Stase Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Soedirman Kebumen
Disusun Oleh: Diko koestantyo 16711035
Pembimbing: dr. Antonius Imbar Sudarsono Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN 2021 1. DEFINISI Ensefalopati hepatik (EH) merupakan gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat insufisiensi hepar dengan sindrom atau kelainan neuropsikiatri pada pasien dengan disfungsi hepar. Ensefalopati hepatik ditandai dengan perubahan kepribadian, gangguan intelektual, dan penurunan tingkat kesadaran (Poh dan Chang, 2012). Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas independen pada pasien dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma atau meninggal. Mortalitas sangat tinggi pada EH dengan edema serebral. Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan EH berat di ICU adalah 54%, dengan pemberian dukungan inotropik, dan acute kidney injury diidentifikasi sebagai prediktor independen pada kematian di ICU dan mortalitas 1 tahun. Terapeutik terbaru dan strategi terapi telah dikembangkan sejak the American College of Gastroenterology mengeluarkan guidelines mereka untuk manajemen EH (Fichet et al., 2009). EH adalah sebuah gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat insufisiensi hepar, setelah menyingkirkan penyebab lain, seperti metabolik, infeksi, vaskular intrakranial, atau space-occupying lesions. EH merupakan suatu sindrom atau spektrum abnormalitas neuropsikiatri pada pasien dengan disfungsi hepar, setelah menyingkirkan penyakit otak lainnya. EH ditandai dengan perubahan personalitas, gangguan intelektual, dan penurunan tingkat kesadaran. EH juga terjadi pada pasien tanpa sirosis dengan shunt portosistemik spontan atau dibuat dengan bedah (Poh et al., 2012). Pada fase awal perjalanan penyakit, pasien dengan EH akan mengalmai kondisi keterbalikan pola tidur yaitu berupa tidur disepanjang hari dan bangun dimalam hari. Pada fase pertengahan, pasien akan mengalami perburukan gejala berupa kebingunan bahkan sampai letargi dan peruahan personaliti. Pada fase akhir gejala merupakan keadaan pasien yang mencapai terminal hingga mengakibatkan pasien koma dan berakhir pada kematian (Tajiri & Shimizu, 2018). 2. ETIOLOGI Pemicu dari HE dapat berupa gagal ginjal, perdarahan gastrointestinal, konstipasi, infeksi, konsumsi jumlah protein yang terlalu tinggi, dehidrasi, gangguan elektrolit, konsumsi alkohol, penyakit hati kronik dan Tranjugular Intrahepatik Portosistemik Shunt (TIPS) (Feati et al, 2019). 3. EPIDEMIOLOGI HE terjadi akibat komplikasi dari penyakit hati yang bermakna dengan penyakit sirosis sebesar 30-45% dan TIPS sebesar 24-53% yang terjadi baik akut maupun kronik. Pada kasus penyakit hepar kronik seringkali tidak menimbulkan gejala bermakna hingga stadium lanjutan sehingga mengisyaratkan pengobatan akan cukup terlabat. Di Negara United State terdapat 7-11 juta kasus HE diagnosa insidensi pertahun mencapai 150.000 pasien. Pada pasien yang didiagnosa pertama kali sebanyak 20% kasus didapatkan sudah menderita sirosis hepar dan hampir 60% kasus didapatkan pasien menderita hepatitis C kronik baik sendiri maupun di sertai dengan kombinasi penyakit hepar akibat alkohol. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis (Zubir, 2014). Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi HE stadium 2 hingga stadium 4 sebesar 14,9%. Pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati prevalensi meningkat menjadi 42% (Iris dan Liou, 2014). 4. PATOFISIOLOGI Tubuh manunias memproduksi neurotoksin setiap harinya. Namun neurotiksin tersebut selalu dibersihkan oleh hati dengan mekanisme tertentu. Neurotoksin tersebut adalah amonia, asam lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmiter non-fisiologis (tiramine, octapine, betapeniletanolamin), mangan dan GABA. Diantara nerotoksin terseubt amonia adalah jenis neurotoksin yang paling sering menjadi penyebab utamanya (Levit et al, 2018). Dalam keadaan normal, amonia diproduksi oleh bakteri gastrointestinal melalu proses pemecahan produk amin, asam amino, purin dan urea. Hasil pemecahan tersebut akan dimetabolisme dan dibersihkan oleh hepar. Dalam kasus sirosis hepar, terjadi banyak penurunan jumlah dan fungsi hepatosit, shunting porto-sistemik sehingga amonia yang masuk tidak dapat dibersihkan (Acharya, 2019). Amonia yang masuk dan melewati barier dari otak dapat memberikan efek neurotoksik yang beragam. Adanya amonia didalam otak akan merubah tranport molekular seperti asam amino, elektrolit dan air didalam astrosit dan neuron. Selain itu, didalam astrosit akan terjadi peningkatan sintesis glutamin dari glutamat, penghambatan signal eksitatorik dan menciptakan signal inhibitorik di post-sinap, ganggguan metabolisme asam amino dan gangguan penggunaan energi akibat peningkatan aktivitas GABA (Kibrit et al., 2018). 5. MANIFESTASI KLINIK Gambaran klinis dari HE menunjukan gejala neurologis yang tidak spesifik oleh karena itu biasanya dilakukan tes psikometrik untuk menentukannya. Ketika HE berkembang maka hal yang akan tampak adalah perubahan kepribadian seeprti apatis, mudah tersinggung dan tidak dapat dilarang. Pada fase awal penyakit ini dapat ditemukan perubahan pola tidur berkebalikan yang tampak secara konsisten setiap harinya. Keluhan seperti penurunan kesadara, astereksis dan disorientasi terhadap ruang mungkin akan tampak apabila EH berkembang lebih kompleks. Pada HE non koma, akan tampak kelainan pada sistem motorik seperti hipertonia, hiperfleksia dan tanda positif babinski terkadang akan tampak (Ferenci, 2017). 6. DIAGNOSIS Kelainan ini sebaiknya diwaspadai sejak masih dini, karena ensefalopati hepatik ringan pada pasien sirosis dapat memicu terjadinya kecelakaan pada penderita yang masih aktif mengemudikan kendaraan bermotor.Idealnya, diagnosis ensefalopati hepatik ditegakkan dengan pemeriksaan neurofisiologis, komputerisasi, pennetuan kadar amonia. Pemeriksaan penunjang pencitraan yang dapat digunakan diantaranya adalah MRI dan CT-Scan, namun kurang spesifik. Di Fasilitas kesehatan terbatas, diagnosis ensefalopati dapat ditegakkan secara sederhana secara klinis. Penggunaan pedoman grading ensefalopati hepatik dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan gagal hati akut. Pemeriksaan neurofisiologis yang lengkap adalah metode terbaik untuk menilai apakah penderita mengalami gangguan kognitif dan hubungannya dengan pola hidup sehari-hari. Tes umum Neurofisiologis yang digunakan adalah tes koneksi nomor, tes simbol digital, uji desain blok, dan lain-lain. Tingkat amonia darah tinggi merupakan kelainan klasik yang dilaporkan pada pasien dengan ensefalopati hepatik. Temuan ini dapat membantu dalam mendiagnosa secara tepat pasien sirosis dengan status mental berubah. Hanya saja spesimen darah vena harus diperiksa secara teliti ketika memeriksa tingkat amonia. Darah diambil dari ekstremitas yang telah terpasang torniket dapat memberikan tingkat amonia tinggi palsu. Untuk mendapatkan hasil terbaik Specimen harus diambil tanpa memprovokasi aliran darah dan dibutuhkan media es saat mengirim ke laboratorium serta segera di periksa dalam waktu 30 menit setelah diambil (Anonim, 2016). EEG dapat menunjukkan penurunan frekuensi rata-rata dari aktivitas listrik otak yang terjadi pada ensefalopati hepatik. Perubahan EEG klasik yang terkait dengan ensefalopati hepatik adalah amplitudo gelombang frekuensi rendah dan gelombang trifasik. Walaupun temuan ini tidak spesifik untuk ensefalopati hepatik tapi EEG dapat membantu dalam pemeriksaan awal pasien dengan sirosis dan perubahan status mental. Computed tomography (CT) dan MRI otak mungkin penting dalam menyingkirkan kemungkinan lesi intrakranial bila diagnosis ensefalopati hepatik meragukan. MRI memiliki keuntungan tambahan yang mampu menunjukkan hiperintensitas dari globus pallidus, sebuah temuan yang umumnya dijumpai pada ensefalopati hepatik. Temuan ini mungkin berkolerasi dengan peningkatan deposisi mangan di Globus palidus otak. HE dapat diklasifikasian berdasarkan kriteria West-haven (semiquantitative grading of mental stase) atau kriteria world Health Congress of Gastroenterology. Kriteria West Haven Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4 1. Berkurangnya kesadaran 1. Letargi atau apatis 1. Somnolen 1. Koma dalam menjawab 2. Disorientasi tetapi respon dengan pertanyaan minimal/intermitten dengan suara atau 2. Euforia atau ansietas terhadap tempat dan 2. kebingungan respon 3. Inversi pola tidur waktu 3. Diorientasi terhadap 4. Perhatian nudah 3. Perubahan kepribadian masif nyeri dialihkan, penurunan 4. Prilaku yang tidak performa pantas
Kriteria World Health Congress of Gastroeneterology
Tipe A Tipe B Tipe C HE dengan gagal hepar akut HE dengan portal-sistemik HE dengan sirosis hepar disertai edema serebral shunting (episoik, persisten dan minimal encepalopati) 7. PENATALAKSANAAN Pemberian terapi dalam penanganan HE dimaksudkan untuk mengurangi kadar amonia dalam darah agar tidak meningkat. Beberapa obat yang biasa digunakan berupa laktulosa, rifaximin, oral branched amino acid (BCAA), intravenous L-ornithine L-aspartate (LOLA), probbiotik dan antibiotik jenis lainnya (Ferenci, 2017). Non-absorbable disaccharides Laktulosa dapat digunakan sebagai terapi inisial yang tidak dapat diserap oleh tubuh. laktulosa dapat menghambat produksi amonia usus dengan cara konversi NH4 menjadi NH3 dan menghambat difusi balik amonia ke dalam sirkulasi. Laktulosa diduga menghambat aktivitas glutaminase di intestin. Laktulosa juga bekerja sebagai katarsis, mengurangi beban bakteri kolon. Dosis awal Laktulosa adalah 30 mL secara oral, satu atau dua kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bila ditoleransi dengan baik. Pasien harus diintruksi untuk mengurangi dosis laktulosa bila terjadi diare, kram perut, atau kembung. Pasien dikatakan menggunakan laktulosa cukup, bila telah BAB cair 2-4 per hari (Ferenci, 2017). Antibiotik Neomycin dan antibiotik lainnya, seperi metronidazole, vankomisin oral, paromomycin, dan kuinolon oral, diberikan dalam upaya untuk menurunkan konsentrasi bakteri kolon ammoniagenik. Dosis neomisin awal adalah 250 mg per oral 2-4 kali sehari. Dosis setinggi 4000 mg/hari dapat diberikan. Neomycin biasanya digunakan sebagai agen lini kedua, setelah mulai pengobatan dengan laktulosa. Pengobatan jangka panjang dengan aminoglikosida memiliki risiko ototoksisitas dan nefrotoksisitas. Rifaximin, turunan rifampisin yang tidak diserap usus, telah digunakan di Eropa selama 18 tahun untuk berbagai indikasi. Pada tahun 2004, obat ini menerima persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk pengobatan "diare pada pelancong", dan baru pada tahun 2005, ia digunakan sebagai pengobatan untuk ensefalopati hepatik. Berbeda dengan neomisin, yang profil tolerabilitas sebanding dengan plasebo. Beberapa uji klinis telah menunjukkan bahwa rifaximin pada dosis 400 mg secara oral 3 kali sehari sama efektifnya dengan laktulosa atau lactilol untuk memperbaiki gejala ensefalopati hepatik. Demikian pula, rifaximin sama efektifnya dengan neomisin dan paromomycin. Rifaximin lebih baik ditoleransi daripada laksan maupun antibiotik nonabsorbable lainnya. Obat ini akan menghambat pertumbuhan bakteri aerob di intensine yang akan mengurangi produksi ammonia usus. Ia juga mengurangi aktivitas glutaminase di usus serta mengatasi pertumbuhan berlebihan bakteri usus halus. Obat lain yang dapat dipergunakan adalah metronidazole, yang walaupun belum diterima oleh FDA tetapi ternyata setara dengan neomycin dengan dosis 2x250 mg, kerugiannya akumulasi obat pada penderita dengan penyakit hati lanjut, yang menimbulkan toksisitas CNS dan neuropati perifer (Ferenci, 2017). Probiotik Probiotik merupakan pilihan terapeutik dalam strategi terapi EH yang masih diperdebatkan. Ada beberapa mekanisme efek probiotik dalam EH adalah menurunkan amonia total dalam darah portal melalui: penurunan aktivitas urease bakteri, penurunan absorpsi amonia dengan menurunkan pH, penurunan permeabilitas intestinal, dan peningkatan status nutrisi dari epitel usus. Selain itu dapat menurunkan inflamasi dan stres oksidatif di hepatosit sehingga menyebabkan peningkatan klirens hepatik terhadap amonia dan toksin serta menurunkan uptake toksin (Bajaj et al., 2012). Diet Ensefalopati Hepatik Diet rendah protein selama ini secara rutin direkomendasikan untuk pasien dengan sirosis, engan harapan penurunan produksi amonia usus dan mencegah eksaserbasi ensefalopati hepatik. Konsekuensi yang jelas adalah memburuknya kekurangan energi protein yang sudah ada sebelumnya. Pembatasan protein mungkin cocok pada beberapa pasien segera setelah fase akut (misalnya, pada ensefalopati hepatik episodik). Namun, pembatasan protein tidak dibenarkan pada pasien dengan sirosis dan ensefalopati hepatik persisten, karena kekurangan gizi adalah masalah klinis yang lebih serius daripada ensefalopati hepatik untuk banyak pasien. Diet protein dimulai dengan 0,5 mg/kgbb/hari dan secara progresif ditingkatkan menjadi 1-2 gr/kgbb/hari. Diet yang mengandung protein nabati tampaknya ditoleransi lebih baik daripada diet kaya protein hewani, terutama protein yang berasal dari daging merah. Ini mungkin karena kandungan serat makanan, merupakan sebuah katarsis alami, dan akan menurunkan asam amino aromatik. Asam amino aromatik, perkursor untuk neurotransmiter palsu tiramin dan octopamine, diperkirakan menghambat neurotransmisi dopaminergik dan memerburuk ensefalopati hapatik (Anonim, 2016). Referensi Acharya C, Bajaj JS. 2019. Altered Microbiome in Patients With Cirrhosis and Complications. Clin Gastroenterol Hepatol. Jan;17(2):307-321. Anonim. 2016. http://dokterpost.com/diagnosis-dan-terapi-ensefalopati-hepatik/ diakses pada tanggal 10 oktober 2021 pukul 15:22 Bajaj JS, Pinkerton SD, Sanyal AJ, Heuman DM. 2012. Diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy to prevent motor vehicle accidents: a cost effectiveness analysis. Hepatology. Fiati Kenston SS, Song X, Li Z, Zhao J. Mechanistic insight, diagnosis, and treatment of ammonia-induced hepatic encephalopathy. J Gastroenterol Hepatol. 2019 Jan;34(1):31- 39.55(4):1164–1171. Ferenci, P. 2017. Hepatic Enchepalopathy. Gastroenterology Reoprt. 5 (2), 138-147 Fichet J, Mercier E, Genée O. 2009. Prognosis and 1-year mortality of intensive care unit patients with severe hepatic encephalopathy. Journal of Critical Care. 24(3):364– 370. Iris W, Liou MD. 2017. The Diagnosis And Management Hepatic Encephalopathy. Journal of Hepatitis C Online. 3(4):1- 20. Kibrit J, Khan R, Jung BH, Koppe S. 2018. Clinical Assessment and Management of Portal Hypertension. Semin Intervent Radiol. Aug;35(3):153-159. Levitt DG, Levitt MD. A model of blood-ammonia homeostasis based on a quantitative analysis of nitrogen metabolism in the multiple organs involved in the production, catabolism, and excretion of ammonia in humans. Clin Exp Gastroenterol. 2018;11:193-215. Poh Z and Chang PEJ. 2012. A current review of the diagnostic and treatment strategies of hepatic encephalopathy. International Journal of Hepatology. 44(2):150–157. Tajiri K, Shimizu Y. 2018. Branched-chain amino acids in liver diseases. Transl Gastroenterol Hepatol. ;3:47. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis