BAB 1
PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an- yang berarti “tanpa” dan aisthēsi,
yang berarti sensasi. Jadi dapat diartikan anestesi adalah suatu keadaan dimana tidak
dijumpai adanya sensasi atau nyeri. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama
anestesi total yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi regional yaitu hilangnya
rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal
atau saraf yang berhubungan dengannya, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada
daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh).1
Epidural anestesi merupakan salah satu jenis anestesi regional yang sering
digunakan. Epidural anestesi adalah jenis anestesi regional dengan menyuntikkan obat
anestesi lokal ke dalam ruang epidural. Tujuannya untuk memblok serabut saraf
spinalis (radix) dalam ruang epidural yang keluar dari duramater menuju foramen
intervertebralis. Efek anestesi yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan
terbentuk secara segmental. Banyak keuntungan yang diperoleh dari teknik epidural
anestesi diantaranya, pengaruh sistemik lebih kecil, menghasilkan analgesi adekuat,
mampu mencegah respons stres lebih sempurna, mengurangi perdarahan selama
pembedahan, mengurangi lama perawatan di rumah sakit, disamping itu juga
memiliki efek anti-inflamasi. Saat ini sudah banyak digunakan blokade kontinu
(epidural maupun saraf tepi) untuk penanganan nyeri pascaoperasi.2,3
Open nefrolititomy adalah tindakan bedah urologi dengan melakukan insisi
pada ginjal untuk mengeluarkan batu pada saluran ginjal. Seorang ahli bedah
melakukan nefrolitotomi untuk menghilangkan rasa sakit atau penyumbatan yang
disebabkan oleh batu ginjal. Pembedahan biasanya hanya dilakukan pada pasien yang
memiliki batu ginjal yang lebih besar dari 2 cm diameternya, yang menghambat aliran
urin dari ginjal, dan yang tidak dapat diobati dengan cara lain (misalnya dengan obat
peluruh atau prosedur litotripsi).4
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada pinggang sebelah kiri
Keluhan tambahan
Nyeri pada saat BAK
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan nyeri pada pinggang
sebelah kiri. Keluhan dirasakan memberat ± 1 bulan terakhir. Nyeri pinggang
dirasakan hilang timbul, terasa seperti tertusuk-tusuk dan mengganggu aktivitas
sehari-hari. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri saat buang air kecil disertai
kencingnya berwarna kemerahan dan jumlah urin yang keluar sedikit.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
3
Inspeksi : Soepel
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak ada
defans muskuler. Nyeri tekan pada abdomen regio lumbal
Abdomen
dextra
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (-/-) sianosis (-/-)
2.5 Assesment
Batu renal (S)
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA 1
5
Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 cc/ kgBB/ jam = 2 cc/ 60 kg/ jam120 cc / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi besar, maka kebutuhan cairannya adalah:
4 ml x kgBB 4 ml x 60 kg 240 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 9 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 9 x 130ml 1.170 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P (120 + 240 + 585) ml = 945 ml
INTRA ANESTESI
11 Oktober pukul 15.00 WIB
1. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian dilakukan
2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal atau
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 130/81 mmHg, nadi= 83 x/menit, saturasi O2:
100%.
7
ligamentum flavum
10. Tempat pemasangan kateter di tutup dengan kassa dan difiksasi hingga setinggi
bahu pasien
11. Dilakukan test dose (pehacain 1 ampul + levobupivacaine 3ml). Hasil tidak terjadi
15. Pukul 15.25 WIB pasien diberikan Pethidine sebanyak 25mg dan Midazolam 5mg
POST OPERATIF
Pukul 17.20 WIB
INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- IVFD RL 20 gtt/i
- Bila muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
- Inj campuran 12cc Levobupivacaine (5mg/ml) + 12cc NaCl + 1cc Morfin
(10mg/ml) diberikan sebanyak 5cc/12 jam via kateter epidural
- Terapi lain sesuai bedah
Laporan Anestesi
Ahli Anestesiologi : dr. Fachrurrazy, Sp.An, M.Kes (KIC)
Ahli Bedah : dr. Fadli, Sp.U
Diagnosis prabedah : batu renal sinistra + hidronefrosis sinistra
Jenis Operasi : open renal (open nefrolitotomy)
Jenis Anestesi : epidural anestesi
Lama Operasi : 1 ½ jam
Lama Anestesi : 10 menit
10
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama
air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di
glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter.5,6,7
Urine yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem
pelvikalikes ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalikes
ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis.
Mukosa sistem pelvikalikes terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas
otot polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urine sampai ke ureter.6,7
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
sentralis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end
arteri yaitu arteri yang tidak mempunyai anstomosis dengan cabang-cabang dari arteri
lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya.6,7
Tiga proses penting dalam ginjal yaitu, filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus
dan seksresi tubulus. Filtrasi glomerulus melewati tiga lapisan yang membentuk
membran glomerulus, lapisan pertama adalah dinding kapiler glomerulus, lapisan
kedua lapisan gelatinosa asesuler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan
yang ketiga lapisan dalam kapsul bowman. Ketiga lapisan ini memiliki karakteristik
yang berbeda-beda dalam kerjanya.6,7
Reabsorbsi tubulus merupakan suatu proses perpindahan zat-zat bersifat
selektif dari lumen tubulus menuju kapiler peritubulus dan diedarkan ke seluruh
tubuh. Sekresi tubulus merupakan proses perpindahan zat-zat bersifat selektif
termasuk H+ dan K+, serta ion-ion organik yang dari kapiler peritubulus ke lumen
tubulus. 6,7
3.2 Nefrolithiasis
3.2.1 Definisi
Nefrolithiasis atau yang sering disebut dengan batu ginjal merupakan suatu
keadaan yang tidak normal di dalam ginjal dimana terdapat komponen kristal dan
matriks organik. Batu staghorn adalah batu bentuknya yang menyerupai tanduk, dan
mempunyai cabang-cabang. Batu jenis ini dapat berukuran kecil atau besar tergantung
dari ukuran ginjalnya.8
12
3.2.2 Etiologi
Batu ginjal dapat disebabkan oleh peningkatan pH urine (misalnya batu
kalsium bikarbonat) atau penurunan pH urine (misalnya batu asam urat). Konsentrasi
bahan-bahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan urine serta kebiasaan
makan atau obat-obatan tertentu juga dapat merangsang pembentukan batu. Segala
sesuatu yang menghambat aliran urine dan menyebabkan stasis (tidak ada pergerakan)
urine meningkatkan pembentukan batu.8,9
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. : 8
a. Faktor intrinsik:
Herediter (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang tua
Umur: paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan
b. Faktor ekstrinsik:
Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal
sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di
Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
Iklim dan temperature
Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih
Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.
a. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh
kemih.Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau
campuran dari kedua unsur itu.
Faktor terjadinya batu kalsium adalah :
Hiperkalsiuri ( kadar kalsium urin > 250- 300 mg/24 jam). Dapat terjadi
karena hiperkalsiuri absorbtif (karena peningkatan absorbsi kalsium melalui
usus). Hiperkalsiuri renal dapat terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal, hiperkalsiuri resorptif terjadi karena
adanya peningkatan reasorpsi kalsium tulang, yang banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.
Hiperoksaluri, merupakan ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram
perhari. Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan
pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak
mengkonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, diantaranya teh, kopi, jeruk
dan bayam.
Hiperurikosuria, merupakan keadaan dimana kadar asam urat di dalam urin
melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin sebagai inti
batu atau nidus dalam terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam urat
didalam urine berasal dari metabolisme endogen.
Hipositraturia. Dalam urin, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium
sitrat, sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan okalat atau
fosfat.Hipositrat dapat terjadi pada, sindrom malabsorbsi atau pemakaian
thiazide jangka lama.
Hipomagnesuria. Magnesium bertindak sebagai penghambat magnesium
oksalat sehingga mencegah ikatan kalsium dengan oksalat.Penyebab tersering
hipomagnesuria adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti gangguan
malabsorbsi.
b. Batu Struvit
Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan
oleh adanya infeksi saluran kemih.Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman
golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan
merubah urin menjadi bersuasana basa.Suasana basa ini yang memudahkan garam-
14
fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu jenis lainnya. Meskipun
patogenensis pembentukan batu- batu diatas hampir sama, tetapi suasana didalam
saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Misalnya
asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam sedangkan batu magnesium
ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa.9,10
faal yang cukup sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang
dan lumen saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama
tindakan pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.8,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan
rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium
fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan
batu asam urat bersifat non opak (radio lusen).
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu
PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak dapat
terlihat oleh foto polos abdomen.
3. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang
ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan
ginjal.
3.2.7 Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan.
17
a. Terapi Konservatif
Pada dasarnya penatalaksanaan batu saluran kemih secara farmakologis
meliputi dua aspek:
1. Menghilangkan rasa nyeri yang timbul akibat adanya batu.
2. Menangani batu yang terbentuk, yaitu dengan meluruhkan batu dan juga
mencegah terbentuknya batu lebih lanjut.
Pemberian regimen ini hanya dibatasi selama 10-14 hari, apabila terapi ini
gagal (batu tidak keluar) maka pasien harus dikonsultasikan lebih lanjut pada
urologis. Pada batu dengan komposisi predominan kalsium, sulit untuk terjadi
peluruhan (dissolve). Oleh sebab itu tatalaksana lebih mengarah pada pencegahan
terbentuknya kalkulus lebih lanjut. Hal ini dapat dicapai dengan pengaturan diet,
pemberian inhibitor pembentuk batu atau pengikat kalsium di usus, peningkatan
asupan cairan serta pengurangan konsumsi garam dan protein. Adapun batu dengan
komposisi asam urat dan sistin (cystine) lebih mudah untuk meluruh, yaitu dengan
bantuan agen alkalis. Agen yang dapat digunakan adalah sodium bikarbonat atau
potasium sitrat. pH dijaga agar berada pada kisaran 6.5-7.0. Dengan cara demikian
18
maka batu yang berespon terhadap terapi dapat meluruh, bahkan hingga 1 cm per
bulan.
Pada pasien batu asam urat, jika terdapat hiperurikosurik/hiperurisemia dapat
diberikan allopurinol. Selain itu, pada pasien dengan batu sistin, dapat diberikan D-
penicillamine, 2-alpha-mercaptopropionyl-glycine yang fungsinya mengikat sistin
bebas di urin sehingga mengurangi pembentukan batu lebih lanjut.
c. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya
dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan).
Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi
hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser. Beberapa tindakan
endourologi antara lain:
PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang
berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau
dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan
alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli).
Ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak bisa
untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah
batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis
19
d. Open Nefrolitotomy
Pembedahan terbuka antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk
mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak
jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena
ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah
sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang
menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
e. Pemasangan Stent
Pemasangan stent ureter memegang peranan penting sebagai tindakan
tambahan dalam penanganan batu ureter. Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih,
tindakan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.
Thorakal bawah 4 – 5 mm 1 mm
b. Thorakal epidural
Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian juga risiko
cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan paramedian dapat
dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post
operatif analgesia.14,15
c. Cervikal epidural
Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk dan
menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk
penanganan nyeri.14,15
3.4.1 Teknik Epidural Anesteasi1
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a. jarum ujung tajam (Crawford) : untuk dosis tunggal
b. jarum ujung khusus (Touhy) : untuk pemandu memasukkan kateter ke
ruang epidural. Jarum biasanya ditandai setiap cm.
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling
populer adalah teknik “loss of resistance” dan “hanging drop”.
a. Loss of Resistance
Teknik ini menggunakan spuit kaca atau spuit plastik rendah resistensi
yang diisi dengan udara atau NaCl sebanyak ±3 ml. Setelah diberikan
anestesik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural dimasukkan
menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang sampai
mencapai ligamentum flavum yang ditandai dengan meningkatnya
resistensi jaringan. Kemudian stilet atau introducer dilepaskan dan
spuit yang terisi udara atau cairan disambungkan ke jarum epidural
tadi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum, suntikan secara
lembut akan mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa dilakukan.
Jarum kemudian ditusukan secara perlahan, milimeter demi milimeter
sambil terus atau secara kontinyu melakukan suntikan. Apabila ujung
jarum telah mesuk ke ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa
adanya loss of resistance dan injeksi akan mudah dilakukan. Setelah
22
ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test
dose)
b. Hanging drop
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi tetapi pada teknik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidueal
perlahan-lahan secara lembut sampai menembus jaringan keras yang
kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah
ujing jarum berada di dalam ruang epidural, selanjutnya akan dilakukan uji
dosis (tes dose)
5. Test Dose
Uji dosis dilakukan setelah ujung jarum diyakini berada di dalam ruang
epidural dengan menggunakan jarum ataupun melalui kateter epidural yang
telah terpasang. Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan
injeksi ke ruang subaraknoid atau intravaskuler. Uji ini dilakukan dengan cara
memasukkan anestesi loka 3 ml yang sudah dicampur adrenalin 1:200.000.
Tes ini dapat menunjukkan hasil berupa:
a. Jika tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak
jarum atau kateter benar
b. Terjadi blokade spinal, menunjukkzn obat masuk ke ruang
subarachnoid karena terlalu dalam
c. Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk ke vena epidural
kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali,
maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian
belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah
masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat
dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan
kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan
ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
3.4.3 Obat-obat anestesi epidural
a. Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya
prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah
kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja
lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang
membutuhkan blok motoris untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat
lainnya. Ada pun obat yang sering di pakai di indonesia yaitu prokain, lidokain,
bupivakain.
b. Epinefrin
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan
kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan
absorbsi, menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan
sitemik. Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler.
Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek
beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan
denyut jantung
3.4.4 Kegagalann blok epidural
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam
sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan
perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan dari
loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke muskulus
paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance. Penyebab lain
kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural, dan injeksi intravena.
Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari obat anestesi lokal telah
dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang dibutuhkan telah mencukupi,
beberapa blok epidural tidak berhasil.
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar dari
ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi dengan
menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan
bagian yang belum terblok berada disisi bawah. Bisa juga pasien mengeluh akibat
nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada beberapa kasus (tarikan pada
ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang lainnya seperti tarikan
peritoneum.
ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat
meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.
2) Post Operasi
a) Sakit kepala post pungsi dural.
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak
75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post pungsi dural .
b) Infeksi Abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural. Sumber
infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen pada
ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul
dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk
pertolongan nyeri post-operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat
insersi.
Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah
punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis.
Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal
pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah
dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik
yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan
penanganan.
c) Hematoma epidural
Trauma pada vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat
menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri
punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi
epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomography atau
MRI. Dekompresi laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi
neurologi
28
BAB 4
PEMBAHASAN
Kasus Teori
Pada kasus ini, pasien dengan Teknik epidural sangat luas
diagnosis batu renal sinistra penggunaannya pada anestesia
dilakukan tindakan pembedahan operatif, analgesia untuk kasus-
kasus obstetri, analgesia post
open nefrolititomy dengan
operatif dan untuk
epidural anestesi penanggulangan nyeri kronis
Dengan menggunakan konsentrasi
obat anestesi lokal yang relatif
lebih encer dan dikombinasi
dengan obat-obat golongan opioid,
serat simpatis dan serat motorik
lebih sedikit diblok, sehingga
menghasilkan analgesia tanpa blok
motorik. Hal ini banyak
dimanfaatkan untuk analgesia
pada persalinan dan analgesia post
operasi.
Hipotensi dapat terjad karena selektif
kardiodepresan atau vasodilatasi
tonus arteri dan vena. Tonus
vaskuler perifer dipengaruhi
secara langsung oleh stimulasi
simpatis pada reseptor adrenergik
a dan b, serta secara tidak
langusung oleh norepinephrine
yang dilepaskan medulla
16
adrenal. Epidural anestesi
memiliki efek penurunan tekanan
darah yang lebih lambat dibanding
spinal anestesi
Pada pasien ini diberikan obat anestesi Fentanyl digunakan sebagai adjuvan
berupa levobupicavain + fentanyl untuk mempercepat onset of
duration dari levobupicavaine.17
30
BAB 5
KESIMPULAN
Batu ginjal (nefrolithiasis) adalah suatu keadaan yang tidak normal di dalam
ginjal dimana terdapat komponen kristal dan matriks organic. Etiologi batu ginjal
terdiri dari 2 faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik herediter,
umur, jenis kelamin. Faktor ekstrinsik geografi, iklim, diet, pekerjaan. Jenis batu pada
saluran kencing ada beberapa, seperti batu kalsium, batu struvit, batu asam urat, dan
batu jenis lain. Penegakan diagnosis batu ginjal yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen,
ultrasonografi, pielografi intravena. Penatalaksanaan bisa dengan medikamentosa,
ESWL, endourologi dan bedah laparoskopi. Komplikasi yang bias terjadi dari batu
ginjal adalah infeksi saluran kemih, obstruksi, dan gagal ginjal akut.
Penggunaan teknik epidural anatesi merupakan pilihan yang baik untuk
pengelolaan nyeri untuk post operasi dan nyeri kronis. Komplikasi dapat terjadi akibat
teknik epidural anastesi, namun hal ini dapat di cegah dengan prosedur yang ketat,
ataupun perawatan. Persiapan untuk melakukan tindakan anatesi harus selalu
mempersiapkan perlengkapan dan obat untuk general anestesi. Penggunaan
hemodinamik monitoring dapat membantu mendeteksi dini komplikasi regional
anestesi.
31
DAFTAR PUSTAKA
3. Harbi, M., Kaki, A., Dawlatly, K., Daghistani, M. & Tahan, M. A Survey of
The Pactice of Regional Anesthesia in Saudi Arabia. Saudi J Anaesth 7, (2013).
4. Sjamsuhidajat, R., Theddeus, O., Rudiman, R., Riwanto, I. & Tahalele, P. Buku
Ajar Ilmu Bedah. (Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2014).
9. Setiati, S. et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Interna Publishing, 2014).
12. Hurley, R. & Wu, C. Acute postoperative Pain. in Miller’s Anesthesia 2760
(Churchill Livingstone Elsevier, 2010).
13. Katz, J. Spinal and Epidural. in Atlas of Regional Aneasthesia 110 (Appleton &
Lange, 1994).
32
15. Kleiman, W. & Mikhail, M. Spinal, epidural and caudal blocks. in Clinical
Anesthesiology (eds. Morgan, G. & Mikhail, M.) 289–323. (Mc Graw Hill
Lange Medical Booksn, 2006).
16. Hadinata, Y., Basuki, D. R. & Bagianto, H. Anestesi Epidural Thorakal Pada
Tumor Phyllodes. J. Anestesiol. Indones. 5, 45–53 (2013).
17. Umapathy, P. Onset and duration of epidural analgesia with bupivacaine and
bupivacaine plus fentanyl : a comparative study. Int. J. Res. Med. Sci. 5, 3103–
3106 (2017).