Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS ANESTESI

SEORANG WANITA P2A0 55 TAHUN DENGAN PROLAPS UTERI


GRADE III DENGAN ELONGATIO COLI, SISTOKEL GRADE III,
RECTOKEL GRADE II PRO MANCHESTER FORTEGIL + KA + KPR
DENGAN KOMORBID HIPERTENSI, DIABETES MELITUS TIPE II

Disusun oleh :

dr. Ratna Setyaningsih

NIM

22041019310010

Pembimbing :

dr. Bondan Irtani, Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
LAPORAN KASUS ANESTESI
SEORANG WANITA P2A0 55 TAHUN DENGAN PROLAPS UTERI
GRADE III DENGAN ELONGATIO COLI, SISTOKEL GARDE III,
RECTOKEL GRADE II DENGAN KOMORBID HIPERTENSI, DIABETES
MELITUS TIPE II

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SM

Umur : 54 tahun

Jenis kelamin : Wanita

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Alamat : Pekalongan

No. CM : C933xxx

Tgl masuk : 4 Juli 2022

Tgl Operasi : 5 Juli 2022

II. DATA DASAR (EVALUASI ANESTESI PREOPERATIF)


1. Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien di Poli Mata Merpati

A. Keluhan utama
Pasien mengeluh ada rasa tidak nyaman di bagian kemaluan, ada benjolan di bagian
vagina
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan ada benjolan di daerah kemaluan, dan dirasakan tidak nyaman saat
beraktifitas, kadang terasa nyeri saat berjalan atau duduk
C. Riwayat Dahulu
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat hipertensi (+), rutin berobat dan kontrol
 Riwayat diabetes mellitus sejak tahun 2020
 Riwayat batuk lama disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat sakit kuning disangkal
 Riwayat konsumsi Obat Nifedipin 30 mg/24 jam, Metformin 500 mg/12 jam
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang Ibu Rumah Tangga. Pembiayaan menggunakan BPJS
Kesan : sosial ekonomi sedang

2. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : compos mentis, baik
- Tanda Vital : HR : 70 x/menit RR : 20x/menit
TD : 184/90 mmhg t : 36,7oC BB : 48 kg
TB : 150 cm
- Kepala : Mesosefal
- Mata : Pupil isokor (+) 2mm/2mm, conjuntiva palpebra
anemis (-/-),sklera ikterik (-/-)
- Telinga : Discharge (-)
- Hidung : Epistaksis (-), Discharge (-), Deviasi septum (-)
- Mulut : Mallampati II buka mulut 3 jari, gigi goyang (-),
gigi ompong (-), gigi palsu (-)
- Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
- Leher : Trakhea deviasi (-), pembesaran nnll (-/-),
nyeri tekan (-), kaku kuduk (-), leher kaku (-)
- Dada : Pulmo :
Inspeksi : Simetris statis dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), ST (-/-)

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak


Palpasi : IC teraba di SIC V 2 cm lateral
LMCS
Perkusi : Konfigurasi jantung dbn
Auskultasi : Suara jantung I-II murni, bising (-)

- Abdomen : Inspeksi : Perut datar


Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : hepar lien tak teraba,
Perkusi : Timpani (+), Pekak sisi (+) N,
pekak alih (-)
- Ekstremitas : Superior Inferior
Oedem -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Capp. Refill <2”/<2” <2”/<2”

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (tanggal 20/5 2022)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Paket
Hemoglobin 12.3 g/dL 11-13

Hematokrit 40,5 % 36-44

Leukosit 7000 /uL 5-14,5

Trombosit 365 103/uL 150-400

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Kimia Klinis

GDS 162 mg/dL 80-160

Ureum 34 mg/dl 15-39

Creatinin 1.6 mg/dl 0,6-1,30

Elektrolit

Natrium 141 mmol/L 136-145

Kalium 3,9 mmol/L 3,5-5,1

Chlorida 106 mmol/L 98-107

Studi Koagulasi

Waktu Prothrombin 12.7

PPT Kontrol 14.7

Waktu Thromboplastin 31.1

APTT Kontrol 31.2

Imunologi Klinik

HbsAg Negatif

b. EKG 17/6/2022
NSR, 98 bpm

c. X Foto Thorax 20/5/2022


Cardiomegaly (LV)
Pulmo tak tampak infilrat

4. Rencana Pembiusan

Regional Anestesi CSE dengan ASA II


BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Prolapse Uteri
Prolaps Organ Panggul (POP) adalah turun atau menonjolnya dinding vagina ke
dalam liang vagina atau keluar introitus vagina yang diikuti oleh organ-organ panggul
(uterus, kandung kemih, usus atau rectum).1 POP terjadi pada hampir setengah dari
seluruh wanita. Walaupun hampir setengah dari wanita yang pernah melahirkan
ditemukan memiliki POP melalui pemeriksaan fisik, namun hanya 5-20% yang
simtomatik.2 Prevalensi POP meningkat sekitar 40% tiap penambahan 1 dekade usia
seorang wanita. Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia yang lebih
tua, yaitu 28%-32,3% derajat 1, 35%- 65,5% derajat 2, dan 2-6% derajat 3.3 Saat ini,
sebanyak 11-19% wanita di negara maju menjalani operasi POP, dan usia rata- rata
wanita yang menjalani operasi POP adalah 60 tahun.3
Prolaps uteri diakibatkan oleh kelemahan jaringan penyokong panggul, meliputi otot,
ligament, dan fasia. Umumnya, kondisi ini biasanya disebabkan oleh trauma obstetrik dan
laserasi selama persalinan. Proses persalinan vaginal menyebabkan peregangan pada
dasar panggul, dan hal ini merupakan penyebab paling signifikan dari prolaps uteri.
Seiring proses penuaan, terdapat penurunan kadar estrogen sehingga jaringan panggul
kehilangan elastisitas dan kekuatannya. Rendahnya kadar kolagen berperan penting
dalam prolaps uteri, ditunjukkan oleh peningkatan risiko pada pasien dengan sindrom
Marfan dan sindrom EhlersDanlos.4
Selain menyebabkan ketidaknyamanan, POP juga memberikan dampak negatif pada
fungsi seksual, penampilan dan kualitas hidup. Gejala seperti rasa tekanan,
ketidaknyamanan, benjolan yang terlihat dan gangguan seksual tidak spesifik untuk
kompartemen tertentu.5 Derajat prolaps tidak berhubungan dengan gejala urgensi,
frekuensi atau inkontinensia urin.1
Klasifikasi prolaps organ panggul dikembangkan beberapa sistem. Untuk keperluan
praktik klinis dan penelitian, sistem Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q) lebih
dipilih dibandingkan dengan system Baden-Walker. Derajat sistem POP-Q didasarkan
pada penurunan maksimal dari prolaps relatif terhadap hymen pada 1 atau lebih
kompartemen.1.
Derajat prolaps uteri berdasarkan sistem POP-Q yang dibagi menjadi 5 derajat, yaitu :
• Derajat 0 : tidak tampak prolaps uteri
• Derajat 1 : kriteria untuk derajat 0 tidak ditemukan, tapi bagian distal prolaps > 1 cm
diatas level hymen
• Derajat 2 : bagian paling distal prolaps uteri < 1 cm proksimal atau distal hymen
• Derajat 3 : bagian paling distal prolaps uteri > 1 cm dari hymen tetapi tidak menurun
lebih dari 2 cm dari TVL (total vaginal length)
• Derajat 4 : eversi komplit total , bagian distal prolaps uteri, menurun sampai TVL 2cm

2. Elongatio Colli
Elongatio colli adalah perpanjangan atau hipertropi serviks menuju ke arah introitus
dengan jaringan penunjang uterus lainnya masih dalam keadaan baik. 7 Dari penelitian
terkini, Berger dkk (2012) di Amerika Serikat, digunakan 2 definisi elongatio colli,
yaitu : panjang serviks lebih dari 33,8 mm dan rasio serviks terhadap korpus lebih dari
0,79.8 Elongatio colli disebabkan oleh kelemahan ligamentum kardinale yang menyokong
serviks, tetapi otot dasar panggul masih dalam keadaan baik. Oleh karena itu, walaupun
serviks telah berada di luar introitus vagina dengan panjang serviks mencapai 10-12 cm
(dengan sondase), korpus uteri tetap dalam posisi normal di rongga panggul. 7 Teori lain
memperkirakan bahwa serviks tanpa fiksasi yang kuat dari ligamentum sakrouterina dan
tanpa tekanan dari arah berlawanan oleh otot dasar panggul menyebabkan terjadinya
elongatio colli.9
Penanganan kasus elongatio colli adalah dengan tehnik operasi Manchester
Fothergill.7 Tehnik operasi ini pertama kali diperkenalkan tahun 1888 oleh Archibald
Donald Manchester di Inggris dan kemudian dimodifikasi oleh 2 Fothergill sebagai
alternatif histerektomi vaginal untuk manajemen prolaps uterovaginal pada pasien dengan
elongasi serviks.10 Namun dalam perkembangannya, tehnik operasi ini memperbaiki
kualitas hidup pasien, namun dampak akibat inkompetensi serviks paska operasi terhadap
kehamilan cukup besar.
3. Tehnik Operasi Manchester Fothergill
Prosedur manchester Fothergill terdiri dari :10
1. Amputasi serviks yang memanjang dan turun
2. Plikasi dan fiksasi ligamentum kardinale di depan residu serviks
3. Colporrhaphy anterior (colporrhaphy posterior juga dapat dilakukan bila diperlukan)
Operasi dimulai dengan sirkumsisi bagian anterior serviks pada daerah sulkus vesika
urinaria. Dinding anterior dipisahkan dan dilakukan diseksi vesika urinaria di bagian
lateral, septum supravagina dan ligamentum vesiko-uterina dipisahkan dan vesika
urinaria didorong ke atas.10
Kemudian serviks dilakukan sirkumsisi di bagian lateral dan posterior dan vagina
dipisahkan dari serviks. Ligamentum kardinale, dan arteri uterina cabang servikalis di
klem, pisahkan dan ligasi, kemudian serviks di amputasi dengan skalpel. Serviks
posterior ditutup dengan dinding vagina dengan jahitan Sturmdorf dan ligamentum
kardinale dijahit ke stump serviks anterior dengan dua buah jahitan Fothergill (Gambar
1). Akhirnya, fasia vesika urinaria diplikasi seperti yang dilakukan pada colporrhaphy
anterior dan vagina ditutup.10

Gambar 1. Aproksimasi Ligamentum Kardinale Dan Jahitan Sturmdorf Posterior


Pada Operasi Manchester 10

4. Teknik Anestesi
4.1 Anestesia Regional
Anestesi spinal memiliki keunggulan onset yang cepat, pelaksaanaanya mudah namun
memiliki kerugian yaitu dapat mengganggu hemodinamik intraoperatif. Anestesi epidural
memiliki kelebihan menjaga hemodinamik lebih stabil selamat operasi, dan dosis obat dapat
diberikan ulang melalui kateter yang sekaligus dapat digunakan sebagai tatalaksana pasca
operasi. Kerugiannya adalah tehnik yang lebih sulit serta waktu pemasangannya dan onset lebih
lama dengan risiko blok parsial. Untuk mengurangi kerugian ini dapat dikombinasi antara spinal
dan epidural sehingga memiliki onset yang cepat namun tetap menjaga hemodinamik stabil
selama operasi. Anestesi umum biasanya menjadi menjadi pilihan apabila terdapat kontraindikasi
anestesi regional, yaitu pasien menolak anestesi regional, peningkatan tekanan intrakranial,
infeksi pada tempat jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan
kelainan katup jantung berat. Untuk kontraindikasi relatif tindakan anestesi regional yaitu pasien
tidak kooperatif, sepsis, deformitas tulang belakang, pasca operasi tulanng belakang, dan defisit
neurologis ekstremitas bawah. Apabila operasi berlangsung lama dan memerlukan patensi jalan
nafas yang terjamin baik, maka kombinasi epidural dan anestesia umum dapat dipertimbangkan.
11

4.1.1 Spinal Anestesia/Subarachnoid


Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik lokal kedalam cairan
serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Spinal anestesia
umumnya digunakan untuk prosedur bedah yang melibatkan perut bagian bawah, perineum, dan
ekstremitas bawah. Meskipun teknik ini juga bisa digunakan untuk operasi perut bagian atas,
yang paling dipertimbangkan lebih baik untuk mengelola anestesi umum untuk memastikan
kenyamanan pasien. Selain itu, blok yang luas diperlukan untuk operasi perut atas dan sifat
prosedur ini mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan oksigenasi. Obat-obatan,
perlengkapan serta mesin anestesi disiapkan sebelum pasien masuk ruangan dengan monitor
standar. Persiapan termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen melalui
nasal kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.
Pemberian sedatif dan narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum. Anestesi
spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone. Setelah posisi
ditentukan, identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi termasuk
tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan
secara hati-hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal.12

4.1.2 Epidural anestesia


Epidural anestesia, mirip seperti spinal anestesia, sering digunakan sebagai anestesi utama
untuk operasi yang melibatkan perut atau ekstremitas bawah. Pada umumnya indikasi epidural
anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat
diberikan secara kontinyu setelah penempatan kateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok
untuk pembedahan yang lama dan analgesia setelah pembedahan. Karena sifatnya yang
segmental, anestesi yang diberikan dari lumbar epidural mungkin menjadi suboptimal untuk
prosedur yang melibatkan akar sakral bagian bawah. Anestesi epidural juga sering digunakan
sebagai tambahan prosedur untuk general anestesi, terutama untuk bagian thorax dan bagian
perut atas. Dalam beberapa kasus, manfaat yang signifikan diperoleh dari pemberian epidural
anestesi yang berlanjut pada pos operasi untuk memfasilitasi terapi efektif pada nyeri setelah
operasi dan berbagai penelitian mengkonfirmasi keunggulan teknik epidural dibandingkan
dengan opioids parenteral. Demikian pula, pemberian anestesi epidural yang berlanjut sangat
efektif dan banyak digunakan untuk kontrol nyeri pada operasi transvaginal12

4.1.3 Kombinasi spinal/epidural (CSE)


Kombinasi anestesia spinal-epidural adalah teknik anestesi spinal dan kateter epidural yang
ditempatkan secara bersamaan. Teknik yang paling sering adalah needle-through-needle. Setelah
ruang epidural dimasukan 17 –ga Tuohy needle, kemudian masukan 4” 26-27ga jarum pencil-
point spinal. Kombinasi spinal/epidural anestesi adalah yang paling umum dilakukan dengan
menempatkan jarum di ruang epidural, diikuti oleh masuknya jarum spinal kecil ke ruang
subarachnoid melalui lumen jarum epidural. Setelah diinjeksikan anestesi lokal, jarum spinal
dilepas dan kateter masuk ke dalam ruang epidural melalui jarum epidural12
Gambar 2. Posis jarum spinal epidural

Gambar 3. Teknik memasukkan bupivakain di rongga subarachnoid


Gambar 4. Posisi jarum dan catheter epidural
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN PRA ANESTESI


Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan
baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah:

1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology)
(Muhardi, 1989):
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak
ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat (Muhardi, 1989).
Persiapan yang rutin dilakukan pada pasien sebelum masuk ruang pembedahan adalah
puasa, biasanya 8 jam sebelum operasi untuk puasa makanan dan 4 jam sebelum operasi
untuk minum air putih. Pasien juga harus disiapkan mental dan fisiknya dengan pemberian
KIE, dukungan moral, dan diingatkan untuk 4 berdoa. Pasien dan keluarga sudah harus
paham betul akan tindakan yang akan dilakukan serta menandatangani informed consent.
Untuk persiapan khusus berupa donor dan transfusi darah dipertimbangkan dengan melihat
risiko perdarahan dari segi pembedahan dan hasil evaluasi preoperatif. Pertimbangan yang
dimaksud adalah dari kondisi pasien sebelum operasi, penyakit bawaan pasien, dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Persiapan pra operasi untuk anestesi regional tidak berbeda dari
yang untuk anestesi umum. Namun, seperti dengan anestesi regional, diskusi dengan pasien
mengenai spesifik manfaat dan komplikasi potensial harus diperhatikan. Komplikasi yang
jarang terjadi namun tetap perlu diperhatikan seperti kerusakan saraf, perdarahan, dan infeksi,
dan komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi tapi dengan konsekuensi minor seperti post-
dural puncture headache. Kemungkinan untuk kegagalan blok harus didiskusikan dan pasien
harus yakin bahwa dalam teknik anestesi akan memberikan kenyamanan. Pada umumnya
setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum anestesi spinal atau
epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien dan beberapa
kontraindikasi terhadap tehnik regional. Banyak operasi pada ekstremitas bawah, pelvis,
abdomen bagian bawah dan perineum dapat dilakukan dengan anestesi spinal. Operasi daerah
diatas abdomen, dada, bahu dan ekstremitas atas dapat ditangani dengan anestesi spinal
dengan kesulitan yang besar. Walaupun tempat operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus
pasien tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya, efek operasi atau spinal anestesia yang tinggi
mungkin akan mempengaruhi pernapasan, sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik
mungkin diperlukan. Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal
serta kulit disekitar tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin
kesalahan lebih banyak jika terdapat kelainan anatomi seperti skoliosis atau keterbatasan
fleksi vertebra pasien. Infeksi pada tempat punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit
neurologi yang ada sebelumnya yang ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan
harus dicatat untuk mencegah kesalahan diagnosis kelainan neurology post anestesi.

B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan. Premedikasi diberikan 1-2 jam sebelum induksi anestesia. Tujuan dari
premedikasi adalah menimbulkan rasa nyaman bagi pasien yang meliputi bebas dari rasa
takut, tegang dan khawatir (bebas nyeri dan mual-muntah), mengurangi sekresi kelenjar dan
menekan reflex vagus, memudahkan/memperlancar induksi, mengurangi dosis obat
anestesia, dan mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah 14 . Pada pasien yang akan
menjalani operasi trans-vaginal pertimbangkan pemberian midazolam 1-2 mg intravena 13

C. PEMANTAUAN SELAMA ANESTESI

Pemantauan ketat pada kondisi pasien selama anestesia adalah jalan nafas, oksigenasi,
ventilasi, dan sirkulasi pasien harus dievaluasi secara teratur. Pemantauan jalan nafas
bertujan untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas. Oksigenasi dipantau juga untuk
memastikan kadar zat asam di dalam udara/gas inspirasi dan didalam darah. Ventilasi
dipantau untuk memantau keadekuatan ventilasi. Sirkulasi pada pasien juga harus adekuat.
Serta suhu tubuhnya harus tetap dipantau14

D. TERAPI CAIRAN DAN TRANFUSI DARAH

Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit
cairan preoperatintravenae seperti halnya kehilangan cairan intraoperatif (darah, redistribusi
dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur
pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan
adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua
prosedur yang lain ringer lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya,
kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara
volume cairan intravascular (normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfusi sel darah
merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21 - 24%). Pada perdarahan
yang terjadi 20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah Perbandingan
terapi cairan yang diberikan ringer laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang
hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan15

E. PEMULIHAN ANESTESI
Pada pasien dengan anastesi spinal maka posisi kepala harus agak ditinggikan untuk
mencegah depresi otot-otot pernafasan oleh obat-obatan anastesi, sedangkan untuk pasien
dengan anastesi umum, maka pasien diposisikan supine dengan posisi 9 kepala sejajar
dengan tubuh. Pasien yang tersedasi berat dan hemodinamikanya tidak stabil setelah
anestesi regional juga diberi suplemen oksigen di PACU. Tingkat sensorik dan motorik
dicatat periodik pada catatan hilangnya blok. Perhatian dalam bentuk peringatan berulang
mungkin diperlukan untuk mencegah perlukaan diri sendiri karena gerakan lengan yang tak
terkoordinasi pada blok pleksus brakhialis. Tensi harus selalu dimonitor pada anestesi spinal
dan epidural. Kateter kandung kemih diperlukan pada pasien yang dianestesi spinal atau
epidural lebih dari 4 jam15.

F. PASCA BEDAH
1. Pemantauan yang seksama ditujukan pada parameter15 :
a. Kesadaran, diawasi sampai sadar baik
b. Pernapasan, diupayakan agar segera bernapas spontan dan adekuat, bebas dari pengaruh
efek sisa obat pelumpuh otot
c. Denyut nadi, tekanan darah
d. Suhu tubuh
2. Komplikasi dari histerektomi adalah bisa terjadinya infeksi, nyeri dan pendarahan diarea
bedah. Histerektomi abdominal memiliki tingkat lebih tinggi untuk terjadinya infeksi pasca
operasi dan nyeri daripada histerektomi vaginal. Namun tetap harus mendapatkan perhatian
terhadap terjadinya infeksi maupun nyeri pasca operasi histerektomi trans-vaginal16.
3. Pasien kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan. Setelah selesai tindakan
pembedahan, pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar/recovery room sampai
kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan). Pasien boleh kembali keruangan
apabila nilai aldretenya sudah mencapai 10 jika menggunakan General Anestesi dan
menggunakan Bromage Skor untuk pemakaian Regional Anestesi. Obyek yang dinilai dalam
Skor aldrete adalah aktivitas, respirasi, tekanan darah, kesadaran dan warna kulit. Penilaian
dilakukan pada saat masuk, dan penilaian dilanjutkan setiap saat dan dicatat setiap 5 menit
sampai tercapai skor 10. Dan untuk penilaian Bromage skor adalah aktivitas gerakan tungkai
bawah. 14,15
BAB III
PENUTUP
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan
memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Pada makalah
ini disajikan kasus penatalaksanaan regional anestesi dengan kombinasi spinal-epidural pada
tindakan Manchester Fortegil pada penderita wanita, usia 54 tahun, status fisik ASA II dengan
diagnosis P2A0 dengan Prolaps Uteri grade III, Sistokel grade III, Rectokel grade II dengan
komorbid Hipertensi dan Diabetes Melitus tipe 2.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan
seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga
tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian. .

DAFTAR PUSTAKA

1. ACOG. 2007. Pelvic Organ Prolapse ACOG Practice Bulletin, 2007,85( 110): 717-729
2. Gyhagen M, Bullarbo M, Nielsen TF, Milsom I. 2012. Prevalence and risk factor for pelvic
organ prolapse 20 years after childbirth: a national cohort study in singleton primiparae after
vaginal or caesarian delivery, BJOG: 120(2): 152-160
3. Glazener C, Elders A, Macarthur C, Lancashire RJ, Herbison P, Hagen S, Dean N, Bain C,
Toozs-Hobson P, Richardson K, McDonald A, McPherson G, Wilson D. 2012. Childbirth
and prolapse: longterm associations with symptoms and objective measurement of pelvic
organ prolapse, BJOG. 120(2): 161-168
4. Malihot T. Uterine prolaps. 2006, Tersedia di URL: http://www.emedicine.com
5. Kovoor E, Hooper P. 2008. Assesment and management of pelvic organ prolapse.
Obstetrics, Gynaecology&, Reproductive Medicine. 18(9): 241-246
6. Jefi Hamamah1 , Nuring Pangastuti. KARAKTERISTIK PASIEN PROLAPS UTERI DI
RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA TAHUN 2013. Departemen Obstetri & Ginekologi,
FK-UGM/RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta. Vol. 4 | No. 1 | April 2017| Jurnal Kesehatan
Reproduksi: 17-22
7. Junizaf. Inversio Uteri. Dalam: Junizaf, Santoso BI, editors. Buku Ajar Uroginekologi
Indonesia. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia; 2011.
8. Berger MB, Ramanah R, Guire KE, DeLancey JOL. Is Cervical Elongation Associated with
Pelvic Organ Prolapse?. The International Urogynecological Association. 2012 23:1095-
1103.
9. Vierhout ME, Futterer JJ. extreme Cervical Elongation After Sacrohysteropexy. The
International Urogynecological Journal Association. 2012.
10. Varela V, Magos A. Preservation of the prolapsed uterus In : Cardozo L, Staskin D (editors).
Textbook Of female Urology And Urogynecology. 2nd Edition. Informa Health Care. Vol
(1). 1077-88.
11. Nugroho D, Ponco B, Nur R. Percutaneous Nephrolithotomy sebagai Terapi Batu Ginjal.
Maj Kedokt Indonesia. 2011. 61(3), 132-133
12. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 6th Ed. Churchill Lintravenaingstone,; 2015
May 22.
13. Jaffe Richard A. Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures. 5th Ed. Schmiesing C
A, Golianu Breanda. Philadelpia: Lippincott Willian & Walkins, 2014. 820p
14. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: Indeks. 2010.
15. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J, Bedford RF,
Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. 5th Ed. New York: McGraw-
hill; 2002
16. Suzanne R Trupin M. Total abdominal hysterectomy - Hysterectomy: Recovery, Side
Effects, & Complications [Internet]. MedicineNet. 2017 [cited 15 March 2017]. Available
from: http://www.medicinenet.com/hysterectomy/page4.htm

Anda mungkin juga menyukai