembung, asites (-)
Auskultasi
Bising usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi
Timpani
Ekstremitas Inspeksi
 Akral hangat
 Edema (-)
 CRT < 2 detik
 Sianosis (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah Rutin (11/10/2022)

Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

WBC 8,3 4.0-10.00 103/Ul

Neu# 6,39 1.1-7.0 103/Ul

Neu% 77,1 50.0-70.0 %

RBC 4,13 4.50-5.50 106/Ul

HGB 13,2 11.0-17.00 g/dl

HCT 40,3 37.0-48.0 %

MCHC 32.8 31.9-37.0 g/dl

4
2. Laboratorium Rapid tes Antigen (11/10/2022)

Nama Pemeriksaan Hasil Rujukan

Rapid tes POSITIV NEGATIF

antigen SARS COV 2

3. Foto CT Scan tanpa kontras(06/10/2022)

 Tampak nodul isodens densitas 37-51 HU batas tegas,tepi regular di

serti kalsifikasi

 Tampak cystic bronkiektasis pada paru kanan

 Cor,pembuluh darah besar yng tervisualisasi dalam batas normal

 Tidak tampak pembesaran kelenjar ketah bening

paratracheal,paraaorta,

 Hepar dalam batas normal

 Tulang tulang intak

Kesan : nodul paru kanan suspek tuberculoma

Cystic bronkiektasis kanan

5
RESUME

 Seorang pasien perempuan usia 40tahun datang ke UGD RSUD Kota


Kendari dengan keluhan sesak nyeri dada
 nyeri dada yang dialami sejak kurang lebih bulan yang lalu yang di
rasakan hilang timbul dan semakin memberat sejak beberapa jam
sebelum masuk rumah sakit.
 Nyeri dada semakin memberat saat pasien beraktivitas dan membaik saat
beristirahat.
 Pasien juga mengeluh batuk,batuk berdahak di sertai darah (+) yang di
rasakan kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
 Pasien juga mengalami demam (+) hilang timbul, Pasien mengatakan
mengalami mual (+),muntah (+) Pasien juga mengeluh sakit kepala (+).
 Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.
 Pada pemeriksaan Ct scan didapatkan kesan cystic bronkiektasis dextra
E. DIAGNOSIS SEMENTARA
Cystic Bronkiektasis dextra + Covid 19
F. DIAGNOSIS BANDING
 Bronkitis
 PPOK

G. FOLLOW UP
Hasil follow up pasien disajikan pada tabel berikut:
Hari/ Anamnesis dan Pemeriksaan Instruksi DPJP
Tanggal Fisik
Rabu S : Nyeri dada, Batuk berdahak, IVFD NaCL 0,9% 20 TPM
12/10/2022 darah (+), demam (+), sesak(+ ) Inj. Paracetamol 1 g/IV
O : KU Sakit sedang, kesadaran Inj. Pantoprazole 1 vial/12 j/iv
composmentis Inj. Metil Prednisolon 2x 62,5
TTV mg/IV

6
TD: 120/80 mmHg Inj. Ondansentron /8 jam/IV
N: 84 x/menit Vitamin D 1x 1000 u
S: 38 0C Favirapir 2x 600 mg
RR : 26x/menit N.Acetylsistein 3 x 1
SpO2 : 98%
Pemfis
Thoraks : Vesikuler (+/+),
Rhongki (+/+).
CT Scan : cystic bronkiektasis
dextra
A : Cystic Bronkiektasis Dextra
+ Covid 19

Kamis S : Nyeri dada, Batuk berdahak, IVFD NaCL 0,9% 20 TPM


13/10/2022 darah (+), demam (+), sesak(+ ) Inj. Paracetamol 1 g/IV
O : KU Sakit sedang, kesadaran Inj. Pantoprazole 1 vial/12 j/iv
composmentis Inj. Metil Prednisolon 2x 62,5
TTV mg/IV
TD: 130/80 mmHg Inj. Ondansentron /8 jam/IV
N: 90 x/menit Vitamin D 1x 1000 u
S: 37 0C Favirapir 2x 600 mg
RR : 22x/menit N.Acetylsistein 3 x 1
SpO2 : 98%
Pemfis
Thoraks : Vesikuler (+/+),
Rhongki (+/+).
CT Scan : cystic bronkiektasis
dextra
A : Cystic Bronkiektasis Dextra +
Covid 19

7
Jumat S : Nyeri dada berkurang, Batuk IVFD NaCL 0,9% 20 TPM
14/10/2022 berdahak berkurang , demam (-), Inj. Paracetamol 1 g/IV
sesak(- ) Inj. Pantoprazole 1 vial/12 j/iv
O : KU Sakit sedang, kesadaran Inj. Metil Prednisolon 2x 62,5
composmentis mg/IV
TTV Inj. Ondansentron /8 jam/IV
TD: 113/70 mmHg Vitamin D 1x 1000 u
N: 65 x/menit Favirapir 2x 600 mg
S: 36,3 0C N.Acetylsistein 3 x 1
RR : 20 x/menit
SpO2 : 98%
Pemfis
Thoraks : Vesikuler (+/+),
Rhongki (+/+).
CT Scan : cystic bronkiektasis
dextra
A : Cystic Bronkiektasis Dextra +
Covid 19

Sabtu, S : Nyeri dada berkurang , Batuk IVFD NaCL 0,9% 20 TPM


15/10/2022 berdahak berkurang , demam (-), Inj. Paracetamol 1 g/IV
sesak(- ) Inj. Pantoprazole 1 vial/12 j/iv
O : KU Sakit sedang, kesadaran Inj. Metil Prednisolon 2x 62,5
composmentis mg/IV
TTV Inj. Ondansentron /8 jam/IV
TD: 123/81 mmHg Vitamin D 1x 1000 u
N: 71 x/menit Favirapir 2x 600 mg
S: 36,7 0C N.Acetylsistein 3 x 1
RR : 20x/menit
SpO2 : 98%
Pemfis

8
Thoraks : Vesikuler (+/+),
Rhongki (-/-).
CT Scan : cystic bronkiektasis
dextra
A : Cystic Bronkiektasis Dextra +
Covid 19

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Penyakit TB paru dapat menyebabkan masalah pernapasan lainnya,

salah satunya yaitu bronkiektasis.Bronkiektasis merupakan kelainan kronik

yang ditandai dengan dilatasi bronkus secara permanen, disertai proses

inflamasi pada dinding bronkus. Manifestasi klinis primer bronkiektasis

adalah terjadinya infeksi yang berulang, kronis, atau refrakter, dengan gejala

sisa yang terjadi adalah batuk darah, obstruksi saluran napas kronis, dan

gangguan bernapas secara progresif.

B. EPIDEMIOLOGI

TB paru masih menjadi masalah kesehatan global. Diperkirakan

sepertiga dari populasi dunia sudah tertular TB paru, dimana sebagian besar

penderita TB paru adalah usia produktif (15-50 tahun). Tahun 2013 terdapat 9

juta kasus baru dan 1,5 juta kematian akibat penyakit TB paru. Prevalensi

bronki-ektasis juga dilaporkan semakin meningkat di Amerika Serikat. Seitz

dkk melaporkan prevalensi bronkiektasis meningkat setiap tahun mulai dari

tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dengan kenaikan sebesar 8,74%, lebih

banyak dijumpai pada wanita dan ras asia. Angka kejadian Bronkiektasis

yang didapat dari data instalasi rekam medis RS Paru Dr. M Goenawan

10
Cisarua Bogor juga mengalami kenaikan disetiap tahunnya dari tahun 2015

yaitu berjumlah 278 kasus hingga tahun 2018 mencapai 341 kasus

C. PATOFISIOLOGI

Bronkiektasis adalah gangguan paru yang tidak dapat

disembuhkan yang ditandai secara patologis dengan dilatasi

bronkus permanen dan inflamasi bronkus yang parah dan secara

klinis dengan batuk produktif kronis dan eksaserbasi infeksi

berulang. Kadang-kadang digambarkan sebagai penyakit,

bronkiektasis mungkin lebih tepat dianggap sebagai hasil akhir dari

proses patologis yang melibatkan lingkaran setan peradangan,

infeksi berulang, dan kerusakan dinding bronkus yang dapat terjadi

terkait dengan berbagai penyebab utama, termasuk infeksi, genetik,

inflamasi, lingkungan, dan alergi.1

Mekanisme yang mungkin mendasari bronkiektasis

pasca infeksi adalah adanya infeksi pada saat awal kehidupan yang

menyebabkan kerusakan struktural pada saluran napas yang masih

dalam tahap pengembangan sehingga mengakibatkan saluran napas

rentan terhadap infeksi berulang dan dengan berjalannya waktu,

infeksi persisten tersebut mengakibatkan bronkiektasis.Beberapa

infeksi saluran napas yang dapat menyebabkan bronkiektasis

termasuk: pertusis, bakteri gram negatif ( Pseudomonas

aeruginosa, Haemophilus influenzae ), virus ( HIV,

Paramyxovirus, adenovirus,daninfluenza), Mycobacterium

11
tuberculosis, danatypical mycobacteria dan mungkin berperan

penting dalam perkembangan bronkiektasis melalui mekanisme

viciouscircle.Model yang secara luas diterima dalam menjelaskan

evolusi bronkiektasis adalah model Cole’s vicious circle.Model ini

menjelaskan individu yangmemiliki predisposisi terjadi respons

inflamasi hebat terhadap infeksi paru

D. DIAGNOSIS

Gejala dan tanda apa yang dapat dinilai yang menjadi

penybab dasar bronkiektasis. Eksaserbasi terjadi bila didapatkan 4

atau lebih gejala berikut: Batuk dengan peningkatan dahak, sesak

bertambah, peningkatan suhu badan > 38˚C,peningkatan

wheezing , penurunan kemampuan fisik, fatigue, penurunan fungsi

paru, dan terdapat tanda-tanda infeksi akut secara radiologis.

Aspek diagnostik lain yang perlu diperhatikan adalah gejala dan

tanda klinis penyakit yang mendasarinya seperti fibrosis kistik,

defisiensi imun, atau penyakit jaringan ikat.

1) Batuk berdahak

Batuk adalah gejala yang paling umum yang berhubungan

dengan bronkiektasis, terjadi pada >90% pasien. Batuk

produktif dahak setiap hari dalam 75-100%, secara

intermiten dalam 12-20% dan non-produktif di

5e8%.Penilaian volume untuk membandingkan volume

12
dahak yang diproduksi di 24 jam dengan unit yang mudah

dikenali seperti sendok teh (5 ml), sendok pencuci mulut

(10 ml), sendok makan (15 ml), cangkir telur (30 ml) atau

teh

cangkir (200 ml). Pengumpulan dahak secara formal selama

24 jam akan mencapai pengukuran yang lebih akurat dan

ini dapat direkam sebagai volume atau berat. Volume dahak

yang dihasilkan dapat bervariasi luas dengan

rata-rata/median volume harian 65 ml, 113 ml, 25 ml, 34 ml

dan volume maksimum 300 ml, 567 ml dan 200

ml.Perubahan warna sputum berhubungan dengan purulensi

(pelepasan dari neutrofil myeloperoxidase). Inspeksi visual

dari dahak memungkinkan klasifikasi penampilan sebagai

mucoid (tidak berwarna), mukopurulen (kuning pucat) atau

purulen (kuning sampai hijau).Dalam dua studi pasien

stabil, 29% dan 3% memiliki mukoid, 26% dan 41%

mukopurulen dan 45% dan 56% purulent penampilan,

masing-masing bisa menilai warna sputum secara

akurat.Purulensi sputum berhubungan dengan radiologis

perubahan, dengan varises atau bronkiektasis kistik yang

terkait dengan sputum lebih berubah warna daripada

bronkiektasis tubular pada HRCT pemindaian Sputum

13
purulen mungkin memiliki masalah seperti bau tidak sedap

atau bau busuk.13

2) Dyspnoea, haemoptysis, pain, fever

Dispnea dilaporkan pada 72% dan 83%53 kasus dan tingkat

keparahan berkorelasi dengan tingkat kerusakan FEV1

yang luas. biasanya terjadi pada pasien dengan

bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran

radiologinya.15 Hemoptisis sering menjadi penyebab

kecemasan untuk pasien dan sering berhubungan dengan

eksaserbasi infeksi. Nyeri dada saat pasien stabil terjadi

pada 31% dalam satu seri, biasanya non-pleuritik dan

berkisar dari ringan sampai berat.15

3) Infeksi Eksaserbasi

Pasien dengan bronkiektasis mungkin mengalami

perburukan gejala dibandingkan dengan yang hadir

sebagian besar waktu (dan eksaserbasi infeksi). Definisi

eksaserbasi bervariasi dalam literatur tetapi memiliki

kesamaan baik perubahan dalam satu atau lebih banyak

gejala umum bronkiektasis (meningkat volume sputum atau

purulensi, dispnea yang memburuk, peningkatan batuk,

penurunan fungsi paru, peningkatan kelelahan/malaise) atau

munculnya gejala baru (demam, radang selaput dada,

hemoptisis, kebutuhan untuk pengobatan antibiotik).13

14
4) Dampak sosial dan psikologis, kualitas hidup

Penilaian gejala psikologis dan kualitas hidup memiliki

menunjukkan bahwa pasien dengan bronkiektasis

mengalami peningkatan kecemasan dan skor depresi,

peningkatan kelelahan dan penurunan kualitas hidup.13

5) Pemeriksaan fisik

Temuan fisik yang khas pada bronkiektasis adalah terdengar

rongki kasar pada auskultasi, paling terdengar rongki kasar, mulai

awal inspirasi, puncak intensitas di pertengahan bagian dan dapat

meluas ke bagian akhir inspirasi. rongki biasanya hadir dalam

ekspirasi. Adanya ronki pada pasien dengan hanya obstruksi aliran

udara ringan dan persistensi ke dalam paruh kedua inspirasi

membantu membedakan rongki dari bronkiektasis dari PPOK.

Pemeriksaan penunjang diagnosis

 Radiologi

Diagnosis bronkiektasis dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan radiologis, dengan gold standard

menggunakan HRCT. Pada foto toraks bronkiektasis dapat

terlihat dengan adanya gambaran tram track, densitas garis

paralel, densitas berbentuk ring, dan gambaran struktur

tubuler; gambaran-gambaran tersebut mencerminkan

dinding bronkial yang mengalami penebalan dan dilatasi

abnormal. Gambaran ring shadow dapat samar-samar

15
berukuran 5 mm sampai dengan bentukan cysts yang jelas.

Gambaran opasitas tubuler yang membentuk percabangan

sesuai dengan bentuk percabangan bronkial dapat terlihat

sebagai akibat dari bronkus yang terisi cairan mucous.

Gambaran vaskuler dapat kurang terlihat sebagai akibat

terjadinya fibrosis peribronkial. Tanda-tanda eksaserbasi/

komplikasi seperti bercak densitas terkait impaksi mucoid

dan konsolidasi, volume loss terkait obstruksi bronkus oleh

sekret atau sikatrisasi kronik juga sering terlihat. Semakin

difus gambaran bronkiektasis akan tampak gambaran

hiperinflasi dan oligemia sejalan dengan obstruksi saluran

napas kecil yang berat. Foto toraks berperan dalam

kecurigaan awal bronkiektasis, follow up dalam

penatalaksanaan bronkiektasis, dan penanganan pada saat

eksaserbasi.

Dilatasi bronkus, yang merupakan tanda

cardinal bronkiektasis, pada HRCT dapat diidentifikasi

dengan adanya rasio bronkoarterial > 1 (BAR > 1),

kurangnya bronchial tapering, dan terlihatnya saluran napas

sampai dengan 1 cm dari permukaan pleura atau berdekatan

dengan permukaan pleura mediastinal. Rasio bronkoarterial

adalah perbandingan antara diameter bronkial dengan

diameter arteri yang berdampingan, rasio > 1 adalah

16
abnormal dan dikenal dengan istilah signet ring sign.

Kurangnya bronchial tapering atau tram like appearance

adalah gambaran bronkiektasis yang sering dijumpai pada

lapangan tengah paru. Terlihatnya saluran napas perifer

juga merupakan tanda langsung adanya bronkiektasis pada

penderita. Teknik HRCT terkini dapat memberikan

visualisasi saluran napas sampai dengan diameter 2 mm dan

ketebalan dinding saluran napas hingga 0,2 mm.4,14

 Darah rutin

Pemeriksaan darah rutin, walaupun tidak spesifik,

sangat penting untuk memonitor masing-masing individu.

Kadar hemoglobin dapat rendah sehubungan dengan

anemia pada penyakit kronik, dapat pula terjadi polisitemia

sebagai akibat dari hipoksia kronik. Peningkatan sel darah

putih mengindikasikan keberadaan infeksi akut. Keadaan

limfopenia merupakan awal kecurigaan untuk pemeriksaan

defisiensi imun. Eosinofilia dapat ditemukan pada

(walaupun tidak spesifik) allergic bronchopulmonary

aspergillosis. CRP adalah protein fase akut yang sering

diperiksakan pada penderita penyakit saluran napas yang

mengalami eksaserbasi akut untuk menentukan ada

tidaknya respons inflamasi sistemik. Pada pasien

bronkiektasis stabil didapatkan kadar CRP diatas nilai

17
normal. Pada beberapa penelitian kadar CRP berhubungan

dengan penurunan fungsi paru dan tingkat keparahan

penyakit.3

 Mikrobiologi

Sampel dahak diperoleh pada semua pasien untuk kultur

dahak Semua sampel mikrobiologi dikultur pada darah dan

agar darah yang dipanaskan, pelat agar Wilkins-Chalgren

dan agar Sabouraud sesuai dengan prosedur standar.

Sampel dahak dari setiap pasien juga diwarnai dengan

Ziehl-Nielsen dan dikultur dengan Lowenstein-Jensen

untuk mikobakteri. Populasi campuran dipertimbangkan

ketika 2 atau lebih patogen diisolasi dalam kultur sputum.

Mikroorganisme yang merupakan bagian dari flora

orofaringeal dan mengkontaminasi kultur sputum dianggap

sebagai flora normal. Mikroorganisme yang dianggap

sebagai flora normal adalah:Staphylococcus koagulase

negative jenis, Streptokokusspesies kelompok viridans,

nonpatogenikNeisseriajenis, Stafilokokus aureus (dalam

jumlah yang jarang),Candida albicans,

Enterococcusspesies, non-Enterokokus spesies (non-

hemolitik) dan difteri.Selain itu,Kultur bakteri negatif

dibuang setelah 5 hari dan kultur Lowenstein dianggap

negatif setelah 6 minggu.14

18
 Fungsi paru

Pemeriksaan spirometri dapat memperlihatkan gambaran

keterbatasan aliran napas dengan penurunan FEV1 dan

penurunan rasio FEV1/FVC, namun pada beberapa pasien

dapat ditemukan gambaran spirometri normal. FVC dapat

normal atau sedikit menurun mengindikasikan suatu

impaksi mukus. Hipereaktivitas bronkus juga dilaporkan

didapatkan pada penderita bronkiektasis. FEV1 memiliki

korelasi terhadap keparahan abnormalitas pada HRCT.

Penurunan volume paru mengindikasikan penyakit paru

interstitial sebagai penyakit dasarnya, sedangkan

peningkatan volume paru mengindikasikan suatu air

trapping atau impaksi mukus pada saluran napas kecil.

Pemeriksaan 6 minute walking test dilakukan untuk melihat

kapasitas fungsional paru dan dapat diterapkan pada

bronkiektasis. Penurunan kapasitas latihan berkorelasi

dengan tingkat keparahan pada HRCT.1

E. TATALAKSANA
Lama pengobatan yang tepat untuk eksaserbasi tidak

diketahui, tetapi pedoman konsensus merekomendasikan 14 hari

pengobatan dengan terapi antibiotik yang dipandu oleh

mikrobiologi dahak sebelumnya.18

 Antibiotic

19
Antibiotik digunakan untuk eradikasi

Pseudomonas dan/atau MRSA, supresi kolonisasi bakteri

kronis, atau untuk penatalaksanaan eksaserbasi. Pedoman

British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan

eradikasi Pseudomonas dan MRSA dengan antibiotik saat

pertama kali teridentifikasi, dengan tujuan memotong

lingkaran setan infeksi, inflamasi, dan kerusakan saluran

napas.

Tujuan terapi antibiotik supresi adalah untuk

menurunkan beban bakteri pada pasien dengan eradikasi

yang gagal, memperbaiki gejala, dan menurunkan frekuensi

eksaserbasi. Antibiotik inhalasi aman dan efektif dalam

menurunkan muatan bakteri sputum untuk jangka panjang.

Beberapa penelitian pada bronkiektasis non fibrosis kistik

menunjukkan bahwa antibiotik inhalasi seperti tobramycin,

gentamycin, aztreonam, atau ciprofloxacin menurunkan

kepadatan Pseudomonas, eksaserbasi, dan rawat inap.22

 Kortikosteroid

Bronkodilator menunjukkan perbaikan yang

signifikan terhadap FEV1 beberapa pasien dengan

bronkiektasis. Namun, secara keseluruhan tidak banyak

data yang mendukung rekomendasi bronkodilator kerja

cepat pada bronkiektasis. Beta adrenergic agonis dan

20
methylxanthine, selain mempunyai efek bronkodilator, juga

dapat merangsang bersihan mukosilier pada pasien dengan

penyakit saluran napas kronis, dengan cara meningkatkan

frekuensi gerakan silia, mengubah sekresi saluran napas,

atau keduanya.22

Anti inflamasi yang sering digunakan adalah

kortikosteroid dan makrolid. Kortikosteroid sistemik tidak

mengubah penurunan FEV1 pada bronkiektasis non fibrosis

kistik dan menyebabkan efek samping lebih besar

dibandingkan manfaatnya. Kortikosteroid inhalasi dosis

tinggi (misalnya fluticasone 1000 µg/hari) menurunkan

volume sputum dan petanda inflamasi dalam sputum,

namun tidak memperbaiki faal paru dan tidak menurunkan

frekuensi eksaserbasi bronkiektasis serta lebih sering

menyebabkan efek samping seperti katarak dan

osteoporosis. Budesonide dosis medium (640 µg/hari) dan

formoterol dibandingkan dengan budesonide dosis tinggi

(1600 µg) pada pasien dengan bronkiektasis non fibrosis

kistik menurunkan keluhan sesak, menurunkan kebutuhan

inhalasi beta agonis kerja cepat, meningkatkan jumlah hari

bebas batuk, dan memperbaiki skor kualitas hidup.22,9

 Pembedahan

21
Perawatan bedah secara klasik telah menjadi

pilihan bagi pasien yang telah terlokalisas bronkiektasis

dengan gejala persisten meskipun terapi maksimal, atau

infeksi berulang dengan patogen resisten. Sebuah tinjauan

retrospektif dari 109 pasien anak yang menjalani perawatan

bedah untuk NCFB telah menyoroti hasil positif bahkan

pada pasien dengan bronkiektasis nonlokalisasi. Dalam

penelitian ini, prosedur yang paling umum adalah

segmentektomi (43%) dan lobektomi (38%). Delapan puluh

tiga anak dipantau selama kurang lebih 2 tahun, tanpa

kematian terkait prosedur, dan 76% menunjukkan

perbaikan gejala klinis. Sebagai catatan, ahli bedah ini juga

melakukan reseksi parsial pada area yang paling

terpengaruh pada pasien dengan bronkiektasis difus,

dengan hasil jangka panjang yang positif. Meskipun hasil

ini menjanjikan, penelitian yang memiliki periode tindak

lanjut yang lebih lama diperlukan sebelum operasi dapat

direkomendasikan untuk bronkiektasis yang tidak

terlokalisasi

F. PROGNOSIS

22
BAB III
ANALISIS KASUS
KASUS TEORI
Jenis kelamin dan usia : Riwayat penyakit bronkiektasis
Tn. J usia 40 tahun jenis kelamin (laki-laki lebih berisiko
dari pada perempuan) merupakan faktir
resiko SKA yang tidak dapat
dimodifikasi[7]
Gejala klinis : Bronkiektasis :
Pasien datang ke UGD keluhan Gambaran klinis bronkiektasis
nyeri dada yang dialami sejak sangat bervariasi, Nyeri dada pleuritik
kurang lebih bulan yang lalu yang ditemukan pada beberapa pasien dan
di rasakan hilang. Pasien juga menunjukkan proses peregangan saluran
mengeluh batuk,batuk berdahak di napas perifer atau pneumonitis distal
sertai darah (+) yang di rasakan yang berdekatan dengan pleura visceral.
kurang lebih 1 minggu sebelum penurunan berat badan, bronkospasme,
masuk rumah sakit, demam (+) sesak napas dan penurunan kemampuan
hilang timbul, fisik juga didapatkan pada pasien
bronkiektasis. Sputum dapat bervariasi
mulai dari mukoid, mukopurulen,
kental, dan liat. Gambaran sputum 3
lapis yang meliputi lapisan atas yang
berbusa, lapusan tengah mukus, dan
lapisan bawah purulen merupakan
gambaran patognomonik,namun tidak
selalu dapat dijumpai. Gejala lain
berupa Demam (suhu badan >38,0˚C)
Pemeriksaan penunjang :
Radiologi : cystic bronkiektasis
dextra.

23
Tatalaksana:
 Paracetamol
Inj. Paracetamol 1 g/IV
Antipiretik paracetamol berkerja pda
Inj. Pantoprazole 1 vial/12 j/iv
pusat pengatur suhu di
Inj. Metil Prednisolon 2x 62,5 hypothalamus untuk menurunkn
suhu tubuh. Dengan cara
mg/IV
menhambat sintesis prostaglandin
Inj. Ondansentron /8 jam/IV
sehingga dapat mengurangi nyeri
Vitamin D 1x 1000 u ringan sedang.
 Pantoprazole
Favirapir 2x 600 mg
Golongan proton pump inhibitor,
N.Acetylsistein 3 x 1
penghambat pompa proton
menghambat sekresi asm lambung
dengan car menghambat system
enzim adenosin trifosfatase
hydrogen kalium dari sel parietal
lambung
 Metil prednisolone
Golongan kortikosteroid bekerja
dengan mempengaruhi kecepatan
sintesis protein, molekul hormone
yang memasuki membrane plasma
jaringan terget seara difus pasif,akan
membentuk kompleks reseptor
steroid terhadap reseptor protein
spesifik.
 Ondancentron
Golongn antiemetic sebagai
antagonis terhadap reseptor
serotonin 5-HT3 reseptor serotonin

24
5-HT3 terdapat di bagian perofer
yaitu pada nervus vegal dan di
sentral padaarea poststerna yang
merupakan hemoreseptor triger
zone.
 Vitamin D
Salah satu mikronutrien yang
berperan penting dalam pertahanan
tubuh melawan patogen ialah
Vitamin D. Vitamin D memiliki
berbagai efek antivirus,
imunomodulator, dan
kardiometabolik yang diakui, yang
dapat membantu memerangi
COVID-19.
 Favirapir
approved di Jepang sebagai obat
antivirus untuk penanganan virus
influenza.
 N.Acetiksistein
Golongan mukolitik dengan
memecah ikatan disulfida pada
mucoprotein dengan cara
memisahkan agregasi molekul
glikoprotein inter dan intra disulfida.
Dengan mendepolarissi kompleks
mucoprotein dan sam nukleat yang
berperan dalm viskositas
mucus,maka mucus dapat mudh di
keluarkan dari saluran naps.

25
Indikasi : terapi hipersekresi mucus
kental dan tebal pada saluran
pernapasan

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Montalescot G. On behalf of the OPERA investigators. STEMI and NSTEM I


are two distinct pathophysiological entities: reply. Eur Heart J. 2007;21:
2685-6.

2. Dwi Sanjani, R., Nurkusumasari, N., Surakarta Korespondensi, M., & Dwi
Sanjani Alamat, R. (2020). SINDROM KORONER AKUT Acute Coronary
Syndrome. Jurnal Kesehatan, 99, 397–409.

3. Muhibbah, M., Wahid, A., Agustina, R., & Illiandri,h.. O. (2019).


Karakteristik Pasien Sindrom Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap Ruang
Tulip Di Rsud Ulin Banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences,
3(1), 6.

4. Oliver, J. (2016). Exercise Pada Pasien Dengan St Elevasi Miokard Infark


(Stemi). Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

5. Ibrahim,et,al. (2015). Clinical Pathology and Majalah Patologi Klinik


Indonesia dan Laboratorium Medik. Jurnal Indonesia, 21(3), 261–265.

6. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI

7. Myrtha, R. 2012. Patofi siologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192. Vol. 39(4).

8. Torry, S. R. V., Panda, L., & Ongkowijaya, J. (2014). Gambaran Faktor


Risiko Penderita Sindrom Koroner Akut. E-CliniC, 2(1), 1–8.

9. PERKI (2018). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat.

10. Hanafi B., Trisnohadi., Muhadi. 2017. Angina Pektoris Stabil/Infark Miokard
Akut tanpa elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed VI.
Jakarta: Interna Publishing

11. PERKI (2016). Panduan praktik klinis (ppk) dan clinical pathway (cp)
penyakit jantung dan pembuluh darah.

27

Anda mungkin juga menyukai