Anda di halaman 1dari 29

Tugas Mata Kuliah Dasar

Divisi Gastro-Enterohepatologi

GANGGUAN ELEKTROLIT: HIPONATREMI PADA


DIABETES MELITUS

Oleh:
Nurul Sylvana Shoraya
C110216203

Pembimbing:
dr. Setia Budi Salekede, Sp.A (K)
dr. Eka Yusuf Inra Kartika, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
1

Tugas Mata Kuliah Dasar


Divisi Gastro-Enterohepatologi

GANGGUAN ELEKTROLIT: HIPONATREMI PADA


DIABETES MELITUS
Nurul Sylvana Shoraya

I. PENDAHULUAN
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling sering ditemukan
dengan prevalensi 20-30% pada pasien rawat inap dan 7.7% pada pasien rawat
jalan. Hiponatremia berhubungan denan sakit berat dan merupakan penyebab dari
berbagai macam gejala dari gejala ringan hingga kondisi yang dapat mengancam
nyawa. 1
Hiponatremia (serum sodium <136 mmol/L) bukan merupakan sebuah
penyakit, melainkan sebuah proses patofisiologis yang menandakan gangguan
homeostasis cairan. Sehingga, hiponatremia diklasifikasikan lebih lanjut untuk
keperluan diagnosis dan terapi. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa hiponatremia
adalah gangguan yang bersifat heterogen. Hal ini mempersulit praktik klinis,
karena pasien dengan hiponatremi sulit diidentifikasi. Pasien dengan hiponatremia
biasanya dapat diketahui akibat penyakit mendasari yang diperparah oleh kondisi
hiponatremia. 2
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa DM berkaitan dengan
hiponatremia. Gangguan metabolisme vasopresin, interaksi antara insulin dan
vasopresin, efek keduanya pada duktus kolektivus dan reabsorpsi cairan hipotonik
akibat pengosongan lambung yang lebih lambat telah dikatakan sebagai
mekanisme yang kemungkinan mendasari hubungan ini. 3
2

II. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit


Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari cairan. Cairan ini diperlukan
sebagai pembawa berbagai nutrien dan metabolit. Kadar cairan dan elektrolit
sangat tinggi sesaat setelah kelahiran, dan menurun seiring usia hingga dewasa.
Jumlah total cairan tubuh menurun dari intrauterine hingga dewasa. 4

Gambar 1. Komposisi Air dalam Tubuh 4

Bayi prematur memiliki total cairan tertinggi, mencapai 80-90%. Total


cairan tubuh akan menurun seiring bertambahnya usia; 80% pada bayi baru lahir
dan 60% orang dewasa. 4
Total cairan tubuh terdiri dari dua kompartemen, sekitar dua per tiga total
cairan tubuh berada di dalam sel, disebut sebagai cairan intraselular; dan sepertiga
sisanya adalah cairan ekstraseluler, berada di luar sel dan dibagi lagi menjadi
kompartemen yang lebih kecil: plasma, cairan interstitial, dan cairan transelular.4,5

Gambar 2. Kompartemen cairan tubuh 5


Osmolaritas adalah tekanan osmotik yang dihasilkan oleh jumlah zat terlarut
per satu liter cairan. Osmolalitas adalah tekanan osmotik yang dihasilkan jumlah
zat terlarut per satu kilogram cairan pelarut. Osmolalitas bergantung pada jumlah
dari partikel terlarut, dan yang memegang peran penting sebagai faktor terbesar
3

adalah sodium. Sehingga, sodium dan keseimbangan cairan bergantung satu sama
lain dan tidak bisa dipisahkan. Osmolalitas plasma berkisar antara 285 hingga 295
mosm/kg. 5

Tabel 1. Osmolalitas plasma.5

Tabel 2. Konsentrasi elektrolit dalam kompartemen cairan tubuh. 5


III. Hiponatremia
III.1 Definisi
Hiponatremi biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas. Kehilangan
natrium klorida pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi
natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada
4

dehidrasi hipo-osmotik seperti pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat


yang berkepanjangan, diare, muntah, dan penggunaan diuretik secara berlebihan.
Konsentrasi natrium plasma dalam tubuh turun dibawah nilai normal yaitu 135-
145 meq/l. 1
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14
mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan
ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam
bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga
perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan
konsentrasi natrium. Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan.
Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna
dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau
keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144
mEq. 2,6
Total konsentrasi kation plasma sekitar 150 mmol/L dan natrium merupak
an kation terbanyak yaitu sekitar 140 mmol/L. Enzim Na/K-ATPase berperan dala
m transpor aktif untuk mempertahankan konsentrasi natrium dan kalium. Hal ini j
uga menjadi kunci reabsorbsi natrium di tubulus ginjal. Tidak seperti cairan, natri
um tidak memiliki pusat regulasi. Setiap hari natrium diekskresi yaitu sekitar 10-2
0 mmol lewat keringat dan feses, tetapi sebagian besar diekskresi lewat ginjal seba
gai kontrol utama homeostasis. Saat terjadi penurunan tekanan arteri, ginjal mena
han natrium sampai tekanan meningkat. Ekskresi natrium ginjal terjadi melalui pe
ningkatan filtrasi, penurunan reabsorbsi natrium, atau kombinasi keduanya yang d
iatur oleh sistem saraf simpatik dan reninangiotensin-aldosterone-system (RAAS).
7,8

III.2 Klasifikasi Hiponatremia


Hipernatremia menunjukkan keadaan hipertonik. Sedangkan hiponatremia
adalah tanda akurat untuk hipotonisitas ketika tidak ada kelebihan zat terlarut
5

selain natrium. Ketika ada penambahan zat terlarut lain, hiponatremia


menunjukkan keadaan hipertonik. 2

Klasifikasi Kriteria
Sedang (125-129 mmol/L), Konsentrasi serum natrium absolut
berat (<125 mmol/L)
Akut dan kronik Waktu terjadi (batas 48 jam)
Simtomatik dan asimtomatik Ada tidaknya gejala
Hipotonik, isotonik, Osmolalitas serum
hipertonik
Hipovolemik,euvolemik, Penilaian klinis dari status volume
hipervolemik

Tabel 3. Klasifikasi Hiponatremia. 2

III.3 Jenis Hiponatremia


Hiponatremia juga dapat dikaitkan dengan isotonisitas serum, hipertonisitas,
dan hipotonisitas. Membedakan ketiga tonisitas ini sangat dibutuhkan untuk
keperluan penanganan yang tepat. Penilaian volume cairan tubuh dengan
perhitungan fraksi ekskresi sodium adalah tindak lanjut dari evaluasi diagnostik
hiponatremia. 9

Gambar 3. Jenis Hiponatremia . 9


 Hiponatremia Isotonik (Pseudohyponatremia)
Pseudohyponatremia adalah keadaan dimana hiponatremia terjadi karena
keadaan hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia, atau hiperproteinemia.
Keadaan ini berhubungan dengan reduksi fraksi plasma cairan dan rendahnya
konsentrasi sodium. Hiperproteinemia atau hipertrigliseridemia meningkatkan
6

fraksi non-akuos dari plasma; serum kemudian berisi volume plasma cairan yang
lebih rendah dan lebih sedikit sodium.9,10
Pseudohiponatremia lebih sering ditemukan pada pasien diabetes, karena
diabetes yang tidak terkontrol berhubungan dengan hipertrigliseridemia. Hal ini
penting diketahui, karena keadaan ini tidak memberikan efek terhadap osmolalitas
plasma, sehingga hiponatremia tidak perlu dikoreksi. 9,10
Pada orang normal, serum terdiri dari air (sekitar 93%), dengan lemak dan
protein sekitar 7%. Sodium terletak di bagian air dari serum. Reduksi dari fraksi
air serum (<80) dapat terjadi pada pasien hiperlipidemia dan pasien dengan DM
tidak terkontrol. Pada kondisi ini, konsentrasi sodium serum, diukur dengan per
liter serum, bukan serum air, menyebabkan seolah-olah kadar sodium berkurang
(pseudohiponatremia). 9,10

 Hiponatremia Hipertonik
Hiponatremia hipertonik terjadi apabila ada kelebihan zat terlarut di
ekstraselular, selain garam sodium. Pertambahan zat terlarut ini menyebabkan
perpindahan osmotik dari cairan intraseluler menuju ekstraseluler. Cairan yang
masuk ke dalam kompartemen ekstraseluler, yang mengandung sedikit sodium,
larut dalam ekstraseluler dan berujung pada hiponatremia. 9,10
Berlebihnya zat terlarut yang bersifat osmotik aktif selain elektrolit dalam
cairan ekstraselular adalah karakteristik dari hipertonik hiponatremia. Pada
keadaan ini, osmolalitas serum meningkat >295 mmol/l. Peningkatan osmolalitas
juga berhubungan dengan penambahan cairan dan pengenceran cairan
ekstraseluler. Glukosa adalah substansi bersifat osmotik aktif; hiperglikemia
meningkatkan osmolalitas serum dan menyebabkan cairan keluar dari sel.
Hipertonik hiponatremia dapat disebabkan oleh manitol, sukros, radiokontras
intravena, dekstran dengan berat molekular rendah. 9,10
Manifestasi klinis dari hipertonisitas biasanya berat pada kadar osmolalitas
320 mOsm/kg. Sebaliknya, pertambahan zat terlarut yang menembus membran sel
dan terdistribusi pada total cairan tubuh seperti urea, alkohol, menyebabkan
7

peningkatan osmolalitas serum, tetapi tidak menyebabkan hipertonisitas sehingga


tidak memberikan dampak terhadap sodium. 9,10

 Hiponatremia Hipotonik
Jenis hiponatremia yang paling sering ditemukan adalah hipotonik
hiponatremia, yang berhubungan dengan berkurangnya osmolalitas serum (<275
mmol/l). Selanjutnya, jenis ini diklasifikasikan lagi berdasarkan status volume
ekstraseluler pasien. Hiponatremia dapat terjadi dengan normovolemia,
hipervolemia, atau hipovolemia. Hipovolemia akibat kehilangan cairan yang
disebabkan oleh penyebab ekstrarenal, seringnya gastroenteritis, adalah kausa dari
hiponatremia hipovolemik. Pasien dengan SIADH biasanya euvolemik atau
hipervolemik ringan. Selain itu, intoksikasi air juga dapat menyebabkan
hiponatremia euvolemik ketika intake cairan melebihi kadar diuresis. Pasien
dengan sindrom nefrotik, sirosis, dan gagal jantung dapat mengalami
hiponatremia dengan gejala klinis berupa hipervolemik. Pasien ini bersifat
hipovolemik, karena tubuh hanya mendeteksi cairan di sistem vaskular, sehingga
dehidrasi intravaskular meningkatkan sekresi ADH dan retensi cairan
menyebabkan hiponatremia. 9,10
III.4 Patofisiologi Hiponatremia
Untuk memahami hiponatremia, langkah pertama adalah memahami
informasi yang dapat diperoleh dari kadar natrium serum. Informasi yang
didapatkan dari kadar natrium serum dan osmolalitas serum adalah apakah serum
bersifat hipertonik, isotonik, atau hipotonik. Tonisitas, atau osmolalitas efektif
dari sebuah cairan adalah kemampuannya untuk menyebabkan pembengkakan
atau pengkerutan pada sel melalui proses kehilangan cairan, atau pertambahan
cairan. Perpindahan cairain dipengaruhi oleh perbedaan tekanan osmotik
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Cairan hipertonik menyebabkan air
keluar dari sel; cairan hipotonik menyebabkan air masuk ke dalam sel; sedangkan
cairan isotonik tidak menyebabkan perpindahan cairan baik ke dalam atau keluar
sel. 6
8

Etiologi hiponatremia sangatlah beragam, dan diagnosis yang tepat dibuat


berdasarkan pemahaman mekanisme patofisiologi yang tepat dari gangguan
elektrolit ini. 6
Konsentrasi sodium serum dipertahankan dalam batas normal dengan
beberapa mekanisme. Homeostasis ion dan keseimbangan cairan diatur dalam
regulasi neurohumoral yang kompleks. Sistem saraf otonom mempunyai peranan
penting dalam hemodinamik ginjal, sekresi renin, dan reabsorpsi cairan tubular.
Penelitian mendukung kaitan antara stimulasi saraf simpatis dan pelepasan renin,
dan reabsorpsi cairan tubulus proksimal. Sementara regulasi cairan jangka pendek
sebagai respon terhadap perubahan kadar sodium dan keseimbangan cairan diatur
oleh sistem saraf otonom, sedangkan hormon ADH dan aldosterone bertanggung
jawab untuk reabsorpsi sodium dan air dalam jangka panjang. ADH aadalah
sebuah hormon neurohipofisi yang mempunyai peranan penting dalam regulasi
cairan. 6,7
Hormon ADH diproduksi pada neuron spesifik di nukleus supraoptik dan
paraventrikular dari hipotalamus. Granul sekretorik berisi ADH bergerak ke
bawah akson menuju neurohipofisis, tempat dimana hormon tersebut disimpan
dan disekresi sebagai respon terhadap peningkatan osmolalitas serum dan faktor
non-osmotik. Peningkatan osmolalitas yang sedikit (1%) dan penurunan volume
darah yang banyak (5-10%) adalah stimulus yang efektif untuk sekresi ADH dan
rasa haus.6,7,8
Kondisi hiperosmolal menyebabkan kontraksi sel, deselerasi aksi potensial,
den peningkatan pelepasan ADH ke dalam sirkulasi. ADH bekerja pada reseptor
khusus (V2) pada membran basolateral dari duktus kolektivus ginjal. Aktivasi
reseptor V2 memicu kaskade intraselular, yaitu aktivasi siklase adenilat, siklik
adenosin monofosfat, dan protein kinase A (PKA) yang menyebabkan insersi
pintu akuaporin ke dalam membran luminal. Air kemudian berpindah melalui
pintu ini menuju pembuluh darah melalui AQP3 dan AQP4 di membran
basolateral. Vasopressin juga meningkatkan jumlah reseptor sodium epitel
(ENAc) menyebabkan peningkatan reabsorpsi sodium dan retensi cairan. Stimulus
osmotik maupun non-osmotik juga menyebabkan timbulnya rasa haus, yang
9

dirasakan sebagai sensasi mulut kering. Rasa haus ini timbul setelah peningkatan
osmolalitas serum 5-10 mmol/kg dibandingkan dengan sekresi ADH. Mekanisme
sentral ini mencegah hipernatremia pada orang normal, selama mereka
mempunyai akses terhadap air. 6,7, 8
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron juga penting untuk meretensi cairan
tubuh dan mempertahankan tekanan darah. Ada juga hormon peptide NP, yang
mempunyai efek berlawanan. Hormon peptide natriuretic atrial dan natriuretik
otak adalah hormon yang disekresi oleh jantung. Efek biologisnya adalah
vasodilatasi, stimulasi diuresis, natriuresis, dan untuk menurunkan tekanan darah
atrial dan resistensi sistemik vaskular. Hormon ini juga menekan pelepasan
aldosteron dan ADH. Ekskresi sodium diperkuat oleh peningkatan laju filtrasi
glomerulus dan supresi dari reabsorpsi garam. 8,9
NP disekresi sebagai respon untuk meningkatnya volume cairan tubuh yang
dirasakan sebagai peregangan ruang jantung. Stimulasi simpatis dan angiotensin II
juga memicu sekresi NP, yang akan didistribusikan ke organ target melalui
sirkulasi. Reseptor NP akan diidentifikasi di pembuluh darah, kelenjar adrenal,
dan ginjal. Aktivasi reseptor ini akan memicu sintesis dari siklik guanosine
monofosfat, yang memediasi aksi dari peptide ini. 8,9
10

Gambar 4. Peran sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron dalam homeostasis cairan .8

Pemicu spesifik diperlukan untuk sekresi renin oleh ginjal menuju


pembuluh darah. Renin akan memicu angiotensinogen untuk memproduksi
angiotensin I, yang kemudian dirubah menjadi angiotensin II oleh enzim
pengubah angiotensin. Angiotensin II akan berperan untuk meningkatkan volume
cairan dan mempertahankan tekanan darah, juga menstimulasi pelepasan
aldosterone dan antidiuretik hormon untuk menahan air dan sodium. 8,9
Hiponatremi terjadi akibat ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan
kelebihan cairan, atau intake cairan berlebih. Intake cairan bergantung pada
mekanisme haus. Haus distimulasi oleh peningkatan osmolalitas. Rasa haus
ditangkap oleh osmoreseptor yang berlokasi di hipotalamus dan akan
menyebabkan pelepasan anti-diuretik hormon (vasopresin) dari pituitari posterior.
Hormon antidiuretik bekerja pada reseptor V2 yang terletak di aspek basolateral
dari sel-sel duktus kolektivus dan menyebabkan peningkatan ekspresi akuaporin
pada aspek luminal dari duktus kolektivus, yang menyebabkan peningkatan
absorpsi air dan hilangnya rasa haus.8,9
Hiponatremi terjadi apabila ada stimulasi ADH persisten yang dapat terlihat
di kedua keadaan berikut; sekresi ADH normal tetapi persisten dan terjadinya
penurunan volume, efek dari penurunan volume berlawanan dengan efek
hipoosmolalitas sehingga stimulasi ADH terus terjadi. Keadaan kedua, sekresi
9
ADH yang abnormal seperti pada sindrom pelepasan ADH (SIADH).
Air berpindah secara bebas menyebrangi membran sel; sehingga osmolalitas
dari intraselular dan ekstraselular adalah sama. Pada hiponatremia, penurunan
osmolalitas dalam kompartemen ekstraseluler menyebabkan gradien osmotik
relatif terhadap intraseluler dan menyebabkan cairan masuk ke dalam sel dan
menambah ukuran sel. Hal ini menyebabkan edema, yang apabila terjadi pada
otak dapat mengancam nyawa. Sebagai respon, proses kompensasi dimulai untuk
menurunkan edema intraselular dan interstitial. Regulasi cairan otak terjadi
dengan menurunnya konsentrasi Na+ di interstitial dan elektrolit intraseluler (K+,
dan Cl-), dan zat terlarut organik seperti inositol, taurine, creatine dan glutamine.
11

Berkurangnya osmolit menyebabkan penurunan cairan pada otak. Edema otak


terjadi ketika pemasukan cairan melebihi mekanisme kompensasi tersebut. 9

III.5 Gejala Klinis Hiponatremia


Hiponatremia akut ditandai dengan onset kurang dari 48 jam. Pasien dengan
hiponatremia akut dapat menunjukkan gejala neurologis yang menyebabkan
edema otak yang dipicu oleh pergerakan cairan ke dalam otak. Hal ini dapat
menyebabkan kejang, penurunan kesadaran, koma, dan kematian.1
Hiponatremia yang berlangsung lebih dari 48 jam dikategorikan sebagai
kronik. Sebagian besar pasien mengalami hiponatremia kronik. Konsentrasi
sodium serum biasanya di atas 120 meq/L. Otak beradaptasi dengan keadaan
hiponatremia ini dengan membuat osmol idiogenik. Mekanisme ini adalah
mekanisme protektif yang menurunkan derajat edema otak, dimulai pada hari
pertama dan selesai dalam beberapa hari. Sehingga, pasien dengan hiponatremia
kronik sering kali bersifat asimtomatik. Hiponatremia ringan diidentifikasi dengan
gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah, hilangnya nafsu makan. Terkadang,
gangguan neurologis ringan dapat muncul ketika sodium serum berada antara
120-130 meq/L. 2
Pasien hiponatremia dapat bebas dari gejala, atau bergejala ringan-sedang
(nausea, nyeri kepala, muntah), hingga berat (delirium, penurunan kesadaran,
kejang, dan meskipun jarang, henti jantung dan napas). Hiponatremia kronik
ringan (sodium plasma 125-135 mEq/L) dapat menyebabkan defisit neurokognitif
yang hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan; defisit ini akan membaik ketika
sodium plasma kembali ke kadar normal.2

IV. Diabetes Melitus


IV.1 Defenisi
Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglik
emia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungk
an dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insuli
12

n.Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu polidipsia,poliuri


a,polifagia,penurunan berat badan. 10
Diabetes mellitus ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat gang
guan produksi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya. Berdasarkan penye
babnya, DM dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu DM tipe-1, DM tipe-2, D
M tipe lain dan diabetes pada kehamilan atau gestasional. Pada anak, jenis DM ter
sering adalah tipe-1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel kelenjar
pankreas oleh proses autoimun. 11
DM tipe-1 adalah berkurangnya produksi insulin secara absolut atau relatif
yang mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah lebih atau sama dengan 200
mg/dl yang diperiksa secara acak atau 2 jam setelah makan. Penderita DM tipe-1
membutuhkan suntikan insulin secara terus menerus untuk mempertahankan kadar
gula darah dalam batas normal.11
Diabetes Melitus tipe-1 (DMT1) adalah kelainan sistemik akibat terjadinya
gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan
ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh proses autoimun maupun i
diopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yan
g rendah mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan prot
ein. 10
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivit
as sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau berada dalam
rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka d
iabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus.6
9 Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai ole
h kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta. 11

IV.2 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sama, hanya berbeda pada
tingkat intensitasnya. Gejala meliputi polidipsi (rasa haus berlebih), polifagi (rasa
lapar berlebih) dan poliuri (urinasi berlebih), penurunan berat badan, kram pada
anggota gerak tubuh, penglihatan kabur, konstipasi, dan lemas. 12
13

Anak-anak dengan diabetes juga dapat menunjukkan tanda klasik diabetes


seperti polyuri, polydipsia, penglihatan kabur, penurunan berat badan, glikosuria,
dan pada beberapa kasus, ketonuria. Sering kali diabetes mellitus tidak
menunjukkan gejala pada anak-anak maupun dewasa, hiperglikemia biasanya
terdeteksi secara tidak sengaja, atau di bawah kondisi seperti infeksi akut, trauma,
stress sirkulatorik, tetapi tidak boleh ditentukan sebagai satu-satunya dasar
diagnosis diabetes. Jika tidak ada gejala, diagnosis diabetes harus berdasarkan
pengukuran konsentrasi glukosa plasma. 12
IV.3 Patofisiologi Diabetes Melitus
IV.3.1 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolik yang ditandai dengan
kondisi hiperglikemia kronik yang disertai gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid, dan protein.13
Etiologi dari DM bisa sangat bervariasi, tetapi selalu terjadi kerusakan pada
sekresi insulin atau respon insulin, atau keduanya. DM Tipe I ditandai dengan
destruksi sel beta yang disebabkan oleh proses autoimun, biasanya menyebabkan
defisiensi insulin absolut. DM Tipe I biasanya ditandai dengan adanya asam anti-
glitamik dekarboksilase, sel pulau langerhans atau antibodi insulin yang
menandakan proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel beta. 13
Destruksi sel B pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi insulin dan
gangguan metabolik yang berhubungan dengan DM Tipe 1. Sebagai tambahan,
fungsi sel A-pankreas juga menjadi abnormal, dan terjadi sekresi glukagon yang
berlebihan pada pasien DM Tipe 1. Normalnya, hiperglikemia menyebabkan
penurunan sekresi glukagon, tetapi pada pasien DM Tipe 1, sekresi glukagon
tidak ditekan oleh hiperglikemia. Peningkatan glukagon yang tidak wajar ini
mengeksaserbasi kerusakan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin.
Defisiensi insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan meningkatnya
kadar asam lemak bebas di dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa
pada jaringan perifer seperti otot skeletal. Hal ini merusak penggunaan glukosa
dan defisiensi insulin juga menurunkan ekspresi dari beberapa gen yang
dibutuhkan oleh jaringan target untuk merespon terhadap insulin seperti
14

glukokinase pada hati dan GLUT4 dari transporter glukosa pada jaringan adiposa,
menjelaskan bahwa gangguan metabolik yang utama, yang disebabkan oleh
defisiensi insulin pada DM Tipe I adalah gangguan metabolisme glukosa, lipid
dan protein.13

Gambar 5. Patogenesis dari Diabetes Melitus Tipe I. 13


Sel B yang teraktivasi akan berinteraksi dengan CD4+ dan CD8+, juga sel
dendritik. Presentasi antigen oleh sel B dan sel dendritik menyebabkan aktivasi sel
T yang spesifik terhadap sel B. Sebagai tambahan, paparan sel B pada autoantigen
sel B menyebabkan produksi autoantibodi yang menargetkan sel-sel pulau
pankreas, yang menjadi biomarker pada DM Tipe I tanpa gejala. Garis putus-
putus menunjukkan interaksi potensial antara sel B dan sel T CD8+ dan antara sel
B dan sel dendritik. BCR adalah reseptor sel B; TCR adalah reseptor sel T.13

IV.3.2 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II

Dua kerusakan patologis utama pada DM Tipe II adalah gangguan sekresi


insulin akibat disfungsi dari sel B pankreas, dan gangguan fungsi insulin yaitu
resistensi insulin. Pada keadaan dimana resistensi insulin mendominasi, sel B
melalui perubahan yang dapat meningkatkan suplai insulin dan mengkompensasi
15

kebutuhan insulin. Konsentrasi plasma insulin (saat puasa mau pun setelah
makan) biasanya meningkat, meskipun "relatif" terhadap keparahan resistensi
insulin, tetapi peningkatan konsentrasi insulin plasma tidak cukup untuk menjaga
homeostasis glukosa normal. Perlu diketahui bahwa hubungan antara sekresi
insulin dan sensitifitas hormon pada kontrol glukosa sangat erat, sehingga tidak
mungkin kita memisahkan kedua kontribusi keduanya dalam etiopatogenesis DM
Tipe II. 14
16

Gambar 6. Patogenesis dari DM Tipe II dan peningkatan asam lemak pada pasien DM
Tipe II.14

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia menyebabkan gangguan toleransi


glukosa. Resistensi dari aksi insulin akan menyebabkan gangguan penyerapan
glukosa di perifer (oleh otot dan lemak), penekanan ouput glukosa hepatik yang
inkomplit, dan gangguan penyerapan trigliserida oleh lemak. Untuk
mengkompensasi resistensi insulin, sel-sel pulau pankreas akan meningkatkan
kadar sekresi insulin.14
Resistensi insulin tidak hanya terjadi pada otot dan hati, tetapi juga pada
jaringan adiposa, ginjal, traktus gastrointestinal, vaskuler, jaringan otak, dan sel B
pankreas. Di otot, berbagaimacam abnormalitas yang dapat menyebabkan
resistensi insulin, meliputi gangguan sinyal insulin, transpor glukosa, fosforilasi
glukosa, sintesis glikogen, aktivitas kompleks dehidrogenase piruvat dan aktivitas
oksidatif mitokondrial. Di hati, resistensi insulin dan defisiensi insulin,
hiperglukagonemia, meningkatkan sensitifitas glukagon dan peningkatan
pelepasan substrat (asam lemak, laktat, gliserol dan asam amino), menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis, yang bertanggung jawab terhadap peningkatan
produksi glukosa dan hiperglikemia puasa. Resistensi insulin di ginjal dan
glukoneogenesis renal juga berkontribusi dalam menyebabkan hiperglikemia saat
puasa. Gangguan supresi produksi glukosa, penurunan penyimpanan glukosa
hepatik, resistensi insulin otot, dan penurunan penyerapan glukosa yang tidak
dimediasi oleh insulin, dan reabsorpsi glukosa berlebihan pada renal berperan
dalam hiperglikemia post prandial pada DM Tipe II.14
17

Gambar 7. Efek hiperglikemia pada DM Tipe 2. 14

Resistensi insulin pada otot dan hati, dan gangguan sekresi insulin oleh sel B
pankreas adalah kerusakan utama pada DM tipe II. Resistensi sel B terhadap
glucagon-like peptide 1 (GLP1) berperan dalam kegagalan fungsi sel B, dimana
peningkatan glukagon dan sensitivitas hepar terhadap glukagon berkontribusi
terhadap peningkatan produksi glukosa berlebihan oleh hepar. Resistensi insulin
pada jaringan adiposa menyebabkan akselerasi lipolisis dan peningkatan asam
lemak bebas, yang memperberat resistensi insulin di otot dan hepar dan
menyebabkan kegagalan sel B. Peningkatan reabsorpsi glukosa ginjal oleh co-
transporter sodium/glukosa (SGLT2) dan peningkatan ambang pembuangan
glukosa ke dalam urin berperan dalam bertahannya kondisi hiperglikemia.
Resistensi terhadap efek penekanan nafsu makan oleh insulin, leptin, GLP1,
amylin dan peptide YY, juga rendahnya kadar dopamin otak dan peningkatan
kadar serotonin yang menyebabkan peningkatan berat badan, memperparah
resistensi yang terjadi.14

IV.4 Kriteria Diagnostik


Kriteria diagnostik diabetes dibuat berdasarkan pengukuran glukosa darah
dan ada tidaknya gejala. 10
 Gula darah puasa (GDP) > 126 mg/dL (7.7 mmol/L) pada beberapa
keadaan jika tanpa gejala (polyuria, polydipsia, penurunan berat badan)
 Gula darah sewaktu (GDS) > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) pada beberapa
keadaan jika tanpa gejala (polyuria, polydipsia, penurunan berat badan)
18

 Glukosa darah 2 jam setelah tantangan glukosa > 200 mg/dL (11,1
mmol/L) dilakukan dengan 1,75 g glukosa/kg, maksimum 75 g glukosa
dilarutkan dalam air
 HbA1c > 6,5% (48 mmol/L) jika diukur di laboratorium yang telah
disertifikasi.
Pada tahun 2015, American Diabetes Association merekomendasikan
skrining diabetes melitus tipe 2 pada anak-anak dengan berat badan berlebih (BMI
> 85 persentil untuk umur dan jenis kelamin, berat terhadap tinggi >85 persentil,
atau berat >120% dari berat ideal terhadap tinggi), dengan 2 faktor risiko
tambahan untuk diabetes melitus tipe 2. 11
 Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2.
 Ras atau etnis (amerika, afrika-amerika, latin, asia-amerika, kepulauan
pasifik)
 Tanda-tanda resistensi insulin atau keadaan yang berhubungan dengan
resistensi insulin: akantosis nigrikans, hipertensi, dislipidemi, sindrom
polikistik obari, atau berat lahir kecil untuk umur gestasi.
 Riwayat diabetes melitus gestasional selama hamil anak tersebut.
V. Hubungan Hiponatremi dengan Kejadian DM
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit dengan gangguan elektrolit
tersering. Faktor-faktor seperti gangguan fungsi ginjal, sindrom malabsorpsi,
gangguan asam-basa dan regimen obat-obatan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan hiponatremia. 15
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada praktik klinis. Gangguan
elektrolit ini biasanya bersifat multifaktorial. Faktor patofisiologis yang
menyebabkannya dapat bermacam-macam, seperti status nutrisi, kapasitas
absorpsi gastrointestinal, abnormalitas asam-basa, penggunaan obat-obatan, dan
penyakit komorbid lainnya. 15
Beberapa obat yang diresepkan untuk mengobati diabetes melitus juga
berhubungan dengan hiponatremia. Antidepresan trisiklik, yang digunakan untuk
menangani neuropati diubetik, diketahui menstimulasi pelepasan vasopresin. Obat
hipoglikemik oral, seperti klorpropramid dan tolbutamid dapat menyebabkan
19

hiponatremia, kemungkinan dengan menambah efek dari vasopresin endogen pada


duktus kolektivus di ginjal. Insulin menstimulasi pelepasan akuaporin-2 pada
duktus kolektivus ginjal, kemungkinan menambah efek hidro-osmotik dari
vasopresin ketika kadarnya meningkat karena keadaan lain. Efek tersebut dapat
menjelaskan hubungan antara penggunaan insulin dan kejadian hiponatremi pada
pasien dengan diabetes. Hiponatremi juga dapat terjadi jika pasien dengan
diabetes yang tidak terkontrol memiliki keadaan hipertrigliseridemia, bahkan
ketika konsentrasi sodium plasma dalam kadar normal, keadaan ini disebut
sebagai pseudohiponatremia. 15,16
Pasien diabetes seringkali diterapi dengan diuretik, yang dapat memicui
hiponatremia dan hipokalemia. Terlebih lagi, pasien diabetes mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami sindrom demielinasi osmotik, yang disebabkan oleh
koreksi kronik hiponatremia yang cepat dan berlebihan. 15,16

V.1 Patofisiologi Hiponatremi pada Diabetes Melitus


Pada pasien diabetes melitus, peningkatan frekuensi gangguan elektrolit
muncul akibat berbagai faktor patofisiologi seperti status gizi, kapasitas
penyerapan gastrointestinal, gangguan asam-basa, agen farmakologis, dan
penyakit komorbid lainnya (khususnya gangguan ginjal) atau penyakit akut
lainnya, secara tunggal atau kombinasi dari semuanya. 17
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien diabetes dan dapat
disebabkan oleh perubahan distribusi elektrolit yang berhubungan dengan
perpindahan cairan osmotik yang diinduksi oleh hiperglikemia, atau defisiensi
cairan tubuh akibat diuretik osmotik. 17
Sodium (Na+), potassium (K+), calcium (Ca2+) adalah elektrolit dalam serum
tubuh. Elektrolit ini mempunyai peran penting dalam metabolisme dan fungsi
seluler, termasuk aktivitas enzim dan gradien elektrik. Telah terbukti bahwa
konsentrasi serum elektrolit berhubungan dengan kadar glukosa dalam plasma.
Gangguan pada kadar eleksatrolit berkaitan dengan diabetes melitus (DM).17
Peningkatan konsentrasi glukosa plasma dapat menyebabkan perubahan
konsentrasi sodium plasma melalui beberapa mekanisme. Peningkatan konsentrasi
20

glukosa meningkatkan tonisitas plasma, menyebabkan pergerakan cairan dari


intraselular ke ekstraselular, sehingga mengencerkan konsentrasi sodium
ekstraselular. Setiap terjadi peningkatan glukosa sebanyak 100 mg/dL, sodium
akan menurun 1.5 mmol/L.18
Hiperglikemia meningkatkan osmolalitas serum, menyebabkan pergerakan
cairan keluar dari sel dan menurunkan kadar sodium serum. Diabetes mellitus
yang tidak terkontrol juga bertanggung jawab karena memicu hipovolemik
hiponatremia yang disebabkan oleh diuresis osmotik. Hilangnya cairan dan zat
terlarut disebabkan oleh osmotik diuresis, menyebabkan perubahan di osmolaritas
serum dan konsentrasi sodium serum, yang mempunyai hubungan erat antara
cairan dan zat terlarut. 18
Penyebab paling sering dari hiponatremia hipotonik pada pasien diabetes
adalah hipovolemia yang dipicu oleh diuresis osmotik. Pasien dengan diabetic
ketoacidosis mengekskresi B-hidroksibutirat dan asetoasetat menyebabkan
pelepasan sodium ke dalam urin, yang memperberat hipovolemia. Hipovolemia
juga dapat terjadi akibat komplikasi terkait dengan diabetes mellitus, seperti diare
dan muntah. 18

Gambar 8. Fase Asidosis Metabolik pada Pasien dengan Diabetes. 19

Pada fase awal ketoasidosis, ketika volume cairan ekstraseluler mendekati


normal, anion ketoacid yang diproduksi akan diekskresi secara cepat oleh ginjal,
21

bersamaan dengan garam sodium dan potasium. Hilangnya garam keton menuju
urin menyebabkan kontraksi volume cairan ekstraselular dan mengirim sinyal ke
ginjal untuk meretensi natrium klorida. Proton dari ketoacid bereaksi dengan
bikarbonat untuk membentuk air dan karbon dioksida, yang diekspirasi melalui
paru-paru. Efeknya adalah terjadinya asidosis hiperkloremik. Proses ini disebut
dengan hilangnya sodium bikarbonat secara tidak langsung. Saat proses ketogenik
berlangsung lebih cepat, dan deplesi volume menjadi semakin parah, proporsi
garam ketoacid yang terbentuk tertahan di dalam tubuh, sehingga meningkatkan
kesenjangan anion. Pada titik ini, laju filtrasi glomerulus menurun dan pasien
memerlukan terapi di rumah sakit. 19
Pada fase penyembuhan, kesenjangan anion asidosis metabolik dirubah
kembali menjadi hiperkloremik, asidosis dengan kesenjangan anion normal.
Terapi juga menyebabkan terminasi produksi ketoacid. Ketika volume
ekstraselular kembali normal, ada peningkatan ekskresi garam sodium oleh ginjal.
Hilangnya bikarbonat secara tidak langsung, dikombinasikan dengan retensi
natrium klorida, bertanggung jawab atas kembali terjadinya hiperkloremik,
asidosis dengan kesenjangan anion normal. Sebagai tambahan, potasium dan
sodium yang diberikan dalam cairan mengandung natrium klorida dan potasium
klorida masuk ke dalam sel dan bertukar dengan ion hidrogen. Efeknya adalah
masuknya hidrogen klorida menuju cairan ekstraselular. Kembalinya
keseimbangan asam basa dicapai setelah beberapa hari seiring dengan defisit
bikarbonat teratasi dan bikarbonat kembali dibentuk oleh ginjal. 19,20
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Liamis et al, dinyatakan
bahwa diabetes mellitus juga berhubungan dengan hiponatremia, bahkan tanpa
ada kondisi hiperglikemia. Dilaporkan bahwa perubahan regulasi vasopresin pada
diabetes mellitus, peningkatan ekspresi pintu cairan aquaporin AQP2 yang dipicu
oleh vasopressin, dan penyerapan air dari traktus gastrointestinal akibat
pengosongan lambung yang lebih lambat diduga berperan dalam hubungan antara
diabetes mellitus dan berkurangnya kadar sodium serum. 19,20

V.2 Patofisiologi Hiponatremi pada Ketoasidosis Diabetik


22

Gambar 9. Patofisiologi ketoasidosis metabolik.20


Ketoasidosis diabetik terjadi akibat defisiensi insulin dan peningkatan kadar
hormon glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Defisiensi
insulin relatif terjadi ketika konsentrasi dari hormon ini meningkat sebagai respon
terjadap stress, infeksi, atau insufisiensi insulin. Kombinasi dari defisiensi insulin
relatif atau absolut dan konsentrasi hormon yang tinggi menyebabkan peningkatan
katabolik status dengan peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal
(melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis), dan gangguan penggunaan glukosa
perifer, yang menyebabkan hiperglikemi dan hiperosmolaritas; peningkatan
lipolisis dan ketgoenesis dan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik.
Hiperglikemia bersamaan dengan hiperketonemia menyebabkan diuresis,
dehidrasi, dan hilangnya elektrolit. 20,21
Pasien dengan KAD umumnya datang dengan hiponatremia. Glukosa plasma
yang tidak terkontrol dapat meningkatkan tonisitas plasma, menyebabkan
pergerakan cairan dari intraseluler menuju ekstraseluler, melarutkan konsentrasi
sodium ekstraseluler. Sebagai tambahan, sekresi dari vasopresin membatasi
pelepasan cairan melalui ginjal, dan menyebabkan hiponatremia.20,21
Pada DKA, terjadi pergerakan osmotik cairan menuju ruang ekstraseluler dan
menyebabkan hiponatremia dilusi. Ketika diuresis osmotik terjadi, hipotonik
23

hiponatremia dapat diidentifikasi. Eksresi dari B-hidroksibutirat dan asetoasetat


juga mendorong pelepasan sodium urin dan memperberat hipovolemia.20,21
Meningkatnya kadar asam keton dalam darah pada pasien KAD,
menyebabkan terjadinya eksresi sodium bersamaan dengan asam keton oleh ginjal
dengan bantuan kotransporter, dan dapat menyebabkan hiponatremia.20,21
V.3 Tatalaksana Hiponatremi pada Diabetes Melitus
Hiperglikemia dapat menyebabkan nonhipoosmolar hiponatremia. Ada
sebuah formula yang digunakan untuk mengkoreksi hiponatremi yang disebabkan
oleh hiperglikemia: Na+ yang dikoreksi dihitung dengan menambahkan Na yang
terukur 1.6 mmol/L setiap penambahan serum glukosa 100 mg/dL di atas normal.
Faktor koreksi 2.4 mmol/L harus digunakan apabila glukosa serum mencapai
angka di atas 400 mg/dL. Tetapi penting diketahui pada terapi awal dari kondisi
hiperglikemik, cairan pengganti dipilih dengan hati-hati untuk mencegah
penurunan osmolalitas efektif, yang dapat menyebabkan edema otak yang
mengancam nyawa. Pemberian normal saline 0.9% disarankan dalam 15 jam
pertama terapi, dan keadaan hipernatremia ringan diharapkan pada pasien dengan
risiko edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial (seperti pada anak-anak).
Setelahnya, sodium klorida 0.45% dapat diberikan apabila sodium serum setelah
koreksi >145 mmol/L. 22
Stabilisasi hemodinamik dengan normal saline adalah tujuan terapi cairan
pada pasien dengan krisis hiperglikemik. Selama terapi ini, pergantian ke cairan
hipotonik diperlukan untuk pasien dengan defisit total cairan tubuh. Infus cairan
salin isotonik harus dilanjutkan ketika konsentrasi sodium plasma telah
berkurang. Cairan yang diberikan harus menurunkan osmolalitas dengan minimal,
khususnya pada 15 jam pertama terapi, untuk mencegah risiko edema otak. Anak-
anak dengan diabetik ketoasidosis mempunyai risiko besar untuk mengalami
edema otak, sehingga hipernatremia bisa diterima untuk meminimalisir
komplikasi ini. 23
Dengan mempertimbangkan penyebab hiponatremia yang bersifat
multifaktorial pada pasien diabetes, terapi yang spesifik terhadap masing-masing
penyebab sangat diperlukan. Penggunaan obat penyebab hiponatremia sebaiknya
24

dihentikan dan dihindari. Pemberian insulin akan menyebabkan glukosa dan air
masuk ke dalam sel, melawan pergerakan air dan menyebabkan peningkatan kadar
sodium. Terapi dari faktor yang mendasari (seperti hipovolemia, infeksi) yang
dapat memicu hiponatremia juga sangat penting. 22,23
Terapi hipovolemia yang tepat (dengan cairan saline dan potasium klorida,
apabila disertai hipokalemia) juga dapat meningkatkan kadar sodium. Harus
diperhatikan bahwa ion potasium juga harus dimasukkan dalam perhitungan
tonisitas cairan yang dimasukkan untuk menghindari koreksi hiponatremia yang
22,23
berlebihan dan juga kelebihan cairan sirkulasi.
Cairain saline hipertonik harus diberikan hanya pada kasus simtomatik yang
berat (contohnya, kejang) untuk meningkatkan kadar sodium serum dengan cepat
hingga gejala berkurang. Sementara untuk semua kasus, peningkatan kadar
sodium serum harus dibatasi hingga 19 mmol/l pada 24 jam pertama dan 8 mmol/l
setiap 24 jam setelahnya. Target terapi harus lebih rendah lagi (<4-6 mmol/L) jika
ada faktor risiko terjadinya sindrom demielinasi osmotik. Harus ditekankan bahwa
pasien dengan diabetes mempunyai risiko tinggi untuk mengalami sindrom
demielinasi osmotik pada saat koreksi cepat hiponatremia. 22,23
25

Gambar 10 Algoritme diagnostik pasien diabetes dengan hiponatremia 22

VI. Kesimpulan
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling sering ditemukan
dengan prevalensi 20-30% pada pasien rawat inap dan 7.7% pada pasien rawat
jalan. Etiologi hiponatremia sangatlah beragam, dan diagnosis yang tepat dibuat
berdasarkan pemahaman mekanisme patofisiologi yang tepat dari gangguan
elektrolit ini.
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit dengan gangguan elektrolit
tersering. Faktor-faktor seperti gangguan fungsi ginjal, sindrom malabsorpsi,
gangguan asam-basa dan regimen obat-obatan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan hiponatremia.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Rondon-Berrios, H., Agaba, E. and Tzamaloukas, A., 2014. Hyponatremia: pa


thophysiology, classification, manifestations and management. International U
rology and Nephrology, 46(11), pp.2153-2165.
2. Kaur, G., Fry, R. and Chhikara, N., 2018. Fluid and electrolyte homeostasis: F
acts based comprehensive study. International Journal of Medical and Health
Research, 4(1), pp.128-132.
3. Liamis, G., 2014. Diabetes mellitus and electrolyte disorders. World Journal o
f Clinical Cases, 2(10), p.488.
4. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta: EG
C, 2014.
5. Zieg, J., 2017. Pathophysiology of Hyponatremia in Children. Frontiers in Pe
diatrics, 5.
6. Vasudevan, D., S, S. and Vaidyanathan, K., 2016. Electrolyte and Water Bala
nce. Textbook of Biochemistry for Medical Students, pp.410-410.
7. Darwis D, Moenajat Y, Nur B.M, Madjid A.S, Siregar P, Aniwidyaningsih W,
dkk, ’Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit’ dalam Gangguan
Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi,
Diagnosis dan Tatalaksana, ed. ke-2FK-UI, Jakarta, 2008, hh. 29-114.
8. Yaswir R, Ferawati I. 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium,
Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan
Andalas. 1(2): 80-85.
9. Sahay, M. and Sahay, R., 2015. Hyponatremia: A Practical Approach. Indian
Journal of Endocrinology and Metabolism, 18(6), pp.760-770.
10. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja. 2015. Konsensus Nasional
Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe-2 pada Anak dan Remaja. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Aman B. Pulungan dkk. 2019. Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak : Situasi di
Indonesia dan Tata Laksana. Sari Pediatri. 20(6): 392-400.
27

12. Baynest, H., 2015. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and Manageme


nt of Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes & Metabolism, 06(05).
13. Katsarou, A., Gudbjörnsdottir, S., Rawshani, A., Dabelea, D., Bonifacio, E., A
nderson, B. J., … Lernmark, Å. (2017). Type 1 diabetes mellitus. Nature Revi
ews Disease Primers, 3, 17016. doi:10.1038/nrdp.2017.16 
14. DeFronzo, R., Ferrannini, E., Groop, L., Henry, R., Herman, W., Holst, J., Hu,
F., Kahn, C., Raz, I., Shulman, G., Simonson, D., Testa, M. and Weiss, R., 20
15. Type 2 diabetes mellitus. Nature Reviews Disease Primers, 1(1).
15. Vasilios, G., 2015. Hyponatremia in Diabetes Mellitus: Clues to Diagnosis an
d Treatment. Journal of Diabetes & Metabolism, 06(06).
16. Buffington, M. and Abreo, K., 2015. Hyponatremia. Journal of Intensive Care
Medicine, 31(4), pp.223-236.
17. Jiskani, S., Khawaja, S. and Talpur, R., 2018. Disturbances in Serum Electroly
tes in Type 2 Diabetes Mellitus. National Journal of Health Sciences, 3(4), pp.
128-131.
18. Pipeleers, L., Wissing, K. and Hilbrands, R., 2018. Acid-base and electrolyte d
isturbances in patients with diabetes mellitus. Acta Clinica Belgica, 74(1), pp.
28-33.
19. Cashen, K. and Petersen, T., 2019. Diabetic Ketoacidosis. Pediatrics in Revie
w, 40(8).
20. Thomovsky, E. (2017). Fluid and Electrolyte Therapy in Diabetic Ketoacidosi
s. Veterinary Clinics of North America: Small Animal Practice, 47(2), 491–50
3. doi:10.1016/j.cvsm.2016.09.012
21. Palmer, B. and Clegg, D., 2015. Electrolyte and Acid–Base Disturbances in Pa
tients with Diabetes Mellitus. New England Journal of Medicine, 373(6), pp.5
48-559.
22. Hoorn, E. and Zietse, R., 2017. Diagnosis and Treatment of Hyponatremia: Co
mpilation of the Guidelines. Journal of the American Society of Nephrology, 2
8(5), pp.1340-1349.
28

23. Khanduker, S., Ahmed, R. and Khondker, F., 2017. Electrolyte Disturbances i
n Patients With Diabetes Mellitus. Bangladesh J Med Biochem, 10(1), pp.27-3
5.

Anda mungkin juga menyukai