Anda di halaman 1dari 9

CLINICAL SCIENCE SESSION

KOMA HEPATIKUM

PRECEPTOR:

Pandji Irani Fianza,dr., M.Sc.,Sp.PD-KHOM

Hendarsyah Suryadinata, dr., Sp.PD

Oleh :

Vinka Auria Putri 130112160668

Rifqi Rosyadi 130112160615

Neng Teni Y 130112160709

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017
KOMA HEPATIK

Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam mengatur metabolisme
tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti sintesis
protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu dengan melakukan detoksikasi
bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon, obat obatan, dan sebagainya. Selain itu
hati juga berperan sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta
memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.

Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi fungsi tersebut sehingga dapat
menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik.
Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan
neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik atau ensefalopati hepatik.

Perjalanan klinis koma hepatik dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran klinisnya
dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka kekerapan (prevalensi)
ensefalopati subklinis berkisar antara 30%sampai 88% pada pasien sirosis hati.

Patogenesis

Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secarapasti hal ini disebabkan karena:

1).Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis;

2). Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda dalam jaringan otak;

3). Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia saling berkaitan satu
dengan lainnya.

Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat akumulasi dari sejumlah zat
neuro aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik (Sherlocks,
1989).

Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma hepatik antara lain adalah:

a. Hipotesis amoniak.
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus
dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia diubah menjadi urea pada sel
hati periportal dan menjadi glutaminpada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia yang
masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%),
hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme
amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali lipat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara invitro akan mengubah loncatan
(fluk) klorida melalui membran neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel
saraf. Di samping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmiter
asam amino, aspartat, dan glutamat.
b. Hipotesis toksisitas sinergik.
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti merkaptan,
asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari
metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK-ATP-ase.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti
gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas
NaK-ATP-ase sehingga dapat mengakibatkankoma hepatik reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak
dan enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehidrogenase, prolin
oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia yang mengakibatkan koma
hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan memperkuat sifat-sifat neurotoksin dari amonia.

c. Hipotesis neurotransmiter palsu.


Pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin dan noradrenalin,
sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotransmiter otak akan diganti oleh
neurotransmiter palsu seperti oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding
dopamin atau nor-adrenalin (Mullen 19%).

Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :


a) Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin
yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak;
b). Pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang
(BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin dan triptopan karena
penurunan ambilan hati (hepatic uptake).

Rasio antara BCAA dan AAA (Fisischer 'ratio) normal antara 3-3,5 akan menjadi
lebih kecil dari 1,0. Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter pada susunan saraf.

d. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin.


Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang dan yang
menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada terjadinyakoma hepatik.
Terjadi penurunan transmiteryang memiliki efek merangsang seperti glutamat aspartat dan
dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang
menghambat transmisi impuls.
Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat ke dalam otak
tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip
benzodiazepin (benzodiazepin-like substance).

Gambaran klinis

Koma hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat dijumpai pada pasien
gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik. Pada umumnya gambar klinis berupa
kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan
laboratorium.

Sesuai dengan perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dibedakan atas :

1) Koma hepatik akut (fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis virus
hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan hati akut pada kehamilan,
kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus (presipitasi). Perjalanan
penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium, kejang disertai dengan edema otak.
Dengan perawatan intens angka kematian masih tinggi sekitar 80%. Kematian
terutama disebabkan edema serebral yang patogenesisnya belum jelas, kemungkinan
akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na' dan K') ATP-ase
serta perubahan osmolar karena metabolisme amonia;
2) Pada penyakit hati kronik dengan koma portosistemik, perjalanan tidak progresif
sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan oleh beberapa faktor
pencetus. Beberapa faktor pencetus seperti azotemia, sedatif, analgetik, perdarahan
gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan
keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik.

Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis) gambaran gangguan


mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi.
Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup
dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka (UHA), Reitan
trail making test, dengan menghubungkan angka-angka dari 1 sampai 25, kemudian diukur
lama penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik.

Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik menurut kriteria West Haven

Derajat Kognitif dan Perilaku Fungsi Neuromuskular


0 Asimtomatik Tidak ada
1 Gangguan tidur, penurunan Suara monoton,tremor,
konsentrasi, depresi, penurunan kemampuan
ansietas, dan iritabilitas menulis, apraksia
2 Letargi, disorientasi, Ataksia, disartria, asteriksis
penurunan daya ingat
3 Somnolen, kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot,
amnesia, gangguan emosi hiper atau hiporeflek
4 Koma Pupil dilatasi, refleks
patologis

Diagnosis

Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu dengan
beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain adalah:

1. Elektroensefalografi (EEG). Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo


dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari
gelombang normal Alfa (8-12Hz).

2. Tes psikometri. Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual
pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan
mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes ini
pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test) yang dipergunakan
secara luas pada ujian personal militer Amerika (Conn HO, 1994) kemudian
dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung Angka (UHA) atau
Number Connection Test (NCT). Dengan UHAtingkat ensefalopati dibagi atas 4
kategori. Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati
hepatik terutama pada pasien sirosis hati yang rawat jalan.
3. Pemeriksaan Amonia Darah. Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam
amino baik yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin
pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal amonia
dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti
sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati
dalam mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas porto-sistemik.

Diagnosis banding
1. koma akibat intoksikasi obat dan alkohol
2. trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, pedarahan subdural, dan
perdarahan epidural
3. tumorotak
4. koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemia, koma
hiperglikemia
5. epilepsi

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik yang terjadi
adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya koma adalah akibat
kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan
pada koma hepatik sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus.

Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah:


1) Mengobati penyakit dasar hati;
2) Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus;
3) Mengurangi/mencegah pembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke jaringan otak
antara lain dengan cara:
a) Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein,
b) Menggunakan laktulosa dan antibiotika,
c) Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4) Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi komplikasi yang
mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna, dan keseimbangan
elektrolit.

Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah memperbaiki oksigenasi
jaringan, pemberian vitamin terutama golongan vitamin B, memperbaiki keseimbangan
elektrolit dan cairan, serta menjaga agar jangan terjadi dehidrasi. Pemberian makanan
berasal dari protein dikurangi atau dihentikan sementara, dan dapat kembali diberikan
setelah terdapat perbaikan. Protein dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10
gram menjadi 20 gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan dengan respon klinis, dan bila
keadaan telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram sehari. Sumber protein terutama
dari campuran asam amino rantai cabang. Pemberian asam amino ini diharapkan akan
menormalkan keseimbangan asam amino sehingga kemungkinan dapat meningkatkan
metabolisme amonia otot.

Tujuan pemberian asarn amino rantai cabang pada koma hepatik (ensepalopati hepatik)
antara lain adalah:
1). Untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati;
2). Pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatik dalam
darah;
3). Asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan
perifer;
4). Pemberian asam amino rantai cabang dengan dekstrosa hipertonik akan mengurangi
hiperaminosidemia.

Selanjutnya dapat dipergunakan laksansia, antibiotik atau keduanya. Pemakaian laksansia


laktulosa diberikan secara oral dengan dosis 60-120 ml perhari untuk merangsang defekasi.

Laktulosa merupakan suatu disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus, tetapi
dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga terjadi lingkungan dengan pH asam yang akan
menghambat penyerapan amoniak. Selain itu frekuensi defekasi bertambah sehingga
memperpendek waktu transit protein di usus. Penggunaan laktulosa bersama antibiotika
yang tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan memberikan hasil yang lebih baik.

Neomisin diberikan 2-4 gram perhari baik secara oral atau secara enema, walaupun
pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-tanda ileus. Metronidazol 4 x 250 mg
perhari merupakan alternatif.

Upaya membersihkan saluran cerna bagian bawah dilakukan terutama kalau terjadi
perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena) agar darah sebagai sumber toksin nitrogen
segera dikeluarkan.

Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor faktor pencetus teratasi, maka
dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar.Pada pasien dengan
koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila disertai
hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara koma hepatik akibat gagal hati fulminan
kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat
kesehatan yang maju.
Daftar Pustaka

1. Zubir N. Koma Hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

2. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al.editors. Harrison's Principles


of Internal Medicine. 17th edition: Mc Graw Hill Companies; 2008.

3. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al. Panduan
Praktik Klinik Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik di Indonesia 2014. Jakarta:
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014.

Anda mungkin juga menyukai