Anda di halaman 1dari 17

CLINICAL SCIENCE SESSION

ERUPSI OBAT ALERGI

Oleh:

Valentine Natasya 1301-1211-0630


Rani Pitta Omas 1301-1211-0655

Preseptor:

Reiva Farah Dwiyana, dr., SpKK., M. Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2012
PENDAHULUAN

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri
ialah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat
dengan cara sistemik maupun topikal.
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan
obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau
erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik
(misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamide), dan obat-obatan antikonvulsan.
Sebagian besar reaksi yang terjadi tergolong ringan, biasanya disertai dengan rasa gatal
dan hilang apabila penggunaan obat dihentikan.
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong serius
karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan
mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis
(NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut.
Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah
satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan
tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar
15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.
Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah:
eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
urtikaria sebanyak 5,9%, dan
vaskulitis sebanyak 1,4%
PATOGENESIS
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul
karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat
berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi
melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis,
interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
1. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat
tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam
mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang
dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi
anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi
sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.
Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai
mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan
terhadap antigen.
Tabel 1. Immunologically Mediated Adverse Cutaneous Drug Reaction
Type of Pathogenesis Examples of Clinical Patterns
Reaction Causative Drug
Type I IgE-mediated; immediate- Penicillin Urticaria/angioedema of
type immunologic reactions skin/mucosa, edema of other
organs, and anaphylactic shock
Type II Drug + cytotoxic antibodies Penicillin, Petechiae due to thrombocytopenic
cause lysis of cells such as sulfonamides, purpura, drug-induced pemphigus
platelets or leukocytes quinidine, isoniazid
Type III IgG or IgM antibodies Immunoglobulins, Vasculitis, urticaria, serum sickness
formed to drug; immune antibiotics
complexes deposited in small
vessels activate complement
and recruitment of
granulocytes
Type IV Cell-mediated immune Sulfamethoxazole, Morbilliform exanthematous
reaction; sensitized anticonvulsants, reactions, fixed drug eruption,
lymphocytes react with drug, allopurinol lichenoid eruptions, Stevens-
liberating cytokines, which Johnson syndrome, toxic epidermal
trigger cutaneous necrolysis
inflammatory response
Sumber: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed.

2. Mekanisme Non Imunologis


Tabel 2. Nonimmunologic Drug Eruption
Idiosyncrasy Reactions due to hereditary enzyme deficiencies.
Individual idiosyncrasy to a topical Mechanisms not yet known.
or systemic drug
Cumulation Reactions are dose dependent, based on the total amount of drug
ingested: pigmentation due to gold, amiodarone, or minocycline.

Reactions due to combination of a Reactions may have a toxic or immunologic (allergic)


drug with ultraviolet irradiation pathogenesis
(photosensitivity)
Irritancy/toxicity of a topically 5-Fluorouracil, imiquimod.
applied drug
Atrophy by topically applied drug Glucocorticoids
Sumber: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed.
MANIFESTASI KLINIK
Yang perlu diperhatikan untuk penilaian terhadap kemungkinan terjadinya erupsi obat:
Hilangkan kemungkinan penyebab lain seperti infeksi viral
Periksa interval waktu antara paparan terhadap obat sampai onset reaksi
Perhatikan apakah ada perbaikan saat penggunaan obat dihentikan
Tanyakan riwayat reaksi serupa ketika mengonsumsi obat yang sama sebelumnya

Temuan klinis yang mengindikasikan kemungkinan erupsi obat:


Nyeri pada kulit
Confluent erythema
Edema pada wajah
Kemerahan yang nyeri pada telapak tangan atau kaki
Keterlibatan membran mukosa yang bersifat erosive
Blisters of epidermal detachment
Tanda nikolsky positif
Urtikaria
Lidah membengkak
Demam tinggi (> 40oC)
Pembesaran KGB
Arthralgia
Hipotensi, sesak napas, mengi
Purpura
Nekrosis kulit

1. Morfologi dan Distribusi


Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan
dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya:
a. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat tertimbunnya
serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan mengalami
edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema ini biasanya unilateral
dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan
selama dua sampai lima hari. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang
bersifat non imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan
angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap
penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor dalam jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria.

Gambar 2. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin

b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang
pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya lentikuler maka
disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis.
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi
yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan simetris.
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak hilang
bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya disebabkan
oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Erupsi
yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi
perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi.
Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan
hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian
obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai
dengan perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai
dengan adanya deskuamasi kulit.
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin,
sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T sel juga
ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu
memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama
maka disebut eksantema fikstum.

Tabel 3. Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa

nd
Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed. Pharmaceutical Press. 2006.

Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-
laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin.
Gambar 3. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan obat
golongan sefalosporin.

f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa
demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah.
g. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya
yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema
tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.
h. Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis Eksantematosa
Generalisata Akut (PEGA).
i. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida,
bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin.
Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki
berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.
ii. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan
gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi
menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam
0
tinggi (>38 C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang
dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan
histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai
edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan
eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini
sangat jarang terjadi.
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption (FDE),
erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN.
Pemphigus.Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan
golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa
bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan
kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau
berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul
kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus.
Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua minggu
setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam jangka
waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan
berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi
biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila
penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang
sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema multiformis yang ditandai dengan
adanya limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel
yang disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis,
hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil.
Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.
Gambar 4. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada penderita FDE

Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan/atau
selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion)

Gambar 5. Eritema Multiformis

Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom


mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor,
eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat dengan
gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput
lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan
eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah,
ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan
selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula
dan papul eritematosa kecil (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan
cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis,
yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka
bakar. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang
eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.
Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni
punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa
epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku
dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi
perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa.
NET merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Eosinophil count >1000/L. Lymphocytosis with atypical lymphocytes.
Kimia Darah
Hasil abnormal pada pemeriksaan fungsi hati

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi
obat alergi adalah:
1. Pemeriksaan in vivo
o Uji tempel (patch test)
o Uji tusuk (prick/scratch test)
o Uji provokasi (exposure test)

2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
o Hemaglutinasi pasif
o Radio immunoassay
o Degranulasi basofil
o Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
o Tes transformasi limfosit
o Leucocyte migration inhibition test

Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang


mendasari erupsi obat.
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika
maupun alasan mediko legalnya.
Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu
membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat
atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliabel
untuk digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam
tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam
penegakkan diagnosis klinis.
Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami reaksi
obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti eritroderma, blister,
purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul beberapa setelah penggunaan obat.
Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait
dengan penggunaan obat.

DIAGNOSIS
Diagnosis erupsi obat biasanya dibuat berdasarkan anamnesis dan temuan klinis. Penegakkan
diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan distribusinya serta
tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah
dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu
antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada
kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang
mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat
persisten.

Tabel 4. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan


Karakteristik Tipe lesi primer
klinis Distribusi dan jumlah lesi
Keterlibatan membran mukosa
Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus, perbesaran limfonodus
Faktor Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama pemakaiannya
kronologis Waktu ketika timbulnya erupsi
Interval waktu saat pemberian obat dengan munculnya erupsi kulit
Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai menjadi penyebab
Respon saat dilakukan pemaparan kembali
Literatur Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat
Daftar pemakaian obat dengan peringatan
Bibliografi obat

PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus
dihentikan segera.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan
cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari; khususnya pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat
pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

2. Penatalaksanaan Khusus
1. Sistemik
Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum,
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10
mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial.
Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan
kortikosteroid.

2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %.
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami
skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.
PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma
dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung
pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan
kulit.
Gambar 6 . Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician.
Volume 68, Number 9. 2003.
DAFTAR PUSTAKA

1. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd
edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
2. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.
Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN.
U.K.. 1993. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
nd
3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
4. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at:
www.aafp.org/afp
5. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. In:
th
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6 ed. USA: The Mc Graw Hill
Companies, Inc. 2003. p: 1330-1337
6. Johnson RA, Wolff K. Adverse Cutaneous Drug Reactions. In: Fitzpatricks Color Atlas
& Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc.
2009. P: 552-581

Anda mungkin juga menyukai