Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an- yang berarti “tanpa” dan aisthēsi,
yang berarti sensasi. Jadi dapat diartikan anestesi adalah suatu keadaan dimana tidak
dijumpai adanya sensasi atau nyeri. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama
anestesi total yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi regional yaitu hilangnya
rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal
atau saraf yang berhubungan dengannya, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada
daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh).1
Epidural anestesi merupakan salah satu jenis anestesi regional yang sering
digunakan. Epidural anestesi adalah jenis anestesi regional dengan menyuntikkan obat
anestesi lokal ke dalam ruang epidural. Tujuannya untuk memblok serabut saraf
spinalis (radix) dalam ruang epidural yang keluar dari duramater menuju foramen
intervertebralis. Efek anestesi yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan
terbentuk secara segmental. Banyak keuntungan yang diperoleh dari teknik epidural
anestesi diantaranya, pengaruh sistemik lebih kecil, menghasilkan analgesi adekuat,
mampu mencegah respons stres lebih sempurna, mengurangi perdarahan selama
pembedahan, mengurangi lama perawatan di rumah sakit, disamping itu juga
memiliki efek anti-inflamasi. Saat ini sudah banyak digunakan blokade kontinu
(epidural maupun saraf tepi) untuk penanganan nyeri pascaoperasi.2,3
Open nefrolititomy adalah tindakan bedah urologi dengan melakukan insisi
pada ginjal untuk mengeluarkan batu pada saluran ginjal. Seorang ahli bedah
melakukan nefrolitotomi untuk menghilangkan rasa sakit atau penyumbatan yang
disebabkan oleh batu ginjal. Pembedahan biasanya hanya dilakukan pada pasien yang
memiliki batu ginjal yang lebih besar dari 2 cm diameternya, yang menghambat aliran
urin dari ginjal, dan yang tidak dapat diobati dengan cara lain (misalnya dengan obat
peluruh atau prosedur litotripsi).4
2

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
MR : 13.01.47
Alamat : Keude Bagok
Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Bedah
Tgl Masuk Rumah sakit : 9 Oktober2019
Tanggal Operasi : 11 Oktoberr 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada pinggang sebelah kiri
Keluhan tambahan
Nyeri pada saat BAK
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan nyeri pada pinggang
sebelah kiri. Keluhan dirasakan memberat ± 1 bulan terakhir. Nyeri pinggang
dirasakan hilang timbul, terasa seperti tertusuk-tusuk dan mengganggu aktivitas
sehari-hari. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri saat buang air kecil disertai
kencingnya berwarna kemerahan dan jumlah urin yang keluar sedikit.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
3

Riwayat pribadi dan kebiasaan


Merokok : diakui
Mengkonsumsi alkohol : disangkal
Jarang minum air putih : diakui
Riwayat sosial ekonomi
Pasien menggunakan BPJS

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : compos mentis / E4M6V5
Tekanan Darah : 130/81 mmHg
Frekuansi Nadi : 83x/menit
Frekuensi Napas : 19x/menit
Suhu : 36,9°C
Status Generalis
Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah
Kepala
dicabut
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga Normotia (+/+)
Hidung Bentuk normal, tidak ada deviasi septum
Mulut Bibir edema (-), sianosis (-)
Tenggorokan Pembesaran tonsil (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-), trakea ditengah tidak deviasi.
Paru
Inspeksi: Pergerakan dan bentuk dada simetris kanan dan
kiri, jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Thoraks Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung normal
Auskultasi: BJI>BII regular
4

Inspeksi : Soepel
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak ada
defans muskuler. Nyeri tekan pada abdomen regio lumbal
Abdomen
dextra
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (-/-) sianosis (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil laboratorium tgl 9 Oktober 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12,7 g/dL 13-18
3
Eritrosit 4.18 jt/mm 4.6-6.5
3
Leukosit 7.56 rb/mm 4-11
Hematokrit 36.0 % 42-52
MCV 86.1 fl 79-99
MCH 30.3 pg 27-32
MCHC 35.2 g% 33-37
RDW-CV 11.2 % 11.5-14.5
3
Trombosit 170 rb/mm 150-450
HEMOSTASIS
Masa Perdarahan/BT 2 menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 9 menit 9-15
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 251 mg/dL 110-200
Fungsi Ginjal
Ureum 24.56 mg/dL 20-40
Kreatinin 1.06 mg/dL 0,60-1,00
Asam urat 4.3 mgdL <72

2.5 Assesment
Batu renal (S)
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA 1
5

2.7 Rencana Pembedahan


Open Nefrolitotomy
2.8 Rencana Anestesi:
Epidural Anestesi
2.9 Laporan Anestesi
PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang perawatan
Pasien di konsultasikan ke dokter anestesi untuk persetujuan dilakukan tindakan
operasi. Setelah mendapatkan persetujuan, pasien disiapkan untuk rencana open ginjal
(S) keesokan harinya. Diberikan juga informasi kepada keluarga pasien, antara lain:
 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga pasien
tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana
pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan
sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan
mengajukan tuntutan.
Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:
 Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan bahwa
lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
 Rencana post-op pasien adalah kembali ke ruangan.
Di Ruang Persiapan
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan sudah
terpasang infus RL.
Persiapan alat anestesi :
Epidural set Connector Orotracheal airway
Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri
Suction Guedel Balon pernafasan
Stetoskop Laringoskop ETT
Sungkup muka Mesin Anestesi Gel
6

Spuit Infus set+abocath Kasa steril


Persiapan obat-obatan anestesi
a. Analgetik : Fentanyl, Morfin, Ketorolac, Pethidine
b. Hipnotik Sedatif : Bupivacaine, Levobupivacaine, Midazolam,
Lidocaine
c. Muscle Relaxan : Atracurium, Recuronium
d. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2
e. Obat emergency : Sulfas atropine, ephedrine, epinephrine
f. Obat reserve : Prostigmin, Sulfas atropine
g. Obat tambahan lainnya : Ondansetron, tranexamaic acid

Rencana terapi cairan intraoperatif

Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 cc/ kgBB/ jam = 2 cc/ 60 kg/ jam120 cc / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi besar, maka kebutuhan cairannya adalah:
4 ml x kgBB  4 ml x 60 kg 240 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 9 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 9 x 130ml 1.170 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (120 + 240 + 585) ml = 945 ml

INTRA ANESTESI
11 Oktober pukul 15.00 WIB

1. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian dilakukan

pemasangan manset dan oksimeter.

2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal atau

penilaian pra induksi (Pukul 15.10 WIB) :

Kesadaran: Compos Mentis, TD= 130/81 mmHg, nadi= 83 x/menit, saturasi O2:

100%.
7

3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.

4. Pasien diminta duduk dan membungkukkan badan

5. Dibuat garis imajiner setinggi Th12-L1 dan diberi tanda

6. Desinfeksi daerah tersebut dengan betadine dan alkohol

7. Dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 2%

8. Dilakukan penusukan jarum epidural no 18 di median setinggi ruang

intervertebralis Th12-L1 secara perlahan-lahan hingga terasa menembus

ligamentum flavum

9. Dilakukan test “loss of resistance” hasil (+)

10. Tempat pemasangan kateter di tutup dengan kassa dan difiksasi hingga setinggi

bahu pasien

11. Dilakukan test dose (pehacain 1 ampul + levobupivacaine 3ml). Hasil tidak terjadi

peningkatan HR dan TD  letak kateter sudah tepat di ruang epidural

12. Dimasukkan bolus melalui kateter epidural menggunakan Levobupivacaine HCL

5mg/ml sebanyak 12cc + Fentanyl 0.05mg/ml (50mcg/ml) sebanyak ½ cc

13. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 3 liter/menit

14. Pukul 15.20 tindakan anestesi telah selesai

15. Pukul 15.25 WIB pasien diberikan Pethidine sebanyak 25mg dan Midazolam 5mg

Pukul 15.10 WIB


 Tindakan anestesi dimulai
 TD : 130/81mmHg, HR : 83x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 15.20 WIB


 Tindakan anestesi selesai dilakukan
 TD : 104/64mmHg, HR : 71x/i, RR : 18x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 15.30 WIB


 TD : 94/60mmHg, HR : 69x/i, RR : 18x/i, Sp O2 : 100%
8

Pukul 15.40 WIB


 Tindakan pembedahan dimulai
 TD : 93/62mmHg, HR : 83x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 15.50 WIB


 TD : 88/53mmHg, HR : 72x/i, RR : 18x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 16.00 WIB


 TD : 111/62mmHg, HR : 83x/i, RR : 19x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 16.10 WIB


 TD : 110/61mmHg, HR : 85x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 99%

Pukul 16.20 WIB


 TD : 100/58mmHg, HR : 92x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 99%

Pukul 16.30 WIB


 TD : 118/63mmHg, HR : 97x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Cairan infus Ringer Laktat telah habis sebanyak 500 ml, digantikan dengan

infus Ringer Laktat 2

Pukul 16.40 WIB


 TD : 115/66mmHg, HR : 91x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 16.50 WIB


 TD : 115/64mmHg, HR : 97x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 17.00 WIB


 TD : 123/73mmHg, HR : 85x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 17.10 WIB


 TD : 122/67mmHg, HR : 86x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Pembedahan selesai
 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
 Pemberian morfin 5cc
 Pasien dibangunkan
 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
9

 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang pemulihan


atau recovery room (RR).

POST OPERATIF
Pukul 17.20 WIB

Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat

kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 115/65 mmHg, nadi 78

x/menit, respirasi 19 x/menit dan saturasi O2 100%.

Pukul 17.45 WIB


 Pasien diinjeksi campuran 12cc Levobupivacaine (5mg/ml) + 12cc NaCl + 1cc
Morfin (10mg/ml) 5cc via kateter epidural
 Pasien didorong ke ruang ICU

INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- IVFD RL 20 gtt/i
- Bila muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
- Inj campuran 12cc Levobupivacaine (5mg/ml) + 12cc NaCl + 1cc Morfin
(10mg/ml) diberikan sebanyak 5cc/12 jam via kateter epidural
- Terapi lain sesuai bedah

Laporan Anestesi
 Ahli Anestesiologi : dr. Fachrurrazy, Sp.An, M.Kes (KIC)
 Ahli Bedah : dr. Fadli, Sp.U
 Diagnosis prabedah : batu renal sinistra + hidronefrosis sinistra
 Jenis Operasi : open renal (open nefrolitotomy)
 Jenis Anestesi : epidural anestesi
 Lama Operasi : 1 ½ jam
 Lama Anestesi : 10 menit
10

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologis Ginjal


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga
retroperitoneal bagian atas dan sejajar dengan vertebra thoracal 12 hingga lumbal 3.
Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada
sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem
limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat
ginjal sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada
tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran
ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11.5 cm x 6 cm x 3.5 cm. Beratnya bervariasi
antara 120-170 gram atau kurang lebih 0.4% dari berat badan.5
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true kapsul) ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal / suprarenal
yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak
perirenal dibungkus oleh fasia Gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang
menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi
urine pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu fasia Gerota dapat pula berfungsi
sebagai barier dalam menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis
tumor ginjal ke organ sekitarnya. Di luar fasia Gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal atau disebut jaringan lemak para renal.5
Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal
serta tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan disebelah anterior dilindungi oleh organ-
organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum;
sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon.5
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medulla
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medula
banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang
terdiri atas, tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distalis, dan duktus
kolegentes. Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di
dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
11

mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama
air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di
glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter.5,6,7
Urine yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem
pelvikalikes ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalikes
ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis.
Mukosa sistem pelvikalikes terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas
otot polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urine sampai ke ureter.6,7
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
sentralis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end
arteri yaitu arteri yang tidak mempunyai anstomosis dengan cabang-cabang dari arteri
lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya.6,7
Tiga proses penting dalam ginjal yaitu, filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus
dan seksresi tubulus. Filtrasi glomerulus melewati tiga lapisan yang membentuk
membran glomerulus, lapisan pertama adalah dinding kapiler glomerulus, lapisan
kedua lapisan gelatinosa asesuler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan
yang ketiga lapisan dalam kapsul bowman. Ketiga lapisan ini memiliki karakteristik
yang berbeda-beda dalam kerjanya.6,7
Reabsorbsi tubulus merupakan suatu proses perpindahan zat-zat bersifat
selektif dari lumen tubulus menuju kapiler peritubulus dan diedarkan ke seluruh
tubuh. Sekresi tubulus merupakan proses perpindahan zat-zat bersifat selektif
termasuk H+ dan K+, serta ion-ion organik yang dari kapiler peritubulus ke lumen
tubulus. 6,7

3.2 Nefrolithiasis
3.2.1 Definisi
Nefrolithiasis atau yang sering disebut dengan batu ginjal merupakan suatu
keadaan yang tidak normal di dalam ginjal dimana terdapat komponen kristal dan
matriks organik. Batu staghorn adalah batu bentuknya yang menyerupai tanduk, dan
mempunyai cabang-cabang. Batu jenis ini dapat berukuran kecil atau besar tergantung
dari ukuran ginjalnya.8
12

3.2.2 Etiologi
Batu ginjal dapat disebabkan oleh peningkatan pH urine (misalnya batu
kalsium bikarbonat) atau penurunan pH urine (misalnya batu asam urat). Konsentrasi
bahan-bahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan urine serta kebiasaan
makan atau obat-obatan tertentu juga dapat merangsang pembentukan batu. Segala
sesuatu yang menghambat aliran urine dan menyebabkan stasis (tidak ada pergerakan)
urine meningkatkan pembentukan batu.8,9
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. : 8
a. Faktor intrinsik:
 Herediter (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang tua
 Umur: paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
 Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan
b. Faktor ekstrinsik:
 Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal
sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di
Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
 Iklim dan temperature
 Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
 Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih
 Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

3.2.3 Jenis Batu8,9,10


Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat atau
kalsium fosfat, asam urat, magnesium ammonium fosfat (MAP), xanthyn, sistin dan
silikat.
13

a. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh
kemih.Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau
campuran dari kedua unsur itu.
Faktor terjadinya batu kalsium adalah :
 Hiperkalsiuri ( kadar kalsium urin > 250- 300 mg/24 jam). Dapat terjadi
karena hiperkalsiuri absorbtif (karena peningkatan absorbsi kalsium melalui
usus). Hiperkalsiuri renal dapat terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal, hiperkalsiuri resorptif terjadi karena
adanya peningkatan reasorpsi kalsium tulang, yang banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.
 Hiperoksaluri, merupakan ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram
perhari. Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan
pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak
mengkonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, diantaranya teh, kopi, jeruk
dan bayam.
 Hiperurikosuria, merupakan keadaan dimana kadar asam urat di dalam urin
melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin sebagai inti
batu atau nidus dalam terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam urat
didalam urine berasal dari metabolisme endogen.
 Hipositraturia. Dalam urin, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium
sitrat, sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan okalat atau
fosfat.Hipositrat dapat terjadi pada, sindrom malabsorbsi atau pemakaian
thiazide jangka lama.
 Hipomagnesuria. Magnesium bertindak sebagai penghambat magnesium
oksalat sehingga mencegah ikatan kalsium dengan oksalat.Penyebab tersering
hipomagnesuria adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti gangguan
malabsorbsi.

b. Batu Struvit
Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan
oleh adanya infeksi saluran kemih.Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman
golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan
merubah urin menjadi bersuasana basa.Suasana basa ini yang memudahkan garam-
14

garam magnesium, ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium


ammonium fosfat (MAP).

c. Batu Asam Urat


Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien penyakit gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan terapi antikanker dan banyak
menggunakan obat urikosurik ( thiazide,salisilat).Sumber asam urat berasal dari diet
yang mengandung purin dan metabolisme endogen dalam tubuh. Asam urat relatif
tidak larut dalam urin sehingga dalam keadaan tertentu mudah sekali membentuk
kristal asam urat.

3.2.4 Patofisiologi dan Patogenesis


Batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat- tempat
yang sering mengalami hambatan dalam urin (stasis urin), yaitu pada sistem kaliks
ginjal atau buli- buli. Adanya kelainan pada pelvikaliks, divertikel, obstruksi
infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, striktura dan buli- buli
neurogenik merupakan keadaan- keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan
batu.10
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan- bahan organik
maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal- kristal tersebut tetap berada
dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan- keadaan
tertentu yang menyebabkan presipitasi kristal. Kristal- kristal yang saling mengadakan
presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi,
dan menarik bahan- bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun
ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu
menghambat saluran kemih. Untuk itu agregrat kristal menempel pada epitel saluran
kemih (membentuk retensi kristal), dan bahan- bahan lain diendapkan pada agregrat
tersebut sehingga membentuk batu yang cukup besar sehingga menyumbat saluran
kemih.9,10
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid didalam
urine, konsentrasi solute dalam urin, laju aliran urin di dalam saluran kemih, atau
adanya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.9,10
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun fosfat membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium
fosfat, sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium
15

fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu jenis lainnya. Meskipun
patogenensis pembentukan batu- batu diatas hampir sama, tetapi suasana didalam
saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Misalnya
asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam sedangkan batu magnesium
ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa.9,10

3.2.5 Manifestasi Klinis


Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu,
besar batu dan penyulit yang telah terjadi.Keluhan yang paling sering dirasakan oleh
pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri ini mungkin bias berupa nyeri kolik ataupun
bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktifitas otot polos sistem kaliks maupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.
Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga
terjadi peregangan dari saraf terminal yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri nonkolik
terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi
ginjal.8,9
Hematuria seringkali dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa
saluran kemih yang disebabkan oleh batu.Kadang- kadang hematuria didapatkan dari
pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik.Jika didaptakan demam harus
dicurigai adanya urosepsis. Dapat juga ditemukan mual muntah dikarenakan adanya
jalur syaraf yang menginervasi pelvis ginjal, lambung dan intestine melalui axis
celiacus dan syaraf vagal afferent.8,9

3.2.6 Penegakan Diagnosis


Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
menegakkan diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi
saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat
radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu
sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi.8,9
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang
dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan
menentukan sebab terjadinya batu. Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan
faal kedua ginjal secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter
tersumbat total. Cara ini dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa
16

faal yang cukup sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu, menentukan ruang
dan lumen saluran kemih, serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama
tindakan pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.8,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan
rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium
fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan
batu asam urat bersifat non opak (radio lusen).
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu
PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak dapat
terlihat oleh foto polos abdomen.
3. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang
ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan
ginjal.

4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan kristal.


5. Renogram untuk batu staghorn untuk menilai fungsi ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase alkali
serum.

3.2.7 Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan.
17

Pilihan terapi antara lain :

a. Terapi Konservatif
Pada dasarnya penatalaksanaan batu saluran kemih secara farmakologis
meliputi dua aspek:
1. Menghilangkan rasa nyeri yang timbul akibat adanya batu.
2. Menangani batu yang terbentuk, yaitu dengan meluruhkan batu dan juga
mencegah terbentuknya batu lebih lanjut.

Panduan khusus dalam menatalaksana batu saluran kemih:


1. Pasien dengan dehidrasi harus tetap mendapat asupan cairan yang adekuat
2. Tatalaksana untuk kolik ureter adalah analgesik, yang dapat dicapai dengan
pemberian opioid (morfin sulfat) atau NSAID.
3. Pada pasien dengan kemungkinan pengeluaran batu secara spontan, dapat
diberikan regimen MET (medical expulsive therapy). Regimen ini meliputi
kortikosteroid (prednisone), calcium channel blocker (nifedipin) untuk
relaksasi otot polos uretra dan alpha blocker (terazosin) atau alpha-1 selective
blocker (tamsulosin) yang juga bermanfaat untuk merelaksasikan otot polos
uretra dan saluran urinari bagian bawah. Sehingga dengan demikian batu dapat
keluar dengan mudah (85% batu yang berukuran kurang dari 3 mm dapat
keluar spontan).
4. Pemberian analgesik yang dikombinasikan dengan MET dapat mempermudah
pengeluaran batu, mengurangi nyeri serta memperkecil kemungkinan operasi

Pemberian regimen ini hanya dibatasi selama 10-14 hari, apabila terapi ini
gagal (batu tidak keluar) maka pasien harus dikonsultasikan lebih lanjut pada
urologis. Pada batu dengan komposisi predominan kalsium, sulit untuk terjadi
peluruhan (dissolve). Oleh sebab itu tatalaksana lebih mengarah pada pencegahan
terbentuknya kalkulus lebih lanjut. Hal ini dapat dicapai dengan pengaturan diet,
pemberian inhibitor pembentuk batu atau pengikat kalsium di usus, peningkatan
asupan cairan serta pengurangan konsumsi garam dan protein. Adapun batu dengan
komposisi asam urat dan sistin (cystine) lebih mudah untuk meluruh, yaitu dengan
bantuan agen alkalis. Agen yang dapat digunakan adalah sodium bikarbonat atau
potasium sitrat. pH dijaga agar berada pada kisaran 6.5-7.0. Dengan cara demikian
18

maka batu yang berespon terhadap terapi dapat meluruh, bahkan hingga 1 cm per
bulan.
Pada pasien batu asam urat, jika terdapat hiperurikosurik/hiperurisemia dapat
diberikan allopurinol. Selain itu, pada pasien dengan batu sistin, dapat diberikan D-
penicillamine, 2-alpha-mercaptopropionyl-glycine yang fungsinya mengikat sistin
bebas di urin sehingga mengurangi pembentukan batu lebih lanjut.

b. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Prinsip kerja antara mesin generasi lama dan baru sama saja dalam terapi batu
ureter. Pada generasi baru titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan
flouroskopi, sehingga memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu
ureter. Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga
pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun demikian mesin
generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan tembaknya tidak sekuat yang
lama, sehingga untuk batu yang keras perlu beberapa kali tindakan. Dengan ESWL
sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi obat penangkal nyeri.

c. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya
dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan).
Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi
hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser. Beberapa tindakan
endourologi antara lain:
 PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang
berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau
dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
 Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan
alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli).
 Ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak bisa
untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah
batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis
19

pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator


dan ketersediaan alat tersebut.
 Ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui
alat keranjang Dormia).

d. Open Nefrolitotomy
Pembedahan terbuka antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk
mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak
jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena
ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah
sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang
menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
e. Pemasangan Stent
Pemasangan stent ureter memegang peranan penting sebagai tindakan
tambahan dalam penanganan batu ureter. Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih,
tindakan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.

3.3Anatomi tulang belakang


Tulang belakang manusia terdiri dari tuang vertebral dan intervertbralis
fibrocartilagonous disk.terdiri dari ; 7 ruas vertebra servikalis, 12 ruas vertebra
thorakal, dan 5 ruas vertebra lumbal, sakrum adalah fusi dari 5 vertebra sakral dan ada
kecil rudimenter coccygeal.5
Tulang belakang secara keseluruhan memberikan dukungan struktural untuk
tubuh dan perlindungan bagi sumsum tulang belakang dan saraf, dan memungkinkan
tingkat mobilitas dalam beberapa bidang spasial.5
Ruang epidural adalah ruang antara duramater, ligamentum dan eriosteum dari
kanalis vertebra yang membantasng dari foramen magnum hingga membran
sacrococygeus. Ruang epidural merupakan ruang potensial bertekanan negatif dengan
komponen terdiri dari jaringan lemak, saluran limfatik, dan pembuluh darah tanpa ada
cairan bebas dalam ruang epidural.5
Diameter ruang epidural memiliki perbedaan pada tiap segmennya, menurut
beberapa literatur ukuran dari tiap segmen sesuai tabel 1.
20

Luas ruang epidural Tebal duramater

Servikal 1- 1,5 mm 1,5 – 2 mm

Thorakal atas 2,5- 3 mm 1 mm

Thorakal bawah 4 – 5 mm 1 mm

Lumbal 5 – 6 mm 0,33 – 0,88 mm

3.4 Epidural Anestesi


Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial,
dimana penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal. Epidural blok dapat
dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak, servikal atau sacral (yang lazim disebut
blok caudal). Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anestesia operatif,
analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk
penanggulangan nyeri kronis.11,12,13
Ruang epidural berada diluar selaput duramater atau diantara ligamentum
flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm di bagian posterior
kedalaman maksimal pada daerah lumbal. Radiks saraf berjalan di dalam ruang
epidural ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan selanjutnya menuju
kearah luar.5
Onset dari epidural anestesia (10-20 menit) lebih lambat dibandingkan dengan
anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang relatif
lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat simpatis dan
serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia tanpa blok
motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan dan analgesia
post operasi.1,11,12
a. Lumbal Epidural
Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi
tempat insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan analgesia. Pendekatan
median atau paramedian dapat dikerjakan pada tempat ini. Anestesia lumbal epidural
dapat dikerjakan untuk tindakan-tindakan dibawah diafragma. Oleh karena medula
spinalis berakhir pada level L1, keamanan blok epidural pada daerah lumbal dapat
dikatan aman, terutama apabila secara tidak sengaja sampai menembus duramater.14,15
21

b. Thorakal epidural
Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian juga risiko
cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan paramedian dapat
dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post
operatif analgesia.14,15
c. Cervikal epidural
Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk dan
menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk
penanganan nyeri.14,15
3.4.1 Teknik Epidural Anesteasi1
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a. jarum ujung tajam (Crawford) : untuk dosis tunggal
b. jarum ujung khusus (Touhy) : untuk pemandu memasukkan kateter ke
ruang epidural. Jarum biasanya ditandai setiap cm.
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling
populer adalah teknik “loss of resistance” dan “hanging drop”.
a. Loss of Resistance
Teknik ini menggunakan spuit kaca atau spuit plastik rendah resistensi
yang diisi dengan udara atau NaCl sebanyak ±3 ml. Setelah diberikan
anestesik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural dimasukkan
menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang sampai
mencapai ligamentum flavum yang ditandai dengan meningkatnya
resistensi jaringan. Kemudian stilet atau introducer dilepaskan dan
spuit yang terisi udara atau cairan disambungkan ke jarum epidural
tadi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum, suntikan secara
lembut akan mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa dilakukan.
Jarum kemudian ditusukan secara perlahan, milimeter demi milimeter
sambil terus atau secara kontinyu melakukan suntikan. Apabila ujung
jarum telah mesuk ke ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa
adanya loss of resistance dan injeksi akan mudah dilakukan. Setelah
22

ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test
dose)
b. Hanging drop
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi tetapi pada teknik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidueal
perlahan-lahan secara lembut sampai menembus jaringan keras yang
kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah
ujing jarum berada di dalam ruang epidural, selanjutnya akan dilakukan uji
dosis (tes dose)
5. Test Dose
Uji dosis dilakukan setelah ujung jarum diyakini berada di dalam ruang
epidural dengan menggunakan jarum ataupun melalui kateter epidural yang
telah terpasang. Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan
injeksi ke ruang subaraknoid atau intravaskuler. Uji ini dilakukan dengan cara
memasukkan anestesi loka 3 ml yang sudah dicampur adrenalin 1:200.000.
Tes ini dapat menunjukkan hasil berupa:
a. Jika tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak
jarum atau kateter benar
b. Terjadi blokade spinal, menunjukkzn obat masuk ke ruang
subarachnoid karena terlalu dalam
c. Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk ke vena epidural

3.4.2 Penempatan Kateter14,15


Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang
lama dan pemberian analgesia post operasi.
 Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel
diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik
kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau
vena.
 Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami
parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika
23

kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali,
maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
 Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
 Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian
belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah
masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
 Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat
dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan
kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan
ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
3.4.3 Obat-obat anestesi epidural
a. Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya
prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah
kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja
lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang
membutuhkan blok motoris untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat
lainnya. Ada pun obat yang sering di pakai di indonesia yaitu prokain, lidokain,
bupivakain.

Obat Konsentrasi Lama onset


digabungkan epinefrin

Chloroprokain 2–3 % 60 menit

Lidokain 1,5 % 60 – 90 menit

Mepivakain 1,5 % 90 – 120 menit

Bupivakain 0,5 % > 180 menit

Etidokain 1,0 % > 150 menit

Tabel Konsentrasi obat dan onset


24

b. Epinefrin
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan
kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan
absorbsi, menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan
sitemik. Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler.
Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek
beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan
denyut jantung
3.4.4 Kegagalann blok epidural
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam
sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan
perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan dari
loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke muskulus
paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance. Penyebab lain
kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural, dan injeksi intravena.
Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari obat anestesi lokal telah
dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang dibutuhkan telah mencukupi,
beberapa blok epidural tidak berhasil.
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar dari
ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi dengan
menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan
bagian yang belum terblok berada disisi bawah. Bisa juga pasien mengeluh akibat
nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada beberapa kasus (tarikan pada
ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang lainnya seperti tarikan
peritoneum.

3.4.5 Indikasi Epidural Anestesi


a. Bedah daerah panggul dan lutut
b. Revaskularisasi ekstremitas bawah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit pembuluh
darah perifer yang dioperasi dengan teknik anestesi epidural aliran darah ke distal
lebih besar dan oklusi pembuluh darah post operatif juga menunjukkan angka yang
lebih kecil dibandingkan dengan anestesi umum.
c. Persalinan
25

d. Post operatif manajemen


3.4.6 Kontraindikasi Epidural Anestesi
No Kontra indikasi relatif Kontra indikasi absolut
1 Neuropati perifer Sepsis
2 “mini-dose ”heparin Bakteremia
3 Demensia atau psikosis Infeksi kulit pada lokasi injeksi
4 Aspirin atau pengobatan anti Hipovolemia berat
platelet lainnya
5 Penyakit demielisasi system Koagulopati
saraf pusat
6 Stenosis aorta Dalam pengobatan dengan
antikoagulan
7 Pasien tidak kooperatif Peningkatan tekanan intra cranial
8 Pasien menolak

3.4.7 Komplikasi Epidural Anestesi


1) Intraoperatif
a) Pungsi Dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural.
Perubahan anestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam
aliran cairan serebrospinal. Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan
menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang subarachnoid melalui jarum. Jika
anestesi epidural diperlukan (misalnya untuk analgesia post-operasi), kateter akan
direposisikan kedalam interspace diatas pungsi dengan demikian ujung dari
kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi
spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
b) Komplikasi Kateter
Hal ini lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada
bagian lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika
bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal tersebut
dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang melewati
ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada kasus terakhir
pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural dapat
26

memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan


direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan.
Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga
darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan tes dosis. Kateter
seharusnya ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada
aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan
diinsersikan kembali.
Kateter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak
terjadi infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi
dibandingkan dengan pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan
diterangkan mengenai masalah yang terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah
serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan dengan komplikasi dari
penanganan secara konservatif.
c) Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja .
Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid
dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.
d) Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural.
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang
menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary arrest.
e) Overdosis anestesi lokal.
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh adanya
penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi epidural
f) Kerusakan spinal cord.
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset parestesia unilateral
menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural.
Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan
trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga
masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen intervertebral.
Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia kornu anterior atau
hematoma epidural.
g) Perdarahan perforasi pada vena oleh jarum
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan mematikan. Jarum
seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik mereposisikan jarum pada
27

ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat
meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.

2) Post Operasi
a) Sakit kepala post pungsi dural.
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak
75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post pungsi dural .
b) Infeksi Abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural. Sumber
infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen pada
ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul
dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk
pertolongan nyeri post-operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat
insersi.
Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah
punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis.
Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal
pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah
dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik
yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan
penanganan.
c) Hematoma epidural
Trauma pada vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat
menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri
punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi
epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomography atau
MRI. Dekompresi laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi
neurologi
28

BAB 4
PEMBAHASAN

Kasus Teori
Pada kasus ini, pasien dengan Teknik epidural sangat luas
diagnosis batu renal sinistra penggunaannya pada anestesia
dilakukan tindakan pembedahan operatif, analgesia untuk kasus-
kasus obstetri, analgesia post
open nefrolititomy dengan
operatif dan untuk
epidural anestesi penanggulangan nyeri kronis
Dengan menggunakan konsentrasi
obat anestesi lokal yang relatif
lebih encer dan dikombinasi
dengan obat-obat golongan opioid,
serat simpatis dan serat motorik
lebih sedikit diblok, sehingga
menghasilkan analgesia tanpa blok
motorik. Hal ini banyak
dimanfaatkan untuk analgesia
pada persalinan dan analgesia post
operasi.
Hipotensi dapat terjad karena selektif
kardiodepresan atau vasodilatasi
tonus arteri dan vena. Tonus
vaskuler perifer dipengaruhi
secara langsung oleh stimulasi
simpatis pada reseptor adrenergik
a dan b, serta secara tidak
langusung oleh norepinephrine
yang dilepaskan medulla
16
adrenal. Epidural anestesi
memiliki efek penurunan tekanan
darah yang lebih lambat dibanding
spinal anestesi

Pada pasien ini diberikan obat Walaupun levobupivacaine memiliki


anestesi yaitu levobupivacaine karakteristik farmakologi yang hampir
sama dengan bupivacaine banyak
penelitian pada manusia dan hewan
menyebutkan bahwa levobupivacaine
memiliki kapasitas protein binding
yang lebih cepat sehingga toksisitasnya
lebih rendah. Selain itu, afinitas
levobupivacaine lebih rendah terhadap
otot jantung sehingga relatif tidak
29

toksik dibandingkan dengan


bupivacaine

Pada pasien ini diberikan obat anestesi Fentanyl digunakan sebagai adjuvan
berupa levobupicavain + fentanyl untuk mempercepat onset of
duration dari levobupicavaine.17
30

BAB 5
KESIMPULAN

Batu ginjal (nefrolithiasis) adalah suatu keadaan yang tidak normal di dalam
ginjal dimana terdapat komponen kristal dan matriks organic. Etiologi batu ginjal
terdiri dari 2 faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik herediter,
umur, jenis kelamin. Faktor ekstrinsik geografi, iklim, diet, pekerjaan. Jenis batu pada
saluran kencing ada beberapa, seperti batu kalsium, batu struvit, batu asam urat, dan
batu jenis lain. Penegakan diagnosis batu ginjal yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen,
ultrasonografi, pielografi intravena. Penatalaksanaan bisa dengan medikamentosa,
ESWL, endourologi dan bedah laparoskopi. Komplikasi yang bias terjadi dari batu
ginjal adalah infeksi saluran kemih, obstruksi, dan gagal ginjal akut.
Penggunaan teknik epidural anatesi merupakan pilihan yang baik untuk
pengelolaan nyeri untuk post operasi dan nyeri kronis. Komplikasi dapat terjadi akibat
teknik epidural anastesi, namun hal ini dapat di cegah dengan prosedur yang ketat,
ataupun perawatan. Persiapan untuk melakukan tindakan anatesi harus selalu
mempersiapkan perlengkapan dan obat untuk general anestesi. Penggunaan
hemodinamik monitoring dapat membantu mendeteksi dini komplikasi regional
anestesi.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S. A., Suryadi, K. A. & Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.


(Penerbit FK UI, 2007).

2. Kang, X., Bao, F. & Xiong, X. Major complications of epidural anesthesia: a


prospective study of 5083 cases at a single hospital. Acta Anaesthesiol Scand
58, (2014).

3. Harbi, M., Kaki, A., Dawlatly, K., Daghistani, M. & Tahan, M. A Survey of
The Pactice of Regional Anesthesia in Saudi Arabia. Saudi J Anaesth 7, (2013).

4. Sjamsuhidajat, R., Theddeus, O., Rudiman, R., Riwanto, I. & Tahalele, P. Buku
Ajar Ilmu Bedah. (Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2014).

5. Tortora, G. J. & Derrickson, B. Dasar Anatomi dan Fisiologi. (Penerbit Buku


Kedokteran EGC, 2014).

6. Guyton, A. & Hall, J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. (Penerbit Buku


Kedokteran EGC, 2014).

7. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. (Penerbit Buku Kedokteran


EGC, 2014).

8. Purnomo, B. B. Dasar-dasar Urologi. (CV. Sagung Seto, 2011).

9. Setiati, S. et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Interna Publishing, 2014).

10. Price, S. A. & Wilson, L. M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. (Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2015).

11. Bernards, C. Epidural and Spinal Anesthesia. in Handbook of Clinical Ansthesi


117 (Lippincott Williams and Wilkins, 2001).

12. Hurley, R. & Wu, C. Acute postoperative Pain. in Miller’s Anesthesia 2760
(Churchill Livingstone Elsevier, 2010).

13. Katz, J. Spinal and Epidural. in Atlas of Regional Aneasthesia 110 (Appleton &
Lange, 1994).
32

14. Soenarjo, H. D. Anestesiologi. (Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Undip/RSUP dr. Kariadi Semarang, 2010).

15. Kleiman, W. & Mikhail, M. Spinal, epidural and caudal blocks. in Clinical
Anesthesiology (eds. Morgan, G. & Mikhail, M.) 289–323. (Mc Graw Hill
Lange Medical Booksn, 2006).

16. Hadinata, Y., Basuki, D. R. & Bagianto, H. Anestesi Epidural Thorakal Pada
Tumor Phyllodes. J. Anestesiol. Indones. 5, 45–53 (2013).

17. Umapathy, P. Onset and duration of epidural analgesia with bupivacaine and
bupivacaine plus fentanyl : a comparative study. Int. J. Res. Med. Sci. 5, 3103–
3106 (2017).

Anda mungkin juga menyukai