Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA) PADA PASIEN


KANKER KOLOREKTAL (TUMOR KOLON TRANSVERSUM)

OLEH:
Nurvita Rosidi, S. Ked
K1B1 20 006

PEMBIMBING:
dr. Ahmad Safari Samud, M.kes., Sp. An

PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa


Nama : Nurvita Rosidi, S.Ked
NIM : K1B1 20 006
Judul : GETA (General Endotracheal Anesthesia) Pada Pasien
Kanker Kolorektal (Tumor Kolon Transversum)
Bagian : Anestesiologi
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik Bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Mei 2022


Pembimbing

dr. Ahmad Safari Samud, M. Kes., Sp. An


GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA) PADA PASIEN
KANKER KOLOREKTAL (TUMOR KOLON TRANSVERSUM)

Nurvita Rosidi, Ahmad Safari Samud

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara


sentral diserta hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan
anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilannya rasa sakit setempat
sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang
terpengaruh saraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh saraf
pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran. 1 Pada anestesi
umum dikenal istilah induksi dan rumatan yang diartikan sebagai tindakan untuk
mengawali dan mempertahakan kedalaman anestesi dengan menggunakan
kombinasi agen intravena dan inhalasi. Pada general anestesi inhalasi terdapat
beberapa teknik yaitu Endotrakea Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway
(LMA).1,2

GETA atau General Endotracheal Anesthesia yang merupakan suatu


teknik anestesi umum dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas.
Perlindungan jalan napas tersebut dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea
(endotracheal tube/ET). Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa endotrakea
(endotracheal tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ET dapat
digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan
kontrol ventilasi dan oksigenasi. Endotracheal tube, sesuai dengan namanya
adalah pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea dan tindakannya dinamakan
intubasi endotrakea.1,3

Kanker kolorektal (KKR) adalah keganasan yang berasal dari jaringan


usus besar, terdiri dari kolon dan/atau rektum. Kebanyakan kanker kolon
berkembang dari polip dan secara histopatologik sebagian kanker kolon
merupakan adeokarsinoma dan memiliki kemampuan dalam menyekresi mukus
dengan jumlah berbeda-beda. Berdasarkan American Cancer Society KKR
merupakan kanker ketiga terbanyak dan kanker penyebab kemarian ketiga
terbanyak pada laki-laki dan perempuan di Amerika Serikat. Di Indonesia tahun
2018, KKR menduduki posisi keempat dari seluruh kasus kanker di Indonesia.
Pilihan terapi pada KKR adalah terapi operasi dan kemoterapi adjuvan. Terapi
operasi dapat dilakukan reseksi total tumor serta biopsi untuk menilai metastatis. 3,4
BAB II

IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AK
Umur : 45 tahun
Tanggal lahir : Lawonua, 12 Desember 1976
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Lawonua
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 15 April 2022
RM : 59 xx xx
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : nyeri perut
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSU Bahteramas dengan keluhan nyeri perut
sejak 4 hari yang lalu dan dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti
melilit dan keluhan ini pertama kali dirasakan ± 6 bulan yang lalu disertai
dengan keluhan sulit buang air besar. Namun pada 3 bulan terakhir,
pasien juga mengeluh buang air besar cair disertai darah segar. Keluhan
lain pasien merasa lemas, mual tidak disertai muntah. Pasien tidak
mengeluh demam, batuk, sesak dan tidak ada penurunan badan.
Sebelumnya, ± 2 bulan lalu, pasien dirawat di RS Bhayangkara dengan
keluhan yang sama dan disertai anemia serta mendapat tranfusi darah.
Pasien tidak menggunakan kacamata, tidak menggunakan lensa
kontak, tidak menggunakan alat bantu dengar, tidak memiliki gigi palsu.
Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal. Riwayat kebiasaan
merokok (+), riwayat minum alkohol disangkal, riwayat minum kopi 1 kali
sehari dan pasien tidak melakukan olahraga rutin. Riwayat alergi obat,
latex, plester dan makanan disangkal. Riwayat operasi disangkal dan
memiliki riwayat transfusi darah.
Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama (-), asma
(-), diabetes melitus (-), stroke (-), asam lambung (-), serangan jantung (-),
hepatitis (-), hipertensi (+), penurunan berat badan dalam 1 tahun terakhir
disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum Sakit sedang


Kesadaran Kompos mentis
Tanda vital Tekanan darah: 120/70
Nadi : 86 kali/menit
Pernapasan: 20 kali/menit
Suhu: 36,9 ºC
SpO2: 99%
VAS: 3

Status Generalis
Kulit Sawo matang
Kepala Normocephal
Rambut Berwarna hitam, tidak mudah tercabut
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat isokor, diameter 2,5 mm,
gerakan bola mata dalam batas normal
Hidung Epistaksis (-), rinorhea (-)
Telinga Otorrhea (-), nyeri tekan mastoid (-)
Bibir Bibir pucat (-), bibir kering (-),
perdarahan gusi (-), Mallampati 3
Leher Pembesaran kelenjar getah bening dan
tiroid (-)
Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithoraks simetris kiri dan
kanan. Retraksi sela iga (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vocal fremitus
dalam batas normal
Perkusi
Sonor kiri = kanan
Auskultasi
Bunyi napas vesicular (+/+), stridor (-/-),
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada linea
parasternal dekstra, batas jantung kiri ICS
V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II murni regular, murmur (-)
Abdomen Inspeksi
Datar, ikut gerak napas
Auskultasi
Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan (+) regio epigastrium,
pembesaran hepar (-), pembesaran lien (-)
Perkusi
Timpani (+)
Ekstremitas Inspeksi
Peteki -/-, edema -/-, deformitas -/-
- Ekstremitas atas nyeri tekan (-/-),
krepitasi (-/-), teraba hangat
- Ekstremitas bawah nyeri tekan (-/-),
krepitasi (-/-), teraba hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin (18 April 2022)


Parameter Hasil Rujukan Satuan
WBC 7,07 4.0 – 10.0 10^3/ul
RBC 3,79 4.0 – 6.0 10^6/ul
Hb 8,2 12.0 – 16.0 g/dl
HCT 25,9 37.0 – 48.0 %
MCV 63,3 80,0 – 97,0 fl
MCH 21,6 26,5 – 33,5 pg
MCHC 31,7 31,5 – 35,0 gr/L
PLT 292 150 – 400 10^3/ul

Darah Rutin (21 April 2022)


Parameter Hasil Rujukan Satuan
WBC 9,71 4.0 – 10.0 10^3/ul
RBC 4,83 4.0 – 6.0 10^6/ul
Hb 10,9 12.0 – 16.0 g/dl
HCT 34,4 37.0 – 48.0 %
MCV 71,2 80,0 – 97,0 fl
MCH 22,6 26,5 – 33,5 pg
MCHC 31,7 31,5 – 35,0 gr/L
PLT 341 150 – 400 10^3/ul
E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSU Bahteramas dengan keluhan nyeri perut sejak 4
hari yang lalu dan dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti melilit dan
keluhan ini pertama kali dirasakan ± 6 bulan yang lalu disertai dengan keluhan
sulit buang air besar. Namun pada 3 bulan terakhir, pasien juga mengeluh
buang air besar cair disertai darah segar. Keluhan lain pasien merasa lemas,
mual tidak disertai muntah. Pasien tidak mengeluh demam, batuk, sesak dan
tidak ada penurunan badan. Sebelumnya, ± 2 bulan lalu, pasien dirawat di RS
Bhayangkara dengan keluhan yang sama dan disertai anemia serta mendapat
tranfusi darah. Riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat alergi makanan dan
obat (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi: 86 x/menit,
pernapasan 20 x/menit, suhu 36,9 ºC, nyeri tekan epigastrium. Hasil
pemeriksaan darah rutin didapatkan anemia mikrositik hipokrom (Hb 8,2 g/dl,
MCV 68,3 fL, MCH 21,6).

F. DIAGNOSIS
Kanker kolorektal ec Tumor kolon transversum
G. RENCANA PEMBEDAHAN
Laparoskopi by-pass gastrojejunostomi dan ileosigmoid
H. ASSESSMENT
ASA PS 2
Rencana anestesi: General Anestesi (General Endotracheal Anesthesia)
I. TATALAKSANA PERIOPERATIF
1. Persiapan Preoperatif
a. Persiapan pasien:
1) Pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi dimulai
2) Pemasangan infus pada tangan kanan, dengan perhitungan jika
[jumlah cairan pengganti puasa = lama puasa x kebutuhan cairan
(2cc/kgBB/jam)] maka untuk pasien jumlah cairan pengganti
puasa = 8 jam x (2x55) = 880 cc menggunakan cairan ringer
laktat.
b. Persiapan alat :
1) Monitor, sphygmomanometer, saturasi, EKG
2) Oksigen dengan ventilator
3) Meja operasi
4) Perangkat operasi
5) Mesin anestesi dan perangkat intubasi endotracheal tube (ETT)
yaitu STATICS. Scope (laringoskop, stetoskop), Tube
(endotracheal tube/ETT), Airway (gudel atau mayo), Tape
(plester atau hypafix), Introducer (stilet), Connector, Suction
dan Spuit[1].

Gambar 1. Stetoskop dan Laringosskop

Gambar 2. Endotracheal Tube No. 7

Gambar 3. Oropharyngeal Tube No. 9


Gambar 4. Hypafix

Gambar 5. Stilet

Gambar 6. Connector
Gambar 7. Suction

Gambar 8. Bag Valve Mask


Gambar 9. Mesin Anestes

c. Premedikasi
1) Inj. Midazolam 2 mg
2) Inj Fentanyl 120 µg
3) Inj. Ondansentron 4 mg
4) Inj. Ranitidine 50 mg
5) Inj. Dexamethasone 10 mg
6) Inj. Ceftriaxon 2 gr
d. Pemberian obat induksi : Propofol 150 mg
e. Pemberian muscle relaxant atau pelumpuh otot: Atracurium 30
mg
f. Teknik intubasi endotracheal tube (ETT)
1) Pastikan semua persiapan alat untuk intubasi sudah lengkap
2) Berikan ventilasi O2 100% selama ± 2 menit atau sampai
dengan saturasi oksigen mencapai maksimal yaitu 100%
3) Batang laringoskop dipegang menggunakan tangan kiri, lalu
tangan kanan mendorong kepala hingga ekstensi dan mulut
terbuka
4) Masukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan,
sedikit demi sedikit menyusuri lidah dan menggeser lidah ke
kiri, menuju epiglots atau pangkal lidah
5) Cari epiglottis, setelah terlihat kemudian tempatkan bilah
didepan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis
(pada bilah lurus)
6) Cari rima glottis, terkadang perlu bantuan asisten untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis terlihat
7) Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah
disekitarnya berwarna merah
8) Masukkan endotracheal tube (ETT) dengan tangan kanan
mengikuti permukaan curva blade laryngoscope. Masuk
melalui celah pita suara sampai ujung pipa dan cuff berada di
bawah laring dan diatas karina. Harus diperhatikan jangan
mengangkat gagang laringoskop, jangan mengungkit ke arah
gigi atas karena dapar menyebabkan gigi patah
9) Cek posisi endotracheal tube (ETT) dengan cara
mengauskultasi dengan stetoskop. Cara ini untuk mengecek
apakah kedua paru mengembang secara maksimal dan pipa
tidak masuk kedalam salah satu bronkus
10) Cuff dikembangkan untuk meencegah kebocoran serta
menghindari terjadinya aspirasi
11) Hubungkan pangkal endotracheal tube (ETT) dengan mesin
anestesi atau dengan alat bantu napas kemudian difiksasi
dengan plester atau hypafix.
g. Intubasi endotracheal tube
Tindakan intubasi pipa endotrakeal merupakan penangan jalan napas
definitif yang memberikan proteksi maksimal terhadap kejadian
aspirasi isi atau cairan lambung. Intubasi pipa endotrakeal dilakukan
dengan menempatkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga alat
saluran untuk ventilasi atau terapi jika ada masalah paru. Intubasi
endotrakeal merupakan teknik nonoperatif yang cepat, sederhana dan
aman untuk memfasilitasi seluruh tujuan manajemen jalan napas
antara lain menjaga napas agar selalu terbuka, melindungi paru dari
aspirasi, serta memfasilitasi ventilai dengan kebocoran minimal
selama terapi ventilasi mekanik [5].
J. INTRAOPERATIVE
1. Lama operasi: 2 jam 50 menit
2. Terapi cairan
Perhitungan pemberian terapi cairan kepada pasien menggunakan 4
tahapan
a. Pehitungan maintance cairan intraoperatif
Jika jumlah kebutuhan cairan pemeliharaan untuk dewasa
2cc/kgBB/jam, maka untuk pasien BB 55 kg = (2 cc/kgBB/jam) x
(55 kgBB) = 110 cc/jam. Selama operasi yang berlangsung selama 3
jam, sehingga total kebutuhan cairan pemeliharaan selama operasi
adalah 330 cc.
b. Perhitungan cairan stress (evaporative) pasca pembedahan jaringan
Perhitungan cairan terbagi atas 3 kelas, yaiu ringan (0-2
ml/kgBB/jam : contoh operasi seperti herniorrhaphy, FAM, soft
tissue tumor resection), sedang (2-4 ml/kgBB/jam : cholecystectomy
appendectomy, pembedahan batu ginjal), berat (4-8 ml/kgBB/jam :
contoh seperti eksplorasi laparatomi, bowel resection, transplantasi
organ, CABG).
Pada pasien, jenis operasi masuk dalam kategori operasi berat,
sehingga perhitungan cairan utnuk stress operatif adalah jika jumlah
cairan pengganti akibat stress operasi berat untuk dewasa = 6
cc/kgBB/jam. Maka untuk pasien dengan BB 55 kg = (6
cc/kgBB/jam) x (55 kgBB) = 330 cc/jam. Sehingga, total kebutuhan
cairan pengganti akibat stress operasi adalah 990 cc.
c. Perhitungan cairan utnuk pengganti volume darah yang hilang
Perhitungan cairan untuk penggantian volume darah yang keluar,
dari beberapa sumber, didapatkan bahwa menggunakn konstanta 3 cc
x setiap cc darah yang keluar untuk RL dan rasio 1 : 1 untuk cairan
koloid. Pada pasien volume darah yang keluar sekitar 600 cc, maka
cairan yang dibutuhkan adalah : 3 x 600 = 1800 cc (RL).
Total Kebutuhan Cairan selama Operasi
Jumlah total kebutuhan cairan selama operasi = total cairan
pemeliharaan + pengganti stress operasi + pengganti puasa = 330 cc
+ 990 cc + 880 cc = 2200 cc
Jumlah Total Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Kebutuhan/Jam Jam I Jam II Jam III
Stress Operatif 165 83 83
Maintance 495 248 248
Pengganti Puasa 440 220 220
Total 1100 550 550

3. Monitoring Tanda Vital

Jam Tekanan Darah Nadi SpO2


15:00 128/84 82 100%
15:15 125/80 80 100%
15:30 110/66 65 100%
15:45 110/70 67 100%
16:00 108/68 68 100%
16:15 110/68 70 100%
16;30 109/69 76 100%
16:45 105/68 72 100%
17:00 110/70 68 100%
17:15 110/68 68 100%
17:30 113/70 70 100%
17:45 115/76 76 100%
18:00 110/72 74 100%

4. Obat-obat maintenance
 Isoflurane : 2-2,5 vol%
 Oksigen: 4 Lpm
 Terapi cairan: 1,5 L
5. Laporan intraoperatif

K. POSTOPERATIVE
1. Ruang Pemulihan
a. Pemantauan Tanda Vital:
 Tekanan darah: 110/70 mmHg
 Nadi: 68 x/menit
 Pernapasan: 20 x/menit
b. Terapi yang diberikan:
 Analgetik: ketorolac 30mg dan tramadol 100 mg
c. Hemodinamik pasien stabil saat selesai operasi
d. Aldrette score sebagai indikator pasien dipindahkan ke ruangan
NO. KRITERIA SKOR NILAI
1 Warna Kulit
Kemerahan 2
Pucat 1 2
Sianosis 0
2 Aktivitas Motorik
Gerak 4 anggota tubuh 2
Gerak 2 anggota tubuh 1 2
Tidak ada pergerakan 0
3 Pernapasan
Napas dalam, batuk dan menangis kuat 2
Nafas dangkal dan sesak napas 1 2
Apneu 0
4 Tekanan Darah
Tekanan darah berubah ± 20 mmHg dari pre OP 2
Tekanan darah berubah 20-30 mmHg dari pre OP 1 2
Tekanan darah berubah >50 mmHg dari pre OP 0
5 Kesadaran
Sadar penuh, mudah dipanggil 2
Bangun jika dipanggil 1 1
Tidak ada respon 0
Keterangan:
 Pasien bisa dippindahkan ke ruangan biasa jika skor minimal 8
 Pasien dipindahkan ke ICU jika skor <8 setelah dirawat selama 2 jam
2. Ruang Perawatan

Hari/tanggal Perjalanan Penyakit Tatalaksana


Minggu, 24 April S: nyeri daerah operasi (+), P: IVFD RL 28 tpm
2022 intake oral (-), mual (-), Ceftriaxon 1 gr/12 jam/IV
muntah (-), demam (-) Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
O: TD: 130/70 mmHg Ranitidine 50 mg/8 jam/IV
N: 84 x/menit
S: 36,5
UB: 30 cc
VAS: 8/10
Senin, 25 April S: nyeriperut daerah opersi P: IVFD RL 28 tpm
2022 (+), intake oral (-), mual Ceftriaxon 1 gr/12 jam/IV
(-), muntah (-), demam (-) Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
O: TD: 120/70 mmHg Ranitidine 50 mg/8 jam/IV
N: 87 x/menit
P: 20 x/menit
S: 36,5 ºC
VAS: 8/10
Selasa, 26 April S: nyeri daerah operasi (+), P: IVFD RL 28 tpm
2022 intake oral (-), mual (-), Ceftriaxon 1 gr/12 jam/IV
muntah (-), demam (-) Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
O: TD: 106/55 mmHg Ranitidine 50 mg/8 jam/IV
N: 76 x/menit
P: 20 x/menit
S: 36,5 ºC
VAS: 7/10
BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien datang ke IGD RSU Bahteramas dengan keluhan nyeri perut sejak
4 hari yang lalu dan dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti melilit dan
keluhan ini pertama kali dirasakan ± 6 bulan yang lalu disertai dengan keluhan
sulit buang air besar. Namun pada 3 bulan terakhir, pasien juga mengeluh buang
air besar cair disertai darah segar. Keluhan lain pasien merasa lemas, mual tidak
disertai muntah. Pasien tidak mengeluh demam, batuk, sesak dan tidak ada
penurunan badan. Sebelumnya, ± 2 bulan lalu, pasien dirawat di RS Bhayangkara
dengan keluhan yang sama dan disertai anemia serta mendapat tranfusi darah.
Riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat alergi makanan dan obat (-).

Kanker kolorektal merupakan keganasan yang berasal dari jaringan usus


besar, terdiri dari kolon dan/atau rektum. Kebanyakan kanker kolon berkembang
dari polip atau kanker stadium dini yang biasanya tidak menimbulkan gejala dan
secara histopatologik sebagian besar kanker kolon merupakan adenokarsinoma
(terdiri atas epitel kelenjar) dan memiliki kemampuan menyekresi mukus dengan
jumlah yang berbeda-beda. Karsinoma kolon dan rektum dapat menyebabkan
ulserasi, menimbulkan obstruksi dan invasi ke seluruh dinding usus dan kelenjar
regional. Kadang sampai terjadi perforasi dan menimbulkan abses di peritoneum.
Keluhan dan gejala tergantung dari lokasi dan besarnya tumor.4,5

Gejala klinis kanker kolorektal tergantung pada lokalisasi tumor. Gejala


paling umum yang terlihat ialah sakit perut, perubahan kebiasaan buang air besar,
perdarahan rektum dan anemia defisiensi besi, meskipun gejala ini juga dapat
ditemukan pada penyakit saluran cerna lainnya. Tumor kolorektal sisi kiri
biasanya menyebabkan perubahan kebiasaan buang air besar seperti diare,
peningkatan frekuensi dan obstruksi usus sekunder sampai penyempitan lumen
progresif, perdarahan rektum atau ledir, atau tenesmus. Lesi sisi kanan dapat hadir
lebih diam-diam dengan penurunan berat badan, sakit perut atau massa pada perut
kanan dan terjadi anemia defisiensi besi. Pada tumor yang terlokalisir di kolon
transversum, gejala utamanya adalah obstruksi dengan rasa sakit postprandial di
perut, meteorismus dan diare serta pada kasus berat dapat terjadi ileus dan
perforasi. Karsinoma pada rektosigmoid memperlihatkan hejala tenesmus atau
nyeri saat buang air besar, diameter tinja lebih tipis dan hematokezia.4

Penatalaksaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin. Pilihan dan


rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor. Terapi beda merupakan
modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi
adalah pilihan ertama pada kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif.
Penatalaksaan kanker kolorektal dibedakan menjadi penatalaksaan kanker kolon
dan penatalaksanaan kanker rektum. Pada kasus ini dilakukan reseksi tumor dan
by-pass gastro-jejunostomu dan ileo-sigmoid.3

Berdasarkan klasifikasi American Society of Anhesthesiologist (ASA)


Physical Status (PS) dibedakan menjadi:6

Kelas Status Fisik Contoh


Pasien kondisi normal (sehat). Tidak ada Pasien sehat, tidak
gangguan organik fisiologis atau kejiwaan, merokok, tidak ada atau
I
tidak termasuk kategori sangat muda dan penggunaan alkohol
sangat tua, BMI normal minimal
Pasien dengan gangguan sistemik ringan. Hipertensi, riwayat asma,
Tidak terdapat keterbatasan fungsional, diabetes melitus
memiliki penyakit yang terkendali dengan terkontrol, perokok
II
baik dari satu sistem tubuh. hingga saat ini, pengguna
alkohol, kehamilan,
obesitas ( 30 < BMI < 40)
Pasien dengan kelainan sistemik berat Gagal jantung kongestif
namun tidak mengancam jiwa dan terdapat terkontrol, angina stabil,
III beberapa keterbatasan fungsional, memiliki hipertensi tidak
penyakit lebih dari satu sistem tubuh. terkontrol, gagal ginjal
kronik.
Pasien dengan kelainan sistemik berat yang Angina tidak stabil,
mengancam jiwa. Pasien dengan penyakit COPD tidak terkontrol,
IV
berat dan tidak terkontrol. gejala CHF, infark
miokard atau stroke.
Pasien dengan atau tanpa operasi Ruptur aneurisma aorta
diperkirakan akan meninggal dalam waktu abdominalis, trauma
V 24 jam. massif, dan perdarahan
intracranial luas dengan
efek massa
Pasien mati otak yang organnya akan diambil untuk transplantasi ke
VI
tubuh lain.
Pada kasus ini pasien dikategorikan dalam kategori status fisik ASA 2
yaitu pasien dengan gangguan sistemik ringan, tidak terdapat keterbatasan
fungsional, memiliki penyakit yang terkendali dengan baik dari satu sistem tubuh.
Status fisik ini dapat dilihat dari gejala yang dialami berupa nyeri perut hilang
timbul, disertai dengan perubahan pola defeksi yang mana gejala ini tidak begitu
mengganggu aktifitas pasien sehari-hari. Berdasarkan pemeriksaan fisik pasien
didapatkan nyeri tekan epigastrium. Hasil pemeriksaan darah rutin pada 18 April
2022 didapatkan anemia mikrositik hipokrom (Hb 8,2 g/dl, MCV 68,3 fL, MCH
21,6) dan telah mendapat transfusi darah.

Teknik anestesi yang digunakan pada pasien adalah GETA atau General
Endotracheal Anesthesia yang merupakan suatu teknik anestesi umum dengan
melibatkan perlindungan pada jalan napas. Perlindungan jalan napas tersebut
dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea (endotracheal tube/ET) ke dalam
trakea melalui hidung atau mulut. ET dapat digunakan sebagai pengantar gas
anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi.1

Pemasangan pipa endotrakea (ET) merupakan salah satu tindakan


pengamanan jalan napas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik.
Selain digunakan untuk menjaga jalan napas dan memberikan ventilasi mekani
PADA k, tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada
anestesi umum. Walaupun rutin dilakukan, tindakan ini bukan tanpa resiko dan
tidak semua pasien dengan anestesi umum membutuhkan tindakan ini. Pada
umumnya pemasangan pipa endotrakea (ET) diindikasikan untuk pasien dengan
resiko aspirasi dan pada pasien yang mengalami operasi. Adapun tujuan dari
penggunaan ETT/endotracheal tube adalah:1

1. Mempertahankan jalan napas agar tetap paten dan lancar


2. Mengendalikan oksigenasi dan ventilasi
3. Mencegah terjadi aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada
refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh
4. Sarana gas anestesi masuk menuju ke trakea

Selain itu, penggunaan ETT tidak dapat diberikan kepada seluruh pasien yang
akan melaksanakan operasi, terdapat indikasi dan juga kontraindikasi pemasangan
ET/endotracheal tube 10

1. Indikasi pemasangan ET
a) Pasien dengan kesulitan pertahanan saluran napas dan kelancaran
pernapasan
b) General anestesi pada operasi dengan napas terkontrol
c) Operasi dengan posisi supinasi, miring, atau tengkurap
d) Operasi dengan durasi yang lebih dari 1 jam dan sulit untuk
mempertahankan kepatenan saluran napas
2. Kontraindikasi pemasangan ETT
a) Fraktur tengkorak, fraktur tulang wajah, fraktur nasal dan faring,
terdapat perdarahan massif dan dicurigai ada kelainan perdarahan
b) Ruda paksa tulang belakang yang tidak memungkinkan pasien untuk
bergerak
c) Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang menyebabkan
pemasangan ETT menjadi tidak nyaman
d) Trauma servikal dan perlu imobalisasi komplit
3. Penilaian hambatan intubasi
Penilaian intubasi tidak selamanya berjalan dengan lancar, terdapat
kondisi tertentu dimana proses intubasi sulit untuk dilakukan. Penilaian
untuk kemungkinan adanya kelainan kesulitan untuk laringoskopi dan
intubasi dapat dinilai dengan kriteria LEMON. Penilaian hambatan
intubasi dapat dinilai dengan kriteria berikut11.
a) L (Look externally)
Evaluasi dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal – hal
yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun
intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi,
leher pendek, mandibula yang kecil.
b) E (Evaluate 3 – 3 – 2)
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran
mendibula terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila
kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi.
Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka
mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental
direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum, tulang
hyoid dan 2 jari antara tulang hyoid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-
3-2
1) Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
2) Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk
memuat lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari
dapat dikaitkan dengan peningkatan kesulitan
3) Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan
dengan dasar lidah. Bila kurang dari 2 jari maka letak laring lebih
jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal
visualisasi glottis.
Gambar 10. Rule 3-3-2

Setelah pasien tidak sadar, pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari
dengan dilakukannya head tilt, kapasitas ruang mandibula untuk
memuat lidah ketika laringoskopi didapatkan lebih dari 3 jari dan
pada saat mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah
didapatkan kurang dari 2 jari sehingga sedikit menyulitkan dalam hal
visualisasi glottis.

c) Mallampati Score
Gambar 11. Derajat kesulitan Mallampati
Mallampati score digunakan untuk menilai derajat kesulitan intubasi
1) Derajat 1 : tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum
dan uvula
2) Derajat 2 : tampak hanya palatum molle, palatum durum dan
uvula
3) Derajat 3 : tampak hanya palatum molle dan palatum durum
4) Derajat 4 : tampak hanya palatum durum
d) O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita
pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3
tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice),
adanya kesulitan menelan lidah (karena nyeri atau obstruksi) dan
adanya stridor.
e) N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangkan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan
ekstensi sendi atlanto – oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan
menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat
mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada atlanto-oksipital.
Aksial oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan
posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat.

Pemberian medikasi anestesi dapat menghambat SSP (sistem saraf pusat)


secara bertahap hingga di medulla oblongata. Efek anestetik pada otak
menimbulkan empat stadium atau tingkat kedalaman depresi SSP (tanda Guedel). 1

a. Stadium I (analgesia) : dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya


kesadaran
b. Stadium II (excitement) : dimulai dari hilangnya kesadaran sampai napas
teratur. Pasien bisa meronta-ronta, pernapasan irregular, pupil membesar,
refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi, refleks fisiologis masih ada, dapat terjadi batuk atau
muntah, kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan
hilangnya refleks menelan dan kelopak mata, napas menjadi teratur
c. Stadium III (operasi) : napas teratur sampai paralise otot napas
o Tingkat 1: dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal,
gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun
o Tingkat 2 : dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisa otot intercostals. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidal menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun
o Tingkat 3 : dari permulaan paralise otot intercostal sampai paralise
seluruh otot intecostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dominan dari torakal karena paralisis otot interkostal, pupil makin
melebar dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, refleks
laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun
o Tingkat 4 : dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot intercostals, pernapasan
lambat, irregular dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks
spingter ani negatif.
d. Stadium IV (paralisis) : ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil
dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan circulatory failure.
Medikasi pra anestesi yang diberikan kepada pasien berupa

1. Ranitidine
Ranitidine termasuk golongan antagonis reseptor H2 yang mana secara
kompetitif menghambat ikatan histamin ke reseptor H2 sehingga mengurangi
sekresi pH lambung.
Sebelum operasi dilakukan, lambung harus dalam keadaan kosong agar tidak
terjadi refluks esophagus terutama pada awal anestesi yang akan
mengakibatkan aspirasi isi lambung. Oleh sebab itu, pasien harus dipuasakan
selama 8 jam sebelum dilakukan tindakan operasi. Pada keadaan lambung
kosong, terjadi peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan
terjadinya stress ulserasi.
Selain itu, terjadi peningkatan kadar kortisol dan katekolamin. Peningkatan
katekolamin menyebabkan vasokonstirksi dan menyebabkan hipoperfusi
splanik. Hipoperfusi splanik menyebabkan stress ulserasi yang dapat
menurunkan sekresi bikarbonat, penurunan aliran darah ke mukosa, penurunan
mortalitas gastrointestinal dan difusi kembali asam lambung ke mukosa.10
Pencegahan terhadap stress ulserasi adalah pemberian obat salah satunya
golongan antagonis reseptor H2. Dosis injeksi intravena lambat 50 mg
diencerkan sampai 20 ml dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit,
dapat diulang setiap 6-8 jam.10
2. Ondansetron
Mual muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid. Salah satu obat muntah mual yang digunakan adalah
ondansentron 0,05-0,1 mg/kgBB iv. Mekanisme kerja ondansentron yaitu
dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor
trigger zone di area postrema otak dan pada aferen vagal saluran cerna.8,9
3. Dexamethason
Dexametasone merupakan kortikosteroid yang mempunyai efek antiinflamasi
dan anti alergi, mencegah degranulasi sel mast. Kortikosteroid adalah
kelompok obat yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid
sehingga memperlihatkan efek yang sangat bergam berupa efek terhadap
metabolisme karbohidrat, protein, lipid, keseimbangan cairan dan elektrolit
serta pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh.
Dalam medikasi pre anestesi, ondansetron terbukti mengurangi kejadian Post
Operatif Nausea Vomiting (PONV) dan adaun mekanismenya masih belum
jelas.

Medikasi anestesi yang diberikan kepada pasien berupa:

1. Midazolam
Midazolam adalah salah satu golongan benzodiazepine yang larut air.
Kerja midazolam sama seperti diazepam (golongan benzodiazepine) yaitu
bekerja dengan cara berikatan dengan lokasi tertentu yang berbeda dari ikatan
GABA di reseptor GABAA. Untuk mengaktifkan reseptor GABAA,
benzodiazepin membutuhkan GABA sebagai neurotransmitter yang bekerja
sebagai inhibitor. GABA kemudian mengaktifkan reseptor GABA A yang
meningkatkan permeabilitas membran untuk ion klorida yang meningkatkan
efek inhibitor dari GABA. Perpindahan ion klorida menyebabkan
hiperpolarisasi dan stabilisasi dari membran neural. Hal ini menyebabkan
peningkatan aktivitas GABA dan menimbulkan efek sedatif, relaksasi otot,
menginduksi tidur, anestesia dan amnesia retrograde.12
Dosis midazolam untuk premedikasi dewasa 0,07-0,1 mg/kgBB 1 atau
dapat diberikan dosis inisial premedikasi 0,5 – 1 mg (tidak lebih 2,5 mg)
2. Fentanil
Fentanil adalah opioid agonis turunan fenil piperidin. Potensi analgesinya
antara 75-125 kali lebih kuat dibandingkan morfin. Fentanil sebagai agonis
reseptor opioid μ. Reseptor opioid terdapat diseluruh tubuh namun sebagian
besar terdapat pada sistem saraf. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara
berikatan dengan reseptor opioid terutama pada sistem SSP dan medula
spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Dimana agonis
opioid melalui reseptornya pada ujung prasinaps aferen nosiseptif akan
mengurangi pelepasan neurotransmitter dan selanjutnya menghambat saraf
yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis. Dengan demikian,
memiliki efek analgesik yang kuat. Metabolisme fentanil di hepar dan di
ekskresi lewat empedu dan urin. Fentanil menyebabkan ketergantungan,
euphoria, perlambatan EKG, miosis, mual dan muntah. Selain itu, fentanil
menyebabkan penurunan laju jantung akibat efek vagal dan depresi nodus SA
dan AV node sehingga dibutuhkan atropine sulfat agar dapat menurunkan
kejadian bradikardi. Depresi respirasi dan kekakuan otot rangka timbul pada
pemberian fentanil akibat aktifitas sentral (agonis pada reseptor p)1,12
3. Propofol
Propofol adalah salah satu anestesi umum intravena yang memiliki sifat
sangat larut dalam lemak sehingga lebih cepat mengalami distribusi menuju
jaringan dan lebih mudah menembus bloodbrain barier serta ke jaringan
otak. Propofol menyebabkan aktifitas GABA dalam menghambat
neurotransmitter di SSP. Propofol mempunyai awitan dan waktu pulih sadar
yang cepat serta gejala hangover yang jauh lebih ringan dibandingkan
metoheksital, tiopental, ketamin ataupun etomidat. Selain itu, propofol
menurunkan aliran darah otak, tekanan intracranial dan metabolisme otak.
Efek dari propofol adalah dapat menurunkan tekanan darah dan menyebabkan
bradikardi, karena propofol tidak memiliki efek vagolitik. Oleh karena itu,
dianjurkan untuk memberikan anti kolinergik sebelum pemberian propofol.
Propofol menimbulkan depresi pada sistem respirasi dan mengurangi refleks
jalan napas atas. Metabolisme propofol di hepar dan di ekskresi lewat urin.1
4. Atracurium
Secara umum, pelumpuh otot dibagi menjadi 2 golongan, yaitu pelumpuh otot
non depolarisasi dan depolarisasi. Golongan non depolarisasi yaitu
tubocurarine, pancuronium bromide, galamin, alcuronium, atracurium,
vecuronium dan mivacurium. Sedangkan golongan depolarisasi yaitu
suksinilkolin/suxamehonium.1
Atracurium adalah salah satu pelumpuh otot non depolarisasi yang memiliki
lama kerja sedang. Atracurium akan berkompetetif dengan asetilkolin untuk
menempati reseptor membran otak (compepetitive inhibition) sehingga
asetilkolin tidak bisa menempati reseptor. Semakin banyak reseptor yang
ditempati, blok neuro muscular semakin kuat.1
Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kgBB secara intravena. Dosis
0,25 mg/kgBB yang diikuti dengan 0,1 mg/kgBB setiap 10-20 menit cukup
untuk memberikan relaksasi yang diperlukan selama proses pembedahan.7
5. Isoflurane
Isoflurane merupakan gas anestesi yang tidak dapat terbakar namun
mempunyai bau yang menyengat. Isoflurane memiliki efek depresi minimal
ventrikel kiri namun curah jantungnya tetap karena adanya peningkatan laju
nadi melalui refleks baroreseptor. Stimulasi ringan beta-adrenergic
menyebabkan peningkatan aliran darah otot, penurunan resistensi vaskular
sistemik dan penurunan tekanan darah arteri. Peningkatan konsentrasi
isofluran secara cepat dapat meningkatkan laju jantung, tekanan darah, dan
konsentrasi norepinefrin plasma secara sementara. Isoflurane memiliki efek
dilatasi pembuluh darah koroner yang daat menurunkan alirah darah pada
pembuluh darah yang telah menyempit.7
Isofluran merelaksasi otot rangka lebih baik dan meningkatkan efek
pelumpuh otot depolarisasi maupun depolarisasi lebih baik dari yang
ditimbulkan enfluran. Selain itu, meningkatnya aliran darah ke otot rangka
dapat mempercepat eliminasi pelumpuh otot.7

Nyeri operasi merupakan keadaan yang sudah terduga sebelumnya, akibat trauma
dan proses inflamasi, terutama bersifat nosiseptif. Nyeri operasi memicu respon
stress yaitu respon neuro endokrin yang berpengaruh pada mortalititas dan
berbagai morbiditas komplikasi pasca operasi. Untuk mencegah timbulnya nyeri
pasca operasi dapat menggunakan analgetik kuat. Adapun medikasi postoperatif
yang diberikan yaitu:

1. Tramadol
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor μ
yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi
ambilan norepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektifnya dengan morfin
dan meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi utuk nyeri berat atau
kronik lebih lemah. Cara kerja tramadol adalah berikatan dengan reseptor μ
dan menghambat ambilan serotonin dan norepinefrin serta merangsang
reseptor α2-adrenergik.
Tramadol mengalami metabolime di hari dan ekskresi oleh ginjal, dengan
masa paruh eliminasi 6 jam dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Lama
analgesia 6 jam. Dosis maksimal perhari 400 mg.
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, dan sakit
kepala. Depresi napas lebih ringan dibandingkan dosis ekuivalen morfin dan
derjat konstipasi lebih ringan dibanding dosis ekuivalen kodein.
2. Ketorolac
Ketorolak menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa menganggu
reseptor opioid di sistem saraf pusat. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang
setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50 kg, manula dan gangguan faal ginjal
dibatasi maksimal 60 mg. Efek analgesi pada ketorolak dicapai dalam 30
menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam.8

Pada pasca operasi dilakukan pemantauan pasien selama tiga hari diruang
perawatan. Selama pemantauan, keluhan utama pasien adalah nyeri pada daerah
operasi nyeri dirasakan sangat sakit ketika bergerak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84 x/menit, suhu 36,5, VAS: 8/10.
Tatalaksana pasien diberikan IVFD RL 28 tpm, ceftriaxon 1 gr/12 jam/IV,
ketorolac 30 mg/8 jam/IVdan ranitidine 50 mg/8 jam/IV.

Ketorolac merupakan salah satu obat golongan NSAID yang paling sering
digunakan sebagai analgesik pasca operasi. Secara umum, NSAID menghambat
aktivitas enzim siklooksigenase (COX) sehingga sintesis prostaglandin terhambat.
Hambatan pada enzim COX-1 akan menghambat sintesis tromboxan A2 sehingga
akan mempengaruhi waktu perdarahan. Dosis intravena 15-30 mg dengan
absrobsi obat berlangsung cepat 30-50 menit dengan durasi kerja 6-8 jam.
Ketorolac 30 mg sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidine 100 mg dan
durasi analgesiknya leih lama daripada narkotik. Efek samping yang ditimbulkan
lebih ringan tidak menyebabkan depresi ventilasi atau kardiovaskular dan hanya
sedikit atau bahkan tidak ada efek pada dinamika saluran empedu. Obat ini
dianjurkan untuk pemakaian tidak lebih dari 5 hari karena sangat selektif terhadap
COX-1 sehingga memungkinkan untuk terjadinya tukak lambung dan iritasi
lambung.11-13
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemilihan


anestesi umum pada pasien ini dikarenakan terdapat tumor kolon transversum
sehingga prosedur pembedahan membutuhkan waktu lebih dari 1 jam. Tindakan
intubasi pipa endotrakeal merupakan tindakan yang dipilih dalam penangan jalan
napas definitif, karena dapat memberikan proteksi maksimal terhadap kejadian
aspirasi isi atau cairan lambung. Selain itu, intubasi endotrakea dilakukan untuk
patensi jalan napas untuk menjamin ventilasi dan oksigenasi adekuat.
Perlindungan jalan napas dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea
(endotracheal tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ET dapat
digunakan sebagai pengantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan
kontrol ventilasi dan oksigenasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi


dan Terapi Intensif (PERDATIN) Cabang Jawa Tengah. Semarang..
2. Vetirini AS, Hamzah, Samedi BP. Buku ajar teknik anestesi umum. Surabaya:
Airlangga university press, 2021: p3-5.
3. Komite penanggulangan kanker indonesia. Panduan penatalaksanaan kanker
kolorektal. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: p1, 7.
4. Padang MS, Rotty L. Adenokarsinoma kolon: laporan kasus. e-clinic. 2020;
8(2):229, 233
5. Sayuti M, Nouva. Kanker kolorektal. Jurnal averrous. Nov 2019; 5(2):78-9.
6. American Society of Anesthesiologist. 2014. ASA Physical Status
Classification System. America: ASA House of Delegates. Diakses 8 Mei
2022. http://asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-
status1classification-system
7. Rehatta NM, Hanindito E, tantri AR, dkk. Anestesiologi dan terapi intensif
buku ajar kati-perdatin. Ed1. Jakarta: Gramedia Indonesia
8. Latief, Said a., Kartini, A Suryadi., dan M, Ruswan Dachlan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
UI. Edisi Kedua.
9. Gunawan, Sulistia Gan. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.
10. Plummer, Mark P., dkk. 2014. Stress ulceration: prevalence, pathology and
association with adverse outcome. Biomed Central. 18:213.
11. Permata VA. Penggunaan analgesik pasca operasi orthopedi di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Jurnal medika muda. 2014:9.
12. Gunawan SG, Setiabudi R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi
FKUI. Ed 5. 2012.
13. Sandy IF, Poasngi I, Tambajong HF. Perbandingan skala nyeri pasien pasca
operasi seksio sesarea yang diberikan morfin intratekal dengan morfin
intratekal ditambah ketorolak intravena. Jurnal e-clinic. 2015;3(1): 547-8.

Anda mungkin juga menyukai