DISUSUN OLEH :
dr. Nabiyur Rahma
PEMBIMBING :
dr. Eka Saputra, Sp.B
dr. Susana Chandra
Pembimbing, Pendamping,
2
BAB I
PENDAHULUAN
Ileus adalah penyumbatan atau kelumpuhan usus yang menyebabkan usus tidak
bisa bergerak ke distal. Ileus dibagi menjadi 2 yaitu obstruktif dan paralitik.
Berdasarkan letak obstruksinya, ileus dapat terjadi di usus halus dan usus besar.1
Ileus obstruktif merupakan kondisi darurat yang membutuhkan identifikasi dan
intervensi dini.2 Bagian isi usus dapat tersumbat baik sebagian (subileus, ileus
incomplete) atau seluruhnya (ileus complete). Ileus obstruktif lebih sering menyerang
usus halus daripada usus besar, dengan perbandingan 4: 1. Ileus pada usus halus
biasanya disebabkan oleh perlengketan dari pembedahan sebelumnya (65%) diikuti
oleh keganasan, penyakit Crohn, batu empedu, dan hernia, meskipun beberapa
penelitian telah melaporkan penyakit Crohn sebagai faktor etiologi yang lebih besar
daripada neoplasma hernia (15%)1,2, sedangkan ileus pada usus besar biasanya
disebabkan oleh kanker (70%) atau karena perlengketan dan stenosis setelah
divertikulitis berulang (hingga 10%). Penyebab yang lebih jarang dari ileus usus besar
termasuk sigmoid volvulus (5%) dan hernia (2,5%).1
Risiko obstruksi semakin meningkat jika lesi berada di bagian bawah usus,
karena isinya menjadi lebih padat. Tumor sering berkembang dengan persentase 25%
yang memiliki metastasis jauh. Perforasi dapat terjadi di lokasi tumor atau di sekum
yang melebar.2 Kasus ileus obstruktif lebih sering terjadi pada individu lanjut usia
sebagai akibat dari tingginya insiden neoplasma dan penyakit penyebab lainnya pada
populasi ini.3
Diagnosis ileus obstruktif dapat ditegakkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Jika ileus obstruksi ditangani lebih
awal, prognosis umumnya baik. Kematian lebih tinggi pada pasien yang mengalami
iskemia usus atau perforasi. Setelah operasi dekompresi, prognosis ditentukan oleh
penyakit yang mendasarinya. Secara umum, mortalitas keseluruhan untuk ileus
obstruksi adalah 20%, yang meningkat menjadi 40% jika terjadi perforasi kolon.3
3
BAB II
PENYAJIAN KASUS
1.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Tidak bisa BAB sejak 2 minggu yang lalu
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan tidak bisa BAB sejak 2 minggu yang lalu.
Perut dirasakan semakin membesar. Nyeri perut seperti kram dirasakan disemua
bagian perut terutama di bagian kiri bawah dan ulu hati. Nyeri perut dirasakan
hilang timbul, semakin lama semakin memberat. Kentut juga tidak ada. Pasien
mengeluhkan 2 hari ini muntah kuning berbau seperti kotoran, sebelumnya muntah
air. Pola makan pasien selama ini biasa, tidak sedang diet dan makan teratur.
Demam disangkal. BAK tidak ada keluhan. Keluhan BAB berdarah, BAB hitam,
BAB seperti kotoran kambing disangkal. Keluhan diare sebelum keluhan tidak bisa
BAB ini disangkal. Keluhan nyeri perut sebelumnya disangkal. Penurunan berat
badan disangkal. Riwayat menstruasi tidak lancar karena penggunaan KB Suntik.
Pasien pernah dirawat di RS Elizabeth 2 minggu SMRS dengan keluhan yang
sama, keluhan tidak membaik dan hanya diberi obat pencahar namun BAB tidak
keluar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita skoliosis sejak umur 10 tahun karena jatuh dan tulang belakang
membentur kayu. Riwayat hipertensi (-), diabetes melitus (-), asma(-). Riwayat
operasi bagian perut sebelumnya disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit serupa.
4
5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien biasa mengkonsumsi obat nyeri dari warung jika keluhan nyeri di tulang
belakangnya kambuh. Tidak pernah berobat untuk keluhan nyerinya. Pasien
merupakan ibu rumah tangga.
5
c) Perkusi : Batas pinggang jantung SIC II parasternal
sinistra, batas jantung kanan pada SIC IV
parasternal dextra, batas jantung kiri pada SIC V
midklavikula sinistra
d) Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 tunggal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
f. Abdomen
1) Inspeksi :Distensi (+), darm contour, (+) darm steifung (+),
venektasi (-), skar (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, bruit (-), metallic sound (-)
3) Perkusi : Hipertimpani
4) Palpasi : Nyeri tekan (+) terutama di perut kiri bawah, hepar
tidak teraba, lien tidak teraba
g. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, pitting edema (-/-)
h. Rectal Toucher : Teraba massa arah jam 11 dan 2 berjumlah 2 buah
ukuran 1x1mm, lunak, immobile, nyeri tekan (+),
handscoon : terdapat feses bewarna coklat, darah (-),
lendir (-)
6
Hasil Pemeriksaan Rontgen Thoraks tanggal 25 Maret 2021
Interpretasi :
Bentuk dan letak jantung normal
Corakan vaskuler tampak meningkat
Tak tampak bercak pada kedua paru
Kedua apeks tenang
Diafragma dan sinus kostofrenikus dalam batas normal
Kesan : Cor tak membesar, Pulmo dalam batas normal.
7
Hasil Pemeriksaan BNO 3 Posisi (setengah duduk, supine AP, LLD) 25 Maret 2021
8
Hasil BNO 3 posisi
Gas :
Distribusi udara dalam usus tidak sampai ke distal, hanya sampai pada
Collon Transendens, pada Collon Desendens sampai ke rectum tidak tampak
distribusi gambaran udara
Pada posisi Erect terdapat gambaran step ladder karena terdapat air fluid
level
Gambaran herring bone, coiled spring terlihat
Tampak dilatasi usus yang terdistribusi udara
Organ :
Hepar tampak berukuran normal
Ginjal tak dapat dinilai karena tertutup oleh gas udara di dalam usus
Lien tak dapat dinilai karena tertutup oleh gas udara di dalam usus
Psoas line tak dapat dinilai karesa tertutup oleh gas udara di dalam usus
Preperitoneal fat line tak dapat dinilai karena tertekan oleh gas udara di
dalam usus, dan pasien kondisi kurus
9
Tulang:
Tulang-tulang lumbal dan sacral tampak intak
Tulang belakang tampak skoliosis
Sendi pada panggul tampak normal, tidak terdapat dislokasi
Soft tissue :
Soft tissue tampak baik
Kesan :
Ileus Obstruksi letak rendah
1.5 Diagnosis
a. Ileus Obstruktif ec. Susp. Massa Colon
1.6 Tatalaksana
1. Tatalaksana Non-farmakologi
a. Tirah Baring
b. Pasang NGT
c. Pasien puasa
2. Tatalaksana Farmakologi
a. IVFD RL : D5% : NaCL 1:1:1 20 tpm
b. Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
c. Inj, Metronidazole 500mg/8jam
d. Inj Ketorolac 30mg/8jam
e. Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
1.7 Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanctionam : Dubia ad malam
1.8 Follow Up
1. 26 Maret 2021
S : Perut terasa penuh (+), mual(-)
O:
10
TD : 120/80 mmHg HR : 120 x/m
RR : 20 x/m T : 36,5 C
SpO2 : 98%
Mata : Ca (-/-), SI (-/-)
Pulmo : SND Ves (-/-), rh (-/-), wh (-/-)
Cor : S1S2 reg, m(-), g(-)
Abdomen : Distensi (+), darm contour, (+) darm steifung (+), venektasi (-), skar
(-), Bising usus (+) meningkat, bruit (-), metallic sound (-), Hipertimpani
Nyeri tekan (+) terutama di perut kiri bawah,
Rectal Toucher : Teraba massa arah jam 11 dan 2 berjumlah 2 buah ukuran 1x1cm,
lunak, immobile, nyeri tekan (+), handscoon : terdapat feses bewarna
coklat, darah (-), lendir (-)
A:
Ileus Obstruktif ec. Susp. Massa Colon
P:
Tirah baring
Pasang NGT, alirkan
Puasakan pasien
Rencana operasi laparatomi eksplorasi + stoma
IVFD RL : D5% : NaCL 1:1:1 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam (H1)
Inj. Metronidazole 500mg/8jam(H1)
Inj. Ketorolac 30mg/8jam
Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
2. 27 Maret 2021
S : Nyeri luka post op (+), mual (-), pasien sudah bisa makan sedikit-sedikit
O:
TD : 104/73 mmHg HR : 116 x/m
RR : 20 x/m T : 36,2 C
SpO2 : 98%
Mata : Ca (-/-), SI (-/-)
Hidung : Terpasang NGT, Cairan warna hijau kekuningan di selang
11
Pulmo : SND Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Cor : S1S2 reg, m(-), g(-)
Abdomen : distensi (-), produksi stoma (+), feses (+) berwarna hijau kecoklatan
A:
Post op laparatomi eksplorasi + ileostomi a/i Ileus Obstruktif ec. Tumor colon
transversum H1
P:
IVFD RL: NaCL 1:1 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam (H2)
Inj, Metronidazole 500mg/8jam(H2)
Inj Ketorolac 30mg/8jam
Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
Aff NGT
Diet makanan lunak
3. 28 Maret 2021
S : Nyeri luka post op (+)
O:
TD : 100/60 mmHg HR : 114 x/m
RR : 20 x/m T : 36,2 C
SpO2 : 98%
Mata : Ca (-/-), SI (-/-)
Pulmo : SND Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Cor : S1S2 reg, m(-), g(-)
Abdomen : distensi (-), produksi stoma (+), feses (+) berwarna hijau kecoklatan
A:
Post op laparatomi eksplorasi + ileostomi a/i Ileus Obstruktif ec. Tumor colon
transversum H2
P:
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam (H3)
Inj, Metronidazole 500mg/8jam(H3)
Inj Ketorolac 30mg/8jam
12
Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
Aff DC
Diet nasi
4. 29 Maret 2021
S : Nyeri luka post op (+) berkurang
O:
TD : 102/72 mmHg HR : 105 x/m
RR : 20 x/m T : 36,5 C
SpO2 : 98%
Mata : Ca (-/-), SI (-/-)
Pulmo : SND Ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Cor : S1S2 reg, m(-), g(-)
Abdomen : distensi (-), produksi stoma (+), feses (+) berwarna hijau kecoklatan
A:
Post op laparatomi eksplorasi + ileostomi a/i Ileus Obstruktif ec. Tumor colon
transversum H3
P:
BLPL
Po. Cefadroxil 2x500mg
Po. Metronidazole 3x500mg
Po. Paracetamol 3x500mg
Po. Ranitidin 2x1
Kontrol puskesmas untuk ganti perban
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
accessorius (jika ada) bermuara ke dalam duodenum pada papilla
duodeni minor, sekitar 0.75 inci (1.9 cm)di atas papilla duodeni major.
3) Bagian ketiga berjalan horizontal di depan columna vertebralis. Radix
mesenterii intestinum tenue dan vasa mesenterica superior menyilang
bagian ini di anterior.
4) Bagian keempat berjalan ke atas dan ke kiri ke flexura duodenojejunalis.
Flexura ini difiksasi oleh ligamentum Treitz, yang melekat pada crus
dextrum diaphragmaticum.
15
Serabut-serabut saraf simpatik dan nervus vagus berasal dari plexus
mesentericus superior.5
16
Secara struktural, empat daerah utama dari usus besar adalah sekum, usus besar,
rektum, dan saluran anus.4
Pembukaan dari ileum ke usus besar dijaga oleh lipatan selaput lendir
yang disebut sfingter ileocecal (katup), yang memungkinkan bahan dari usus
kecil masuk ke usus besar. Di bagian inferior katup ileocecal adalah sekum,
sebuah kantong kecil dengan panjang sekitar 6 cm (2,4 inci). Bagian
menggantung pada sekum adalah tabung melingkar yang dipelintir, berukuran
sekitar 8 cm (3 inci) panjangnya, yang disebut usus buntu atau apendiks
vermiform (apendiks berbentuk cacing). Mesenterium apendiks, yang disebut
meso apendiks, menempelkan apendiks ke bagian inferior mesenterium ileum.4
Ujung terbuka sekum menyatu dengan tabung panjang yang disebut
kolon (saluran makanan), yang terbagi menjadi bagian menaik, melintang,
turun, dan sigmoid. Baik kolon asendens maupun desenden bersifat
retroperitoneal; usus besar melintang dan sigmoid tidak. Sesuai dengan
namanya, kolon ascending naik di sisi kanan perut, mencapai permukaan
inferior hati, dan berbelok ke kiri untuk membentuk fleksura kolik kanan
(hepatik). Kolon berlanjut melintasi perut ke kiri sisi sebagai usus besar
melintang. Ini melengkung di bawah ujung inferior limpa di sisi kiri sebagai
fleksura kolik kiri (limpa) dan melewati inferior ke tingkat puncak iliaka
sebagai kolon desendens. Kolon sigmoid (berbentuk S) dimulai di dekat kiri
puncak iliaka, memproyeksikan medial ke garis tengah, dan berakhir sebagai
rektum di sekitar tingkat vertebra sakral ketiga.4
Rektum, 20 cm terakhir (8 inci) dari saluran GI, terletak di anterior ke
sakrum dan tulang ekor. Bagian terminal 2–3 cm (1 inci) dari rektum disebut
saluran anal. Selaput lendir saluran anus tersusun dalam lipatan memanjang
yang disebut kolom anal yang berisi jaringan arteri dan vena. Pembukaan
saluran anus ke luar, disebut anus, dijaga oleh sfingter ani internal otot polos
(involuntary) dan sfingter anus eksternal dari otot rangka (voluntary). Biasanya
sfingter ini menjaga anus tetap tertutup kecuali selama pembuangan tinja.4
17
Gambar 2. Usus besar yang terdiri dari sekum, usus besar, rektum, dan saluran
anus.4
Tahap akhir pencernaan terjadi di usus besar melalui aktivitas bakteri
yang menghuni lumen. Lendir disekresikan oleh kelenjar usus besar, tetapi tidak
ada enzim yang disekresikan. Chyme disiapkan untuk dihilangkan dengan aksi
bakteri, yang memfermentasi karbohidrat yang tersisa dan melepaskan gas
hidrogen, karbon dioksida, dan metana. Gas-gas ini berkontribusi pada kentut
(gas) di usus besar, disebut perut kembung bila berlebihan. Bakteri juga
mengubah protein yang tersisa menjadi asam amino dan memecah asam amino
menjadi zat yang lebih sederhana: indole, skatole, hidrogen sulfida, dan asam
lemak. Beberapa indole dan skatole dieliminasi dalam tinja dan berkontribusi
pada baunya; sisanya diserap dan diangkut ke hati, di mana senyawa ini diubah
menjadi senyawa yang kurang beracun dan dikeluarkan melalui urin. Bakteri
juga menguraikan bilirubin menjadi pigmen yang lebih sederhana, termasuk
stercobilin, yang memberi warna coklat pada kotoran. Produk bakteri yang
terserap di usus besar antara lain beberapa vitamin yang dibutuhkan untuk
metabolisme normal, di antaranya beberapa vitamin B dan vitamin K.4
18
ketidakseimbangan antara aktivitas motorik simpatis dan parasimpatis, yang
menyebabkan atonia usus.8
Insiden ileus obstruktif pada pasien yang datang ke unit gawat darurat
diperkirakan 2% hingga 8%. Meskipun morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan obstruksi usus akut telah menurun, penatalaksanaan klinis tetap
menantang. Keputusan untuk melanjutkan manajemen nonoperatif atau
intervensi bedah harus ditentukan dengan hati-hati oleh dokter
berpengalaman.6,7
2.2.2 Etiologi
Penyebab paling umum dari obstruksi usus halus di negara maju adalah
perlekatan intra-abdominal, terhitung sekitar 65% sampai 75% kasus. Adhesi
pasca operasi dapat menjadi penyebab obstruksi akut dalam 4 minggu setelah
operasi atau beberapa dekade kemudian obstruksi kronis. Insiden SBO sejalan
dengan peningkatan jumlah laparotomi yang dilakukan di negara berkembang.8
Setelah adhesi, penyebab paling umum dari obstruksi usus halus di
daerah berkembang adalah hernia inkarserata (10-20%), keganasan (10-20%),
penyakit radang usus (5%), volvulus (3%), dan lain-lain (2%). Penyebab SBO
pada pasien anak-anak termasuk atresia kongenital, stenosis pilorus, dan
intususepsi.8
Penyebab paling umum dari obstruksi usus besar adalah karsinoma usus
besar dan volvulus. Sekitar 60% dari obstruksi usus besar disebabkan oleh
keganasan, 20% disebabkan oleh penyakit divertikular, dan 5% disebabkan oleh
kolon. Penyebab paling umum dari obstruksi usus besar orang dewasa adalah
sebagai berikut:3
a) Neoplasma (jinak atau ganas) dan penyakit divertikular
Hambatan yang disebabkan oleh tumor cenderung terjadi secara
bertahap dan akibat dari pertumbuhan tumor yang menyempitkan lumen
kolon. Divertikulitis dikaitkan dengan hipertrofi otot pada dinding kolon.
Episode peradangan yang berulang menyebabkan dinding kolon menjadi
fibrotik dan menebal, menyebabkan penyempitan luminal.
b) Striktur (divertikular atau iskemik)
c) Volvulus (kolon, sigmoid, sekal)
19
Volvulus kolon terjadi ketika usus besar berputar pada mesenteriumnya, yang
merusak drainase vena dan aliran masuk arteri. Gejala kondisi ini biasanya
mendadak. Kolon sekum dan sigmoid paling sering terkena. Volvulus
biasanya terjadi pada orang tua, individu yang lemah; pasien yang tinggal di
lingkungan institusional; atau pasien dengan riwayat sembelit kronis.
Volvulus juga dapat terlihat selama kehamilan, paling sering terjadi pada
trimester ketiga ketika rahim yang sedang hamil menggantikan usus besar.
d) Intususepsi, biasanya dengan kelainan anatomi yang dapat diidentifikasi pada
orang dewasa tetapi tidak pada anak-anak
Intususepsi pada dasarnya adalah penyakit anak; Namun, diperkirakan 5-
16% dari semua intususepsi di dunia Barat terjadi pada orang dewasa. Dua
pertiga dari kasus intususepsi orang dewasa disebabkan oleh tumor. Dua
jenis utama intususepsi mempengaruhi usus besar: enterokolik dan kolokolik.
Intususepsi enterokolik melibatkan usus halus dan usus besar. Ini terdiri
dari intususepsi ileokolika atau intusepsi ileocecal, tergantung di mana titik
utama berada. Intusepsi kolokolik hanya melibatkan usus besar. Mereka
diklasifikasikan sebagai intususepsi kolokol atau sigmoidorektal.
e) Impaksi atau obstipasi
f) Acute colonic pseudo-obstruction (Sindrom Ogilvie)
ACPO memiliki banyak etiologi. ACPO adalah obstruksi fungsional;
biasanya terlihat pada pasien lanjut usia atau pasien yang lemah yang dirawat
di rumah sakit karena penyakit medis atau traumatis yang parah. Pengobatan
yang menurunkan motilitas usus juga dikaitkan dengan gangguan ini. Dalam
tinjauan retrospektif terhadap lebih dari 1400 kasus ACPO, kondisi
predisposisi yang paling umum adalah trauma operatif dan nonoperatif (1
1%), infeksi (10%), dan penyakit jantung (10-18%).3
2.2.3 Patofisiologi
Prevalensi obstruksi usus besar meningkat seiring bertambahnya usia,
seperti halnya penyebab utamanya, kanker usus besar dan divertikulitis.
Volvulus sigmoid dan volvulus sekal juga merupakan penyebab potensial
gangguan ini.3
Obstruksi mekanis menyebabkan dilatasi usus, yang selanjutnya
menyebabkan edema mukosa dan gangguan aliran darah arteri dan vena ke
20
usus. Edema usus dan iskemia meningkatkan permeabilitas mukosa usus, yang
dapat menyebabkan translokasi bakteri, toksisitas sistemik, dehidrasi, dan
kelainan elektrolit. Iskemia usus dapat menyebabkan perforasi, kotoran feses
pada rongga peritoneum, dan usus mati.3
Patofisiologi dari ACPO masih belum jelas, tetapi diperkirakan sebagai
akibat dari ketidakseimbangan otonom, yang diakibatkan oleh penurunan tonus
parasimpatis atau keluaran simpatis yang berlebihan. Kondisi ini biasanya
terjadi pada berbagai macam penyakit medis atau bedah. Jika tidak diobati,
dapat terjadi iskemia atau perforasi kolon. ACPO ditandai dengan hilangnya
gerakan peristaltik dan mengakibatkan penumpukan gas dan cairan di usus
besar. Kolon kanan dan sekum paling sering terkena. Risiko perforasi ACPO
berkisar antara 3% hingga 15%.3
Obstruksi usus halus secara umum dibagi menjadi tiga :
a) Obstruksi sederhana: usus tersumbat, tertekan atau tertekuk, tetapi suplai
vaskularnya tidak terancam.
b) Obstruksi strangulasi: suplai vaskular ke segmen usus yang tersumbat
terganggu.
c) Obstruksi loop tertutup: segmen usus terhalang pada titik proksimal dan
distal - contoh tipikal adalah volvulus atau lengkung usus yang diperangkap
dalam defek hernia yang ketat. Biasanya, usus yang terkena tercekik.9
21
nyeri ringan, dan distensi sedang sampai berat. Biasanya, nyeri pada obstruksi
usus halus adalah kram, dengan paroksisma yang terjadi pada interval 4 sampai
5 menit untuk obstruksi proksimal dan lebih jarang untuk obstruksi yang lebih
distal. Perkembangan nyeri terus menerus, terlokalisasi, dan intens
menunjukkan kemungkinan obstruksi strangulata.10
2.2.5 Diagnosis
a) Anamnesis
Perjalanan penyakit pasien penting untuk ditanyakan. Dokter dapat
menanyakan riwayat pasien tentang buang air besar, kentut, obstipasi (tidak
ada gas atau buang air besar), dan gejala terkait. Bedakan obstruksi usus
lengkap dan obstruksi parsial, yang berhubungan dengan keluarnya
beberapa gas atau kotoran. Tanyakan pula tentang riwayat pasien saat ini
dan masa lalu dalam upaya untuk menentukan penyebab lain.10
Keluhan utama pada pasien obstruksi usus besar antara lain perut
kembung, mual, muntah, dan nyeri perut kram. Onset gejala yang tiba-tiba
membuat kejadian obstruktif akut (misalnya, volvulus cecal atau sigmoid)
menjadi diagnosis yang lebih mungkin. Riwayat sembelit kronis,
penggunaan katarsis jangka panjang, dan mengejan saat buang air besar
menyiratkan divertikulitis atau karsinoma.10
Perubahan pada tinja pasien menunjukkan adanya karsinoma. Bila
dikaitkan dengan penurunan berat badan, kemungkinan obstruksi neoplastik
meningkat.
Riwayat nyeri perut kuadran kiri bawah berulang selama beberapa
tahun lebih dapat mengarah pada divertikulitis, striktur divertikular, atau
masalah serupa. Riwayat operasi aorta menunjukkan kemungkinan
terjadinya striktur iskemik.3
Penting juga untuk memastikan durasi gejala untuk membedakan
kondisi akut dan kronis. Riwayat operasi perut sebelumnya, episode
obstruksi sebelumnya, penyakit radang usus, herniasi di dinding perut atau
sayatan sebelumnya, radiasi perut atau panggul sebelumnya, atau kanker
sebelumnya memberikan petunjuk penting sebagai penyebab obstruksi.
Tinjauan pengobatan yang cermat yang mencakup riwayat narkotika
penting dalam menemukan penyebab ileus yang mendasari.10
b) Pemeriksaan Fisik
22
Gambaran pertama dalam memeriksa pasien dengan kecurigaan
obstruksi usus merupakan adanya tanda generalisata dehidrasi, yang
mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering.
Karena lebih banyak cairan disekuestrasi ke dalam lumen usus, maka
bisa timbul demam, takikardia dan penurunan dalam tekanan darah.6
Pemeriksaan Abdomen
Lakukan pemeriksaan dengan cara standar yaitu inspeksi, auskultasi,
perkusi, dan palpasi. Distensi abdomen mungkin signifikan pada pasien
dengan obstruksi usus besar. Bunyi usus normal pada awalnya kemudian
menjadi diam, dan perut menjadi hipertimpani saat perkusi.3
Palpasi perut bisa menunjukkan nyeri tekan. Demam, nyeri tekan
yang parah, dan kekakuan perut adalah tanda-tanda tidak baik yang
menunjukkan peritonitis sekunder akibat perforasi. Sekum adalah area yang
paling mungkin mengalami perforasi. Massa sigmoidal rektal atau bawah
dapat teraba pada pemeriksaan rektal. Massa atau perut terasa penuh dapat
teraba jika tumor terdapat di sekum.3
23
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala
ano-rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter
ani dan menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3
tengah dan distal. Ada 2 gambaran khas pemeriksaan colok dubur, yaitu
indurasi dan penonjolan tepi, yang dapat berupa suatu pertumbuhan awal
yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu plateau kecil
dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas, suatu pertumbuhan
tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya mempunyai
beberapa daerah indurasi, suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi
noduler yang menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling
sering) dan suatu bentuk kanker anular yang teraba sebagai pertumbuhan
bentuk cincin.11
24
Periksa kulit anus untuk mencari celah, ekskoriasi, tanda-tanda
peradangan, kutil, fistula, hemoroid, bekas luka, dan tumor. Visualisasi
celah dan hemoroid membaik saat pasien diminta mengejan.14
Setelah memberi tahu pasien bahwa pemeriksaan rektal akan
dilakukan, letakkan jari telunjuk kanan yang telah dilumasi jelly di tepi
anus; sfingter mengendur dengan tekanan lembut pada permukaan telapak
tangan. Saat sfingter relaks, masukkan jari telunjuk Anda ke dalam lubang
anus.14
Nilai tonus sfingter kemudian masukkan jari Anda sejauh mungkin
ke atas rektum (tergantung pada panjang jari pemeriksa). Rasakan dinding
lateral rektum dengan memutar jari telunjuk Anda di sepanjang sisi rektum.
Palpasi juga dinding posterior dan anterior, untuk polip, ketidakteraturan,
atau nyeri tekan.14
Metastasis intraperitoneal dapat dirasakan di anterior rektum sebagai
struktur keras dan seperti rak yang menonjol ke dalam rektum, akibat dari
endapan ganas di kantong Douglas. Ini telah disebut sebagai rak Blumer.
Kaji ukuran, bentuk dan konsistensi kelenjar prostat, yang terletak di
anterior rektum. Biasanya hanya bagian apikal bawah kelenjar yang dapat
diraba. Adanya nodul keras yang membuat prostat asimetris cenderung
menjadi ganas, dan kelenjar lunak yang membesar secara simetris
kemungkinan besar disebabkan oleh hipertrofi prostat jinak.14
Tarik jari Anda dan periksa apakah ada masalah feses (warna dan
keberadaan darah). Terakhir, tes darah okultisme feses dapat dilakukan
pada feses yang menempel di jari telunjuk yang bersarung tangan. Nyeri
dan rasa penuh di sisi kanan tetapi tidak di sisi kiri pada pemeriksaan rektal
diyakini menjadi indikasi apendisitis. Kegunaan pemeriksaan rektal pada
pasien dengan apendisitis akut masih dipertanyakan, karena beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa tanda-tanda perut adalah prediktor
apendisitis yang lebih baik daripada pemeriksaan rektal. Jika pasien dengan
keluhan nyeri di kuadran kanan bawah abdomen dan terdapat nyeri
rebound, maka pemeriksaan rektal tidak memberikan informasi diagnostik
lebih lanjut.14
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
25
Pemeriksaan laboratorium diarahkan untuk mengevaluasi dehidrasi
dan ketidakseimbangan elektrolit yang mungkin terjadi sebagai akibat
obstruksi usus besar, serta menyingkirkan ileus sebagai diagnosis.
Hitung sel darah lengkap rutin, kimiawi serum, dan urinalisis harus
dievaluasi. Kadar laktat serum harus diperiksa jika ada kecurigaan iskemia
usus. Kadar hematokrit yang menurun, terutama dengan bukti anemia
defisiensi irondefisiensi kronis, mungkin menunjukkan perdarahan
gastrointestinal bawah (GI) kronis, terutama karena kanker usus besar. Tes
guaiac feses harus dilakukan.
Meskipun obstruksi usus, atau bahkan sembelit, dapat sedikit
meningkatkan jumlah sel darah putih. Adanya leukositosis dapat menjadi
kecurigaan untuk perforasi. Ileus sekunder akibat infeksi intra-abdominal
atau ekstra-abdominal juga harus dipertimbangkan.
26
Gambar 4. Posisi supine. Dilatasi usus halus.13
Gambaran radiologis obstruksi usus besar bergantung pada
kompetensi katup ileosekal. Terdapat beberapa tipe obstruksi kolon yaitu
tipe obstruksi dimana katup ileosekal masih kompeten. Pada keadaan ini
dapat terlihat berupa dilatasi kolon tipis tanpa adanya distensi usus halus.
Bila obstruksi terus berlangsung maka dapat menyebabkan katup ileosekal
tidak kompeten, sehingga akan terjadi distensi usus halus. Pada keadaan
awal dari inkompetensi katup ileosekal menunjukkan diameter sekum dan
kolon asendens terdistensi maksimal dibandingkan kolon bagian distal
disertai adanya udara pada usus halus. Bila obstruksi berlangsung lama
udara pada sekum dan kolon asendens berangsur berkurang, dan udara
masuk ke dalam usus halus dan mengisi ke lebih banyak ke usus halus.
Pada keadaan ini menyerupai obstruksi usus halus.11
27
Gambar 5. Posisi Erect. Terdapat multiple air fluid level.13
Gambaran radiologis dari ileus obstruksi usus besar adalah kolon
yang terdistensi terletak pada abdomen bagian perifer dan dapat dibedakan
dari usus halus yang terletak pada sentral abdominal dengan adanya
gambaran haustra. Dilatasi sekum yang melebihi 9 cm dan dilatasi bagian
kolon lain yang melebihi 6 cm dianggap abnormal dimana bagian usus
yang terletak distal dari obstruksi akan kolaps dan bagian rektum tidak
terisi oleh udara. Identifikasi kolon pada sonografi seringkali sulit karena
kolon dipenuhi dengan gas dan feses. Penyebab obstruksi kolon dapat
diidentifikasi. Adanya massa kolon atau intususepsi ileosekal dapat di
perlihatkan pada pemeriksaan ultrasonografi. Gambaran yang dapat terlihat
pada intususepsi adalah adanya lingkaran konsentris seperti sosis. 11
28
Gambar 6. Posisi LLD. Terdapat Sign of Pearl.13
Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitasnya
adalah 96% dan 93%. Penggunaan CT dinilai lebih menguntungkan
dibanding dengan kontras enema terutama pada pasien usia tua dan pasien
dengan keadaan umum yang kurang baik. CT biasanya dilakukan dengan
pemberian kontras intravena. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan
level obstruksi, penyebab obstruksi dan adanya komplikasi yang dapat
terjadi seperti strangulasi, perforasi, pneumatosis intestinal. Gambaran dari
CT scan abdomen menunjukan adanya obstruksi dan terdeteksi adanya
tumor primer. 11
2.2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana di IGD
Pemberian cairan intravena harus dimulai segera untuk mengganti defisit
volume dan memperbaiki gangguan elektrolit atau asam-basa. Pasien yang
muntah harus menjalani pemasangan selang nasogastrik untuk dekompresi
gastrointestinal. Pengobatan analgesik dapat dimulai segera setelah pemeriksaan
fisik awal. Di masa lalu, penekanan farmakologis terhadap nyeri sering
dikhawatirkan dapat menutupi manifestasi klinis dari abdomen akut dan
menghambat diagnosis, tetapi pencitraan CT modern telah menghilangkan
kekhawatiran ini. Agen vagolitik seperti butylscopolamine memiliki efek
antiperistaltik dan tidak boleh diberikan pada pasien dengan ileus parsial. Jika
29
ada bukti klinis atau laboratorium dari infeksi (atau bahkan sepsis), antibiotik
harus diberikan lebih awal, sesuai dengan rekomendasi dari Surviving Sepsis
Campaign.
Setelah pengobatan awal dan penyelesaian evaluasi diagnostik, harus
ditentukan apakah pasien harus segera dibawa ke pembedahan atau pengobatan
konservatif. Studi retrospektif baru-baru ini terhadap data lebih dari 100.000
pasien telah mengungkapkan keuntungan nyata dalam memiliki tim bedah
(daripada medis) yang bertanggung jawab atas perawatan lebih lanjut, karena
hal ini menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah, interval yang
lebih pendek untuk operasi jika diperlukan, dan tinggal di rumah sakit yang
lebih singkat.1
Tatalaksana Pembedahan
Konsultasi bedah harus diperoleh untuk menentukan apakah perawatan
operatif harus dilakukan. Keputusan ini tergantung pada kondisi klinis pasien
dan patologi yang mendasari, derajat obstruksi, kecepatan obstruksi
berkembang, adanya pencekikan atau perforasi, dan tanda-tanda peritonitis.
Antibiotik intravena yang meliputi bakteri gram negatif dan anaerobik harus
dimulai pada kasus dugaan massa inflamasi atau perforasi. Endoskopi dapat
dilakukan dalam kasus obstruksi distal yang memerlukan evaluasi diagnostik
lebih lanjut atau dalam kasus pseudoobstruksi dengan segmen usus yang sangat
melebar, untuk penempatan tabung dekompresi. Pada beberapa pasien dengan
keganasan padat yang tidak dapat dioperasi, prosedur bypass usus dapat
dilakukan untuk paliasi dan untuk meningkatkan kualitas sisa hidup mereka.
Sebagai alternatif, penempatan tabung gastrostomi dekompresif dapat
digunakan untuk paliatif pasien dengan beberapa lokasi obstruksi usus halus
ganas, dan dalam beberapa kasus, untuk karsinomatosis peritoneal. Penggunaan
stent logam yang dapat mengembang sendiri untuk obstruksi kolon akut
sebelum operasi elektif telah dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi. Waktu rata-rata antara pemasangan stent dan operasi adalah 8,6 hari.10
30
Kanker kolorektal (KKR) adalah keganasan yang berasal dari jaringan
usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau
rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus). Secara keseluruhan
risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang (5%). Risiko
penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak
faktor lain yang dapat meningkatkan risiko individu untuk terkena kanker
kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun
terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada
penanganan kanker kolorektal.11
31
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi kanker dan lesi kanker lanjut yaitu,
pemeriksaan endoskopi (sigmoidoskopi fleksibel, kolonoskopi) dan
pemeriksaan radiologi (barium enema dengan kontras ganda dan computed
tomography colonography). Kolonoskopi dilakukan setiap 5 tahun, jika FKRTL
tidak mempunyai kolonoskopi, dapat dilakukan CT colonography atau barium
enema. Hal ini tergantung keadaan klinis pasien, standar pelayanan di FKTRL
dan keputusan tim dokter.11
32
yang berbeda. Ini adalah rantai polipeptida terkonjugasi tunggal, yang
diproduksi dalam fase berbeda dari siklus molekuler (S atau G2) dan kemudian
dilepaskan ke jaringan setelah pembelahan mitosis. Antigen spesifik polipeptida
jaringan (TPS) adalah fragmen terlarut yang berasal dari ujung terminal
karboksi dari sitokeratin 18. Konsentrasi TPS yang tinggi merupakan penanda
aktivitas tumor, tetapi tidak harus massa tumor. Tingkat TPS dalam darah,
sangat terkait dengan proliferasi sel kanker, merupakan fungsi dari kecepatan
pembelahan sel. Perkiraan antigen spesifik polipeptida jaringan dapat diterapkan
pada kanker stadium awal. Antigen spesifik polipeptida jaringan tingkat tinggi
terjadi pada sekitar 60-80% pasien dengan kanker kolorektal.
Tumor-associated glycoprotein-72 (TAG-72) adalah glikoprotein yang
terbentuk di sel endotel saluran empedu, epitel lambung, atau sel pelvis ginjal.
Ini adalah molekul mirip musin dengan massa molar lebih dari 1000 kDa. TAG-
72 ditemukan pada permukaan banyak sel kanker, termasuk usus besar,
ovarium, payudara, dan sel pankreas. Guadagni et al menunjukkan bahwa
konsentrasi serum TAG-72, CEA, CA 19.9 meningkat pada 43%, 43% dan 27%
pasien dengan kanker kolorektal. Dianjurkan untuk menentukan TAG-72
bersama dengan penanda lain, terutama CEA. Enam puluh satu persen pasien
memiliki setidaknya satu penanda dengan tingkat yang meningkat saat
mengukur ketiga penanda ini.
Insulin-like growth-factor binding protein-2(IGFBP-2) adalah protein
ekstraseluler yang mengikat faktor pertumbuhan mirip insulin 2 (IGF-2) dan,
dengan afinitas yang lebih kecil, faktor pertumbuhan seperti insulin 1 (IGF-1).
IGFBP-2 memainkan peran penting dalam perkembangan dan metastasis kanker
yang dimediasi oleh heat shock protein 27. Kadar IGFBP-2 serum dilaporkan
meningkat secara signifikan pada pasien dengan kanker usus besar dalam tiga
penelitian.
Baru-baru ini, beberapa penanda inflamasi termasuk neutrophil to
lymphocyte ratio (NLR) telah digunakan sebagai faktor prognostik, karena
respons inflamasi host terhadap kanker diyakini dapat menentukan
perkembangan penyakit. Dimitriou et al telah menemukan bahwa pada pasien
dengan KKR, NLR pra-pengobatan di atas 4,7 merupakan faktor prognostik
yang buruk untuk kelangsungan hidup bebas penyakit, kelangsungan hidup 5
33
tahun dan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Efek prognostik yang buruk
dari NRL diperbesar pada pasien KKR stadium II.
Konsentrasi IGFBP-2 tampaknya menjadi faktor prognostik yang
berkorelasi kuat dengan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Heat shock
protein 60 (HSP60) adalah faktor kunci yang terlibat dalam peradangan, dan
kadar HSP60 serum mungkin juga meningkat pada pasien dengan patologi
inflamasi seperti kolitis ulserativa dan penyakit Crohn. Vocka et al
menunjukkan bahwa serum HSP60 dapat digunakan sebagai biomarker
prognostik KKR yang efektif dengan sensitivitas yang sama dengan CEA dan
sensitivitas yang lebih baik daripada CA19-9.12
2.2.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin yang
melibatkan beberapa spesialisasi/subspesialisasi antara lain gastroenterologi,
bedah digestif, onkologi medik, dan radioterapi. Pilihan dan rekomendasi terapi
tergantung pada beberapa faktor, seperti stadium kanker, histopatologi,
kemungkinan efek samping, kondisi pasien dan praferensi pasien. Terapi bedah
merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan kuratif.
Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium lanjut dengan tujuan
paliatif. Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama terapi kanker
rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan antibodi monoklonal
telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam berbagai situasi klinis, baik
sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan modalitas terapi lainnya.11
Kemoterapi untuk kanker kolorektal dilakukan dengan berbagai
pertimbangan, antara lain adalah stadium penyakit, risiko kekambuhan dan
performance status. Berdasarkan pertimbangan tersebut kemoterapi pada kanker
kolorektal dapat dilakukan sebagai terapi adjuvan, neoadjuvan atau paliatif.
Terapi adjuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III dan stadium II yang
memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah: jumlah KGB yang
terambil <12 buah, tumor berdiferensiasi buruk, invasi vaskular atau limfatik
atau perineural; tumor dengan obstruksi atau perforasi; dan pT4. Kemoterapi
adjuvan diberikan kepada pasien dengan WHO performance status (PS) 0 atau
1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan
34
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin), serta elektrolit darah.11
BAB IV
KESIMPULAN
35
1. Ileus obstruktif merupakan kondisi darurat yang membutuhkan identifikasi dan
intervensi dini.
2. Etiologi obstruksi usus halus di negara maju adalah perlekatan intra-abdominal,
hernia inkarserata, keganasan, penyakit radang usus, volvulus, dan lain-lain.
Etiologi obstruksi usus besar paling umum adalah karsinoma usus besar dan
volvulus. Sekitar 60% dari obstruksi usus besar disebabkan oleh keganasan, 20%
disebabkan oleh penyakit divertikular, dan 5% disebabkan oleh kolon.
3. Gejala klinis pasien obstruksi usus adalah nyeri perut, muntah, perut kembung, dan
obstipasi.
4. Penegakan diagnosis ileus obstruktif dapat dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
5. Tatalaksana ileus obstruktif adalah koreksi klinis pasien dan pembedahan.
6. Tatalaksana untuk kanker kolorektal adalah pembedahan, radioterapi, dan terapi
biologi.
DAFTAR PUSTAKA
36
1. Tim O. Vilz, Burkhard Stoffels, Christian Strassburg, Hans H. Schild, Jörg C. Kalff.
Ileus in Adults Pathogenesis, Investigation and Treatment. Germany : Dtsch Arztebl
Int. 2017
2. Peyvasteh, Mehran. Ileus and Intestinal Obstruction - Comparison Between
Children and Adults. Article in Polish Journal of Surgery. 2011.
3. Hopkins, Christy. Large Bowel Obstruction. Medscape. 2017.
4. Tortora, Gerard J. Principles of Anatomy and Physiology. USA : John Wiley &
Sons, Inc. 2009.
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG. 2002.
6. Sabiston. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. 2002.
7. Jackson, Patrick., Mariana Vigiola Cruz. Intestinal Obstruction: Evaluation and
Management. Washington : American Family Physician, Medstar Georgetown
University Hospital. 2018.
8. Ramnarine, Mityanand. Small Bowel Obstruction. Medscape. 2017.
9. Schein, Moshe. Schein’s Common Sense. Emergency Abdominal Surgery Fourth
Edition. UK : Publishing Limited. 2016.
10. Sinicrope FA. Ileus and Bowel Obstruction. In: Kufe DW, Pollock RE,
Weichselbaum RR, et al., editors. Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition.
Hamilton (ON): BC Decker; 2003. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK13786/
11. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kolorektal. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2017.
12. Jelski,Wojciech. Barbara Mroczko. Review : Biochemical Markers of Colorectal
Cancer – Present and Future. Journals Cancer Management and Research Volume
12. 2020.
13. https://radiopaedia.org/articles/acute-abdominal-series?lang=us [diakses 30 Maret
2021]
14. Houghton, Andrew R. David Gray. Symptoms And Signs In Clinical Medicine : An
Introduction to Medical Diagnosis. 13th Edition Chamberlain’s. UK : Edward
Arnold (Publishers) Ltd. 2010.
37