Pembimbing:
dr. Lukman, Sp.OT
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
2
ILUSTRASI KASUS
II.1 IDENTITAS
Nama : Tn. M
Umur : 34 thn
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat Akademik
Alamat : pondok kacang timur, pondok aren
Bangsa : Indonesia
Tanggal masuk :
Tanggal Pemeriksaan :
No. R. M :
II.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal .
A. Keluhan Utama
Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan
nyeri pada daerah perut dan panggul sejak 5 hari SMRS.
3
kemajuan. Kemudian karena tidak ada kemajuan pasien dibawa ke
Rumah Sakit Fatmawati. BAB blm sejak kecelakaan.
E. Riwayat Operasi
Tidak pernah
4
mmHg,CRT< 2”
Disability : GCS = E4M6V5 = 15
B. Secondary Survey
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaraan : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 X/menit
Pernafasan : 20 X/menit
Suhu : 36 ºC
Status Generalis
Kepala : normochepali, rambut hitam, lurus, distribusi
Merata, jejas (-)
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RCL
+/+, RCTL +/+, pupil bulat isokor, diameter
3 mm/3 mm
Mulut : Mukosa kering (-), oral hygiene baik
Telinga : normotia, serumen +/+, sekret -/-, othore (-/-)
Hidung :normosepta, sekret -/-, tidak ada nafas
cuping hidung, rhinore (-/-)
Leher : pembesaran kelenjar KGB (-), kelenjar tiroid
tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH 2O, jejas
(-), deviasi trakhea (-)
Thorak :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris saat statis maupun dinamis
Palpasi : Ekspansi dada baik, vocal fremitus kiri dan
kanan sama
5
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V 1 jari medial
linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kiri ICS V 1 jari medial linea
Midklavikula sinistra
Batas jantung kanan di linea sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, jejas (+) di abdomen kiri bawah
Palpasi : Dinding abdomen lemas, turgor baik, nyeri
tekan (+) di seluruh lapang abdomen, nyeri
lepas (-), hepar dan limpa tidak teraba
membesar.
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen, shifting
dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak
ada edema.
Kulit : turgor baik
C. Status Orthopedi
Regio pelvis :
Look : luka terbuka (-), perdarahan (-), jejas (+).
Feel : nyeri tekan (+), tenderness (+), NVD (-)
Move : ROM terbatas karena nyeri
6
D. Status lokalis lainnya
Regio suprapubis :
Inspeksi : massa (-), jejas (-).
Palpasi : nyeri tekan (+)
7
- VER 82 80-100 fl
- HER 27 26-34 pg
- KHER 33 32-36 g/dl
HEMOSTASIS
- Prothrombin time (PT) 20,6 11-14 detik
- PT control 11,1
- APTT 47,1 27,3-41 detik
- APTT control 34,2
KIMIA KLINIK
Fungsi ginjal
- Ureum darah 38 20-40 mg/dl
- Creatinin darah 1,0 0,6-1,5 mg/dl
SGOT 34 10-35 u/l
Gula darah sewaktu 120 70-200 mg/dl
Elektrolit
- Natrium 131 135-147 mmol/l
- Kalium 6,3 3,5-5,5 mmol/l
- Chlorida 102 100-106 mmol/l
Kesan: leukositosis.
II.5 RESUME
Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri
pada daerah pinggang sejak 5 hari SMRS. Nyeri terjadi setelah
kecelakaan lalu lintas terlindas mobil.
Nyeri dipinggang terutama saat pasien menggerakkan
pinggangnya, luka terbuka (-), pingsan (-), muntah(-). Melakukan
pengobatan ke dukun patah namun tidak ada kemajuan. Kemudian ke
RSUP Fatmawati. BAB blm sejak kecelakaan.
8
Pemeriksaan fisik
Datar, jejas (+) di abdomen kiri bawah , nyeri tekan (+), nyeri
lepas (-), hepar dan lien tidak teraba membesar. BU (+) normal.
Look:luka terbuka (-), perdarahan (-), jejas (+). Feel : nyeri tekan (+)
Move:ROM terbatas karena nyeri
Pemeriksaan penunjang :
Kesimpulan hasil pemeriksaan thoraks dan pelvis :
Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo.
Fraktur asetabulum
Symphiolosis pubis.
Kesimpulan hasil pemeriksaan laboratorium :
Kesan leukositosis
II.6 DIAGNOSIS
-Fraktur asetabulum
II.7 PENATALAKSANAAN
-Pantau tanda vital
-Bed rest dan immobilisasi
-Terapi konservatif traksi kulit selama 1 bulan
II.8 PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
ishiadicum. Os pubis merupakan bagian anterior os coxae dan
mempunyai corpus ossis pubis, ramus superior ossis pubis, dan
ramus inferior ossis pubis. Pada bagian bawah coxae terdapat
lubang besar, foramen obturatorum yang dibatasi oleh bagian-
bagian os ischium dan os pubis. Foramen obturatoum ditutupi oleh
membrane obturatoria.3
11
V untuk membentuk truncus lumbosacralis. Truncus lumbosacralis
berjalan turun kedalam pelvis dan bergabung dengan nervus
sacrales waktu nervus sacrales keluar dari foramina sacralia
anterior. Cabang-cabang plexus sacralis yang menuju ke
ekstremitas inferior antara lain : nervus ischiadicus, nervus gluteus
superior, nervus gluteus inferior, saraf untuk musculus quadratus
femoris, saraf untuk musculus obturatorius internus, nervus
cutaneus femoris posterior. Cabang-cabang plexus sacralis untuk
otot-otot pelvis, visceral pelvis, dan perineum antara lain : nervus
pudendus, saraf untuk musculus piriformis, nervus splanchnicus
pelvicus, nervus cutaneus perforans. 3
Plexus lumbalis memiliki cabang-cabang antara lain : truncus
lumbosacralis, dan nervus obturatorius. Truncus lumbosacralis
dibentuk dari sebagian ramus anterior nervus lumbalis 4 yang
muncul dari sisi medial musculus psoas major dan bergabung
dengan ramus anterior nervus lumbalis 5. Nervus obturatorius yang
merupakan cabang dari plexus lumbalis ini muncul dari sisi medial
musculus psoas major didalam abdomen dan mengikuti truncus
lumbosacralis kebawah masuk kedalam pelvis. Nervus obturatorius
ini terbagi 2 menjadi cabang anterior dan posterior yang berjalan
melalui canalis obturatorius dan masuk ke regio aduktor tungkai
atas. 3
12
Gambar 2 : Sisi Lateral Tulang Innominatum 5
6
b. Penyebab
1. Kecelakaan kendaraan bermotor (50-60%)
2. Kecelakaan sepeda motor (10-20%)
3. Pejalan kaki versus mobil (10-20%)
13
4. Jatuh dari ketinggian (8-10%)
5. Crush (3-6%)
c. Klasifikasi
1. Kalsifikasi menurut Tile, berdasarkan integritas kompleks
sakroiliaca posterior
a. Tipe A : Fraktur stabil, kompleks sakroiliaca intak.
- Tipe A1 : fraktur panggul tidak mengenai cicin
panggul
- Tipe A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang
minimal dari fraktur
(Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai
cincin panggul).7
14
b. Tipe B: Fraktur tidak stabil, umumnya trauma disebabkan
oleh adanya rotasi eksternal ataupun internal
yang mengakibatkan gangguan parsial kompleks
sacroiliac posterior. 7
- Tipe B1 : open book.
Stage 1 : symphisiolisis < 2,5 cm, terapi bed rest
Stage 2 : symphisiolisis > 2,5 cm, terapi OREF
Stage 3 : bilateral lessio, terapi OREF
- Tipe B2 : kompresi lateral/ipsilateral
- Tipe B3 : kompresi lateral/kontralateral
(Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu
sisi panggul (open book), atau rotasi interna atau
kompresi lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada
ramus isiopubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma
pada bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka
(closed book))7
15
c. Tipe C : Fraktur tidak stabil, akibat adanya trauma yang
terjadi secara rotasi dan vertical.
- Tipe C1 : unilateral
- Tipe C2 : bilateral
- Tipe C3 : disertai fraktur acetabulum
(Terdapat disrupsi ligament posterior pada satu atau
kedua sisi disertai pergeseran dari salah satu sisi panggul
secara vertical, mungkin juga disertai fraktur
asetabulum).7
16
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
- Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
- Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis
- Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka
c. Fraktur bilateral pada cincin panggul
- Fraktur vertical ganda dan atau dislokasi pubis
- Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)
- Fraktur multiple yang hebat
d. Fraktur asetabulum
- Tanpa pergeseran
- Dengan pergeseran
3. Klasifikasi menurut Young, berdasarkan mekanisme trauma,
terbagi menjadi 4 yaitu: kompresi lateral, kompresi
anteroposterior, pergeseran vertical, atau kombinasi.
4. Klasifikasi lain.7
a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang ischium dan tulang pubis
tanpa gangguan pada cincin.
- Fraktur ramus isiopubis superior
- Fraktur ramus isiopubis inferior
- Fraktur yang melewati acetabulum
- Fraktur sayap ilium
- Avulsi spina iliaka anterior-inferior
b. Fraktur disertai robekan pada cincin
5. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi. 7
a. Fraktur avulsi
b. Faktur stabil
c. Fraktur tidak stabil
d. Fraktur dengan komplikasi
Dalam menilai klasifikasi maka hal yang paling penting adalah
stabilitas panggul, apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena
hal ini penting dalam penanggulangan serta prognosis.
17
d. Mekanisme trauma
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul
karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian.
Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat
terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas
panggul maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan
disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung.
Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi
robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi
sakro-iliaka.7
18
2. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin
mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma
samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan
pada kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang
terdapat strain dari sendi sakro-iliaka atau fraktur ilium atau
dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama. 7
3. Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan
secara vertical disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi
sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila
seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai. 7
4. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi
kelainan diatas.7
e. Gambaran klinis
Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang
dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang
6,7,9
dapat terjadi pada fraktur panggul antara lain :
19
1. Nyeri
2. Pembengkakan
3. Deformitas
4. Perdarahan subkutan sekitar panggul
5. Hematuria
6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal
7. Syok
f. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit,
tujuannya untuk memonitor kehilangan darah yang
sedang berlangsung.6
b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria
dan atau mikroskopik.6
c. Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk
mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber
6
potensial (misalnya, keguguran, abrupsio plasenta).
2. Pemeriksaan Imaging
a. Radiografi
Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test
dasar dan mampu menggambarkan 90% cedera pelvis.
Namun, pada pasien dengan trauma berat dengan
kondisi hemodynamic tidak stabil seringkali secara rutin
menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan pelvis,
serta foto polos pelvis yang tujuannya untuk
memungkinkan diagnosis cepat fraktur pelvis dan
pemberian intervensi dini.6
b. CT-Scan
CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi
anatomi panggul dan derajat perdarahan pelvis,
20
retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga dapat
menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan
fraktur acetabular. 6
c. MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur
pelvis bila dibandingkan dengan radiografi polos (foto
polos pelvis). Dalam satu penelitian retrospektif, sejumlah
besar positif palsu dan negatif palsu itu dicatat ketika
6
membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.
d. Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the Focused Assessment with
Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis
seharusnya divisualisasikan untuk menilai adanya
pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru
menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih
rendah untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada
pasien dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat
bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat
hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan FAST
yang baik, keputusan terapeutik menggunakan FAST
sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas. 6
e. Cystography
Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan
6
hematuria dan urethra utuh.
g. Penatalaksanaan
Pengobatan harus dilakukkan sesegera mungkin berdasarkan
prioritas penanggulangan trauma yang terjadi (A, B, C). yaitu : 7
1. Resusitasi awal
a. Perhatiakan saluran/jalan nafas dan pernafasannya
21
b. Kontrol perdarahan dengan pemberian cairan ringer dan
transfusi
2. Anamnesis
a. Keadaan dan waktu trauma (mekanisme trauma)
b. Miksi terakhir
c. Waktu dan jumlah (makan dan minum) yang terakhir
d. Bila penderita seorang wanita, apakah sedang hamil atau
menstruasi
e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
- Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah, dan
respirasi
- Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan
trauma lainnya
b. Lokal
- Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya
perdarahan, pembengkakan, dan deformitas.
- Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan
palpasi pada ramus dan simfisis pubis.
- Adakan pemeriksaan colok dubur.
4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang
dicurigai mengalami trauma.
b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan
eksterna serta pemeriksaan foto panggul lainnya.
c. Pemeriksaan urologis dan lainnya :
-Kateterisasi
-Ureterogram
-Sistogram retrograde dan postvoiding
-Pielogram intravena
22
-Aspirasi diagnostic dengan lavase peritoneal
5. Pengobatan
a. Tindakan operatif bila ditemukan adanya kerusakan alat-
alat dalam rongga panggul.
b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic
sling, spika panggul.
23
Contohnya : Memperbaiki fraktur femoral dengan dilakukan
fiksasi menggunakan traksi tulang.
2. Dengan pemasangan traksi gerakan sendi dimungkinkan
dengan sekaligus tetap mempertahankan kesegarisan
fragmen-fragmen patah tulang.
3. Dengan traksi kejang otot-otot yang disebabkan penyakit
pada tulang atau sendai dapat diatasi. Contohnya : traksi
buck, yang terkadang direkomendasikan pada pasien
dengan cedera panggul
4. Dengan traksi suatu tungkai yang mengalami
pembengkakkan dapat ditinggikan sehingga mengurangi
pembengkakkan.
24
beban maksimal sebaiknya hanya digunakan tidak lebih dari
1 minggu. Jika kurang dari beban maksimal dan kulit
diperiksa dua kali dalam seminggu, traksi kulit dapat
10
dipergunakan dengan aman selama 4-6 minggu.
Traksi kulit menggunakan plester lebar yang direkatkan pada
kulit dan diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum
yang dapat diberikan adalah 5 kg yang merupakan batas
toleransi kulit. Terdapat 2 metode penggunaan traksi kulit
yang sering digunakan, yaitu traksi kulit berperekat
(adhesive) dan traksi kulit tidak berperekat (non-adhesive).
(Stewart, John D.M, 1983)
a. Traksi kulit berperekat (adhesive)
25
Tungkai ditopang untuk mencegah pembengkakan dan
iritasi dari tumit. (Stewart, John D., 1983 dan Subroto
Saparda, 1994)
26
Gambar 18 Traksi Buck. Kaki di elevasikan kemudian di
berikan bantalan dibawah betis. Menjaga kepala
fibular dan malleoli.
27
Merupakan pengobatan sementara pada fraktur sambil
menunggu terapi definitif
Fraktur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil
misalnya fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak
Untuk traksi pada spasme otot atau pada kontraktur
sendi misalnya sendi lutut dan panggul
Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang
seperti hernia nukleus pulposus (HNP) atau spasme
otot-otot tulang belakang
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada traksi kulit yaitu:
Penyakit Trombo-emboli
Aberasi, infeksi serta alergi pada kulit
2. Traksi tulang
Traksi tulang adalah traksi dengan tarikan langsung pada
tulang. Biasanya menggunakan kawat Kirschner (K-wire) atau
batang dari Steinmann pada lokasi-lokasi tertentu, yaitu : 10
Proksimal tibia
Epikondilus femur
Olekranon
Kalkaneus (jarang dilakukan karena komplikasinya)
Traksi pada tengkorak
Trokanter mayor
Bagian distal metakarpal
28
Thomas splint dengan pegangan lutut atau alat traksi
dari Pearson
Traksi tulang pada olekranon, pada fraktur humerus.
29
Gambar 19 Traksi Dunlop
Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak
usia lebih dari 2 tahun
30
Indikasi penggunaan traksi tulang :10
Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg
Traksi pada anak-anak yang lebih besar
Pada fraktur yang bersifat tidak stabil, oblik atau
komunitif
Fraktur-fraktur tertentu yang pada daerah sendi
Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana
fiksasi eksterna tidak dapat dilakukan.
Dipergunakan sebagai traksi langsung pada fraktur yang
sangat berat misalnya dislokasi panggul yang lama
sebagai persiapan terapi definitive
Komplikasi :10
Infeksi, misalnya infeksi melalui kawat atau pin yang
digunakan
Kegagalan penyambungan tulang (Non-union)akibat
traksi berlebihan
Luka akibat tekanan misalnya tekanan Thomas splint
pada tuberositas tibia
Parese saraf akibat traksi yang berlebihan (overtraksi)
atau bila pin mengenai saraf.
31
b. Robekan kandung kemih.
Robekan dapat terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis
atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan urethra.
d. Robekan urethra terjadi karena adanya disrupsi simfisis
pada daerah urethra pars membranosa.
e. Trauma rectum dan vagina.
f. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan
perdarahan massif sampai syok.
g. Trauma pada saraf.
- Lesi saraf skiatik
Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau
pada saat operasi. Apabila dalam jangka waktu 6
minggutidak ada perbaikan, maka sebaiknya
dilakukkan eksplorasi.
- Lesi pleksus lumbosakralis
Biasanya terjadi pada fraktur sacrum yang bersifat
vertical, disertai pergeseran. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat
saraf.
2. Komplikasi lanjut.7
a. Pembentukan tulang heterotropik
Pembentukan tulang heterotropik biasanya terjadi setelah
suatu trauma jaringan lunak yang hebatatau setelah suatu
diseksi operasi. Dapat diberikan indometasin untuk
profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler
Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur
beberapa waktu setelah trauma.
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder
32
Apabila terjadi fraktur pada daerah acetabulum dan tidak
dilakukkan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini
menopang berat badan, maka akan terjadi ketidak-
sesuaian sendi yang akan memberikan gangguan
pergerakan serta osteoarthritis di kemudian hari.
d. Skoliosis kompensatoar
33
BAB IV
ANALISA KASUS
Fraktur pelvis
Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan berupa : nyeri di
daerah pinggang yang terjadi setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien
tersungkur ke bawah mobil. Nyeri dipinggang terutama saat
menggerakkan panggulnya. Tedapat memar pada pinggang pasien.
Keluhan ini sesuai dengan teori yang mengarah ke keadaan fraktur
pelvis, antara lain :
1. Nyeri
2. Pembengkakan
3. Deformitas
4. Perdarahan subkutan sekitar panggul
5. Hematuria
6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal
7. Syok
Pada pemeriksaan fisik,didapatkan data berupa : nyeri tekan
(+) di seluruh lapang abdomen, di Regio pelvis : Look : jejas (+), Feel
: nyeri tekan (+), Move : ROM terbatas karena nyeri. Tanda dan gejala
di atas sesuai dengan teori yang mengarah ke fraktur pelvis, antara
lain : nyeri (+), ROM terbatas, deformitas (+), ketidakstabilan cincin
panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis.
Untuk menegakkan diagnosis pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan rontgen regio pelvis.
Kesimpulan :
34
Farktur pelvis
Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut gambarannya
menyerupai gambaran klasifiksai fraktur pelvis tidak stabil berdasarkan
klasifikasi TILE.
Melihat dari data keseluruhan yang terdiri dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis fraktur
pelvis dapat ditegakan dan berdasarkan teori yang telah dijelaskan
diatas, maka fraktur pelvis pada pasien ini di klasifikasikan kedalam
klasifikasi fraktur pelvis tidak stabil.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini antara lain :
-Pantau tanda vital
-Bed rest dan immobilisasi
-Terapi konservatif traksi kulit selama 1 bulan
-Rencana foto pelvis ulang setelah traksi kulit
35
DAFTAR PUSTAKA
36