Anda di halaman 1dari 12

REFERAT III / Tahun II

Oleh : dr. Hendry Gunawan


Pembimbing : dr. Siti Aminah, Sp.S(K),Msi.Med
Tanggal : 8 Desember 2010

KOMPLIKASI PADA MENINGITIS TB dan PENATALAKSANAANNYA

I.PENDAHULUAN
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang mengancam kehidupan umat
manusia yaitu telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada tahun 1993, WHO
mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC, karena pada sebagian besar negara di
dunia, penyakit TBC tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak
berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995,
diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita TBC, dengan kematian 3 juta orang.
Di negara berkembang kematian yang disebabkan oleh TBC merupakan 25% dari seluruh
kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TBC berada di negara
berkembang, 75% penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Sedangkan
Indonesia sendiri, merupakan negara terbanyak ketiga penderita TBC di dunia. Munculnya
epidemi HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC akan meningkat.
Penyakit TBC di Indonesia merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Pada
tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), menunjukkan bahwa penyakit
TBC merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran pernafasan pada semua kelompok umur, dan nomor satu dari golongan penyakit
infeksi. Pada tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TBC
dengan kematian karena TBC sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000
penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TBC dengan BTA positif.
Meningitis TB merupakan penyakit ekstra paru berat yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Seringkali pasien dibawa berobat setelah timbul gejala akibat
komplikasi meningitis TB seperti kejang, penurunan kesadaran, hemiparesis/hemiplegi dan
lain-lain. Pada penelitian di Bandung, sebagian besar pasien dibawa ke RS setelah
mempunyai gejala meningitis lebih dari 14 hari, dan kurang lebih 50% di antaranya datang
dalam berbagai tingkat penurunan kesadaran. Oleh karena itu, pada referat ini akan dibahas
komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul pada penderita meningitis TB. Dengan
mengenal komplikasi-komplikasi meningitis TB, diharapkan penanganan meningitis TB
dapat dilakukan secepat mungkin, sehingga dapat menurunkan tingkat kematian pada
penderita.

II. KLASIFIKASI PENYAKIT TUBERKULOSIS


Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC
(Mycobacterium tuberculosis). Kuman TBC berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi
kasus yang meberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Ada empat hal yang
perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus yaitu:

1
- Organ tubuh yang terkena yaitu paru atau ekstra paru.
- Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung yaitu BTA positif atau BTA
negatif.
- Riwayat pengobatan sebelumnya yaitu; baru atau sudah pernah diobati.
- Tingkat keparahan penyakit yaitu ringan atau berat.
Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak TBC paru dibagi atas:
1. TBC Paru BTA positif
-Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif.
-1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto ronsen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
2. TBC Paru BTA negatif.
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto ronsen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
(TBC ektra paru).
TBC ektra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a.TBC Ektra Paru Ringan
TBC kalenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,
dan kalenjar adrenal.
b. TBC Ektra Paru Berat
Meningitis, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC
usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.

2
Pada tahun 1999, New York City Department of Health melakukan penelitian organ-organ
yang paling banyak diserang oleh kuman TBC.

Gejala utama penderita TBC (1,2,7)adalah batuk terus- menerus dan berdahak selama 3 minggu
atau lebih.Gejala tambahan yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam naik
turun tanpa sebab yang jelas.
Pemeriksaan Penunjang:(7)
a.Pemeriksaan BTA
Diagnosis TBC Paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak
secara mikroskopis.
b. Uji Tuberkulin
c. Foto Ronsen Dada
d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi.
e. Pemeriksaan laboratorium (LED meningkat)

3
III. MENINGITIS TUBERKULOSIS
Meningitis Tuberkulosa adalah peradangan pada selaput otak atau meningen oleh kuman
tahan asam (Mycobacterium tuberculosis).(9)

Patogenesis terjadinya Meningitis TBC:(7)


Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Penularan
melalui droplet yang mengandung kuman tahan asam masuk melalui sistem pertahanan
mukosilier bronkus, dan terus berjalan sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi
dimulai saat kuman TBC berkembang biak dengan cara membelah diri di paru dan
mengakibatkan peradangan dalam paru. Kuman ini akan bersirkulasi dalam kalenjar limfe di
sekitar hilus paru. Lesi primer pada paru-paru berupa lesi eksudatif parenkimal disebut
kompleks primer Ghon.
Setelah terbentuknya kompleks primer, bisa terjadi proses infeksi lebih lanjut. Infeksi
berlanjut atau tidak tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya
tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh akan dapat
menghentikan perkembangan kuman BTA. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman yang dormant (tidur). Kuman dormant pada orang yang imunitasnya
rendah dapat terjadi penyebaran hematogen dan dapat menimbulkan infeksi umum yang
disebut sebagai TB Milier Disseminata. Pada keadaan daya tahan tubuh kuran efisien maka
akan terbentuk fokus caseosa yang besar dan mengalami enkapsulasi fibrosa dengan
menyimpan basil yang dorman. Reaktifasi dari fokus caseosa akan terjadi jika daya tahan
penderita menurun tuberkel akan membesar, pusat caseosa mencair, basil berproliferasi, lesi

4
akan ruptur dan melepaskan organisme dan produk antigen ke jaringan sekitarnya. Selain itu
hipotesa Rich, menerangkan bahwa meningitis tuberkulosa terjadi akibat rupturnya fokus
Rich sehingga kuman TBC menyebar ke dalam ruangan subarachnoid. Fokus perkejuan lokal
atau fokus Rich ini terjadi pada saat bakteriemi setelah infeksi primer atau reaktivasi
tuberkulosis.(7,8)

Gambaran klinis (1,2,5,7,8,11,12)


Gambaran klinis meningitis tuberkulosa sangat bervariasi. Trias meningitis yang paling
umum adalah nyeri kepala, demam, dan adanya kaku kuduk. Pada pasien meningitis
tuberkulosa biasanya timbul gejala-gejala tidak spesifik yaitu malaise, demam naik turun
tidak terlalu tinggi, nyeri kepala, dan mialgia selama 2-8 minggu. Gejala klinik berupa
sindroma meningitis akut terdiri dari koma, peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan
defisit neurologik fokal.

Gambaran klinis meningitis tuberkulosa


Gejala Tanda
Prodromal Prodromal
Anoreksia Demam
Berat badan menurun Pembesaran KGB
Batuk
Keringat malam
Gejala SSP SSP
Nyeri Kepala Meningismus
Meningismus Parese saraf kranial
Penurunan Kesadaran Penurunan Kesadaran
Muntah
Kejang

Gejala klinik Meningitis TB terbagi atas 3 stadium:(8,9)


1. Stadium prodormal
Berlangsung 1-3 minggu terdiri dari kenaikan suhu tubuh, nyeri kepala, mual muntah,
penurunan berat badan, apatis dan malaise.
2. Stadium perangsangan meningeal
Gejala berupa kaku kuduk dengan tanda meningismus.
3. Kerusakan otak setempat
Terdapat gejala defisit neurologis fokal seperti hemiparese dan kelumpuhan saraf otak. Pada
stadium akhir bisa timbuk gejala TTIK seperti kejang, penurunan kesadaran dan koma.

Berdasarkan Klasifikasi menurut Medical Research Council of Great Britain Meningitis TB


dibagi atas:
Grade I: penderita dengan gejala meningitis ringan, dalam keadaan umum yang baik dan
kesadaran penuh, serta tidak ditemukan defisit neurologis.
Grade II: penderita dengan gejala meningitis berupa perubahan kesadaran derajat ringan dan
defisit neurologis fokal ringan seperti hemiparesis dan kelumpuhan saraf otak.
Grade III: penderita dengan gejala meningitis berupa penurunan kesadaran berat (stupor
sampai koma) dengan defisit neurologis berat seperti hemiplegi dan kejang.
Kriteria diagnosa Meningitis TB menurut kriteria Ogawa:
Definite:
 Kultur Mycobacterium TB (+) pada LCS
 Ditegakkan dari otopsi

5
 Terdapat kedua hal di atas
Probable:
Gambaran pleositosis, kultur bakteri atau jamur (-) disertai satu dari:
 Uji Tuberkulin positif
 Terdapatnya tuberkulosa di luar SSP atau terdapatnya tuberkulosa aktif atau
pemaparan tuberkulosa yang bermakna sebelumnya
 Adanya riwayat kontak dengan TB Paru Aktif.
 Glukosa LCS <40mg/dl
 Kadar protein >60mg/dl

Pemeriksaan Penunjang:
1.Pemeriksaan LCS
Merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis Meningitis TB. Umumnya LCS jernih, tidak
berwarna, dan bila didiamkan selama 12 jam akan membentuk cob web atau pellicle atau
sarang laba-laba.
Gambaran yang khas untuk meningitis tuberkulosis adalah:
 Jumlah sel 100-500 sel/mm3 dengan predominan limfosit (mononuklear) namun pada
saat akut dapat predominan polimorfonuklear.
 Protein 100-500mg/dL
 Glukosa < 40mg/dL atau kurang dari 50% kadar gula sewaktu.
2. Pemeriksaan darah rutin dan sputum (7)
Pada 80% penderita meningitis didapatkan peningkatan Laju Endap Darah (LED) yaitu lebih
dari 20mm/jam. Selain itu bisa didapatkan hiponatremi pada pasien Meningitis TB yang
disebabkan oleh anoreksia (intake kurang), muntah kronis atau akibat dari SIADH.
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk membuktikan adanya kuman BTA.
3. Ronsen dada
Pada ronsen dada bisa didapatkan gambaran kompleks primer, infiltrat pada apeks paru. dan
gambaran milier. TB Milier ditemukan pada 25-50% penderita TB. Tidak didapatkannya
gambaran TB Paru Aktif pada gambaran radiologi, tidak menghilangkan kemungkinan
meningitis tuberkulosa
4. Tuberkulin test
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan
sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam skrining
TB. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian
depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

1. Pembengkakan : 0–4mm,uji mantoux negatif.


(Indurasi) Arti klinis : tidak ada infeksi
Mikobakterium tuberkulosa.
2. Pembengkakan : 3–9mm,uji mantoux meragukan.
(Indurasi)
3. Pembengkakan : ≥ 10mm,uji mantoux positif.
(Indurasi) Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mikobakterium tuberkulosa.

6
IV. KOMPLIKASI MENINGITIS TB dan PENATALAKSANAANNYA
Komplikasi meningitis tuberkulosa dapat terjadi karena reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh organisme dan berhubungan dengan reaksi antigen antibodi di otak dan
rongga subaraknoid. Gejala klinis utama pada proses patologis meningitis adalah ploriferatif,
terutama araknoiditis basilar, vaskulitis pada arteri dan vena yang disebabkan oleh eksudat
dan gangguan aliran LCS dan resorpsinya yang menyebabkan hidrosefalus.(8,10)
Komplikasi pada meningitis tuberkulosa disebabkan oleh eksudat.Eksudat pada
meningitis tuberkulosa tersebar sepanjang basis hemisfer serebri . Eksudat yang kental,
berbentuk seperti agar-agar, menutupi pons dan sisterna interpeduncularis dan menyebar ke
meningen, mengelilingi medula, lantai ventrikel 3 dan subtalamikus, kiasma optikus, dan
permukaan bawah lobus temporal. Secara mikroskopis, eksudat terdiri dari fibrin, limfosit,
sel plasma, sel mononuklear, dan sel PMN. Pada meningitis tuberkulosa terjadi pembentukan
eksudat gelatinosa yang berada di dasar otak menyebabkan kelainan SSP, melalui vaskulitis
serebral (menyebabkan arteritis), penyumbatan aliran CSF (hidrosefalus) dan penjeratan saraf
kranial.(8,13,14)

Komplikasi pada penderita meningitis TB bisa berupa:(8,9,10)


a.Arteritis(8,14)
Terjadi karena infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningeal yang
mengalami inflamasi sehingga timbul vaskulitis. Defisit neurologis yang muncul dapat
berupa hemiparese. Vaskulitis dapat disebabkan oleh penyebaran secara langsung pembuluh
darah oleh mycobacteria atau penyebaran dari araknoiditis. Vaskulitis menyebabkan spasme
atau trombosis pembuluh darah, yang menghasilkan infark terutama di basal ganglia dan
kapsula interna. Vaskulitis biasanya mengenai arteri serebri anterior dan media, sehingga
menimbulkan infark dan hemiplegi.
Vaskulitis akan mengakibatkan trombosis dan infark sehingga terjadi gangguan
pembuluh darah. Reaksi inflamasi vaskuler disebabkan oleh penyebaran kuman secara
langsung ke tunika adventisia. Setelah itu keluar sel-sel PMN, diikuti oleh infiltrasi limfosit
sel plasma, dan makrofag menyebabkan kerusakan progresif dari tunika adventisia,elastin,
dan penyebaran proses inflamasi ke tunika intima. Keterlibatan pembuluh darah di basal
ganglia dan pons dapat mengakibatkan infark lakuner. Lesi multipel dapat terjadi di area
iskemik injuri di basal ganglia, korteks serebri, pons dan serebelum.

b.Kelumpuhan saraf otak


Kelainan saraf otak yang sering muncul adalah N II,III,IV,VI, dan VII.
Mekanisme terjadinya penjeratan saraf pada penderita meningitis (8,9,11):
Eksudat yang tertimbun di sisterna basalis dapat menimbulkan proses inflamasi dan fibrosis
sehingga dapat menekan saraf otak di sekitarnya. Eksudat terdiri dari fibrin, limfosit, sel
plasma, MN, dan beberapa sel PMN. Eksudat yang kental menyebabkan meningitis basal
dengan penjeratan N II,III,IV,VI dan VII. Onset bisa terjadi beberapa minggu.
Seperti infeksi tuberkulosis dalam tubuh, infeksi tuberkulosis di otak, meningitis basal
dan arteritis merupakan reaksi pertahanan tubuh. Meningitis basal pada meningitis serosa
dapat ringan atau berat. Eksudat dapat melekat pada ruang subaraknoid. Gangguan pada
visual dapat terjadi pada nervus optikus dan membrannya. Gangguan visual dapat terjadi
pada awal perjalanan penyakit dan dapat menunjukkan keparahan dari penyakitnya. Bagian
dari adesif basal araknoiditis merupakan penyebab terpenting terjadinya meningitis basal.
Penatalaksanaannya adalah dengan terapi anti tuberkulosa.. Pemberian kortikosteroid
akan membantu pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat edema serebral yang hebat
sehingga menimbulkan defisit neurologis fokal berupa penjeratan saraf kranial.

7
c. Hidrosefalus (4,8,10,13)
Terjadi pada minggu 4-6. Terjadi sebagai manifestasi dari gangguan aliran LCS yang
disebabkan oleh eksudat. Jika terjadi pada ruang subependimal akan menyebabkan
hidrosefalus komunikan. Hidrosefalus non komunikan terjadi jika sumbatan terjadi dalam
sistem ventrikel. Hidrosefalus kemungkinan diakibatkan oleh reaksi basal adhesive
meningitis karena perjalanan CSF mengalami gangguan mulai dari keluarnya ventrikel 4 ke
tempat absorpsi vili araknoid. Gejala klinis yang muncul adalah peningkatan tekanan intra
kranial berupa penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan muntah. Bila mana terdapat tanda-
tanda tersebut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang CT scan untuk memastikan
apakah terdapat hidrosefalus.
Bila terjadi hidrosefalus, penatalaksanaannya adalah dilakukan drainase ventrikuler.
Operasi tersebut dilakukan tidak hanya untuk mengurangi tekanan tinggi intrakranialnya,
tetapi juga memperbaiki defisit neurologik. Hidrosefalus komunikans dilakukan tindakan
pengeluaran cairan serebrospinal melalui lumbal pungsi berulang setiap 12-24 jam. Lumbal
pungsi ulangan dihentikan setelah 2-3 minggu. Apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa, dianjurkan untuk dilakukan pemasangan VP –shunt.
Pengobatan meningitis tuberkulosa dan hidrosefalus harus dilakukan agresif dengan
OAT dan apabila perlu diberikan kortikosteroid. Ventrikuler CSF pada sebagian besar kasus
tidak diperlukan. Monitoring tekanan intraventrikuler dapat berguna pada situasi di mana ada
keraguan untuk dilakukan operasi atau tidak.Pasien imunocompromised dengan meningitis
tuberkulosa, harus dilakukan penggantian shunt tube untuk menghindari infeksi.
Pada pasien meningitis tuberkulosa dengan komplikasi hidrosefalus, tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan kesadaran harus dimonitor. Beberapa pasien memerlukan
pemasangan shunt. Pada pasien dengan hidrosefalus dengan gejala nyeri kepala, penurunan
kesadaran, dipertimbangkan untuk operasi shunt. Sebelum dilakukan shunt, monitoring
tekanan intraventrikuler.
Indikasi VP shunt adalah progresif hidrosefalus yang ditandai dengan bukti adanya
peningkatan TTIK. Komplikasi VP shunt: infeksi, obstruksi, malfungsi dan over drainase.
Pada penelitian ditemukan, lebih dari 10% VP shunt dapat terinfeksi, 70% infeksi terjadi

8
pada bulan pertama setelah pemasangan VP shunt, termasuk komplikasi pada saat
pemasangan VP shunt. Malfungsi dari shunt terjadi karena diskoneksi, tube tersumbat atau
melipat, sehingga justru akan meningkatkan tekanan intrakranial. Komplikasi lain adalah
peritonitis, asites yang disebabkan oleh LCS, obstruksi gastro intestinal, migrasi dari shunt ke
rongga peritoneal dan perforasi dari viscera abdomen.

d. Araknoiditis spinal (8,13,15,16)


Terjadi pada proses peradangan kronis pada leptomeningen dan penyebaran eksudat
ke kanalis spinalis. Gejala yang timbul akibat kompresi lokal pada medulla spinalis dan
radiks. Araknoiditis tuberkulosa atau tuberkuloma dapat berkembang di berbagai tingkat
Medula Spinalis yang berhubungan dengan pecahnya fokus Rich di medula spinalis atau
meningen atau dengan berkembang dari spondilitis yang tidak terlihat, pada daerah yang
dekat. Proses inflamasi biasanya lokal dan gradual pada sebagian atau seluruh lapisan medula
spinalis. Pasien biasanya didapatkan gejala kombinasi dari serabut saraf dan kompresi medula
spinalis, biasanya berakibat araknoiditis lanjutan. Wadia dan Dastur, menyebutkan
araknoiditis dapat berkembang selama 2 bulan, dan keparahan maksimum selama 2-5 hari
dan beberapa kasus dapat berkembang lebih dari beberapa tahun. Gejala klinis berupa nyeri,
hiperestesi, atau parestesi pada serabut saraf, paralisis LMN, dan inkontinens urin et alvi.
Pada kasus lain, massa granulomatus atau abses dapat berkembang pada ruang epidural, yang
menghasilkan gejala kompresi medula spinalis tanpa ada iritasi meningeal. Semua bentuk
spinal tuberkulosa araknoiditis dapat menyebabkan blok subaraknoid yang ditandai dengan
tingginya protein di LCS dengan atau tanpa respons selular.
Diagnosis spinal tuberkulosis araknoiditis berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Gejala subakut pada medula spinalis dan nyeri saraf tepi, meningkatnya protein
LCS dan jumlah sel, tanda-tanda araknoiditis dan bukti adanya tuberkulosis di seluruh tubuh.
Operasi dan biopsi jaringan dibutuhkan untuk diagnosis.
Menurut penelitian, pada araknoiditis spinal dianjurkan pemberian kortikosteroid.
Prednison dengan dosis 60-80mg sehari, diberikan beberapa kali sehari. Perlahan-lahan
diturunkan pada minggu kedua atau ketiga sampai 30 mg dan selanjutnya setiap 3-4 hari
dosis diturunkan lagi sampai seluruh waktu pemberian obat adalah 6-8minggu. Bila sudah
ada kerusakan iskemik pada medula spinalis pengobatan tersebut tidak ada gunanya.

e. Tuberkuloma (8,12)
Tuberkel pada otak tidak ruptur ke rongga subaraknoid. Tuberkel bertambah besar sehingga
menimbulkan gejala SOL, seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial dan defisit
neurologis. Tuberkuloma tumbuh secara perlahan. Penatalaksanaannya adalah dengan terapi
anti tuberkulosa. Lesi tuberkuloma biasanya menghilang dengan terapi medikal. Intervensi
bedah terhadap tuberkuloma jarang menunjukkan hasil yang mengembirakan. Tindakan
bedah mungkin dibutuhkan bila lokasi lesi tersebut menimbulkan hidrosefalus obstruktif atau
kompresi pada batang otak. Pemberian kortikosteroid akan membantu pada kasus-kasus
tertentu di mana terdapat edema serebral yang hebat sehingga menimbulkan penurunan status
mental dan defisit neurologis fokal.

f. Kejang(8,15)
Pada umumnya, kejang ditemukan pada stadium akut penyakit, walaupun demikian dapat
pula terjadi karena gejala sisa penyakit pada 8-12% penderita. Penatalaksanaan untuk kejang
diberikan obat antikonvulsan seperti fenitoin. Bila terjadi status epileptikus diberikan
diazepam. Perlu pemeriksaan ketat kadar fenitoin dalam plasma, sebab INH menghambat
metabolisme fenitoin sehingga dapat mengakibatkan intoksikasi fenitoin.

9
g. Hiponatremi
Salah satu komplikasi dari Meningitis TB adalah hiponatremi. Penyebab hiponatremi
tersering pada penderita Meningitis TB adalah intake kurang dan SIADH. Oleh karena itu
perlu diketahui perbedaan penyebab hiponatremi karena intake kurang atau SIADH. Hal ini
penting dilakukan karena penanganan hiponatremi karena intake kurang dan SIADH sangat
berbeda. Pada SIADH dibutuhkan restriksi cairan, sedangkan pada intake kurang kita harus
mengatasi hiponatremi dengan cara secepatnya memberikan cairan NaCl sesuai kebutuhan
pasien.(3,4)
SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormon)(3,4)
SIADH terjadi karena perangsangan pada daerah hipotalamus yang menyebabkan
dilepaskannya vasopresin dari neurohipofise.

SIADH terjadi sebagai komplikasi meningitis serosa karena kompresi eksudat peradangan
yang kental pada daerah basal otak dekat hipotalamus atau hipofisis. Selain itu dapat pula
disebabkan oleh kompresi pada hipotalamus dan hipofisis.
Kriteria diagnostik SIADH:(4)
 Kadar natrium serum < 135mEq/l
 Osmolaritas darah <280mOsmol/l
 Natriuresis (kadar natrium >18mEq/l)
 Osmolalitas urin lebih tinggi dari osmolalitas serum
Osmolalitas serum = 2(Na) + Glukosa/18 + BUN/2,8
 Fungsi tiroid, adrenal dan renal yang normal
 Tidak ditemukan adanya edema perifer dan dehidrasi

Pada pasien meningitis perlu dibedakan penyebab hiponatreminya karena SIADH atau intake
kurang. Berikut adalah perbedaan antara SIADH dan intake kurang.

SIADH Intake kurang


Penyebab hiponatemi Rangsangan hipotalamus Muntah,mual
Jenis Hiponatremia normovolemia Hiponatremia hipovolemia
Dehidrasi (-) (+)
Kriteria SIADH (+) (-)
Penatlaksanaan Restriksi cairan Penggantian cairan
Penentuan diagnosa hiponatremi pada pasien meningitis sangat diperlukan untuk menentukan
terapi hiponatremi. Pada SIADH diperlukan restriksi cairan, sedangkan pada intake kurang
diperlukan penggantian cairan sesuai kebutuhan.

10
h. Edema otak (8,13)
Obat pilihan untuk edema otak pada meningitis tuberkulosis adalah kortikosteroid, walaupun
masih belum ada kesepakatan mengenai pemakaian kortikosteroid. Menurut penelitian
Thwaites (2004): kortikosteroid menurunkan mortalitas secara bermakna pada seluruh
derajat klinis.
• Dexamethasone direkomendasikan pada kasus:
• Gangguan kesadaran
• Papiledema
• Defisit neurologis fokal
• TTIK
• Dosis dexamethasone yang disarankan:
• 0,3 mg/kgBB/hari  Meningitis serosa derajat I
• 0,4 mg/kgBB/hari  Meningitis serosa derajat II & III.

V. PROGNOSIS MENINGITIS TUBERKULOSIS


Prognosis meningitis tuberkulosis sebelum ditemukan Obat Anti Tuberkulosis, sangat buruk.
Kematian biasanya terjadi dalam waktu 1 sampai 4 minggu. Beberapa faktor yang
mempengaruhi prognosis adalah:(8)
1. Diagnosis dini.
2. Usia
Prognosis paling buruk untuk penderita dengan usia di bawah 3 tahun dan di atas 40
tahun.
3. Lamanya perjalanan penyakit sebelum diberikan terapi.
Pengobatan yang diberikan lama setelah onset penyakit akan memberikan peningkatan
mortalitas dan komplikasi neurologik berat.
4. Pengenalan dini dan pengobatan secepatnya dari berbagai komplikasi.
Prognosis akan lebih baik apabila pengobatan diberikan secepatnya untuk peninggian
tekanan intrakranial atau hidrosefalus.
5. Imunisasi BCG.
Vaksinasi BCG akan membuat respon imunologik seseorang baik, sehingga gejala klinik
ringan dan penyembuhan sempurna.
6. Malnutrisi.
Angka kematian tinggi pada penderita meningitis TB yang malnutrisi, karena penurunan
daya tahan tubuh pada malnutrisi.

VI. KESIMPULAN
Telah dibahas referat Komplikasi Pada Meningtis TB dan Penatalaksanaanya.. Pada
referat ini dibahas mengenai komplikasi-komplikasi apa saja yang mungkin timbul pada
penderita meningitis TB. Dengan mengetahui komplikasi-komplikasi pada penderita
meningitis TB, diharapkan penataksanaan pasien dapat lebih baik dan para klinisi dapat
memberikan terapi yang terbaik guna mencegah perburukan pada pasien.

11
DAFTAR PUSTAKA

1 .Abdel Monem Hegazi .Tuberculous Meningitis. 2007. www.emedicine.com.

2. Adams R.D,et al. Infection of Nervous System, Principles of Neurology, 8th edition,
McGraw Hill, 2005;594-601.

3.Bernardio, et al.Tuberculous Meningitis Presenting with Unusually Severe


Hyponatremia..The Mount Sinai Journal of Medicine. 2006

4. Greenberg, Mark.S. Handbook of NeuroSurgery. Greenberg Graphics, Inc.4th Edition.


New York:Thieme; 2001.p.12-4.

5. Khoo, Lau, Cheung, TH Tsoi Central Nervous System Tuberculosis. Department of


Medicine, Pamela Youde Nethersole Eastern Hospital, Hong Kong. 2006.

6. Lindsay K, Multifocal Neurological Disease and its Management, Neurology and


Neurosurgery Illustrated, 4th edition, Churcill Livingstone, 2004:486-489.

7.Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta. 2002: 13-21.

8. Panggabean R. Pola Penderita Meningitis Tuberkulosis. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK


Unpad, Bandung.1985.

9. Ross K.L, Meningitis Maxims,4th edition, Oxford University Press, New York, 1996.

10. Rajshekhar V. Management of hydrocephalus in patients with tuberculous meningitis.


Neurol India 2009;57:368-74

11. Scheld W, Infection of Central Nervous System, 3rd edition, Lippincott


Williams&Wilkins, 2004:350-353.

12. Sohail MD, FRCS; Abdalrahim, Mahamed FRCS; Joharji, Mohammed MD, FACHA; Al
Moutaery, Khalaf R. MD, FRCS .Intracranial Tuberculoma. Neurosurgery Quarterly: December
2003 - Volume 13 - Issue 4 - pp 282-291.

13 Seth ,Atul Goel .Tuberculous meningitis and hydrocephalus Department of Neurosurgery,


G. S. Medical College and K. E. M. Hospital, Parel, Mumbai - 400012, India.

14. SHI-HON NG M. B.B.S. (H. K.), M. R. C. P.(U.K.). CEREBRAL TUBERCULOUS Medical


Journal & Health Officer,Medical Unit C, Queen Elizabeth Hospital, Hong Kong

15. Vinken et al. Infections of The Nervous System. Meningitis TB. North-Holland
Publishing Company. Amsterdam. 1998.

16. Wilks ,David MA, MD, FRCP, DTM&H. The Infectious Diseases Manual.Blackwell
2003.p.290.

12

Anda mungkin juga menyukai