Anda di halaman 1dari 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI2 SKP

Ensefalopati Hepatikum Minimal


Suzanna Ndraha
Ahli Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterohepatologi,
Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis hati, angka kejadiannya lebih tinggi pada penderita sirosis hati
malnutrisi. Ensefalopati hepatik minimal (EHM) adalah keadaan di mana tidak terdapat gangguan klinis, namun pada tes psikometrik
ditemukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup dan berisiko berkembang menjadi EH. Beberapa tahun belakangan
ini, tes critical flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk mendiagnosis EHM. Tes ini telah divalidasi terhadap baku emas PHES.
ESPEN 2006 merekomendasikan diet 35-40 kkal/kgBB/hari dan protein 1,5 g/kgBB/hari untuk sirosis hati dengan malnutrisi. L-ornitin-L-
aspartat (LOLA) terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah. Beberapa studi telah membuktikan manfaat LOLA dan protein 1,5 g/
kgBB/hari termasuk BCAA dapat memperbaiki kondisi ensefalopati dan status gizi.

Kata kunci: Ensefalopati hepatik, L-ornitin-L-aspartat, sirosis hati

ABSTRACT
Hepatic encephalopathy (HE) is one of the complications in liver cirrhosis, the incidence is higher in malnutrition. Minimal hepatic
encephalopathy (MHE) is clinically asymptomatic, detected by impaired psychometric test. MHE has been found to affect the quality of
life and is a risk to develop overt HE. In recent years, critical flicker frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE.
This test has been validated to the gold standard PHES. ESPEN 2006 recommend that diet 35-40 kcal/kgBW/day and protein 1.5
g/kgBW/day for liver cirrhosis with malnutrition. Recent studies proved the efficacy of L-ornithine-L-aspartate (LOLA) and 1.5 g
protein/kgBW including BCAA improve encephalopathy as well as nutritional status. Suzanna Ndraha. Minimal Hepatic Encephalopathy.

Keywords: Hepatic encephalopathy, L-ornithine-L-aspartate, liver cirrhosis

PENDAHULUAN PATOFISIOLOGI Progresivitas penyakit hati dan degenerasi


Sirosis hati merupakan perjalanan patologi Banyak hipotesis diajukan untuk me- hepatoma mengakibatkan penurunan
akhir berbagai macam penyakit hati, seperti nerangkan mekanisme EH, yang paling fungsi cadangan hati, sehingga kemampuan
hepatitis virus kronik, alkoholisme, hepatitis banyak diterima adalah teori peningkatan metabolisme toksin oleh hati ikut berkurang.
autoimun, nonalcoholic steatohepatitis amonia akibat berkurangnya fungsi hati dan Pada sirosis hati, sering terjadi perlambatan
(NASH), sirosis bilier. Akibat proses sirosis, pintasan portosistemik.2 transit makanan di saluran cerna, sehingga
terjadi penurunan fungsi sintesis hati, paparan dengan bakteri usus terjadi lebih
penurunan kemampuan hati untuk Amonia adalah neurotoksin yang pada lama, mengakibatkan produksi amonia
detoksifikasi, dan hipertensi portal dengan dosis tinggi menimbulkan kejang dan meningkat.4
segala penyulitnya.1 Salah satu komplikasi kematian. Kadar amonia dalam otak, cairan
yang perlu diwaspadai ialah ensefalopati serebrospinal, dan arteri berkorelasi baik Norenberg (2006) mengajukan teori
hepatik. dengan stadium klinik EH.3 Peningkatan patogenesis EH yang melibatkan reseptor
pembentukan amonia dapat terjadi akibat benzodiazepine perifer (PBR/Peripheral
Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom tingginya asupan protein, konstipasi, Benzodiazepine Receptor) dan neurosteroid.
disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, Dikemukakan bahwa amonia adalah toksin
oleh portosystemic venous shunting, dengan atau hipokalemia. Dehidrasi, hipotensi utama pada EH dan astrosit adalah target
atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien arteri, hipoksemia, serta anemia dapat utama. Peningkatan amonia mengakibatkan
EH sering menunjukkan perubahan status menimbulkan hipoksia hepatik, sehingga peningkatan jumlah reseptor PBR, termasuk
mental mulai dari kelainan psikologik ringan kemampuan detoksifikasi hati berkurang, pada astrosit. PBR kemudian meningkatkan
hingga koma dalam.1 dan akibatnya kadar amonia meningkat. produksi radikal bebas (ROS/Reactive
Alamat korespondensi email: susan_ndraha@yahoo.co.id

824 CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Gambar 2. Siklus glutamat-glutamin di otak. Glutamat presinaptik menuju reseptornya di


postsinaps. Ambilan glutamat postsinaptik dimediasi oleh transporter glutamat astrosit/
Gambar 1. Terjadinya disfungsi astrosit akibat hiperamonemia.5 Excitatory Amino Acid Transporters (EAAT).6

Oxygen Species). Radikal bebas ini me- mengaktifkan nuclear factor kappa B, yang DIAGNOSIS
nimbulkan stres oksidatif pada mitokondria, kemudian mengaktifkan iNOS (inducible Tes diagnostik yang awalnya digunakan
sehingga terjadi disfungsi mitokondria. nitric oxide synthase), lalu menghasilkan nitric untuk EHM adalah tes psikometrik dan
Disfungsi mitokondria ini kemudian me- oxide, yang akhirnya menyebabkan disfungsi elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik yang
ngakibatkan disfungsi astrosit.3 (Gambar 1) astrosit. meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked,
dan brain stem auditory evoked potentials,
Lemberg (2009) mengajukan teori Penilaian beratnya EH, antara lain ternyata tidak mudah dilakukan dalam praktik
patofisiologi EH yang melibatkan amonia, menggunakan klasifikasi status mental karena biayanya mahal, memerlukan peralatan
glutamin, glutamat, dan stres oksidatif. berdasarkan kriteria West Haven modifikasi canggih, dan ternyata sensitivitasnya masih di
Metabolisme amonia di otak terjadi melalui oleh Conn dan Bircher 1994.8 Ensefalopati bawah tes psikometrik. Tes psikometrik yang
glutamin sintetase yang ada di astrosit. hepatik derajat mild, yang juga disebut meliputi 5 tes, yaitu the digit symbol test
Glutamin sintetase mengubah amonia dan ensefalopati hepatik minimal (EHM), adalah (DST), the number connection test A (NCTA),
glutamat menjadi glutamin.6 Glutamin keadaan klinis di mana tidak terdapat the number connection test B (NCT-B),
bersifat osmotik aktif, sehingga peningkatan tanda gangguan mental, namun pada tes the serial dotting test (SDT), dan the line
glutamin menyebabkan air masuk ke astrosit psikometrik sudah ditemukan kelainan. drawing test (LDT), direkomendasikan
dan terjadi edema (Gambar 2,3).6,7 EHM penting karena mengurangi kualitas sebagai baku emas diagnosis EHM dalam
hidup,9 dan merupakan risiko nyata EH.10 konsensus di Viena tahun 1998.15 Kelima
Peningkatan amonia menimbulkan deplesi Pasien EHM sering mengalami gangguan tes yang dinamakan PHES (the Psychometric
glutamat otak, padahal glutamat adalah tidur, gangguan inteligensia, dan gangguan Hepatic Encephalopathy Score) ini juga
neurotransmiter eksitatori utama di otak. kemampuan mengemudi kendaraan yang ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya,
Hiperamonemia juga menimbulkan stres sering mengakibatkan kecelakaan lalu karena memerlukan waktu lama dan sangat
oksidatif di mitokondria. Stres oksidatif ini lintas.9,10 dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia
penderitanya.11,12

Kesulitan tes psikometrik dan elektro-


fisiologik membuat EHM sulit didiagnosis.
Hal ini mendorong para ahli untuk mencari
alat diagnosis lain yang lebih mudah
namun akurat. Kircheis (2002) mulai
memperkenalkan tes critical flicker
frequency (CFF) untuk diagnosis EHM.
Berdasarkan hipotesis bahwa gliopati retina
dapat dijadikan petanda adanya gliopati
serebral, maka gangguan fungsi visual
dapat menjadi dasar diagnosis EHM, dengan
menggunakan cut off 39 Hz, dengan
sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%.
Gambar 3. Peranan neurotoksin amonia pada astroglia7 Karena tes CFF kurang dipengaruhi

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015 825


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

oleh tingkat pendidikan dan usia, dan pembatasan protein jangka panjang akan gangguan absorpsi, dan hipermetabolik.
mempunyai sensitivitas serta spesifisitas berakibat malnutrisi, yang berdampak Asupan kurang dapat disebabkan karena
yang baik, disimpulkan bahwa tes CFF pada meningkatnya angka mortalitas. ensefalopati, gangguan indra perasa/kecap,
dapat digunakan untuk mendiagnosis dan Keseimbangan nitrogen positif dibutuhkan rasa cepat kenyang karena penekanan asites
memantau EHM.11,12 Gomez (2007) melakukan untuk regenerasi hati dan mempertahan- yang masif, ataupun batasan diet oleh dokter.
penelitian CFF dengan menggunakan cut kan massa otot yang dibutuhkan untuk Gangguan absorpsi dapat disebabkan
off lebih rendah, yaitu 38 Hz, didapatkan detoksifikasi amonia.17 karena berkurangnya garam empedu,
sensitivitas lebih baik (72,4%) dan spesifisitas overgrowth bakteri yang mengakibatkan
77,2%. Gomez juga melakukan validasi CFF European Society for Clinical Nutrition and gangguan motilitas usus halus, hipertensi
terhadap baku emas EHM, yaitu PHES, dan Metabolism (1997) merekomendasikan portal, ataupun obat (misalnya neomisin).
didapatkan bahwa CFF berkorelasi baik diet 35-40 kkal/kgBB/hari dan protein 1,5 Sedangkan keadaan hipermetabolik dapat
dengan PHES dengan spesifisitas 77,2% g/kgBB/hari untuk sirosis hati dengan terjadi karena infeksi dan asites.16 Malnutrisi
dan sensitivitas 72,4%. Berdasarkan hasil malnutrisi. ESPEN juga merekomendasi- dihubungkan dengan peningkatan morbi-
ini, disimpulkan bahwa CFF merupakan kan penggunaan asam amino rantai cabang ditas dan mortalitas pasien penyakit hati
alat diagnosis yang mudah dan akurat (AARC) untuk meningkatkan status nutrisi kronik. Penderita sirosis hati yang malnutrisi
untuk menilai EHM.12 Di India, Sharma pada sirosis hati dengan malnutrisi. Pada mempunyai angka kejadian ensefalopati,
(2007) menggunakan cut off 39 Hz, dan EH derajat 1-2, protein diturunkan menjadi infeksi, dan perdarahan varises yang lebih
menyimpulkan bahwa CFF mempunyai 0,5 1,5 g/kgBB/hari.16 Setelah ensefalopati tinggi.16 Kalaitzakis, dkk. mempelajari status
sensitivitas serta spesifisitas yang baik (96% membaik, secara bertahap pemberian nutrisi dan kejadian EH pada sejumlah
dan 77%), serta mempunyai akurasi 83,3% protein ditingkatkan kembali menjadi 1,2-1,5 penderita sirosis hati. Didapatkan bahwa
dibandingkan terhadap tes psikometri dan g/kgBB/hari. Namun, konsensus ESPEN 2006 40% pasien sirosis tergolong malnutrisi, dan
P300ERP.11 tidak lagi merekomendasikan pembatasan ternyata pada kelompok pasien dengan
protein pada EH derajat 1-2, karena makin malnutrisi lebih banyak kejadian EH. Pasien
Di Indonesia, juga telah dilakukan penelitian disadari bahwa malnutrisi akan memper- malnutrisi telah terbukti mempunyai angka
untuk menilai presisi tes CFF5 yang di- buruk prognosis.18 survival lebih rendah.17
butuhkan untuk validasi tes CFF di
Indonesia. Penelitian terhadap pasien sirosis Malnutrisi pada sirosis hati antara lain Pembatasan asupan protein masih me-
hati di RSCM dan RS Koja mendapatkan disebabkan oleh asupan yang kurang, rupakan kontroversi dalam penatalaksanaan
hasil bahwa tes ini mempunyai presisi
yang baik.5,15 Berdasarkan uji validasi CFF
di Spanyol dan India yang mendapatkan
hasil baik, dan uji presisi CFF di Indonesia
yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes
CFF dapat dilakukan sebagai alat diagnostik
EHM di Indonesia.5,10 Suatu pemeriksaan
diagnostik mempunyai presisi tinggi jika
hasilnya tidak jauh berbeda bila diulang,
dengan Coeficient of Variation (CoV) <5%. Uji
validasi membandingkan suatu pemeriksa-
an diagnostik dengan baku emasnya.
Knottnerus (2009) menyatakan, agar dapat
diaplikasikan dengan baik, maka suatu tes
membutuhkan presisi yang baik.13 Irwig
(2009) mengemukakan, uji validasi di suatu
negara tidak perlu diulang bila memenuhi
persyaratan tertentu, yaitu definisi penyakit
konstan dan tes yang digunakan sama;
maka uji validasi CFF tidak perlu dilakukan di
Indonesia.14

PENGARUH MALNUTRISI
Pembatasan asupan protein sering diberikan
kepada pasien sirosis hati yang mengalami
EH. Pada tahap akut diberikan 20 g/hari,
kemudian ditingkatkan 10 gram tiap 3-5
hari. Para ahli kemudian menyadari bahwa Gambar 4. Mekanisme kerja L-ornitin L-aspartat di hepatosit21

826 CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

EH. Di masa lalu, asupan protein selalu urea itu sendiri. Pada hepatosit perivenous, kadar amonia darah.21,23 Dengan adanya
dibatasi pada EH. Namun, pembatasan ini amonia akan diubah menjadi glutamin LOLA, maka upaya menurunkan kadar
akan memperburuk malnutrisi, sedangkan melalui siklus glutamin. Aspartat berfungsi amonia darah tidak perlu melalui pembatasan
pada beberapa penelitian didapatkan bahwa membentuk dan mengaktifkan enzim asupan protein. Protein yang tidak dibatasi
malnutrisi juga akan meningkatkan angka glutamin sintetase, di mana enzim tersebut akan menguntungkan penderita EH yang
kejadian EH pada sirosis hati.4,16 Sebagian ahli akan mengubah amonia menjadi glutamin. malnutrisi, karena status nutrisi dapat
menganjurkan pembatasan protein,7 dengan Pada sirosis, sel hati yang sehat tinggal diperbaiki tanpa kuatir terjadi EH.22 LOLA
tujuan mengurangi pembentukan amonia. sedikit sehingga dibutuhkan lebih banyak bekerja melalui stimulasi siklus urea, maka
Namun, sebagian lain tidak menganjurkan ornitin dan aspartat untuk mengimbangi tidak dianjurkan pada gangguan fungsi
karena akan memperburuk malnutrisi. detoksifikasi secara cepat. Demikian juga ginjal dengan kadar kreatinin di atas 3 mg/
Banyak penelitian kemudian membukti- pada organ lain membutuhkan tambahan dL.7
kan bahwa diet protein adekuat tidak ornitin dan aspartat yang dibutuhkan juga
memperburuk EH. Gheorghe19 dan Parrish20 dalam siklus glutamin.22 Karena EHM dan malnutrisi meningkatkan
membandingkan efek diet rendah protein mortalitas dan morbiditas pada sirosis hati,
terhadap protein normal pada EH, keduanya TATALAKSANA maka perlu dipikirkan pemberian LOLA
menyatakan bahwa pemberian diet protein Penatalaksanaan umum adalah dengan bersama-sama dengan upaya perbaikan
normal tetap menunjukkan perbaikan EH, memperbaiki oksigenasi jaringan.1 gizi. Ndraha, dkk.22,24 dalam penelitiannya
sehingga restriksi protein tidak dibutuhkan Penataksanaan khusus adalah dengan telah melaporkan manfaat pemberian LOLA
lagi pada EH. Konsensus ESPEN 2006 juga mengatasi faktor pencetus koma hepatik, dan diet protein 1,5 g/kgBB/hari pada EHM
tidak lagi merekomendasikan pembatasan misalnya asupan protein dikurangi atau di Indonesia. Dalam penelitiannya, pada
protein pada EH derajat 1-2, karena makin dihentikan sementara, kemudian baru sirosis hati dengan malnutrisi, pemberian
disadari bahwa malnutrisi akan memper- dinaikkan secara bertahap.1,2 Namun, pem- LOLA digabungkan dengan perbaikan
buruk prognosis.18 batasan asupan protein masih merupakan gizi bersama substitusi asam amino rantai
kontroversi dalam penatalaksanaan EH. cabang (AARC), dengan perbaikan klinis
PERANAN LOLA Sumber protein yang diberikan pada dan parameter laboratorium yang signifikan.
LOLA adalah garam asam amino ornitin ensefalopati hepatik terutama merupakan Didapatkan peningkatan kadar prealbumin
dan aspartat yang stabil dan telah terbukti asam amino rantai cabang dengan harapan yang merupakan parameter perbaikan
menurunkan kadar amonia darah dan neurotransmiter asli dan palsu akan status nutrisi, dan peningkatan nilai CFF
memperbaiki psychometric performance berimbang, dan dengan ini, metabolisme yang merupakan parameter perbaikan
pasien EH dengan hiperamonia. LOLA men- amonia di otot dapat bertambah. Selain itu, ensefalopati hepatik.
stimulasi siklus urea dan sintesis glutamin, diberikan laktulosa dengan dosis 10-30 ml,
yang merupakan mekanisme penting 3 kali/hari dengan harapan pH asam pada SIMPULAN
dalam detoksifikasi amonia (Gambar 4).21 usus akan menghambat penyerapan amonia. EHM masih merupakan masalah dalam
Sterilisasi usus juga harus dilakukan dengan diagnosis dan tatalaksananya, khususnya
Pada hepatosit periportal, amonia akan di- pemberian neomisin 4 x 1-2 gram/hari per bila disertai penyulit malnutrisi. Pemberian
ubah menjadi urea melalui siklus urea. Ornitin oral.1,2 LOLA disertai diet protein 1,5 g/kgBB/hari
berfungsi mengaktifkan enzim carbamyl dan substitusi asam amino rantai cabang
phosphate synthetase (Cbm-P), sehingga L-ornitin-L-aspartat (LOLA) saat ini sudah (AARC) pada sirosis hati dengan malnutrisi
siklus urea bisa berlangsung, di samping itu mulai banyak digunakan untuk mengatasi diharapkan dapat memberi hasil yang
ornitin juga menjadi substrat dalam siklus EH, karena terbukti dapat menurunkan menjanjikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumobroto HO. Sirosis hati. In: Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p. 335-45.
2. Ndraha S. Sirosis hati. In: Ndraha S, editor. Bahan ajar gastroenteroheapatologi. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit UKRIDA; 2013. p.173-90.
3. Norenberg MD, Jayakumar AR, Rama Rao KV, Panickar KS. The peripheral benzodiazepine receptor and neurosteroids in the pathogenesis of hepatic encephalopathy and amonia
neurotoxicity. In: Hussinger, Kircheis G, Schliess F, ediotrs. Hepatic encephalopathy and nitrogen metabolism. The Netherlands: Springer; 2006. p.143-59.
4. Kalaitzakis E, Olsson R, Henfridsson P, Hugosson I, Bengtsson M, Jalan R. Malnutrition and diabetes mellitus are related to hepatic encephalopathy in patients with liver cirrhosis. Liver
International 2007; 27: 1194-201.
5. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I, Setiati S. Presisi ensefalopati minimal pada pasien sirosis hepatis rawat jalan di RS Cipto Mangunkusumo [Kumpulan Abstrak]. Jakarta: KOPAPDI; 2009.
6. Lemberg A, Fernndez MA. Hepatic encephalopathy, amonia, glutamate, glutamin and oxidative stress. Annals of Hepatology 2009; 8: 95-102.
7. Merz Pharmaceuticals GmbH. Liver diseases and hepatic encephalopathy. Scientific Product Monograph. Frankfurt: Merz Pharmaceuticals GmbH; 2004. p.112-3.
8. Munoz SJ. Hepatic encephalopathy. Med Clin N Am. 2008; 92: 795-812.
9. Bajaj J. Management options for minimal hepatic encephalopathy. Expert Review of Gastroenterology & Hepatology 2008; 2: 785-90.
10. Ortiz M, Jacas C, Cordoba J. Minimal hepatic encephalopathy: Diagnosis, clinical significance and recommendations. J Hepatol. 2005; 42: 45-53.
11. Sharma P, Sharma BC, Puri V, Sarin SK. Critical flicker frequency: Diagnostic tool for minimal hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2007; 47: 67-73. doi:10.1016/j.jhep. 2007.02.022.
12. Gomez MR, Cordoba J, Jover R, Olmo JA, Ramirez M, Rey R. Value of the critical flicker frequency in patients with minimal hepatic encephalopathy. Hepatology 2007; 45: 879-85.

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015 827


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

13. Knottnerus JA, Muris JW. Assessment of the accuracy of diagnostic tests: The cross sectional study. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and methods of diagnostic research. 2nd
ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.42-62.
14. Knottnerus JA, Irwig LM, Bossuyt PMM, Glasziou PP, Lijme JG. Designing studies to ensure that estimates of test accuracy will travel. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and
methods of diagnostic research. 2nd ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.96-117.
15. Ndraha S, Hasan I. Critical flicker frequency pada sirosis hati di RSUD Koja. Kumpulan Abstrak (CD). Jakarta: KOPAPDI; 2009.
16. Henkel AS, Buchman AL. Nutritional support in patients with chronic liver disease. Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2006; 3: 202-9.
17. Abdo AA. An evidence-based update on hepatic encephalopathy. The Saudi Journal of gastroenterology 2006; 12: 8-15.
18. Plauth M, Cabre E, Riggio O, Camilo MA, Pirlich M, Kondrup J. ESPEN guidelines on enteral nutrition: Liver diseases. Clinical Nutrition 2006: 25: 285-94.
19. Gheorghe L, Iacob R, Vdan R, Iacob S, Gheorghe C. Improvement of hepatic encephalopathy using a modified high-calorie high-protein diet. Rom J Gastroenterol. 2005; 14: 231-8.
20. Perrish CR. Nutrition update in hepatic failure. Practical Gastroenterology [Internet]. 2014 April; 47-55. Available from: http://www.medicine.virginia.edu/clinical/departments/medicine/
divisions/ digestive-health/clinical-care/nutrition-support-team/practical-gastro/Parrish%20April% 2014.pdf
21. Rose CF. Ammonia lowering strategies for the treatment of hepatic encephalopathy. Clin Pharmacol Ther.2012; 92(3): 321-31. doi: 10.1038/clpt.2012.112. [Epub 2012 Aug 8].
22. Ndraha S, Simadibrata M. Normal protein diet and L-ornithine-L-aspartate for hepatic encephalopathy. Acta Med Indones. 2010; 42(3): 158-61.
23. Poo JL, Gongora J, Avila FS, Castillo SA, Ramos GG, Zertuche MF. Efficacy of L-ornitin L-aspartate in cirrhotic patients with hyperammonemic hepatic encephalopathy. Results of a
randomized, lactulose controlled study. Annals of Hepatology 2006; 5: 281-8.
24. Ndraha S, Hasan I, Simadibrata M. The effect of L-ornithine Laspartate and branch chain amino acids on encephalopathy and nutritional status in liver cirrhosis with malnutrition. Acta
Med Indones. 2011; 43(1): 18-22.

828 CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015

Anda mungkin juga menyukai