Abstrak:
Hipernatremia biasa terjadi di unit perawatan intensif. Hipernatremia memiliki efek yang
merugikan pada berbagai fungsi fisiologis dan terbukti menjadi faktor risiko independen
untuk peningkatan mortalitas pada pasien yang sakit kritis. Mekanisme hipernatremia
meliputi perolehan natrium dan / atau kehilangan air, hal ini dapat dibedakan dengan
penilaian klinis dan analisis elektrolit urin. Karena banyak pasien sakit kritis memiliki tingkat
kesadaran yang terganggu, keseimbangan air mereka tidak lagi dapat diatur oleh rasa haus
atau konsumsi cairan, melainkan dikelola oleh dokter. Karena itu, para petugas unit intensif
harus sangat berhati-hati untuk memberikan keseimbangan natrium dan cairan yang cukup
untuk mereka. Hipernatremia ditangani dengan pengaturan dari cairan dan/atau diuretik,
yang dapat meningkatkan ekskresi natrium oleh ginjal. Tingkat koreksi sangat penting dan
harus disesuaikan dengan kecepatan perkembangan kondisi hipernatremia.
1. Pendahuluan
Hypernatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum melebihi 145 mmol / L [1].
Persamaan Edelman menunjukkan konsentrasi natrium serum (Na +) sebagai fungsi dari
total natrium dan kalium yang dapat bertukar dalam tubuh dan total cairan tubuh.
Persamaan 1 (Jika total Na+ dalam tubuh adalah total natrium yang dapat bertukar,
sedangkan total K+ dalam tubuh adalah total kalium yang dapat bertukar).
Hipernatremia hanya dapat terjadi sebagai dampak dari penambahan natrium atau
hilangnya cairan atau kombinasi dari keduanya. Meskipun hiponatremia dapat dikaitkan
dengan iso-osmolalitas atau bahkan hiperosmolalitas ketika terdapat suatu partikel yang
aktif secara osmotik berlebih (misalnya, glukosa dalam hiperglikemia), hipernatremia selalu
dikaitkan dengan hiperosmolalitas. Dalam kondisi normal, rasa haus adalah mekanisme
pertahanan utama terhadap terjadinya hipernatremia. Osmolalitas diatur secara terbatas
pada individu yang sehat, dan bahkan sedikit peningkatan osmolalitas menyebabkan
peningkatan rasa haus dan sekresi hormon antidiuretik. Dengan demikian, hipernatremia
biasanya terjadi ketika tidak ada akses untuk cairan, ketika orang tersebut memiliki sensasi
rasa haus yang terganggu atau ketika dalam keadaan tidak sadar. Pasien yang sakit kritis
sering tidak sadar, diintubasi, atau dibius, dan "asupan air" mereka terus dikelola terutama
oleh dokter, membuat pasien tersebut rentan terhadap terjadinya hipernatremia. Ulasan ini
memberikan tinjauan umum tentang temuan baru pada epidemiologi dan hasil yang terkait
dengan hipernatremia pada pasien yang kritis. Dan berfokus pada patofisiologi dan
pendekatan diagnostik yang saat ini digunakan, dan rekomendasi pengobatan untuk
hipernatremia dalam perawatan intensif.
Pada dasarnya, hipernatremia lebih berperan pada orang tua dan bayi yang mengalami
diare. Tentunya, hipernatremia jarang terjadi pada pasien rawat inap yang tidak kritis,
dengan prevalensi 0,2% untuk hipernatremia saat masuk rawat inap dan 1% untuk pasien
yang mengalami hipernatremia selama rawat inap di rumah sakit. Sebaliknya, hipernatremia
sering ditemukan pada pasien sakit kritis yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU).
Setelah masuk ke ICU, antara 2% sampai 6% pasien dengan kondisi hipernatremia.
Antara 6% sampai 26% dan 4% sampai 10% pasien menjadi hipernatremi selama perawatan
di masing-masing ICU medis dan bedah. Dalam suatu penelitian kohort pasien selama
menjalani perawatan medis di rumah sakit dan dalam pasien kohort yang dirawat di ICU
setelah operasi kardiotoraks, kejadian kumulatif hipernatremia telah menunjukkan
bahwa hampir semua pasien yang pernah mengalami hipernatremia selama tinggal di ICU
mengalami gangguan elektrolit selama minggu pertama setelah masuk rumah sakit.
Pengamatan ini mungkin dapat dijelaskan oleh upaya dokter untuk memperbaiki
hipovolemia, yang sering dikaitkan dengan pemberian sejumlah besar cairan, yang di satu
sisi, mungkin hipertonik dibandingkan dengan jumlah cairan yang hilang pada pasien atau, di
sisi lain, mengandung kalium untuk mengkoreksi hipokalemia, yang efeknya dapat memicu
perkembangan hipernatremia. Selain itu, pemberian loop diuretik dapat menyebabkan
peningkatan kadar natrium serum.
Gambaran umum studi tentang hipernatremia pada pasien sakit kritis dapat dilihat pada
Tabel 1.
Hipernatremia dan keadaan hiperosmolar yang terkait memiliki beberapa efek pada fungsi
tubuh. Efek samping hipernatremia yang paling terlihat adalah pada fungsi neurologis.
Terjadinya hipernatremia menyebabkan hiperosmolalitas yang mengakibatkan
berpindahnya cairan dari intraseluler ke ruang ekstraseluler. Hal ini menyebabkan
penyusutan sel otak, yang bahkan dapat menyebabkannya ruptur pembuluh darah dan
defisit neurologis permanen pada kasus yang parah. Demielinisasi serebral, adalah
komplikasi yang paling ditakuti dalam koreksi hiponatremia, yang juga dilaporkan dalam
berbagai kasus hipernatremia. Pasien dengan dengan kerusakan hepar tahap akhir yang
mengalami hipernatremia cenderung rentan terhadap demielinasi serebral. Efek
neuromuskuler dari hipernatremia termasuk kelemahan otot atau kram. Pada bayi,
hipernatremia telah terbukti menyebabkan kegelisahan, letargi, hiperpnea, bahkan koma.
Dapat disimpulkan bahwa gangguan neurologis yang disebabkan oleh adanya hipernatremia
dapat menyebabkan penggunaan ventilasi mekanis yang berkepanjangan.
Penyusutan sel yang disebabkan oleh hiperosmolalitas telah terbukti memiliki efek katabolik
dan antiproliferatif. Pada model hewan, hiperosmolalitas menginduksi respon sitokin
proinflamasi. Hipernatremia juga terbukti merusak glukoneogenesis hati dan pembersihan
laktat. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk diabetes mellitus yang menunjukkan
hiperosmolalitas, peningkatan risiko tromboemboli vena telah dibuktikan. Penyusutan sel
yang disebabkan oleh hiperosmolalitas telah terbukti memiliki efek katabolik dan
antiproliferatif. Pada hewan, hiperosmolalitas menginduksi respon sitokin proinflamasi.
Hipernatremia juga terbukti menurunkan glukoneogenesis oleh hepar dan pembersihan
laktat. Terbukti adanya peningkatan risiko tromboemboli vena pada pasien diabetes mellitus
dengan hiperosmolalitas yang dirawat di rumah sakit.
Gangguan fungsi jantung melalui penurunan kontraktilitas ventrikel kiri telah dilaporkan
pada pasien hipernatremia. Selain itu, hipernatremia berat telah dilaporkan menyebabkan
rhabdomiolisis dan berakibat gagal ginjal akut. Perlu diingat bahwa tingkat keparahan gejala
pada hipernatremia sangat tergantung pada kecepatan perkembangan dari hipernatremia
(akut vs kronis).
Gambar 2. Pendekatan diagnostik untuk pasien kritis dengan peningkatan serum natrium /
hipernatremia menunjukkan dua mekanisme yang mungkin terjadi perkembangan
terjadinya hipernatremia: kehilangan cairan atau perolehan natrium. Dalam ICU, kombinasi
dari kedua mekanisme akan berkontribusi pada terjadinya hipernatremia dalam banyak
kasus. Kehilangan cairan dibagi lagi menjadi kehilangan cairan ginjal dan ekstrarenal.
Kehilangan cairan dapat disebabkan oleh mekanisme dalam ginjal maupun ekstrarenal.
Osmolalitas serum dan plasma dapat membantu dalam evaluasi penyebab hipernatremia.
Osmolalitas urin yang melebihi osmolalitas serum menunjukkan retensi cairan pada ginjal
dan, oleh karena itu, hilangnya air melalui rute nonrenal menunjukan suatu hubungan, yang
digunakan dalam rumus pengosongan cairan. Namun, hubungan ini tidak berguna dalam
diuresis osmotik di mana sebagian besar osmolitik dalam urin dideskripsikan dengan adanya
glukosa atau urea (lihat di bawah).
Keadaan regulasi air ginjal saat ini (yaitu, apakah ginjal mempertahankan atau
mengeluarkan cairan) dan, diskriminasi antara kehilangan cairan dalam ginjal dan
ekstrarenal dapat dengan mudah ditentukan dengan menghitung pengeluaran cairan bebas
elektrolit (EFWC):
dengan volume urin dihitung dalam liter dan Na+ dan K+ dalam milimol per liter.
EFWC menggambarkan jumlah air (bebas natrium dan kalium) yang dikeluarkan dari tubuh
oleh ginjal selama waktu pengumpulan volume urin. Dalam kasus peningkatan natrium
serum, EFWC negatif (yaitu ginjal mempertahankan air) menunjukkan kehilangan air
ekstrarenal.
Sebaliknya, EFWC positif (yaitu, cairan diekskresikan oleh ginjal) dalam keadaan peningkatan
natrium serum dan osmolalitas serum menunjukkan hilangnya cairan di ginjal.
Kehilangan air ginjal dapat dipicu oleh berbagai penyebab. Dalam sebuah studi tentang
patofisiologi hipernatremia yang didapat ICU, 38% pasien poliuri, dan sebagian besar pasien
tersebut menunjukkan diuresis osmotik. Diuresis osmotik dapat disebabkan oleh
hiperglikemia dan akibatnya glukosuria, pemberian manitol, atau urea. Diuresis osmotik
akibat urea sering menjadi penyebab hilangnya cairan dari ginjal dan akibatnya peningkatan
konsentrasi natrium serum pada pasien yang sakit kritis. Fenomena ini dapat diamati pada
pasien yang diberi makan menggunakan tube atau dalam keadaan katabolik. Jumlah urea
yang tinggi dihasilkan dan diekskresikan dalam urin. Proses ini menyebabkan output osmol
yang tinggi pada ginjal dan akibatnya kehilangan cairan seperti pada glukosuria.
Penyebab umum lain dari hilangnya cairan di ICU adalah penggunaan diuretik. Pemberian
loop diuretik khususnya menyebabkan hilangnya hipertonisitas pada medula ginjal, yang
menyebabkan defisiensi konsentrasi pada ginjal. Bergantung pada dosis dan frekuensi
pemberian, penggunaan diuretik dapat menyebabkan hilangnya banyak cairan. Dalam
sebuah penelitian observasional tentang penggunaan manitol dalam ICU neurologis,
hipernatremia diamati hingga 21% dari pasien selama 7 hari pengobatan manitol.
Diuresis air juga dapat disebabkan oleh diabetes insipidus, yang selanjutnya dibagi menjadi
diabetes insipidus sentral dan nefrogenik. Diabetes insipidus sentral seringkali diamati
responnya terhadap kerusakan sistem saraf pusat atau pembedahan. Hal ini terkait dengan
berkurangnya sekresi hormon antidiuretik, sedangkan diabetes insipidus nefrogenik
disebabkan oleh berkurangnya kerentanan terhadap penahan cairan efek dari hormon
antidiuretik. Penyebab diabetes insipidus nefrogenik beragam mulai dari keturunan sampai
kasus yang diinduksi oleh obat. Contoh untuk obat yang berhubungan dengan diabetes
insipidus nefrogenik termasuk lithium, foscarnet, amfoterisin B, atau ifosfamid. Selain itu,
hiperkalsemia dapat menyebabkan diabetes insipidus, tetapi secara umum, hiperkalsemia
yang kronis. Hipokalemia juga dapat menyebabkan kerusakan konsentrasi ginjal dengan
hilangnya cairan. Untuk diagnosis diabetes insipidus, kriteria berikut harus terpenuhi:
poliuria (yaitu, urin 24 jam volume melebihi 2,5 L atau 40 mL / kg per hari) dan diatas nilai
normal atau bahkan meningkat (seperti dalam kasus pasien kritis) kadar natrium serum
terutama pada keadaan osmolalitas serum lebih tinggi daripada osmolalitas urin. Sebagai
langkah selanjutnya, diferensiasi antara diabetes insipidus sentral dan nefrogenik
ditentukan oleh pemberian desmopresin. Jika osmolalitas urin meningkat menjadi lebih dari
600 mosm / kg, tes ini dapat dianggap positif, dan diabetes insipidus sentral terjadi. Namun,
diabetes insipidus tampaknya hanya menyebabkan beberapa kasus hipernatremia di ICU,
meskipun mungkin memiliki peran yang lebih besar dalam ICU dengan kasus neurologis.
Namun demikian, diagnosis diabetes insipidus yang benar sangat penting karena
pengobatan yang efektif dan sederhana telah tersedia.
Insufisiensi ginjal dapat menyebabkan hilangnya cairan. Meskipun laju filtrasi glomerulus
berkurang pada insufisiensi ginjal, output urin mungkin normal atau bahkan di atas normal.
Pengamatan ini disebabkan oleh gagalnya pengenceran urin dan juga kemampuan
konsentrasi ginjal. Meskipun ginjal yang sehat menghasilkan urin dengan osmolalitas mulai
dari 50 hingga 1200 mosm / kg, output ini dapat dikurangi menjadi hanya 200 hingga 300
mosm / kg jika terjadi kegagalan. Kegagalan pengenceran ginjal seperti itu disebut sebagai
hyposthenuria. Kegagalan ini dapat menyebabkan kehilangan cairan yang signifikan dan
bahkan perkembangan ke arah hipernatremia jika hilangnya hipo-osmolar digantikan oleh
isotonik atau larutan hipertonik.
5.2.2 Hilangnya cairan extrarenal
Kehilangan air ekstrarenal dapat terjadi melalui beberapa rute dan berkontribusi pada
perkembangan hipernatremia pada lebih dari setengah pasien yang kritis. Biasanya,
perhitungannya kehilangan 14 mL / kg per hari atau total 980 mL / hari untuk pasien dengan
berat badan 70kg. Namun, pada keadaan demam, tambahan 3 · 5 mL / kg per hari per 1 ° C
harus diperhitungkan. Demam telah diidentifikasi sebagai penyebab pada 20% kasus
hipernatremia pada pasien ICU di Belanda. Sumber potensial lain dari hilangnya cairan
ekstrarenal termasuk diare, nasogastric suction, dan kehilangan cairan melalui tabung atau
drain. Pemberian laktulosa yang berlebihan, misalnya pada pasien dengan ensefalopati
hepatik, dilaporkan menyebabkan hipernatremia.
6. Penanganan Hipernatremia pada pasien di ICU
6.1 Penilaian penyebab dari Hipernatremia
Secara umum, harus ditentukan apakah hipernatremia disebabkan oleh perolehan natrium
atau hilangnya cairan atau apakah kombinasi dari keduanya, yang akan menjadi kasus pada
sebagian besar pasien dengan hipernatremia yang didapat ICU.
Dalam setiap kasus hipovolemia, resusitasi volume dengan pemberian larutan isotonik harus
dilakukan sebelum upaya untuk memperbaiki keadaan hipernatremia. Penilaian
hipovolemia kadang sedikit bermasalah, dan tanda-tanda klinis sering terlewat. Hipotensi,
ekskresi fraksional natrium kurang dari 1% pada pasien dengan fungsi ginjal normal atau
gagal ginjal akut prerenal dapat membantu untuk mendeteksi hipovolemia, sedangkan
berdasarkan parameter yang sering digunakan seperti tekanan vena sentral, diagnosis
hipovolemia tidak bisa didasarkan oleh hal ini. Namun, sebuah metode baru seperti
mengangkat kaki secara pasif, untuk mengevaluasi apakah pasien mengalami hipovolemik
dan akan memberi respon terhadap pemberian cairan.
Jika hanya terdapat kehilangan cairan saja, hal ini harus ditangani dengan pemberian cairan
dalam bentuk larutan dekstrosa 5%, yang aman dalam hal hemolisis. Sebagai alternatif
selain dekstrosa 5%, air suling dapat diberikan melalui jalur vena sentral. Jika perolehan
natrium murni terjadi, natriuresis harus diinduksi melalui pemberian loop diuretik. Pada saat
yang sama, kehilangan cairan selama terapi diuretik loop harus dikembalikan dengan
pemberian cairan yang hipotonik terhadap urin. Pada pasien kritis yang memerlukan terapi
penggantian ginjal, koreksi hipernatremia dapat dilakukan secara intermiten atau
berkelanjutan.
Konsentrasi natrium dialisat harus dipilih setepat mungkin dengan konsentrasi natrium
serum aktual secara teknis. Namun, koreksi hipernatremia secara terus menerus /
intermiten pada pasien kritis yang mengalami terapi penggantian ginjal belum dipelajari
secara sistematis, tetapi kasus seperti ini telah melaporkan hasil yang positif. Dalam kasus
apa pun, koreksi hipernatremia pada hal terapi penggantian ginjal harus dilakukan dengan
hati-hati. Gambar. 4 memperlihatkan algoritma untuk pengobatan hipernatremia di ICU,
berdasarkan rekomendasi ahli. Dalam hal kadar glukosa serum yang sulit dikendalikan,
setengah isotonik saline dapat digunakan sebagai alternatif dari larutan dekstrosa 5% untuk
menghindari penyimpangan glukosa. Namun, penambahan loop diuretik untuk menginduksi
natriuresis pada saat yang sama harus dipertimbangkan.
6.2 Penilaian kecepatan timbulnya hipernatremia
Meskipun telah diketahui bahwa hipernatremia adalah kejadian umum dan berpotensi
mengancam jiwa pada pasien kritis, tidak ada studi prospektif pada pengobatan
hipernatremia di ICU. Data yang telah tersedia tentang keamanan dan kecepatan koreksi
hipernatremia adalah pada pasien anak. Data ini menunjukkan bahwa tingkat maksimum
koreksi natrium serum tidak boleh melebihi 0,5 mmol / L per jam. Hal ini memperhitungkan
tingkat koreksi yang sering dipostulatkan sebesar 12 mmol / L per hari.
Rumusan untuk membantu dokter dalam menentukan infus selama koreksi disnatremia
telah diusulkan. Formula Adrogué-Madias telah diuji dalam kelompok 204 pasien dengan
hiponatremia dan 117 dengan hipernatremia. Dalam penelitian ini, nilai natrium serum yang
diprediksi berkorelasi baik dengan natrium serum yang diukur. Namun, penyimpangan
maksimum yang diantisipasi dari nilai yang diukur tidak dilaporkan. Selanjutnya, semua
rumusan yang diusulkan telah diuji dalam analisis retrospektif pada sekelompok pasien kritis
dengan hipernatremik. Para peneliti melaporkan bahwa meskipun semua formula
berkorelasi baik dengan perubahan konsentrasi natrium serum, terdapat variasi individu
melebihi 10 mmol / L. Dengan demikian, disimpulkan bahwa hal ini hanya bisa berfungsi
sebagai panduan secara umum dalam koreksi hipernatremia dan belum bisa diandalkan.
Studi terbaru lainnya menunjukkan bahwa formula yang diusulkan oleh Adrogue dan Madias
tidak memperhitungkan perubahan dalam natrium serum selama koreksi hiponatremia.
Namun, penggunaan rumus ini dapat membantu dalam menetapkan laju infus awal untuk
koreksi hipernatremia. Namun demikian, rumus ini mungkin tidak memperhitungkan
perubahan natrium serum yang dicapai dengan infus dalam beberapa kasus, kami
merekomendasikan mulai dengan hanya 50% hingga 75% dari angka yang dihitung oleh
rumus dan melakukan kontrol laboratorium setelah 2 jam infus. Tindakan pencegahan ini
memungkinkan untuk penyesuaian laju infus tergantung pada hasil kontrol laboratorium.
Aplikasi untuk menghitung inisial
laju infus untuk memperbaiki hipernatremia dengan pilihan larutan infus tersedia secara
gratis di www.medcalc.com.
Dalam setiap kasus koreksi hipernatremia, kontrol yang ketat terhadap konsentrasi natrium
serum sangat penting. Kontrol ini memungkinkan dokter untuk lebih meningkatkan atau
mengurangi laju infus yang sesuai untuk memperbaiki hipernatremia. Dalam kasus koreksi
hipernatremia yang terlalu cepat dengan gejala neurologis, reinduksi hipernatremia dengan
infus salin hipertonik mungkin bersifat protektif terhadap hal tesebut. Namun, penelitian
masih kurang tentang masalah penting ini.
7. Kesimpulan
Hypernatremia adalah komplikasi umum dari perawatan intensif dan sebagian besar dapat
dicegah. Hal ini memiliki berbagai konsekuensi fisiologis yang merugikan dan dikaitkan
dengan hasil yang buruk. Upaya harus tertuju pada pencegahan hipernatremia dan koreksi
gangguan elektrolit yang adekuat.