Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Abses hati adalah penyakit yang ada sejak zaman dahulu yang sering
berhubungan dengan akut appendicitis atau infeksi intra-abdominal. Menurut Su
et al (2010), lebih banyak pasien laki-laki (63.5%) yang terkena abses hati dari
pada perempuan (36.5%). Pada laki- laki cenderung berusia lebih muda untuk
terkena abses hati dari pada perempuan. Angka mortalitas abses hati pyogenic
sangat tinggi bisa mencapai hampir 40% karena pada saat hingga tahun 1980, itu
belum diketahui bahwa antibiotik dapat menjadi pilihan terapi. Dengan adanya
antibiotika, maka angka mortalitas dapat diketahui hingga kurang dari 10%.
Angka kematian yang mencapai 30% biasanya menandakan keberadaan
komplikasi seperti ruptur abses. Jika pasien memiliki faktor komorbid yang
mendukung untuk terjadinya prognosis yang lebih buruk maka akan menaikkan
mortality rate hingga tiga kali lipat.
Abses hati pyogenic terjadi karena adanya infeksi oleh bakteri aerob maupun
anaerob yang mengarah ke descending infection. Bakteri tersebut masuk melalui
sirkulasi sistemik, seperti sistem portal, yang akhirnya menyebabkan rusaknya sel
pada jaringan hati. Selain sirkulasi sistemik, abses hati pyogenic juga dapat
disebabkan oleh obstruksi dari saluran empedu. Hal ini menyebabkan kenaikan
marker laboratorium, seperti bilirubin, SGOT dan SGPT, serta didapatkan
penurunan Hb dan albumin pada pasien abses hati pyogenic. Kerusakan yang
disebabkan oleh bakteri kebanyakan multiple pada lobus kanan abses hati.
Pada abses hati yang disebabkan oleh bakteri pyogenic, lebih banyak terjadi di
Amerika dengan angka kejadian 2.3 dari 100.000 populasi yang akan meningkat
seiring naiknya faktor usia. Abses hati pyogenic juga sering terjadi pada Asia
barat. Pada Asia barat 84% pasien terdiagnosis sebagai abses hati karena bakteri
pyogenic, yaitu Klebsiella pneumoniae. Abses hati karena bakteri pyogenic
mempunyai prevalensi sebesar 48% terhadap seluruh jenis abses pada jaringan.
Abses hati amoebic adalah manifestasi ekstraintestinal terbanyak pada infeksi dari
protozoa Entamoeba histolytica. Parasit ini masuk melalui jalur ascending dari GI
Tract atau melalui vena portal. Setelah masuk parasit ini mengeluarkan enzim
proteolitik yang akhirnya dapat meningkatkan kadar leukosit dengan sangat

1
tinggi. Karena memasuki lewat vena portal maka lobus yang terkena lebih banyak
pada lobus kanan dengan karakteristik single dengan ukuran lebih besar.
Keberadaan protozoa Entamoeba histolytica paling banyak terdapat di Asia,
dikarenakan banyak negara berkembang dengan status ekonomi rendah.Di
Indonesia keberadaan Entamoeba histolytica sebesar 18%-25% dengan infeksi
ekstra instestinal terbanyak adalah hati.

1.1 Tujuan Penulisan


1.1.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penulisan ini adalah untuk menambah ilmu dan
wawasan terkait abses hati.

1.1.2 Tujuan Khusus


Secara khusus, penulisan laporan ini bertujuan untuk mengetahui dan
menjelaskan definisi hingga prognosis abses hati.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
1. Nama : Tn. R P
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Usia : 26 Tahun
4. Alamat : Samarinda
5. Pekerjaan : Swasta
6. Agama : Islam
7. Status Pernikahan : Belum Menikah
8. Tanggal MRS : 09 Desember 2023
9. Tanggal Pemeriksaan : 15 Desember 2023
10. Keluar Rumah Sakit : 15 Desember 2023

2.2 Riwayat Penyakit Pasien


1. Keluhan Utama
Nyeri Perut kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS AWS Samarinda (09/12/2023) dengan
keluhan nyeri perut kanan atas selama 1,5 minggu dan memberat
semenjak 3 hari terakhir SMRS. Pasien sebelumnya sudah berobat di
Puskesmas tapi tidak ada perubahan. Nyeri perut yang dirasakan
memiliki waktu yang tetap terus menerus, di setiap harinya dan tidak ada
posisi yang meringankan keluhan pasien, jika pasien berjalan pasien
membungkuk untuk menahan rasa nyeri perutnya, keluhan nyeri ini
mulai dialami pasien dalam 1 bulan namun dibiarkan oleh pasien,
dikarenakan pasien minum obat antinyeri yang di sarankan oleh
keluarganya untuk meringankan keluhan pasien. Pasien memiliki riwayat
minum alkohol hampir setiap hari (selama 5 tahun) dan semenjak nyeri
perut pasien berhenti minum alkohol.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari SMRS, demam yang
di rasakan pasien terus menerus, keluhan demam disertai nyeri sendi dan

3
otot, nyeri kepala seperti tertekan, pasien juga mengatakan bahwa napsu
makan pasien menurun selama sakit, pasien mengalami mual dan muntah
setiapkali ingin makan dan minum. Sebelum sakit, napsu makan pasien
baik (3x sehari) porsi makan pasien sejak dahulu banyak. Berat badan
pasien tidak dapat dinilai apakah menurun atau tidak dikarenakan tidak
pernah timbang BB. Pasien juga mengeluhkan sulit tidur saat malam hari
karena keluhan yang dialami oleh pasien. Buang air kecil dan buang air
besar pasien dalam batas normal

3. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Diabetes tidak ada
2. Hipertensi tidak ada
3. Riwayat trauma tidak ada
4. Riwayat alergi tidak ada
5. Riwayat penyakit dyspepsia ada

4. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Diabetes tidak ada
2. Hipertensi ada
3. Riwayat penyakit serupa dengan pasien tidak ada

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum : tampak lemah, tampak kurus, komposmentis
2. Tanda vital :
TD : 120/70 mmHg
HR : 80 x per menit
RR : 20 x per menit
SpO2 : 98% NK 4lpm
T : 36,5oC
3. Keadaan Gizi
BB : 40 kg
TB : 160 cm

4
IMT : 15 kg/m2 (sangat kurus)
4. Kepala dan leher :
Normochepalic, anemis (-/-), ikterik (+/+), Pembesaran KGB (-),
Trakea deviasi (-)
5. Toraks :
- Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V line midclavicular, thrill (-)
Perkusi : dalam batas normal tidak ada kesan pembesaran jantung
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, gallop (-), murmur (-)
- Paru
Inspeksi : gerak dada simetris, jejas/benjolan (-), retraksi (-)
Palpasi : massa atau benjolan (-), fremitus tidak dapat dievaluasi
(pasien tidak bisa berbicara)
Perkusi : sonor pada lapangan paru
Auskultasi : rhonki (-/-), wh (-/-)
6. Abdomen
Inspeksi : tampak datar, tidak ada jejas, pelebaran vena (-), distensi (-)
Palpasi : nyeri tekan Abdomen kanan atas (+), Hepatomegali (+),
Splenomegali (-)
Perkusi : timpani pada semua kuadran, shifting dullness (-)
Auskultasi : BU (+) normal
7. Ekstremitas
Superior : Pitting edema (-), CRT<2 s, nyeri sendi (-), sianosis (-)
Inferior : Pitting edema (-), CRT<2 s, nyeri sendi (-), sianosis(-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Kimia Klinik
SGOT 119 <40 U/L
SGPT 67 <41 U/L
IMUNO-SEROLOGI

5
HBsAg Non Reaktif <0.09 COI
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 09 Desember 2023

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Leukosit 24.52 4.80-10.80
Hemoglobin 13.1 14.0-18.0 g/dL
Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 09 Desember 2023

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Kimia Klinik
Ureum 15.2 19.3 – 49.2 mg/dL
Creatinin 0.7 0.7 – 1.3 Mg/dL
Tabel 3 Pemeriksaan Laboratorium tanggal 10 Desember2023
2. Rontgen Thorax (11 Desember 2023)
USG ABDOMEN
Kesimpulan :
1. Liver, membesar lobus kanan uk 14,5 cm dengan intensitas echo
yang inhomogen, dengan lesi atau massa yang inhomogen bulat
dengan uk 10.3 x 8,4cm, mengesankan Abcess Liver lobus kanan
2. Gall Bladder, Besar normal batu / massa (-)
3. Pancreas/ spleen. Besar normal, SP – hyroneprosis (-), Batu/ massa
(-)

3. Radiologis (12 Desember 2023)


USG Abdomen
Kesimpulan :
1. Lesi hypodense bulat dengan intensitas echoparenchym inhomogen
uk 7,2 x 7,1 cm di lobus kanan, mengesankan suatu Liver Abcess (+)
lobus kanan.

6
4. PATOLOGI ANATOMI
13 Desember 2023
Makroskopis
Dilakukan puncture pada massa hepar menggunakan jarum spinal 25
G, arah tegak lurus, sedalam 6 cm dengan tuntunan USG. Pada saat
puncture keluar cairan keruh (pus). Dibuat hapusan sebanyak 2 slide.
Mikroskopis
Hapusan hiposeluler mendapatkan bahan nekrotik luas, di antaranya
tampak sebaran sel-sel radang neutrofil dan limfosit/
Kesimpulan
Massa Hepar, USG Guided FNAB :
Abses Hepar

2.5 Diagnosis
Abses Liver

2.6 Tatalaksana
1. Ceftriaxone 2 x 1 g Iv
2. Metronidazol 3 x 750mg iv
3. Paracetamol 3x500mg iv
4. Omeprazole 2x1 iv
5. Metroklopramide 3x1 amp iv

7
BAB III
ABSES HATI

3. 1 Definisi
Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga akibat kerusakan
jaringan, Hepar adalah hati (Dorland, 1996). Abses adalah pengumpulan cairan
nanah tebal, berwarna kekuningan disebabkan oleh bakteri, protozoa atau invasi
jamur kejaringan tubuh. Abses dapat terjadi di kulit, gusi, tulang, dan organ tubuh
seperti hati, paru-paru, bahkan otak, area yang terjadi abses berwarna merah dan
menggembung, biasanya terdapat sensasi nyeri dan panas setempat (Microsoft
Encarta Reference Library, 2004). Pola umum pembentukan abses adalah adanya
kebocoran dari usus di perut yang mengalir ke hati melalui vena portal. Banyak
kasus saluran empedu terinfeksi yang menyebabkan abses melalui kontak
langsung.
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus di dalam parenkim hati (Aru W Sudoyo, 2006).
Jadi Abses hati adalah rongga berisi nanah pada hati yang diakibatkan oleh
infeksi. Abses hati dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara: Salah satunya
berdasarkan lokasi di hati. 50% abses hati soliter terjadi di lobus kanan hati
(bagian yang lebih signifikan dengan suplai darah lebih banyak), lebih jarang
terjadi di lobus hati kiri atau lobus kaudatus. Cara lainnya adalah dengan
mempertimbangkan sumbernya: Jika penyebabnya menular, sebagian besar abses
hati dapat diklasifikasikan menjadi bakteri (termasuk amuba) dan parasit
(termasuk kista hidatiform).

3.2 Epidemiologi
Tingkat kejadian tahunan adalah sekitar 2,3 kasus per 100.000 orang.
Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan perempuan. Usia berperan sebagai
faktor yang menentukan jenis abses yang berkembang. Orang berusia 40-60 tahun
lebih rentan terkena abses hati yang bukan akibat trauma.

8
Sejumlah besar abses hati dilaporkan bersifat piogenik. Abbas dkk.
mencatat bahwa dari 67 pasien yang dirawat karena abses hati di Timur Tengah,
56 disebabkan oleh penyebab piogenik dengan sebagian besar kasus disebabkan
oleh Klebsiella pneumonia .Enam puluh satu dari pasien tersebut adalah laki-laki.
Angka kejadian di Taiwan nampaknya sangat tinggi (17,6 per 100.000). Abses
hati piogenik merupakan sekitar setengah dari seluruh abses visceral dan 13% dari
abses intraabdomen.

3.3 Etiologi
Apendisitis dulunya merupakan penyebab utama terjadinya abses hati,
namun angka tersebut telah menurun hingga kurang dari 10% sejak diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit yang lebih baik telah tersedia. Saat ini, penyakit saluran
empedu (batu empedu, striktur, keganasan, dan kelainan kongenital) merupakan
penyebab utama abses hati piogenik.

Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati
piogenik.

3.3.1 Etiologi Abses Hati Amoeba


Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai parasit non
patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Diperkirakan 10% dari seluruh penduduk dunia
terinfeksi oleh E. hystolitica, tetapi hanya 10% yang memperlihatkan gejala,
sehingga di duga ada dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non
patogen.Bervariasinya virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hepar (Aru W Sudoyo, 2006).
E.histolytica di dalam feces dapat di temukan dalam dua bentuk vegetatif
atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar tuibuh manusia.
Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap suasana kering dan asam.
Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering dan asam. Trofozoit besar
sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu

9
hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi
jaringan.

3.3.2 Etiologi Abses Hati Piogenik


Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang
terbanyak adalah E.coli. Selain itu, penyebabnya juga adalah streptococcus
faecalis, Proteus vulgaris, dan Salmonellla Typhi. Dapat pula bakteri anaerob
seperti bakteroides, aerobakteria, akttinomesis, dan streptococcus anaerob. Untuk
penetapannya perlu dilakukan biakan darah, pus, empedu, dan swab secara
anaerob maupun aerob (Aru W Sudoyo, 2006).

3.4 Patofiologi
3.4.1 Patofiologi Amoebiasis Hati
Amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya
sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala
amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain
patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini
berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. Patogenesis
amebiasis hati belum dapat diketahui secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang
telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin,
ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu,
berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated.
(Arief Mansjoer, 2001)

Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : (Arief Mansjoer, 2001)


a. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
b. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung
pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran
cerna terutama pada flora bakteri.

10
Mekanisme terjadinya amebiasis hati:
1) Penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2) Pengerusakan sawar intestinal.
3) Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun
cell- mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat
karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
4) Penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian
besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal
yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar,
bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik
ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.

Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya
amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat
disentri amebiasis. (Aru W Sudoyo, 2006). Amuba yang masuk menyebabkan
peradangan hepar sehingga mengakibatkan infeksi. Kerusakan jaringan hepar
menimbulkan perasaan nyeri. Infeksi pada hepar menimbulkan rasa nyeri
sehingga mengalami gangguan tidur atas pola tidur. Abses menyebabkan
metabolisme dihati menurun sehingga menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan. Metabolisme nutrisi di hati menurun menyebabkan produksi energi
menurun sehingga dapat terjadi intoleransi aktifitas fisikManifestasi klinis

3.4.2 Patofiologi Abses Hati Piogenik


Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
a. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septik.
b. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik
dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu,
kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
c. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses
perinefrik, kecelakaan lau lintas.
d. Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.

11
e. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut
usia.(Aru W Sudoyo, 2006).

3. 5 Manifestasi Klinis
Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen, anokresia/malaise, mual
atau muntah, penurunan berat badan, keringan malam, diare, demam (T > 38°),
hepatomegali, nyeri tekan kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis yang
menyebabkan kematian. (Cameron 1997). Dicurigai adanya AHP apabila
ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang di
tandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan diletakan di
atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama, keluhan lain
yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok.
Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis,
rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan
yang unintentional.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan.
Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa
kejadian terjadi:
a. Darah mengalir ke daerah meningkat.
b. Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
c. Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
d. Ternyata merah.
e. Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
f. Keempat tanda-panas, bengkak, kemerahan, dan sakit-ciri peradangan

3.6 Pemeriksaan Fisik


Inspeksi  Pada beberapa pasien mungkin ditemukan abses yang
telah menembus kulit.
 Anemis dan ikterus (jarang) 25% kasus
Palpasi  Ludwig sign (+)

12
 Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
 Nyeri tekan regio epigastrium bila abses di lobus kiri,
hati-hati efusi perikardium
 Nyeri tekan menjalar ke lumbal kanan abses di
postoinferior lobus kanan hati
 Nyeri pada bahu sebelah kanan
 Hepatomegali teraba sebesar 3 jari sampai 6 jari di
bawah arcus-costa, permukaan hepar licin dan tidak
jarang teraba fluktuasi
Perkusi  Peningkatan batas paru-hati relatif/absolut tanpa
peranjakan
Auskultasi  Friction rub bila ruptur abses ke perikardium
 Bising usus menghilang kemungkinan perforasi ke
peritoneum
Tabel 4. Pemeriksan Fisik pada Abses Hati

3.7 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan foto polos abdomen
digunakan untuk mendeteksi kelainan atau komplikasi yang ditimbulkan oleh
amebiasis hati. Diagnosa pasti adalah melalui USG dan CT Scan yang
sensitivitasnya sekitar 85-95%.

3.7.1 Pemeriksaan Laboratorium


Pada pemeriksaan laboratorium yang diperiksa adalah darah rutin yaitu
kadar Hb darah, jumlah leukosit darah, kecepatan endap darah dan percobaan
fungsi hati, termasuk kadar bilirubin total, total protein dan kadar albumin dan
glubulin dalam darah. Banyak penderita abses hepar tidak mengalami perubahan
bermakna pada tes laboratoriumnya. Pada penderita akut anemia tidak terlalu
tampak tetapi menunjukkan leukositosis yang bermakna sementara penderita
abses hepar kronis justru sebaliknya.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang tinggi
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan

13
alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan serum bilirubin,
berkurangnya kadar albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang
menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan abses hati.

Tabel 5. Kelainan Laboratorium pada Abses Hati

3.7.2 Pemeriksaan Fungsi Hati


Abnormalitas tes fungsi hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada abses hati
amebik dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada
10 % penderita abses hepar. Karena pada abses hepar amebik terjadi proses
destruksi parenkim hati, maka PPT (plasma protrombin time) meningkat.

3.7.3 Pemeriksaan Serologis


Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect
Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA ( Enzyme-linked
Immunosorbent Assay), counterimmunelectrophoresis, indirect
immunofluorescence dan complement fixation. IHA dan GDP merupakan prosedur
yang paling sering digunakan.
a. IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui 1 : 128. Sensitivitasnya
mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%.
IHA sangat spesifik untuk amubiasis invasif. Tetapi, hasil yang positif bisa
didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi mereda.
b. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar karena amuba. Juga
mendeteksi colitis karena amuba yang non-invasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi

14
tidak spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP mudah
dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah sembuhnya
abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan lesi "space
occupying" di hepar, GDP sangat membantu untuk memastikan apakah
kelainan tersebut disebabkan amuba.

3.7.4 Pemeriksaan Radiologis


USG memiliki sensitivitas yang sama dengan CT scan dalam
mengidentifikasi abses hepar. Rendahnya biaya dan sifat non-radiasi membuat
USG menjadi pilihan untuk mendiagnosis abses hepar. Abses hepar amebik
biasanya besar dan multipel. Menurut Middlemiss (I964) gambaran radiologis dari
abses hati adalah sebagai berikut :
 Peninggian dome dari diafragma kanan.
 Berkurangnya gerak dari dome diafragma kanan.
 Pleural efusion.
 Kolaps paru.
 Abses paru.
.
Kriteria diagnostik untuk hepatic amoebiasis menurut Lamont dan Pooler :
 Pembesaran hati yang nyeri tekan pada orang dewasa.
 Respons yang baik terhadap obat anti amoeba.
 Hasil pemeriksaan hematologis yang menyokong : leukositosis.
 Pemeriksaan Rontgen (PA Lateral) yang menyokong.
 Trophozoit E. histolytica positif dalam pus hasil aspirasi.
 "Scintiscanning" hati adanya "filling defect".
 "Amoeba Hemaglutination" test positif

15
3.8 Diagnosa Banding
Diagnosa Banding Manifestasi Klinis
Hepatoma Anamnesis :
Merupakan tumor ganas hati 1. Penurunan berat badan,
primer 2. Nyeri perut kanan atas
3. Anoreksia
4. Malaise
5. Benjolan perut kanan atas
Pemeriksaan fisik :
1. Hepatomegali berbenjol-benjol
2. Stigmata penyakit hati kronik
Laboratorium :
1. Peningkatan AFP
2. PIVKA II
3. Alkali fosfatase
USG : lesi lokal/difus di hati
Kolesistitis Akut Anamnesis :
Merupakan reaksi inflamasi 1. Nyeri epigastrium atau perut kanan atas
kandung empedu akibat infeksi yang dapat menjalar ke daerah skapula
bakterial akut yang disertai kanan
keluhan nyeri perut kanan atas, 2. Demam
nyeri tekan, dan rasa panas. Pemeriksaan fisik :
1. Teraba massa kandung empedu
2. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritotis
lokal
3. Murphy sign (+)
4. Ikterik biasanya menunjukkan adanya
batu di saluran empedu ekstrahepatik
Laboratorium : leukositosis
USG : penebalan dinding kandung empedu,
sering pula ditemukan sludge atau batu.
Tabel 6. Diagnosa Banding Abses Hati

16
3. 9 PENATALAKSANAAN
3.9.1 Terapi Non-Farmakologi
1. Makan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Karbohidrat 40-50 kkal/kgBB
 Protein 1-1,5 g/kgBB
2. Makanan dalam bentuk lunak
3. Bed rest
4. Menghindari faktor risiko yang dapat memperberat, misalnya konsumsi
alkohol.

3.9.2 Pengobatan Farmakologi


Terapi pada pasien dengan abses hati, dapat diberikan:
1. Pemberian antibiotik

Jenis Obat Dosis Dewasa Efek Samping


Agen amoebisid
PO 750 mg 3x1 selama
5-10 hari Psikosis, kejang, neuropati
Metronidazole
IV 500 mg 4x1 selama 5- perifer
10 hari

PO 600 mg/hari selama 2 Diare, kram abdomen


Chloroquine
hari, 300 mg/hari selama cardiotoxicity, kejang, dan
(terapi adjuvan)
14 hari hipotensi

Tinidazole 2 mg/hari selama 3-5 hari

Agen luminal

PO 25-30 mg/kg/hari 3x1


Paromomycin Diare
selama 7 hari

Kontraindikasi pada pasien


PO 650 mg 3x1 selama dengan insufisiensi hepatik
Iodoquinol
20 hari atau hipersensitif terhadap
iodine

17
Diloxanide furoate
(indikasi mutlak pada
PO 500 mg 3x1 selama
pasien yang tidak
10 hari
respon iodoquinol dan
paromomycin)
Antibiotik
IV 500-1000 mg 3 x 1
Nyeri lokasi injeksi, gangguan
pada keadaan berat dosis
Meropenem (Merrem) gastrointestinal, gangguan
dapat ditingkatkan
liver, pusing, kejang
hingga 2000 mg

IV 500-1000 mg 3-4 x 1 Nyeri lokasi injeksi, gangguan


Iminipenem dan gastrointestinal, gangguan
cilastatin na (Primaxin) (dosis maksimum 4 liver, gangguan renal,
gr/hari) gangguan hematologi

PO 250-500 mg/hari
pada keadaan berat dapat
Gangguan hematologi,
ditingkatkan hingga 1000
Cefuroxime (Ceftin) gangguan gastrointestinal,
mg 2x1
reaksi lokal injeksi
IV/IM 750 mg 3x1

Gangguan gastrointestinal,
Cefaclor (Ceclor) PO 750 mg/hari
gangguan hematologi

PO 150-300 mg 4x1 pada Gangguan gastrointestinal,


Klindamisin (Cleocin) infeksi serius PO 300- gangguan liver, gangguan
450 mg 4x1 renal, gangguan hematologi
Agen Anti-jamur
PO 0,3-0,5 mg/kg selama
Amfoterisin B 6 minggu atau dapat Demam, menggigil, toksik
(AmBisome) dilanjutkan hingga 3-4 pada ginjal
bulan

PO 150 mg dosis tunggal


Hepatotoksisitas, gangguan
Flukonazol (Diflucan) gastrointestinal, gangguan
(dosis maksimum 600
hematologi
mg/hari)
Tabel 7. Farmakoterapi Abses Hati pada Dewasa

18
2. Pemberian antibiotik dengan kombinasi:
a. Aspirasi tertutup, dengan indikasi:
 Abses dikhawatirkan akan pecah (bila diameter > 5 cm
untuk abses tunggal, dan > 3 cm untuk abses multipel)
 Respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari tidak ada
 Abses di lobus kiri, warning pecah dan menyebar ke rongga
perikardium maupun peritoneum

Aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan


menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder. Evakuasi nanah dari
abses dilakukan dengan jarum trocar sekali pakai berukuran 18 gauge.
Sonografi dilakukan setiap 3 hari, dan ukuran rongga abses dicatat. Bila
pada pemeriksaan kontrol tidak terjadi pengecilan rongga abses secara
bermakna, dilakukan aspirasi ulang. Aspirasi berulang dilakukan
maksimal dua kali untuk setiap pasien yang tidak memberikan respons;
kurangnya respon terhadap upaya aspirasi ketiga dianggap kegagalan
pengobatan, dan kateter untuk drainase terus menerus dipasang.
Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada abses yang volumenya
lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan elevasi
diafragma. Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan. Aspirasi bisa
dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dilakukan dengan tuntunan
ultrasonografi sehingga dapat mencapai ssaran yang tepat. Aspirasi
dapat dilakukan secara berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan
dengan pemasangan kateter penyalir. Pada semua tindakan harus
diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk mencegah infeksi
sekunder.

b. Drainase kateter perkutan


Drainase perkutan dengan pemasangan kateter mungkin merupakan
prosedur yang paling berhasil untuk abses yang berukuran lebih dari 5
cm. Drainase laparoskopi juga kadang-kadang digunakan. Pembedahan

19
harus dilakukan untuk peritonitis, abses dinding tebal, abses pecah,
abses besar multipel, dan prosedur drainase yang sebelumnya gagal.
Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan
diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Teknik drainasenya
adalah metode trocar dengan kateter pigtail multiple-sidehole 8-French
(Boston Scientific) yang dimasukkan ke dalam rongga abses.
Prosedurnya dilakukan dengan anestesi lokal, pasien dalam posisi
terlentang. Sedasi secara sadar tidak digunakan. Diperlukan lokalisasi
abses yang hati-hati dan pemilihan lokasi masuk yang tepat. Rute akses
optimal melintasi jaringan hati sesedikit mungkin dan menghindari usus
dan pleura. Aspirasi dilakukan dengan kateter sampai tidak ada lagi
nanah yang keluar. Kateter kemudian dipasang pada kulit untuk
drainase eksternal terus menerus dan dibiarkan sampai produksi konten
berhenti. Rongga sisa abses ditangani dengan reposisi kateter dan
aspirasi atau dengan pemasangan kateter baru. Infeksi sekunder pada
rongga abses setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.
Menurut Enver Zerem, dalam penelitiannya, Drainase Kateter
Perkutan yang Dipandu Secara Sonografis versus Aspirasi Jarum dalam
Penatalaksanaan Abses Hati Piogenik, Dari total 60 pasien, 30
dilakukan aspirasi jarum, hasilnya 18 dari 30 tidak ada respon pada
aspirasi jarum pertama dan pada akhir pengobatan 10 dinyatakan gagal.
Pada 30 pasien yang dilakukan drainase kateter perkutan, memberi
perbaikan pada tindakan pertama dan semua dinyatakan sembuh pada
akhir pengobatan.

c. Drainase pembedahan – laparoskopi, dengan indikasi:


 Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
 Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang
intercostal
 Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil
 Ruptur abses ke dalam rongga intra-peritoneal/pleural/perikardial

20
Kontraindikasi operasi pada abses hepar antara lain:
 Abses multipel
 Infeksi poli-mikrobakteri
 Immunocompromise disease

d. Hepatektomi
Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati
yang terkena abses. Hepatektomi dapat dilakukan pada abses
tunggal atau multipel, lobus kanan atau kiri, juga pada pasien
dengan penyakit saluran empedu. Tipe reseksi hepatektomi
tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga
disesuaikan dengan perdarahan lobus hati.

3.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5-
15,6%, perforasi abses ke berbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru,
pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi
superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. (Menurut Julius, Ilmu
penyakit dalam, jilid I, 1998). Dapat juga komplikasi seperti:
1. Infeksi sekunder
Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus. Kuman
penyebab terserung staphylococcus dan streptococcus.
2. Ruptur akut dengan penjalaran langsung
Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling
sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum (terutama
amubiasis hati di lobus kiri), selanjutnya pericardium dan amubiasis kutis
maupun organ-organ lain.
3. Komplikasi vaskuler
Ruptur ke dalam v. porta (trombosis vena porta), saluran empedu (trombosis
vena hepatica) atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
4. Parasitemia, amoebiasis serebral

21
E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain
misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal
intrakranial.
5. Ileus obstruktif
6. Koma hepatikum.

3.11 Prognosis
Prognosis dari abses hepar tergantung:
1. Virulensi parasit
2. Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
3. Usia penderita, lebih buruk pada usia tua
4. Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk letak
dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau
multiple. Sejak digunakan pemberian obat seperti emetine, metronidazole,
dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam.Sebab kematian biasanya
karena sepsis atau sindrom hepatorenal.

Prognosis yang buruk, apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan


pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab bakterial
organisme multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus,
hipoalbuminemia, efusi pleura atau adanya penyakit lain.

22
BAB IV
PEMBAHASAN

TEORI KASUS
Keluhan awal: demam, - Pasien nyeri perut kanan atas
menggigil, nyeri abdomen, sejak 9 hari yang lalu
anokresia atau malaise, mual tertutama ketika ditekan
muntah, penurunan berat badan, - Pasien juga mengeluhkan

Anamnesa keringan malam, diare, demam demam, nyeri otot dan sendi
(T>38) hepatomegali, nyeri - Keluhan pasien penurunan
tekan kuadran kanan atas, napsu makan, mual dan
ikterus, asites, sepsis yang muntah
menyebabkan kematian.
(Cameron 1997)

Perabaan hepatomegali dapat  Keadaan umum : tampak


disertai dengan nyeri tekan pada lemah
daerah hati, di bawah rusuk,  Nyeri tekan abdomen
Pemeriksaan
maupun pada intercostalspaces. kanan
Fisik
hepatomegali juga terkadang  Hepar membesar dengan
diikuti dengan ikterik permukaan licin
 Sklera Ikterik
Pemeriksaan a. Laboratorium A. Laboratorium
Penunjang Untuk mengetahui kelainan Kimia Klinik
hematologi antara lain SGOT 119
hemoglobin, leukosit, dan SGPT 67
pemeriksaan faal hati.
b. Foto dada IMUNO-SEROLOGI
Dapat ditemukan berupa Hbs Ag Non Reaktif
diafragma kanan, berkurangnya
pergerakkan diafragma, efusi
pleura, kolaps paru dan abses HEMATOLOGI
paru. Leukosit 24.52
23
c. Foto polos abdomen Hemoglobin 13.1
Kelainan dapat berupa
hepatomegali, gambaran ileus, B.Ultrasonografi Abdomen
gambaran udara bebas diatas Kesimpulan :
hati. 1. Liver, membesar lobus kanan
d. Ultrasonografi uk 14,5 cm dengan intensitas
Mendeteksi kelainan traktus echo yang inhomogen, dengan
bilier dan diafragma. lesi atau massa yang inhomogen
e. Tomografi bulat dengan uk 10.3 x 8,4cm,
Melihat kelainan di daerah mengesankan Abcess Liver
posterior dan superior, tetapi lobus kanan
tidak dapat melihat integritas
diafragma. USG ABDOMEN 12/12/23
f. Pemeriksaan serologi KESIMPULAN
Menunjukkan sensitifitas yang 1. Lesi hypodense bulat
tinggi terhadap kuman. denganintensitas echoparenchym
inhomogen uk 7,2 x 7,1 cm di
lobus kanan, mengesankan suatu
Liver Abcess (+) lobus kanan.

PATOLOGI ANATOMI
Makroskopis
Dilakukan puncture pada massa
hepar menggunakan jarum
spinal 25 G, arah tegak lurus,
sedalam 6 cm dengan tuntunan
USG. Pada saat puncture keluar
cairan keruh (pus). Dibuat
hapusan sebanyak 2 slide.
Mikroskopis
Hapusan hiposeluler
mendapatkan bahan nekrotik
luas, di antaranya tampak

24
sebaran sel-sel radang neutrofil
dan limfosit/
Kesimpulan
Massa Hepar, USG Guided
FNAB :
Abses Hepar

Tatalaksana Secara singkat pengobatan 1. Ceftriaxone 2 x 1 g Iv


amoebiasis hati sebagai berikut : 2. Metronidazol 3 x 750mg iv
1. Metronidazole : 3. Paracetamol 3x500mg iv
3x750 mg selama 5-10 hari dan 4. Omeprazole 2x1 iv
ditambah dengan ; 5. Metroklopramide 3x1 amp iv
2. Kloroquin fosfat :

1 g/hr selama 2 hari dan diikuti


500/hr selama 20 hari,

Tabel 8. Pembahasan

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus di dalam parenkim hati (Aru W Sudoyo, 2006). Abses hati
dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati pyogenik.
Penyebab abses hati amoeba didapatkan beberapa spesies amoeba yang
dapat hidup sebgai parasit non patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya
Enteremoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit, Abses hati piogenik
infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang
terbanyak adalah E.coli. Selain itu, penyebabnya juga adalah streptococcus

25
faecalis, Proteus vulgaris, dan Salmonellla Typhi. Dapat pula bakteri anaerob
seperti bakteroides, aerobakteria, akttinomesis, dan streptococcus anaerob,
Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen, anokresia/malaise, mual
atau muntah, penurunan berat badan, keringan malam, diare, demam (T > 38°),
hepatomegali, nyeri tekan kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis yang
menyebabkan kematian. (Cameron 1997). Dicurigai adanya AHP apabila
ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang di
tandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan diletakan di
atasnya.
Tatalaksana dapat diberikan Medikamentosa, terapeutik, Pembedahan.
Pemeriksaan penunjang antara lain Laboratorium,Foto dada,Foto polos
abdomen,Ultrasonografi,Tomografi,Pemeriksaan serologi. . Prognosis Virulensi
parasi, Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita, Usia penderita, lebih buruk
pada usia tua,Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk
letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau
multiple.
Prognosis virulensi parasit, Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita,
usia penderita, cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih
buruk letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau
multiple.
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5 –
15,6%, perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru,
pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit,infeksi sekunder,ruptur atau
penjalaran langsung,komplikasi vaskuler, parasitemia, amoebiasis serebral.

5.2 Saran
Sebagai dokter pelayanan primer, anamnesis dan pemeriksaan fisik
berperan dalam menentukan diagnosis klinis pasien. Pemeriksaan lanjutan atau
penunjang diperlukan untuk mendapatkan diagnosis pasti dari kasus penyakit.
Oleh karena, itu dokter harus memiliki pengetahuan, kemampuan, dan
pemanfaatan pemeriksaan penunjang yang berguna untuk menegakkan diagnosis
secepatnya dan dengan segera diberikan penanganan yang cepat dan optimal.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aru, W. Sudoyo, dkk. (2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi
Empat. Jakarta : Balai Penerbitan FK-UI.
Bruner dan Suddarth. ( 2000 ). Buku Ajaran KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Cameeron. (1995). Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.
Doenges, E., Moorhouse, MF dan Geissler, A. (2010). Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Harjono, dkk. (1996). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 26. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Mansjoer, Arief. dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 1, Edisi Ketiga.
Jakarta : Media Aesculapius. Halaman 512.
Microsoft Encantta Reference Library.( 2004 ). Liver, Amebiasis Abses and Calf
Diphteria/ Fusa bakteriun necrosphorum.

27
Sherwood. (2001). System Pencernaan, dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
sistem. Jakarta : EGC. Halaman 565.
Sylvia a. Price. (2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku
Patofiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-474.
Abses hepar. (online).
http://netral-collection-knowledge.blogspot.com/2009/07/abses-hepar.html.
Diakses 13 Maret, 2011
Hossein Akhondi ; Durr E. Sabih. Liver Abscess.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538230/. Diakses 3Juli 2023
Arini Junita, Haris Widita, Soewignjo Soemohardjo. BEBERAPA KASUS
ABSES HATI AMUBA. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP
Sanglah, Denpasar. J Peny Dalam, Volume 7 Nomor 2 Mei 2006.
Zerem E, Hadzic A. Sonographically Guided Percutaneous Catheter Drainage
Versus Needle Aspiration in the Management of Pyogenic Liver
Abscess. AJR Am J Roentgenol. September 2007; 189 (3):W138-42
Wenas, Nelly Tandean. Wa;e;eng, B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo, Aru
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti.
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007. Hal 460-461
Zhu X, Wang S, Jacob R, Fan Z, Zhang F, and Ji G. A 10-Year Retrospective
Analysis of Clinical Profiles, Laboratory Characteristics and Management
of Pyogenic Liver Abscesses in a Chinese Hospital. Gut Liver 2011;5:221-
7.

28

Anda mungkin juga menyukai