Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN & ASKEP

HE (Hepatic Encephalopathy)
DEPARTEMEN MEDIKAL
RUANG 26i
RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh:
Irfan Marsuq Wahyu Riyanto
NIM: 135070201111002

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1. Pengertian
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks gangguan susunan saraf pusat
yang dijumpai pada pasien yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh
gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin, 2001).
Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah
suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di
dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati.
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita
penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan
flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

2. Etiologi
Bahan-bahan yang diserap kedalam aliran darah dari usus, akan melewati
hati, dimana racun-racunnya dibuang. Namun, pada ensefalopati hepatik, yang
terjadi adalah:
a. Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu.
b. Telah terbentuk hubungan antara system portal dan sirkulasi umum (sebagai
akibat dari penyakit hati), sehingga racun tidak melewati hati.
c. Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt system
portal) juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.
Karena hal tersebut, akibatnya adalah sampainya racun di otak dan
mempengaruhi fungsi otak. Bahan yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti
belum diketahui. Tetapi tingginya kadar hasil pemecahan protein dalam darah,
misalnya ammonia dapat memegang peranan penting dalam mempengaruhi fungsi
otak.
Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu oleh:
a. Infeksi akut.
b. Pemakaian alkohol.
c. Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil
pemecahan protein dalam darah.
d. Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya pada varises esofageal, juga
bisa menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung
bisa mengenai otak.
e. Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretic
(azotemia, hipovolemia).
f. Obstipasi meningkatkan produksi, absorpsi ammonia dan toksin nitrogen
lainnya.
1. Virus Hepatitis
Type A Type B Type C Type D Type E
Metode Fekal-oral Parenteral Parenteral Parenteral Fekal-
transmisi melalui seksual, jarang perinatal, oral
orang lain perinatal seksual, memerlukan
orang ke koinfeksi
orang, dengan type B
perinatal
Keparah-an Tak Parah Menyebar Peningkatan Sama
ikterik luas, dapat insiden kronis dengan D
dan berkem-bang dan gagal hepar
asimto- sampai kronis akut
matik
Sumber Darah, Darah, saliva, Terutama Melalui darah Darah,
virus feces, semen, melalui darah feces,
saliva sekresi saliva
vagina

2. Alkohol
Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.
3. Obat-obatan
Setiap obat dapat mempengaruhi fungsi hati namun obat yang paling
berkaitan denagn cedera hati tidak terbatas pada obat anastesi tapi mencakup
obat-obat yang dipakai untuk mengobati penakit rematik seta muskuloskletal,
obat anti depresan,, psikotropik, antikonvulsan dan antituberkulosis. Obat-obatan
tersebut dapat menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis
toksik dan hepatitis akut.
3. Klasifikasi
1. Menurut cara terjadinya, yaitu:
a. Ensefalopati hepatik tipe akut
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat
memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain
hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, atau dapat pula pada
sirosis hati.
b. Ensefalopati hepatic tipe kronik
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan
bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik yang terjadi
pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-
tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-
angsur makin berat.
2. Menurut faktor etiologinya, yaitu:
a. Ensefalopati hepatic primer (endogen)
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari
kerusakan sel-sel hati (nekrosis sel hati yang meluas). Pada hepatitis fulminan
terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu,
gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh
dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati
yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan
disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui
sistem portal atau kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.
b. Ensefalopati hepatic sekunder (eksogen)
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah
mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah
- Dehidrasi / hipovolemia
- Parasintesis abdomen
- Diuresis berlebihan
2) Pendarahan gastrointestinal
3) Operasi besar
4) Infeksi berat
5) Intake protein berlebihan
6) Konstipasi lama yang berlarut-larut
7) Obat – obat narkotik atau hipnotik
8) Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9) Azotemia

4. Patofisiologi
Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikiasi otak yang
disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat
terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis
atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai
sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati hepatik
tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi
otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil
metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati.
Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh
keadaan seperti perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian
diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan
pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal,
melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar
menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung
tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua
keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang berasal dari usus tidak
mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain
barrier), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam
susunan saraf pusat.
Secara garis besar ada dua teori yang mendasarinya yaitu Teori Amonia
dan neurotransmitter palsu. Amonia merupakan zat yang sering di libatkan dalam
patoganesis ensefalopati hepatic. Metabolit lain yang dapat berperan pada
ensefalopati hepatic meliputi mercaptans, short chain fatty acid, neurotransmitter
palsu. Kadar berlebihan dari gama amino butyric acid (GABA), yaitu suatu
penghambat transmitter di sistem saraf pusat merupakan faktor penting terjadinya
penurunan kesadaran yang terlihat pada ensefalopati hepatic. Kenaikan kadar
GABA di sistem saraf pusat merupakan refleksi dari kegagalan hati untuk
mengeluarkan GABA yang berasal dari usus.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan pada ensefalopati heoatik, yaitu:
a. Ammonia
Ammonia berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu
dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori
ammonia mengganggu faal otak karen dapat mempengaruhi metabolisme otak
melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini
mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang
diperlukan untuk oksidasi sel.
b. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap sistem saraf pusat
(SSP). Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi
merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak
bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan
bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma.
c. Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik (AAA) meningkat pada ensefalopati hepatik karena
kegagalan deaminasi di hati dan penurunan asam amino rantai cabang (AARC)
akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada
penyakit hati kronik.
d. Asam lemak rantai pendek
Pada ensefalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti
asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin
serebral penyebab ensefalopati hepatik.
e. Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid
(GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. GABA bekerja
secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati
reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan
reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga
menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan
kesadaran dan koordinasi motorik terganggu.
f. Glukagon
Peningkatan AAA pada ensefalopati hepatik mempunyai hubungan erat dengan
tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan
beban nitrogen. Karena hormon ini melepas asam amino aromatis dari protein hati
untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis.
g. Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai
macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini
merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan
menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli.
PATHWAY
5. Manifestasi Klinis
Gejalanya merupakan akibat dari menurunnya fungsi otak,yang utama
adalah gangguan kesadaran. Pada stadium awal, perubahan hampir tidak terlihat
yaitu terjadi pada logis kepribadian dan tingkah laku, suasana hati penderita bisa
berubah dan terjadi gangguan dalam menyatakan pendapatnya.
Sejalan dengan perkembangan penyakit penderita menjadi mengantuk
dan bingung, malas bergerak dan bercakap-cakap sering terjadi disorientasi. Pada
akhirnya penderita akan kehilangan kesadarannya dan jatuh kedalam keadaan koma.
Secara garis besar gejala klinis ensefalopati hepatik terbagi menjadi:
1. Ensefalopati hepatik sub klinis
Disebut juga “latent hepatic encephalopathy”. Dari penelitian
disimpulkan bahwa 45%-85% penderita sirosis hati sudah mengidap ensefalopati
hepatik sub klinis. Belum di temukan atau terlihat gejala dan tanda penyakit.
Dapat di deteksi dengan test uji hubungan angka (number connection test).
Number connection test (NCT) :
- Uji psikomotorik untuk deteksi dini ensefalopati hepatik sub klinis.
- Syarat pasien tidak buta huruf.
- Sederhana, praktis,aman, murah.
- Bermanfaat pula untuk monitoring dan evaluasi hasil terapi.
- Pasien diminta menyambung angka secara urut no.1-25 secepat mungkin.
- Ada korelasi antara lamanya waktu yang di perlukan untuk menyelesaikan
NCT ( uji hubung angka) dengan kondisi enesefalopati hepatik pasien ( makin
lama ∞ makin buruk) Pada kondisi baik uji ini harus dapat di selesaikan ± 30
detik
Skala NCT (menurut kriteria West Haven):

Skala  NCT Lamanya  penyelesaian NCT


0 15-30 detik
1 31-50 detik
2 51-80 detik
3 81-120 detik
4 >120 detik atau tidak dapat diselesaikan
2. Ensefalopati Hepatik klinis, ada 4 stadium yaitu:
a. Stadium 1 (prodromal : awal)
Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan
tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan
mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak
mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya
terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori,
depresi, apati. Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari
bangun, letargi.
Tanda-tandanya:
- Asteriksis : gangguan motorik yang di tandai dengan penyimpangan
intermiten dari postur.
- Kesulitan bicara
- Kesulitan menulis
- EEG (elektroensefalografi) (+)
b. Stadium 2 (Impending koma atau koma ringan)
Gangguan mental semakin berat, flapping tremor (tangan bergetar),
pengendalian sfingter kurang, kebingungan, disorientasi, mengantuk, dan
asteriksis.
c. Stadium 3 (Stupor)
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang
mencolok, penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan
rangsangan, asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hiperreflek, klonus,
grasp dan sucking reflek.
d. Stadium 4 (koma) pasien koma tidak sadarkan diri
Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul refleks
hiperaktif dan tanda babinsky yang menunjukkan adanya kerusakan otak
lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis
(fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk
dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya,
dan tonus otot hilang.

6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Hematologi
a. Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
b. Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
2. Biokimia darah
a. Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase
alkali.
b. Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
c. Kadar amonia darah.
d. Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.
3. Urin dan tinja rutin
4. EEG (Elektroensefalografi) dengan potensial picu visual (visual evoked potential)
merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam
status kejiwaan pada sirosis.
5. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah
untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma
subdura pada pecandu alkohol).
6. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali
peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat
meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat
menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.

7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan VHB adalah untuk mencegah atau menghentikan radang hati
(liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi.
Dalam pengobatan hepatitis B, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya
pertanda replikasi virus yang aktif secara menetap. Obat-obat yang digunakan untuk
menyembuhkan hepatitis antara lain obat antivirus, dan imunomulator. Pengobatan
antivirus harus diberikan sebelum virus sempat berintegrasi ke dalam denom
penderita. Jadi pemberiannya dilakukan sedini mungkin sehingga kemungkinan
terjadi sirosis dan hepatoma dapat dikurangi. Yang termasuk obat antivirus adalah
interferon (INF). Sedangkan obat imunomodulator yang menekan atau merangsang
sistem imun misalnya transfer faktor,immune RNA, dan imunosupresi.
1)      Medis
a. Hepatitis virus B.
penderita hepatitis sampai enam bulan sebaiknya tidak menjadi donor
darah karena dapat menular melalui darah dan produk darah
b. Pemberian imonoglubin dalam pencegahan
hepatitis infeksiosa memberi pengaruh yang baik. Diberikan dalam dosis
0,02ml / kg BB, intramuskular
b. Obat-obatan terpilih :
a) Kortikosteroid. Pemberian bila untuk penyelamatan nyawa dimana ada
reaksi imun yang berlebihan
b) Antibiotik, misalnya Neomycin 4 x 1000 mg / hr peroral
c) Lactose 3 x (30-50) ml peroral
d) Vitamin K dengan kasus kecenderungan perdarahan 10 mg/ hr intravena
e) Roboransia
f) Glukonal kalsikus 10% 10 cc intavena (jika ada hipokalsemia)
g) Sulfas magnesikus 15 gr dalam 400 ml air
h) Infus glukosa 10% 2 lt / hr.
b. Istirahat, pada periode akut dan keadaan lemah diberikan cukup
istirahat.
c. Jika penderita enak, tidak napsu makan atau muntah – muntah
sebaiknya di berikan infus glukosa. Jika napsu makan telah kembali
diberikan makanan yang cukup
d. Bila penderita dalam keadaan prekoma atau koma, berikan obat –
obatan yang mengubah susunan feora usus, isalnya neomisin ataukanamycin
samapi dosis total 4-6 mg / hr. laktosa dapat diberikan peroral, dengan
pegangan bahwa harus sedemikian banyak sehingga Ph feces berubah
menjadi asam.
2)      Keperawatan
a. Tirah baring dan selanjutnya aktivitas pasien
dibatasi sampai gejala pembesaran hati kenaikan bilirubin kembali normal
b. Nutrisi yang adekuat
c. Pertimbangan psikososial akibat pengisolasian
dan pemisahan dari keluarga sehingga diperlukan perencanaan khusus
untuk meminimalkan perubahan dalam persepsi sensori

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat
kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat
muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi
kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak
penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun.
Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang
kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor
penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk
kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan
kelainan hospes :
 Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limfoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
 Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital,
protein liosing enteropati (peradangan usus)
3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)
a) Aktifitas / Istirahat
- Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan
pola tidur.
- Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
b) Sirkulasi
- Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada
cedera.
- Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer,
pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
- Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan
penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
- Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
- Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa
kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
- Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat
dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal,
perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
- Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
- Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan
gusi yang buruk, edema
f) Hygiene
- Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
- Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
- Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan
status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
- Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
- Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada
pleuritis.
- Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan
gerak,pincang.
i) Pernafasan
- Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk,
sesak pada dada.
- Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas,
adanya sputum.
j) Keamanan
- Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse
darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.
- Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya
nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan
umum.
k) Seksualitas
- Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
- Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a.       Hematologi
-       Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis
lekosit.
-       Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
b.      Biokimia darah
-       Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol,
fosfatase alkali.
-       Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
-       Kadar amonia darah
Tingkat ensefalopati kadar ammonia darah dalam satuan µg/dl:
1)      Tingkat 0 : < 150
2)      Tingkat 1 : 151 – 200
3)      Tingkat 2 : 201 – 250
4)      Tingkat 3 : 251 – 300
5)      Tingkat 4 : > 300
c.       Urin dan tinja rutin
d.      EEG (Elektroensefalografi)
Dengan pemerikasaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya
jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari
gelombang normal Alfa (8 – 12Hz). Tingkat ensefalopati frekuensi
gelombang EEG:
frekuensi gelombang Alfa
Tingkat 0 : 8,5 – 12 siklus per detik
Tingkat I : 7 – 8 siklus per detik
Tingkat II : 5 – 7 siklus per detik
Tingkat III : 3 – 5 siklus per detik
Tingkat IV : 3 siklus per detik atau negatif
e.       CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia
yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural
(terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol).
f.       Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal,
kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna
zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih
cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat
menyebabkan peningkatan tekanan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis :
peningkatan kadar ammonia serum.
2. Perubahan volume cairan : edema anasarka berhubungan dengan
penurunan kadar albumin dalam serum dan penurunan tekanan osmotik intra
vaskuler.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan.
C. Rencana Keperawatan
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan criteria hasil Intervensi Rasional
Perubahan proses Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi perubahan perilaku dan 1.     Pengkajian terus menerus terhadap perilaku dan
pikir berhubungan keperawatan selama 1x24 mental. Contohnya letargi, bingung, status mental penting karena fluktuasi alami dari
dengan perubahan jam pasien menunjukkan cenderung tidur, bicara lambat atau tidak ensefalopati hepatik.
fisiologis :
perilaku atau perubahan pola jelas, dan peka rangsang.
peningkatan kadar
ammonia serum. hidup untuk mencegah atau 2. Catat terjadinya ikterik, aktivitas kejang.2.     Menunjukkan peningkatan kadar amonia serum.
meminimalkan perubahan 3. Konsul pada orang terdekat tentang 3.     Memberikan dasar unutk perbandingan dengan
mental. perilaku umum dan mental pasien. status saat ini.
Menunjukkan proses berfikir 4. Orientasikan kembali pada waktu,
yang logis dan terorganisasi tempat, orang sesuai kebutuhan. 4.     Membantu dalam mempertahankan orientasi
  Tidak mudah terganggu
5. Pertahankan kenyamanan lingkungan. kenyataan, menurunkan bingung atau ansietas.
  Dapat membandingkan dan 5.      Menurunkan rangsangan berkebihan,
membedakan dua benda.
6. Pasang pengaman tempat tidur, beri
pengawasan ketat. meningkatkan relaksasi, dan dapat meningkatkan
koping.
7. Kolaborasi dalam pembatasan diet
6.     Menurunkan resiko cedera bila bingung, kejang,
protein. Berikan tambahan glukosa, hidrasi
atau terjadi perilaku merusak.
yang adekuat.
7.     Ammonia bertanggung jawab terhadap perubahan
mental pada ensefalopati hepatik.

Perubahan volume Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur masukan dan haluaran, timbang 1.     Menunujukkan status volume sirkulasi,
cairan : edema keperawatan pasien berat badan. terjadinya atau perbaikan perpindahan cairan,
anasarka menunjukkan volume cairan dan respon terhadap terapi.
2. Awasi tanda-tanda vital terutama
berhubungan dengan
yang stabil. tekanan darah. 2.     Peningkatan tekanan darah biasanya
penurunan kadar
albumin dalam 3. Kaji derajat edema berhubungan dengan kelebihan volume cairan,
serum dan Kriteria hasil: 4. Ukur lingkar abdomen tetapi mungkin tidak terjadi karena
penurunan tekanan      Keseimbangan input dan perpindahan cairan keluar area vaskuler.
osmotik intra output 3.     Perpindahan cairan pada jaringan akibat
vaskuler. retensi natrium dan air,penuruna albumin dan
     Berat badan stabil
     Tanda vital dalam rentang penurunan ADH.
normal 4.     Menunujukkan akumulasi cairan diakibatkan
     Tidak ada edema oleh kehilangan proteon plasma atau cairan ke
dalam area peritoeal.

Perubahan nutrisi Pasien mempunyai intake 1. Monitor kemampuan mengunyah Intake menurun dihubungkan dengan nyeri
kurang dari kalori dan protein yang dan menelan. tenggorokan dan mulut
kebutuhan tubuh adekuat untuk memenuhi 2. Monitor BB, intake dan ouput Menentukan data dasar
berhubungan dengan kebutuhan metaboliknya 3. Atur antiemetik sesuai order Mengurangi muntah
intake yang kurang, dengan kriteria mual dan 4. Rencanakan diet dengan pasien Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan
meningkatnya muntah dikontrol, pasien dan orang penting lainnya. keinginan pasien
kebutuhan makan TKTP, serum albumin
metabolic, dan dan protein dalam batas n
menurunnya ormal, BB mendekati seperti
absorbsi zat gizi. sebelum sakit.

Diare berhubungan Pasien merasa nyaman dan 1. Kaji konsistensi dan frekuensi Mendeteksi adanya darah dalam feses
dengan infeksi GI mengnontrol diare, feses dan adanya darah.
komplikasi minimal dengan 2. Auskultasi bunyi usus Hipermotiliti mumnya dengan diare
kriteria perut lunak, tidak 3. Atur agen antimotilitas dan Mengurangi motilitas usus, yang pelan,
tegang, feses lunak dan psilium (Metamucil) sesuai order emperburuk perforasi pada intestinal
warna normal, kram perut 4. Berikan ointment A dan D, Untuk menghilangkan distensi
hilang, vaselin atau zinc oside

D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan
keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah
intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil.
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary et al. 2008. Klien Gangguan Hati : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doenges E. Marilynn et al. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Herdman T. Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Pearce C. Evelyn. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta : EGC
Tri Harsono. 2008. Ensefalopati Hepatikum
http://emedicine.medscape.com/gastroenterology#liver (diakses pada tanggal 24
Juli 2017, jam 14.28 WIB)
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart.
Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi
I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai
Penerbit FKUI, jakarta.

Anda mungkin juga menyukai