Anda di halaman 1dari 32

Refrat forensik

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya bencana masal yang
menyebabkan kematian banyak orang. Selain itu kasus kejahatan yang memakan banyak
korban jiwa juga cenderung tidak berkurang dari waktu ke waktu. Pada kasus-kasus seperti
ini tidak jarang kita jumpai korban jiwa yang sudah tidak dapat dikenali sehingga perlu
diidentifikasi.

Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang
telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja
disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik
sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang
paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana
identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar.
Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi
adalah sebagai berikut, pertama karena gigi bagian terkeras dari tubuh manusia yang
komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan
anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut yang terlindungi.
Kedua, manusia memiliki 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai
lima permukaan.

Identifikasi korban meninggal masal melalui gigi-geligi mempunyai kontribusi yang


tinggi dalam menentukan identitas seseorang. Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang
teridentifikasi berdasarkan gigi-geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas di
Situbondo mencapai 60%, dan korban jatuhnya Pesawat Garuda di Yogyakarta mencapai
66,7%.
Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan karena status kematian korban
memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek yang ditinggalkan. Identifikasi
tersebut merupakan perwujudan HAM dan merupakan penghormatan terhadap orang yang
sudah meninggal. Selain itu juga merupakan menentukan apakah seseorang tersebut secara
hukum sudah meninggal atau masih hidup.

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada wilayah
yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan
gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat memakan banyak korban, dan salah
satu cara mengidentifikasi korban adalah dengan metode forensik odontologi. Oleh karena
itu forensik odontologi sangat penting dipahami peranannya dalam menangani korban
bencana massal.

Saat ini identifikasi positif yang paling baik adalah berdasarkan pada pemeriksaan
gigi dan sidik jari, kedua cara ini merupakan prosedur yang fundamental di dalam
investigasi medikolegal kematian.

Prosedur identifikasi gigi merupakan metode positif untuk membuat identifikasi.


Prosedur ini merupakan metode yang dapat dipilih ketika metode yang biasa dilakukan
untuk identifikasi tidakdapat dilakukan.

Di dalam rongga mulut seorang dewasa normal terdiri atas 32 buah gigi.
Kemungkinan adanya dua individu yang memiliki gigi yang ditambal pada tempat yang
sama dengan materi tambalan yang sama dan adanya gigi yang tanggal digantikan dengan
gigi palsu dari bahan yang sama adalah 1 : 1.000.000.000.

I.2. Tujuan

I.2.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui beberapa metode penentuan usia berdasarkan susunan gigi pada jenazah
I.2.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui pentingnya identifikasi gigi untuk menentukan usia jenazah melalui
metode-metode yang telah ada.

I.3. Manfaat

Melalui referat ini diharapkan dapat membantu teman-teman sejawat Dokter Muda dan
untuk menambah pengetahuan tentang beberapa metode penentuan usia berdasarkan gigi
pada jenazah, sehingga didapatkan hasil yang bernilai positif.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bagian Gigi

2.1.1 Dilihat Secara Makroskopis (Menurut Letak Dari Email Dan Sementum)

1. Mahkota/korona ialah bagian gigi yang dilapisi jaringan enamel/email dan


normal terletak di luar jaringan gusi/gingiva.

2. Akar/radix ialah bagian gigi yang dilapisi jaringan sementum dan ditopang
oleh tulang alveolar dan mandibula.

• Akar tunggal: dengan satu apeks

• Akar ganda: dengan bifurkasi, ialah tempat dimana 2 akar bertemu dan
trifurkasi ialah tempat dimana 3 akar bertemu.

3. Garis servikal/semento-enamel junction ialah batas antara jaringan


sementum dan email, yang merupakan pertemuan antara mahkota dan akar
gigi.

4. Garis servikal ialah titik yang terujung dari suatu benda yang runcing atau
yang berbentuk kerucut seperti akar gigi.

5. Tepi insisal (insisal edge) ialah suatu tonjolan kecil dan panjang pada bagian
korona dari gigi insisivus yang merupakan sebagian dari permukaan insisivus
dan yang digunakan untuk memotong/mengiris makanan.

6. Tonjolan/cusp ialah tonjolan pada bagian korona gigi kaninus dan gigi
posterior, yang merupakan sebagian dari permukaan oklusal.
Gambar 1.1. Bagian-Bagian Utama dari Gigi Manusia (12)

Gambar 1.2. Topografi Gigi Manusia

2.1.2. Dilihat Secara Mikroskopis

1. Jaringan keras ialah jaringan yang mengandung bahan kapur, terdiri dari,
jaringan email/enamel, jaringan dentin/tulang gigi dan jaringan sementum.
Email dan sementum ialah bagian/bentuk luar yang melindungi dentin.
Dentin merupakan bentuk pokok dari gigi, pada satu pihak diliputi oleh jaringan
email (korona) dan pada pihak lain diliputi oleh jaringan sementum (akar),
merupakan bagian terbesar dari gigi dan merupakan dinding yang membatasi
dan melindungi rongga yang berisi jaringan pulpa.

2. Jaringan lunak, yaitu jaringan pulpa. Ialah jaringan yang terdapat dalam ronga
pulpa sampai foramen apikal, umumnya mengandung; bahan dasar (ground
substance), bahan perekat, sel saraf yang peka sekali terhadap rangsangan
mekanis, termis dan kimia, jaringan limfe (cairan getah bening), jaringan ikat
dan pembuluh darah arteri dan vena.

3. Rongga pulpa, terdiri dari :

• Tanduk pulpa/pulp horn yaitu ujung ruang pulpa

• Ruang pulpa/pulp chamber yaitu ruang pulpa di korona gigi

• Saluran pulpa/pulp canal yaitu saluran di akar gigi, kadang-kadang


bercabang dan ada saluran tambahan

• Foramen apikal yaitu lubang di apeks gigi, tempat masuknya jaringan


pulpa

2.2. Komposisi Gigi (5,6)

Email berasal dari jaringan ektoderm yang merupakan bagian luar dari
mahkota gigi dan merupakan jaringan paling keras pada tubuh manusia. Email yang
matur tersusun atas garam mineral anorganik (96%) terutama kalsium dan fosfor
dengan sedikit zat organik dan air (4%). Email mempunyai fimgsi spesif ik yaitu
membentuk struktur luar yang resisten pada mahkota gigi sehingga gigi tahan
terhadap tekanan dan abrasi mastikasi namun Email tidak mempunyai kemampuan
untuk menggantikan bagian-bagian yang rusak, oleh karena itu begitu gigi erupsi
maka terlepaslah ia dari jaringan-jaringan lainnya yang ada di dalam gusi/rahang.
Bagian dalam struktur gigi tersusun atas dentin yaitu suatu bahan yang sedikit
lebih keras dari tulang tetapi lebih lunak dari enamel. Pembentukan dentin dikenal
sebagai dentinogenesis. Dentin terdiri dari 70% bahan anorganik terutama fosfor dan
kalsium, dan sisanya 30% bahan organik dan air. Kadar mineral yang rendah pada
dentin menyebabkan dentin lebih radiolusen pada X-Foto gigi dibanding enamel.
Jika barier enamel hancur, komposisi bahan organik pada dentin yang relatif tinggi
menyebabkan cepatnya penetrasi dan penyebaran karies. Di dalam dentin terdapat
pembuluh-pembuluh yang sangat halus, yang berjalan mulai dari batas rongga pulpa
sampai ke batas email dan semen. Pembuluh-pembuluh ini mengandung serabut
yang merupakan kelanjutan dari sel-sel odontoblast yang terdapat pada perbatasan
rongga pulpa. Sel-sel ini berguna untuk melanjutkan rangsangan-rangsangan yang
terdapat dalam dentin ke sel-sel saraf. Bila ada rangsangan termis (panas/dingin),
khemis (asam/manis) dan mekanis/traumatis (makanan keras), rangsangan ini mula-
mula diterima oleh email kemudian dentin dengan melalui tubula dentin dan
serabut-serabut yang merupakan kelanjutan dari sel-sel odontoblast, lalu oleh
pembuluh-pembuluh saraf yang terdapat dalam rongga pulpa.

Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang menempati bagian tengah ruang
pulpa pada akar gigi. Pulpa mengandung elemen vaskuler dan saraf yang
membenkan nutrisi dan fungsi sensoris pada dentin dimana fungsi utamanya adalah
membentuk dentin pada gigi. Saraf dan pembuluh darah pulpa masuk kedalam gigi
melalui foramen apikal yang kecil yang terletak pada ujung akar atau apeks gigi.
Pada gigi yang baru erupsi rongga pulpa lebih lebar, lama kelamaan akan menjadi
sempit jika gigi sudah terbentuk lengkap dengan meningkatnya umur.

Sementum merupakan jaringan yang mengalami kalsifikasi yang berasal dari


mesodermis, menutupi akar berfungsi sebagai tempat melekatnya jaringan ikat yang
memperkuat gigi pada alveolus. Sementum lebih lunak dari dentin dan terdiri dari
50% bahan anorganik berupa kalsium dan fosfor dan 50% bahan organik.
2.3. Morfologi Gigi (5)

Terdapat 2 perangkat gigi geligi manusia, yang terdiri dari gigi susu dan gigi
permanen. Gigi susu jumlahnya 20 buah, mulai erupsi pada umur 6-9 bulan dan
lengkap pada umur 2-2,5 tahun. Maturasi akar gigi susu biasanya terlihat pada umur
3 tahun. Gigi susu terdiri dari 5 gigi perbagian yang masing-masing terdiri dari atas
incisivus sentral dan lateral, kaninus, molar 1 dan molar 2. Gigi susu tidak memiliki
premolar seperti yang terdapat pada gigi permanen. (4)

Beberapa tahun setelah lahir, gigi permanen mulai mengalami kalsifikasi. Gigi
permanen terdiri atas 28 - 32 gigi, memasuki fase erupsi pada umur 6 tahun dengan
munculnya gigi molar permanen yang pertama. Harus diingat bahwa pembentukan
gigi merupakan suatu proses yang dinamis dimulai dari embrio. Tekanan yang
dihasilkan dari pertambahan dan pembesaran mahkota gigi permanen menyebabkan
akar gigi susu diresorbsi sehingga menyebabkan tanggalnya gigi susu. Antara umur
6-14 tahun, 20 gigi susu diganti dengan 20 gigi permanen. Molar 1 dan 2 permanen
erupsi pada umur 6-12 iahun. Molar 3 permanen erupsi pada umur 17-21 tahun.

Gambar 1.3. Perbedaan Gigi Susu dan Gigi Permanen


2.4. Tahap Pertumbuhan Gigi (5)

1. Tahap Inisiasi

Adalah permulaan pembentukan kuntum gigi dari jaringan epitel mulut (epitel
bud stage)

2. Tahap Proliferasi

Adalah pembiakan dari sel-sel dan perluasan dari organ email (cap stage)

3. Tahap Histodiferensiasi

Adalah spesialisasi dari sel-sel yang mengalami perubahan histologis dalam


susunanya (sel-sel epitel bagian dalam dari organ email menjadi ameloblas, sel-
sel perifer dari organ dentin pulpa menjadi odontoblas)

4. Tahap Morfodiferensiasi

Adalah susunan dari sel-sel pembentuk sepanjang dentino email dan dentino
cemental junction yang akan datang, yang memberi garis luar dari bentuk dan
ukuran korona dan akar yang akan datang.

2.5 Erupsi Gigi (6'13)

Erupsi merupakan proses ketika gigi menembus gusi hingga nampak di dalam
rongga mulut.

Urutan erupsi pada gigi primer menunjukan beberapa variasi. Sebagian besar
dari hasil tersebut adalah herediter dan hanya sedikit dari faktor lingkungan. Lunt
dan Law menyimpulkan bahwa gigi seri kedua, gigi geraham pertama dan gigi taring
pada rahang atas cenderung lebih cepat megalami erupsi dari pada rahang bawah.
(14)
2.6 Waktu Erupsi Gigi Desidua (Primer)

Terdapat tabel yang menunjukkan kapan waktunya gigi primer (atau yang
disebut juga sebagai gigi susu) mengalami erupsi. Penting diingat bahwa waktu
erupsi pada masing-masing anak berbeda-beda.

Tabel 1.2 Perkembangan Gigi Primer Bagian Atas (Maxilla)

Waktu Gigi
Gigi Atas Waktu Erupsi
Tanggal
Incicivus pertama (sentral) 8-12 bulan 6-7 tahun
Incicivus kedua (lateral) 9-13 bulan 7-8 tahun
Canina (cuspid) 16-22 bulan 10- 12 tahun
Molar pertama 13-19 bulan 9-11 tahun
Molar kedua 25-33 bulan 10- 12 tahun

Tabel 1.3 Perkembangan Gigi Primer Bagian Bawah (Mandibula)

Waktu Gigi
Gigi Bawah Waktu Erupsi
Tanggal
Molar kedua 23-31 bulan 10-12 tahun
Molar pertama 14-18 bulan 9-11 tahun
Canina (cuspid) 17-23 bulan 9- 12 tahun
Incicivus kedua (lateral) 10 16 bulan 7-8 tahun
Incicivus pertama (sentral) 6- 10 bulan 6-7 tahun

Seperti yang tampak pada tabel, bahwa gigi pertama mulai muncul menembus
gusi pada usia 6 bulan. Pada umumnya dua gigi pertama yang mengalami erupsi
adalah dua gigi sen pertama bagian atas. Kemudian disusul dengan empat gigi
terdepan bagian atas. Setelah itu, dilanjutkan dengan kemunculan gigi -gigi yang
lainnya, biasanya muncul secara berpasangan—satu gigi atas dan satu gigi bawah—
hingga 20 gigi seluruhnya (10 gigi bagian atas dan 10 gigi bagian bawah) muncul
saat anak berusia 2,5 sampai 3 tahun. Kemunculan gigi primer secara lengkap
terjadi pada usia 2,5-3 tahun atau hingga 6-7 tahun.

Setelah usia 4 tahun, rahang dan tulang-tulang wajah pada anak mulai
bertumbuh, membentuk ruang antara gigi-gigi susu, Ini merupakan proses
pertumbuhan normal yang alamiah dan dapat menyediakan tempat yang dibutuhkan
untuk kemunculan gigi permanen yang ukurannya lebih besar. Antara usia 6 hingga
12 tahun, gigi permanen ada bersama-sama dengan gigi susu.

Tabel Waktu Erupsi Gigi Permanen

Tabel 1.4 Perkembangan Gigi Permanen Bagian Atas

Gigi Atas Waktu Erupsi


Incicivus pertama (sentral) 7-8 tahun
Incicivus kedua (lateral) 8-9 tahun
Caninus (cuspid) 11 -12 tahun
Premolar pertama 10-11 tahun
Premolar kedua 10-12 tahun
Molar pertama 6-7 tahun
Molar kedua 12- 13 tahun
Molar ketiga 17-21 tahun
Tabel 1.5 Perkembangan Gigi Permanen Bagian Bawah

Gigi Bawah Waktu Erupsi


Molar ketiga 17-21 tahun
Molar kedua 11-13 tahun
Molar pertama 6-7 tahun
Premolar kedua (second bicuspid) 11 -12 tahun
Premolar pertama (first bicuspid) 10-12 tahun
Caninus (cuspid) 9- 10 tahun
Incicivus kedua (lateral) 7-8 tahun
Incicivus pertama (sentral) 6-7 tahun

Sebagaimana tampak dalam tabel tersebut, gigi permanen mulai muncul pada
usia kurang lebih 6 tahun. Pada beberapa anak, molar adalah gigi permanen yang
pertama muncul; sedangkan pada anak yang lain incicivus merupakan gigi permanen
yang pertama kali muncul. Pada usia 13 tahun, kebanyakan 28 gigi permanen telah
menempati tempatnya masing-masing.

2.7 Penentuan Usia Berdasarkan Pemeriksaan Gigi Geligi.


Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan usia berdasarkan
perkembangan gigi geligi antara lain:

2.7.1 Metode Schour Dan Massler.


Tahun 1935, Schour dan Massler menerbitkan table perkembangan numeric untuk
gigi susu dan gigi permanen. Tahapan dan penentuan waktunya diilustrasikan pada
gambar 1.4 dan 1.5. Bagan perkembangan gigi geligi manusia metode schour dan massler
secara berkala diperbaharui dan dipublikasikan dalam ukuran aslinya oleh American
dental association (gambar 1.4). yang menarik perhatian yaitu perkembangan gigi-gigi
insitu, termasuk resopsi akar untuk gigi susu (desidua). Dengan adanya tampilan gambar
dalam ukuran asli,mempermudah membuat perbandingan langsung dengan gambaran
radiograf atau perubahan pertumbuhan gigi yang secara individual berbeda. Dikritik
bahwa table tersebut tidak ada pemisahan untuk pria dan wanita dan jarak usia rata-rata
dari 2 tahun hingga 15 tahun diambil kurang lebih 6 bulan adalah terlalu dekat.
Ciapparelli (1985) membandingkan data Schour dan Massler dengan sampel dari
anak usia sekolah. Rata-rata usia dari 4 tahun hingga 16 tahun pada pria, dan perempuan
3-6 bulan lebih awal. Variasi (schour dan massler) pada anak usia 4-6 tahun dapat
diperbandingkan, tetapi pada usia 12 tahun variasi pada anak laki-laki menjadi dua kali
lipat dan pada usia 16 tahun menjadi 3 kali lipat.
Penelitian-penelitian ini memiliki peranan yang penting dalam investigasi forensic,
dan survey numeric oleh Kronfield (1935) jika disusun ulang seperti padagambar 1.5 dan
1.6 dapat berguna dalam penggabungan bagan bergambar. Dalam tahap perkembangan
bisa saja data tersebut tidak akurat kemungkinan muncul data-data dari metode yang lebih
canggih.
Gambar 1.4. Perkembangan gigi menurut metode schour dan massler berdasarkan
data dari kronfield. y=umur dalam tahun, m=umur dalam bulan miu=bulan dalam
kandungan, a=insisivus1, e= molar 2.

Gambar 1.5. Perkembangan gigi permanen maxilar dan mandibular. Data dari
kronfield (1935). Y=umur dalam tahun, M=umur dalam bulan, 1=gigi permanen
insisivus1, 8= molar permanen ketiga.
Gambar 1.6. Gambar perkembangan gigi Schour dan Massler (American dental association,
1982) primary dentition
Gambar 1.6. Gambar perkembangan gigi Schour dan Massler (American dental
association, 1982) mixed and permanent dentition

2.7.2 METODE MOOREES, FANNING dan HUNT


Metode-metode dan tabulasi data yang dilakukan oleh Moorees (1963) dalam
surveinya dapat menjadi standar perkembangan yang berguna untuk dokter gigi forensik.
Studi lainnya (yang dilakukan oleh Anderson, 1976) menggunakan sampel yang
berbedadan gambaran radiografi tapi dengan kriteria mineralisasi yang sama, dapat
memungkinkan perbandingan yang bermanfaat antara dua tempat yang secara geografis
dekat tetapi grup populasi berbeda. Keuntungan dari dua studi ini adalah data
perkembangan dapat dipakai untuk perkembangan gigi permanen dari tiap individu.
Moorees menjelaskan 14 tahapan dari mineralisasi untuk perkembangan akar tunggal
gigi permanen maupun akar multipel dari gigi permanen (gambar 1.7 dan 1.8). hasilnya
dinyatakan sebagai rata-rata pencapaian usia untuk tiap tahap dari 14 tahapperkembangan
gigi yang telah dipelajari, kurang lebih 2 standar deviasi. Data tersebut mengindikasikan
bahwa tahap perkembangan mahkota gigi menunjukan kurangnya variasi jika
dibandingkan dengan tahap perkembangan akar gigi; perlu diingat bahwa akurasi
merupakan hal yang utama. Usia paling muda dalam penelitian adalah 6 bulan, dan data
tersebut termasuk perkembangan dari gigi geraham belakang ketiga bagian bawah
(mandibula).
Hal yang menarik perhatian dari studi forensik ini adalah:
1. Kecilnya perbedaan antara tahap pembentukan mahkota gigi dengan jenis kelamin
(pria dan wanita). Diferensiasi jenis kelamin dalam perkembangannya menjadi
jelas seiring dengan pembentukan akar gigi, dimana perempuan lebih dahulu
berkembang daripada laki-laki.
2. Gigi muncul ke permukaan secara klinis pada tahap R¾.
3. Dimorfisme seksual yang paling besar nyata pada gigi taring (canina) bagian
bawah, perempuan 11 bulan lebih dahulu daripada laki-laki.
Gambar 1.7 tahapan pembentukan gig untuk menaksir perkembangan akar tunggal
gigi (dari Moorees, 1963). Angka-angka diatas diagram mengindikasikan tahapan
perkembangan yang berkesesuaian dengan kode simbol berikutnya. Ci, perkembangan
awal canina; cco, canina yang koalesen;coc, tepi canina yang terbentuk sempurna;
cr½,mahkota gigi yang terbentuk setengah;cr¾, mahkota gigi yang telah terbentuk tiga
perempat bagian; crc, mahkota gigi terbentuk sempurna; ri, pembentukan awal akar gigi;
r¼, panjang akar gigi seperempat; r½, panjang akar gigisetengah; r¾, panjang akar gigi
tiga perempat; rc, panjang akar gigi sempurna; a½, separuh apex tertutup; ac, penutupan
apikal yang sempurna.
Gambar 1.7 tahapan pembentukan gigi untuk menaksir perkembangan akar tunggal
gigi (dari Moorees, 1963). Simbol-simbol berkode seperti gambar 1.6, dengan tambahan
cli, pembentukan celah awal.
2.7.3 METODE GUSTAFFSON
Gustafson (1950) memperkirakan umur dari gambaran umum endapan dentin
sekunder, ketebalan cemen, dan periodontis sehingga Gustaffson menyusun satu sistem
yang berpatokan pada 6 faktor yang berhubungan dengan usia:
1. Derajat atrisi (A)
Yang dimaksud adalah derajat atau keparahan atrisi atau ausnya permukaan
kunyah gigi baik insisial maupun oclusal sesuai dengan penggunaannya.
Makin usia lanjut maka derajat atrisinya makin parah.
2. Periodontosis atau perubahan pada ginggiva (P)
Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari perlekatan epitel ditandai
dengan turunnya atau dalamnya sulkus ginggivayang melebihi 2 milimeter
bahkan makin usia lanjut, perlekatan ginggiva turun kearah akar gigi sehingga
terlihat seakan-akan mahkota lebih panjang.
3. Jumlah dentin sekunder (S)
Pembentukan sekunder dentin oleh karena penggunaan gigi atau atrisi dari
permukaan oclusi biasanya terbentuk diatas atap pulpa sehingga makin usia
lanjut secara rontgenografis terlihat seakan-akan pulpa jadi sempit karena
sekunder dentinnya makin tebal.
4. Cemen apposition atau ketebalan sementum sekitar akar gigi (C)
Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah tebal jaringan cementum
pada akar gigi. Pembentukan ini oleh karena perlekatan serat-serat periodontal
dengan aposisi yang terus menerus dari gigi tersebut selama hidup merupakan
faktor penting yang sangat mempengaruhi.
5. Transparansi akar atautransluecency of the root (T)
Bertambahnya usia terjadilah proses kristalisasi dari bahan-bahan mineral akar
gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi berangsur-angsur mulai dari akar
gigi kearah cervikal menjadi transparan. Transparansi dentin ini dimulai pada
dekade ketiga dari tebal tubular dentin 5 milimicron sehingga pada usia 50
tahun tebal tubular dentin hanya 2 milimicron hingga pada usia 70 tahun tebal
tubular dentin tinggal 1 milimicron.
6. Resorbsi akar (R)
Menurut Gustaffson, bahwa terjadi resorbsi akar gigi permanen akibat tekanan
fisiologis dengan bertambahnya usia. Mili demi mili diukur olehnya dalam
penentuan usia akibat penggunaan gigi.

Dalam setiap irisan dasar, ciri-ciri gigi diberikan angka dan poin-poin
dijumlahkan untuk memberikan hasil akhir. Metode Gustaffson menjumlahkan setiap
nilai dari 6 faktor tersebut dimana setiap faktor yang mempunyai bobotyang sama dan
berarti 6 poin tersebut mempunyai nilai perkiraan usia yang sama. Rumus Gustaffson
(1950):
Gambar 1.8 hubungan antara usia dengan perubahan pada gigi.
Skoring berdasarkan metode Gustaffson.

A0= no A1= attrition A2= attrition A3= attrition reaching


attrition within enamel reaching dentin pulp
S0= no S1= secondary S2= pulp cavity is S3= pulp cavity is
secondary dentine has begun has filled nearly or wholly
dentin to form in upper filled with secondary
part of pulp cavity dentin
P0= no P1= periodontosis P2= periodontosis P3= periodontosis
periodontosis jus begun along first one- has passed tho-thirds
third of root of root.
C0 = normal C1= apposition a C2= great layer of C3= heavy layer of
layer of little greater than cementum cementum
cementum laid normal
down
R0= no root R1= root R2= greater loss R3= great areas of
resorption resorption only on of substance both cementum and
visible small isolated dentin affected
spots

(dental age estimation of adult: a review of method and principals) 2008.

Umur (tahun) = 11,43 + 4,26 X ± 3,63 (faktor koreksi)

X=A+P+S+C+R+T

Keterangan : A= atrition

P= periodontis
S= secondary dentition

C= cemen apposition

R= root resorbtion

T= root dentin transparency

Johanson (1971) merevisi sistem penilaian diatas. Dia menemukan bahwa root dentin
transparency (T) mempunyai korelasi paling besar dengan umur, diikuti dengan
secondary dentine deposition (S), attrition (A), dan cemen apposition(C), periodontis (P)
dan root resorbtion (R) mempunyai korelasi yang kurang kuat dengan umur.

Maples dan Rice (1979) mengkoreksi rumus Gustaffson:

Umur (tahun)= 13,45 +4,26 X ± 7,03 (faktor koreksi)

Metode Johanson (1971):

Umur (tahun) = 11,02 + 5,14 A +2,3 S + 4,14 P + 3,71 C + 5,57 R +


8,89 T ± 5,16 standar deviasi
Gambar 1.9 Hubungan antara usia dengan pertumbuhan gigi

Sedangkan Maples sendiri (1978) menentukan usia dengan rumus:

Umur (tahun)= 6,54 S + 10,88T + 16,08 + Nilai posisi ± 9,1 (faktor koreksi)

Posisi gigi Value


1 0,00

2 11,24

3 13,18

4 4,39

5 5,21
6 -5,37

7 3,73

8 8,04

2.7.4 METODE ASAM ASPARTAT


Hapusan asam aspartat telah digunakan untuk memperkirakan usia berdasarkan
adanya senyawa ini pada lapisan dentin gigi manusia. Teknologi ini digunakan pada
bidang gigi forensik yang berasal dari penelitian paleontologi terhadap fosil tulang dan
kerangka. Sebagian besar protein dalam tubuh kita mengandung L-amino acid, dimana D-
amino acid tersebut terkandung dalam tulang, gigi, otak, dan lensa mata. D-amino acid
dipercaya dapat memperlambat proses metabolik dan memperlambat laju pembusukan.
Asam aspartat mempunyai kecepatan pembentukan paling tinggi dari semua asam amino.
Tahun 1976, Helfman dan Rada menggunakan informasi ini untuk memperkirakan usia
dengan membandingkan rasio D : L aspartic acid dalam gigi pada 20 subjek dengan hasil
bagus (r = 0,979). Rasio D : L yang tinggi didapatkan pada usia muda dan semakin turun
dengan bertambahnya usia, yang diduga karena perubahan lingkungan. Tahun 1985,
Origano dkk melaporkan kegunaan aspartic acid pada bidang gigi forensik untuk
menentukan usia pada saat meninggal. Tahun 1990, Ritz dkk melaporkan bahwa
banyaknya asam aspartat pada dentin dapat digunakan untuk menentukan saat kematian,
dan menyimpulkan kalau metode ini dapat memberikan penentuan umur yang lebih
akurat dibanding parameter umur yang lain. Untuk penentuan usia digunakan persamaan
linear sebagai berikut :
Ln(l+D/L) / (1-D/L) = 2.k(aspartat).t + konstanta

Ket : k = first order kinetik


t = usia sesungguhnya
tahun 1991, Ohtani dan Tamamoto mempelajari hubungan asam aspartat ini dengan
menggunakan potongan gigi secara memanjang, dengan hasil yang lebih bagus (r =
0,991). Gigi yang digunakaan adalah gigi seri tengah dan premolar 1 bawah. Mereka
menemukan memperkirakan umur yang lebih baik dengan cara memecah fraksi Asam
Amino Total (TAA) ke dalam fraksi kolagen yang tidak larut (1C) dan fraksi peptide
yang terlarut (SP). Jika dibandingkan dengan pemeriksaan asam amino total atau fraksi
kolagen yang tidak larut, maka fraksi peptida yang terlarut memiliki kadar asam aspartat
dan glutamin yang lebih tinggi. Ohtani dan Yamato menyimpulkan ada korelasi yang
bagus antara Asp D/L dengan usia yang sesungguhnya yang dinyatakan dengan rumus
linier 1C dan SP serta TAA, dan SP nampaknya mampu memberikan perkiraan usia yang
lebih dapat diandalkan karena tingkat pembentukannya yang tinggi hampir 3 kali lipat
daripada TAA.
Teknik ini diharuskan memotong gigi secara memanjang, membuang pulpa dentis,
mencuci dengan asam chlorida 0,2M, air suling (3x), ethanol dan ether (masing-masing 5
menit) kemudian hancurkan dalam mortir sampai halus. Tambahkan 1 ml HCl 1M ke
dalam 10 mg serbuk yang telah halus ini, kemudian disentrifuge pada kecepatan 5000 rpm
selama 1 jam pada suhu 5ºC. Campuran tersebut kemudian dihitung dengan teknik gas
chromatography yang memakai derivat N-terfluoroacetyl isopropyl ester dan gas pembawa
Heh’um. Ketelitian metode ini adalah 3-4 tahun dari usia yang sesungguhnya.
Histology pada gigi telah digunakan untuk memperkirakan usia dengan baik, hal ini
sebagian besar dilaporkan pada penelitian Gustafson. Maples (1978), melaporkan adanya
teknik dengan menggunakan histology gigi untuk memperkirakan usia pada orang dewasa
dengan menggunakan analisa kemunduran yang multiple berdasarkan parameter Gustafson
pada erosi paradontosis, lapisan dentin kedua, cementum, akar gigi. Dia berpendapat
bahwa analisis regresi multiple dapat memperkirakan usia pada gigi orang dewasa dengan
ketelitian yang tinggi dan sedikit kekeliruan. Dia juga menuliskan bahwa molar kedua
paling baik untuk teknik penentuan usia secara histology dan bahwa usia gigi tersebut
dapat digunakan dengan cara yang sama pada perpaduan epiphyseal, usia osteon, sutura
cranialis dan perubahan pada simpisis pubis telah digunakan untuk sementara dan populasi
prasejarah untuk tujuan penentuan usia. Maples dan Rice (1979) melaporkan perbedaan
yang menetap pada estimasi usia gigi menurut Gustafson walaupun relative akurat dan
merupakan cara yang mudah untuk menentukan usia dari mahkota gigi, erupsi gigi, dan
akar gigi yang telah lengkap dimana biasanya ditemukan pada usia 30 tahun.
Cook mendeskripsikan kasus dimana teknik ini digunakan untuk melawan estimator
usia yang lain yang didasarkan pada penemuan patologis saat otopsi, bukti radiografis dan
data antropologis. Dia menyatakan bahwa beberapa studi telah dilakukan dengan
menggunakan kriteria Gustafson untuk 6 parameter yang digunakan (pengurangan,
deposisi dentin sekunder, paradontosis, deposisi cementum, resorption akar, dan
transparansi akar) dengan setiap parameter dinilai dari 0 sampai 4 menurut bobot yang
sama. Nilai-nilai yang dihasilkan dibandingkan dengan usia yang diketahui melalui regresi
linear yang relatif ke varian usia. Beberapa studi ini menunjukkan konsistensi yang masuk
akal pada level keyakinan, tapi varian usia adalah 7 sampai 15 tahun. Dalam ringkasan,
analisis line incremental melengkapi beberapa studi histologis ini dan ini dapat
ditambahkan ke data erupsi gigi, setidaknya di populasi yang lebih mudah, dengan hasil-
hasil yang baik.
Dasar pemikiran untuk analisis line incremental dalam usaha identifikasi didasarkan
pada fakta bahwa garis-garis ini mempunyai pola yang sama dalam individu yang
enamelnyadibentuk pada waktu yang sama dalam dentition yang ada. Gigi berbeda yang
berkembang dalam satu individu memberi pola line incremental yang sama yang berbeda
dari individu yang lain, yang nantinya menciptakan “fingerprint” dari perkembangan
enamel yang spesifik pada individu.
Analisis line incremental biasanya dilakukan pada bagian dasar dari pertunbuhan
gigi yang dipisahkan secara longitudinal, yang menghasilkan kerusakan pada struktur gigi.
Studi Skinner dan Anderson unik dalam bagian dasar yang tidak digunakan. Mahkota gigi
yang direkonstruksi ditanamkan dalam crystal clear polyester casting resin dengan katalis
Fiber-tek dan membantu penyembuhan. Kemudian, mereka disekat secara longitudinal
pada 180 sampai 200 µm dengan gergaji berkecepatan rendah Buehler-Isomet dengan
pisau wafering diamond.
Bagian-bagian yang disusun teliti dan difoto dengan pembesaran 20x dengan cahaya
biasa dan polarisasi. Foto-foto gabungan kemudian diciptakan untuk menunjukkan seluruh
email bagian labial untuk menghomologkan guratan antargigi.
Batasan pada penentuan usia line incremental akan tergantung pada usia. Lipsinic
dkk mempelajari korelasi usia dan line incremental dalam cementum gigi manusia dan
menemukan bahwa prediksi usia secara langsung yang didasarkan pada garis-garis ini
biasanya meremehkan usia specimen yang lebih tua. Bagaimanapun juga, disana ada
korelasi antara jumlah line dan usia. Para penulis ini berkesimpulan bahwa beberapa studi
semacam ini mempunyai manfaat yang lebih besar jika kelompok populasi yang cukup
besar dipelajari dan formula komputer dihasilkan.
Sebagai catatan, usia dapat diperkirakan melalui evaluasi histologis osteon dalam
tulang, kerley pada tahun 1965 melaporkan kesuksesannya dalam menentukan usia
mikroskopik melalui tulang kortikol manusia. Pada tahun 1978, Kerley dan Ubelaker
mempublikasikan metode yang telah direvisi dengan teknik yang sama. Keduanya
melibatkan penggunaan bagian dasar dan jumlah osteon. Teknik ini banyak digunakan
dalam laboratorium antropologi. Singh dan Gunberg mengaplikasikan metode ini ke
bagian-bagian tulang mandibular dengan histologi dental menyediakan determinasi usia
komparatif yang berharga dari sisa individu yang tidak dikenal.

2.7.5 METODE ANDERSON, THOMPSON, DAN POPOVICH


Ketiga ilmuwan ini pada tahun 1976 menerapkan kriteria Moores pada penelitian
longitudinal yang menggunakan gambaran radiografik sefalometrik. Dilakukan penilaian
seluruh perkembangan gigi maksila dan mandibula, termasuk molar ketiga.
Ciapparelli pada tahun 1985 melakukan studi sejenis menggunakan radiografik
panoramik, dan dilakukan perbandingan antara ketiga penelitian ini dengan menggunakan
kriteria pertumbuhan yang sama namun dengan sampel dan gambaran radiografi berbeda.
Menurut Fanning pada tahun 1961, variasi intraobserver dijumpai sebesar 27% dari
sampel yang dinilai, namun biasanya ± 1 tahap; sehingga pemeriksa disarankan agar
melakukan penelitian secara teliti sebelum mengeluarkan keputusan tetap. Fakta
menunjukkan adanya kesulitan untuk menggunakan sistem penilaian dengan banyak
tahap pertumbuhan, sehingga bisa memicu perdebatan di persidangan tentang kapan satu
tahap mulai berlangsung dan kapan tahap yang lain berakhir.
Paket presentasi yang telah disesuaikan dimana menggunakan kriteria mineralisasi
14-tingkat (ditunjukkan pada gambar 1.10) jika diagram pertumbuhan gigi dibuat life-size
(size berbanding dengan usia) maka mereka dapat langsung digunakan sebagai
perbandingan dan range usianya bisa langsung terlihat. Format yang disarankan untuk
melengkapi data pertumbuhan gigi menggunakan 14-tingkat milik Moorees.

Gambar 1.10. Diagram “Field Kit” untuk memudahkan refrensi data pertumbuhan
gigi yang digunakan oleh penulis. Diagram 14-tingkat oleh Moorees (1963), tetapi dapat
dimodifikasi untuk menyertakan pilihan tingkat pertumbuhan. Rata-rata usia dan variansi
dapat ditulis pada daerah yang kosong.

2.7.6 METODE DEMIRJIAN, GOLDSTEIN, DAN TANNER


Dalam metode Demirjian dkk (1973) masing-masing tahap mineralisasi diberi skor
yang menilai estimasi maturitas gigi dengan skala 0-100. Perhitungan matematika dan
dasar ilmiah digunakan untuk menghitung skor yang berasal dari hasil penelitian Tanner
dkk (1983). 8 tahap pertumbuhan gigi dapat digambarkan dari hasil survey radiografik
yang telah diterbitkan, ditambah dengan deskripsi tertulis tentang batas masing-masing
tahap mineralisasi yang telah didefinisikan dengan jelas dna tidak memerlukan
perhitungan.
Ada dua pilihan ketika menggunakan metode ini, pertama adalah penilaian yang
menggunakan 7 gigi mandibula (Demirjian, 1978) dan kedua menggunakan 4 gigi
mandibula (Demirjian dan Goldstein, 1976). Hilangnya gigi dari satu sisi dapat
digantikan oleh gigi dari sisi yang lain. Gigi Molar 1 yang tidak ada dapat digantikan
dengan gigi incisivus sentral (Demirjian, 1978). Data yang diperoleh jika menggunakan
sistem Demirjian mengindikasikan bahwa perbedaan pertumbuhan gigi antara pria dan
wanita biasanya tidak akan nampak sampai usia 5 tahun.
Variasi interobserver dengan sistem Demirjian dapat mencapai 20-25%, namun ± 1
dari 8 tahap (Leverque dan Demirjian, 1980). Sistem ini ternyata memiliki dua kelemahan
jika dilihat dari sisi forensik, yaitu harus terdapat gigi mandibula dan tidak mencakup
pertumbuhan gigi molar III. Mengandalkan penilaian pada gigi mandibula dapat
menimbulkan masalah jika hanya tersisa tengkorak saja dimana mandibula seringkali
sudah terlepas atau bahkan hilang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Raymond I. Haris, LLD; Outline of Death Investigation; Bannerstone House, Illinois.


USA, 1962.
2. Sopher M. Irvin, DDS, MD; Forensic Dentistry; Bannerstone House, Illinois. USA. 1979.
3. Stimson PG; Forensic Dentistry; CRC Press; New York; 1997.

Anda mungkin juga menyukai