Divisi Gastro-Enterohepatologi
Oleh:
Nurul Sylvana Shoraya
C110216203
Pembimbing:
dr. Setia Budi Salekede, Sp.A (K)
dr. Eka Yusuf Inra Kartika, Sp.A
I. PENDAHULUAN
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling sering ditemukan
dengan prevalensi 20-30% pada pasien rawat inap dan 7.7% pada pasien rawat
jalan. Hiponatremia berhubungan denan sakit berat dan merupakan penyebab dari
berbagai macam gejala dari gejala ringan hingga kondisi yang dapat mengancam
nyawa. 1
Hiponatremia (serum sodium <136 mmol/L) bukan merupakan sebuah
penyakit, melainkan sebuah proses patofisiologis yang menandakan gangguan
homeostasis cairan. Sehingga, hiponatremia diklasifikasikan lebih lanjut untuk
keperluan diagnosis dan terapi. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa hiponatremia
adalah gangguan yang bersifat heterogen. Hal ini mempersulit praktik klinis,
karena pasien dengan hiponatremi sulit diidentifikasi. Pasien dengan hiponatremia
biasanya dapat diketahui akibat penyakit mendasari yang diperparah oleh kondisi
hiponatremia. 2
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa DM berkaitan dengan
hiponatremia. Gangguan metabolisme vasopresin, interaksi antara insulin dan
vasopresin, efek keduanya pada duktus kolektivus dan reabsorpsi cairan hipotonik
akibat pengosongan lambung yang lebih lambat telah dikatakan sebagai
mekanisme yang kemungkinan mendasari hubungan ini. 3
2
adalah sodium. Sehingga, sodium dan keseimbangan cairan bergantung satu sama
lain dan tidak bisa dipisahkan. Osmolalitas plasma berkisar antara 285 hingga 295
mosm/kg. 5
Klasifikasi Kriteria
Sedang (125-129 mmol/L), Konsentrasi serum natrium absolut
berat (<125 mmol/L)
Akut dan kronik Waktu terjadi (batas 48 jam)
Simtomatik dan asimtomatik Ada tidaknya gejala
Hipotonik, isotonik, Osmolalitas serum
hipertonik
Hipovolemik,euvolemik, Penilaian klinis dari status volume
hipervolemik
fraksi non-akuos dari plasma; serum kemudian berisi volume plasma cairan yang
lebih rendah dan lebih sedikit sodium.9,10
Pseudohiponatremia lebih sering ditemukan pada pasien diabetes, karena
diabetes yang tidak terkontrol berhubungan dengan hipertrigliseridemia. Hal ini
penting diketahui, karena keadaan ini tidak memberikan efek terhadap osmolalitas
plasma, sehingga hiponatremia tidak perlu dikoreksi. 9,10
Pada orang normal, serum terdiri dari air (sekitar 93%), dengan lemak dan
protein sekitar 7%. Sodium terletak di bagian air dari serum. Reduksi dari fraksi
air serum (<80) dapat terjadi pada pasien hiperlipidemia dan pasien dengan DM
tidak terkontrol. Pada kondisi ini, konsentrasi sodium serum, diukur dengan per
liter serum, bukan serum air, menyebabkan seolah-olah kadar sodium berkurang
(pseudohiponatremia). 9,10
Hiponatremia Hipertonik
Hiponatremia hipertonik terjadi apabila ada kelebihan zat terlarut di
ekstraselular, selain garam sodium. Pertambahan zat terlarut ini menyebabkan
perpindahan osmotik dari cairan intraseluler menuju ekstraseluler. Cairan yang
masuk ke dalam kompartemen ekstraseluler, yang mengandung sedikit sodium,
larut dalam ekstraseluler dan berujung pada hiponatremia. 9,10
Berlebihnya zat terlarut yang bersifat osmotik aktif selain elektrolit dalam
cairan ekstraselular adalah karakteristik dari hipertonik hiponatremia. Pada
keadaan ini, osmolalitas serum meningkat >295 mmol/l. Peningkatan osmolalitas
juga berhubungan dengan penambahan cairan dan pengenceran cairan
ekstraseluler. Glukosa adalah substansi bersifat osmotik aktif; hiperglikemia
meningkatkan osmolalitas serum dan menyebabkan cairan keluar dari sel.
Hipertonik hiponatremia dapat disebabkan oleh manitol, sukros, radiokontras
intravena, dekstran dengan berat molekular rendah. 9,10
Manifestasi klinis dari hipertonisitas biasanya berat pada kadar osmolalitas
320 mOsm/kg. Sebaliknya, pertambahan zat terlarut yang menembus membran sel
dan terdistribusi pada total cairan tubuh seperti urea, alkohol, menyebabkan
7
Hiponatremia Hipotonik
Jenis hiponatremia yang paling sering ditemukan adalah hipotonik
hiponatremia, yang berhubungan dengan berkurangnya osmolalitas serum (<275
mmol/l). Selanjutnya, jenis ini diklasifikasikan lagi berdasarkan status volume
ekstraseluler pasien. Hiponatremia dapat terjadi dengan normovolemia,
hipervolemia, atau hipovolemia. Hipovolemia akibat kehilangan cairan yang
disebabkan oleh penyebab ekstrarenal, seringnya gastroenteritis, adalah kausa dari
hiponatremia hipovolemik. Pasien dengan SIADH biasanya euvolemik atau
hipervolemik ringan. Selain itu, intoksikasi air juga dapat menyebabkan
hiponatremia euvolemik ketika intake cairan melebihi kadar diuresis. Pasien
dengan sindrom nefrotik, sirosis, dan gagal jantung dapat mengalami
hiponatremia dengan gejala klinis berupa hipervolemik. Pasien ini bersifat
hipovolemik, karena tubuh hanya mendeteksi cairan di sistem vaskular, sehingga
dehidrasi intravaskular meningkatkan sekresi ADH dan retensi cairan
menyebabkan hiponatremia. 9,10
III.4 Patofisiologi Hiponatremia
Untuk memahami hiponatremia, langkah pertama adalah memahami
informasi yang dapat diperoleh dari kadar natrium serum. Informasi yang
didapatkan dari kadar natrium serum dan osmolalitas serum adalah apakah serum
bersifat hipertonik, isotonik, atau hipotonik. Tonisitas, atau osmolalitas efektif
dari sebuah cairan adalah kemampuannya untuk menyebabkan pembengkakan
atau pengkerutan pada sel melalui proses kehilangan cairan, atau pertambahan
cairan. Perpindahan cairain dipengaruhi oleh perbedaan tekanan osmotik
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Cairan hipertonik menyebabkan air
keluar dari sel; cairan hipotonik menyebabkan air masuk ke dalam sel; sedangkan
cairan isotonik tidak menyebabkan perpindahan cairan baik ke dalam atau keluar
sel. 6
8
dirasakan sebagai sensasi mulut kering. Rasa haus ini timbul setelah peningkatan
osmolalitas serum 5-10 mmol/kg dibandingkan dengan sekresi ADH. Mekanisme
sentral ini mencegah hipernatremia pada orang normal, selama mereka
mempunyai akses terhadap air. 6,7, 8
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron juga penting untuk meretensi cairan
tubuh dan mempertahankan tekanan darah. Ada juga hormon peptide NP, yang
mempunyai efek berlawanan. Hormon peptide natriuretic atrial dan natriuretik
otak adalah hormon yang disekresi oleh jantung. Efek biologisnya adalah
vasodilatasi, stimulasi diuresis, natriuresis, dan untuk menurunkan tekanan darah
atrial dan resistensi sistemik vaskular. Hormon ini juga menekan pelepasan
aldosteron dan ADH. Ekskresi sodium diperkuat oleh peningkatan laju filtrasi
glomerulus dan supresi dari reabsorpsi garam. 8,9
NP disekresi sebagai respon untuk meningkatnya volume cairan tubuh yang
dirasakan sebagai peregangan ruang jantung. Stimulasi simpatis dan angiotensin II
juga memicu sekresi NP, yang akan didistribusikan ke organ target melalui
sirkulasi. Reseptor NP akan diidentifikasi di pembuluh darah, kelenjar adrenal,
dan ginjal. Aktivasi reseptor ini akan memicu sintesis dari siklik guanosine
monofosfat, yang memediasi aksi dari peptide ini. 8,9
10
glukokinase pada hati dan GLUT4 dari transporter glukosa pada jaringan adiposa,
menjelaskan bahwa gangguan metabolik yang utama, yang disebabkan oleh
defisiensi insulin pada DM Tipe I adalah gangguan metabolisme glukosa, lipid
dan protein.13
kebutuhan insulin. Konsentrasi plasma insulin (saat puasa mau pun setelah
makan) biasanya meningkat, meskipun "relatif" terhadap keparahan resistensi
insulin, tetapi peningkatan konsentrasi insulin plasma tidak cukup untuk menjaga
homeostasis glukosa normal. Perlu diketahui bahwa hubungan antara sekresi
insulin dan sensitifitas hormon pada kontrol glukosa sangat erat, sehingga tidak
mungkin kita memisahkan kedua kontribusi keduanya dalam etiopatogenesis DM
Tipe II. 14
16
Gambar 6. Patogenesis dari DM Tipe II dan peningkatan asam lemak pada pasien DM
Tipe II.14
Resistensi insulin pada otot dan hati, dan gangguan sekresi insulin oleh sel B
pankreas adalah kerusakan utama pada DM tipe II. Resistensi sel B terhadap
glucagon-like peptide 1 (GLP1) berperan dalam kegagalan fungsi sel B, dimana
peningkatan glukagon dan sensitivitas hepar terhadap glukagon berkontribusi
terhadap peningkatan produksi glukosa berlebihan oleh hepar. Resistensi insulin
pada jaringan adiposa menyebabkan akselerasi lipolisis dan peningkatan asam
lemak bebas, yang memperberat resistensi insulin di otot dan hepar dan
menyebabkan kegagalan sel B. Peningkatan reabsorpsi glukosa ginjal oleh co-
transporter sodium/glukosa (SGLT2) dan peningkatan ambang pembuangan
glukosa ke dalam urin berperan dalam bertahannya kondisi hiperglikemia.
Resistensi terhadap efek penekanan nafsu makan oleh insulin, leptin, GLP1,
amylin dan peptide YY, juga rendahnya kadar dopamin otak dan peningkatan
kadar serotonin yang menyebabkan peningkatan berat badan, memperparah
resistensi yang terjadi.14
Glukosa darah 2 jam setelah tantangan glukosa > 200 mg/dL (11,1
mmol/L) dilakukan dengan 1,75 g glukosa/kg, maksimum 75 g glukosa
dilarutkan dalam air
HbA1c > 6,5% (48 mmol/L) jika diukur di laboratorium yang telah
disertifikasi.
Pada tahun 2015, American Diabetes Association merekomendasikan
skrining diabetes melitus tipe 2 pada anak-anak dengan berat badan berlebih (BMI
> 85 persentil untuk umur dan jenis kelamin, berat terhadap tinggi >85 persentil,
atau berat >120% dari berat ideal terhadap tinggi), dengan 2 faktor risiko
tambahan untuk diabetes melitus tipe 2. 11
Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2.
Ras atau etnis (amerika, afrika-amerika, latin, asia-amerika, kepulauan
pasifik)
Tanda-tanda resistensi insulin atau keadaan yang berhubungan dengan
resistensi insulin: akantosis nigrikans, hipertensi, dislipidemi, sindrom
polikistik obari, atau berat lahir kecil untuk umur gestasi.
Riwayat diabetes melitus gestasional selama hamil anak tersebut.
V. Hubungan Hiponatremi dengan Kejadian DM
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit dengan gangguan elektrolit
tersering. Faktor-faktor seperti gangguan fungsi ginjal, sindrom malabsorpsi,
gangguan asam-basa dan regimen obat-obatan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan hiponatremia. 15
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada praktik klinis. Gangguan
elektrolit ini biasanya bersifat multifaktorial. Faktor patofisiologis yang
menyebabkannya dapat bermacam-macam, seperti status nutrisi, kapasitas
absorpsi gastrointestinal, abnormalitas asam-basa, penggunaan obat-obatan, dan
penyakit komorbid lainnya. 15
Beberapa obat yang diresepkan untuk mengobati diabetes melitus juga
berhubungan dengan hiponatremia. Antidepresan trisiklik, yang digunakan untuk
menangani neuropati diubetik, diketahui menstimulasi pelepasan vasopresin. Obat
hipoglikemik oral, seperti klorpropramid dan tolbutamid dapat menyebabkan
19
bersamaan dengan garam sodium dan potasium. Hilangnya garam keton menuju
urin menyebabkan kontraksi volume cairan ekstraselular dan mengirim sinyal ke
ginjal untuk meretensi natrium klorida. Proton dari ketoacid bereaksi dengan
bikarbonat untuk membentuk air dan karbon dioksida, yang diekspirasi melalui
paru-paru. Efeknya adalah terjadinya asidosis hiperkloremik. Proses ini disebut
dengan hilangnya sodium bikarbonat secara tidak langsung. Saat proses ketogenik
berlangsung lebih cepat, dan deplesi volume menjadi semakin parah, proporsi
garam ketoacid yang terbentuk tertahan di dalam tubuh, sehingga meningkatkan
kesenjangan anion. Pada titik ini, laju filtrasi glomerulus menurun dan pasien
memerlukan terapi di rumah sakit. 19
Pada fase penyembuhan, kesenjangan anion asidosis metabolik dirubah
kembali menjadi hiperkloremik, asidosis dengan kesenjangan anion normal.
Terapi juga menyebabkan terminasi produksi ketoacid. Ketika volume
ekstraselular kembali normal, ada peningkatan ekskresi garam sodium oleh ginjal.
Hilangnya bikarbonat secara tidak langsung, dikombinasikan dengan retensi
natrium klorida, bertanggung jawab atas kembali terjadinya hiperkloremik,
asidosis dengan kesenjangan anion normal. Sebagai tambahan, potasium dan
sodium yang diberikan dalam cairan mengandung natrium klorida dan potasium
klorida masuk ke dalam sel dan bertukar dengan ion hidrogen. Efeknya adalah
masuknya hidrogen klorida menuju cairan ekstraselular. Kembalinya
keseimbangan asam basa dicapai setelah beberapa hari seiring dengan defisit
bikarbonat teratasi dan bikarbonat kembali dibentuk oleh ginjal. 19,20
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Liamis et al, dinyatakan
bahwa diabetes mellitus juga berhubungan dengan hiponatremia, bahkan tanpa
ada kondisi hiperglikemia. Dilaporkan bahwa perubahan regulasi vasopresin pada
diabetes mellitus, peningkatan ekspresi pintu cairan aquaporin AQP2 yang dipicu
oleh vasopressin, dan penyerapan air dari traktus gastrointestinal akibat
pengosongan lambung yang lebih lambat diduga berperan dalam hubungan antara
diabetes mellitus dan berkurangnya kadar sodium serum. 19,20
dihentikan dan dihindari. Pemberian insulin akan menyebabkan glukosa dan air
masuk ke dalam sel, melawan pergerakan air dan menyebabkan peningkatan kadar
sodium. Terapi dari faktor yang mendasari (seperti hipovolemia, infeksi) yang
dapat memicu hiponatremia juga sangat penting. 22,23
Terapi hipovolemia yang tepat (dengan cairan saline dan potasium klorida,
apabila disertai hipokalemia) juga dapat meningkatkan kadar sodium. Harus
diperhatikan bahwa ion potasium juga harus dimasukkan dalam perhitungan
tonisitas cairan yang dimasukkan untuk menghindari koreksi hiponatremia yang
22,23
berlebihan dan juga kelebihan cairan sirkulasi.
Cairain saline hipertonik harus diberikan hanya pada kasus simtomatik yang
berat (contohnya, kejang) untuk meningkatkan kadar sodium serum dengan cepat
hingga gejala berkurang. Sementara untuk semua kasus, peningkatan kadar
sodium serum harus dibatasi hingga 19 mmol/l pada 24 jam pertama dan 8 mmol/l
setiap 24 jam setelahnya. Target terapi harus lebih rendah lagi (<4-6 mmol/L) jika
ada faktor risiko terjadinya sindrom demielinasi osmotik. Harus ditekankan bahwa
pasien dengan diabetes mempunyai risiko tinggi untuk mengalami sindrom
demielinasi osmotik pada saat koreksi cepat hiponatremia. 22,23
25
VI. Kesimpulan
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling sering ditemukan
dengan prevalensi 20-30% pada pasien rawat inap dan 7.7% pada pasien rawat
jalan. Etiologi hiponatremia sangatlah beragam, dan diagnosis yang tepat dibuat
berdasarkan pemahaman mekanisme patofisiologi yang tepat dari gangguan
elektrolit ini.
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit dengan gangguan elektrolit
tersering. Faktor-faktor seperti gangguan fungsi ginjal, sindrom malabsorpsi,
gangguan asam-basa dan regimen obat-obatan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan hiponatremia.
26
DAFTAR PUSTAKA
23. Khanduker, S., Ahmed, R. and Khondker, F., 2017. Electrolyte Disturbances i
n Patients With Diabetes Mellitus. Bangladesh J Med Biochem, 10(1), pp.27-3
5.