CLINICAL STUDY 2
Departemen Emergency Nursing
SERANGAN ASMA
IGD- RS Tingkat II Dr. Soepraoen
disusun oleh :
KELOMPOK 6A
5. Epidemiologi Asma
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta
orang di dunia mengidap penyakit asma dan 225 ribu orang meninggal karena
penyakit asma pada tahun 2005 lalu. Hasil penelitian International Study on
Asthma and Alergies in Childhood pada tahun yang sama menunjukkan bahwa di
Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari sebesar 4,2% menjadi
5,4 %.
Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit
saluran napas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di
Indonesia setelah penyakit gangguan pembuluh darah. Di Amerika, 14 sampai 15
juta orang mengidap asma, dan kurang lebih 4,5 juta di antaranya adalah anak-
anak. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan
pasien memerlukan perawatan, baik di rumah sakit maupun di rumah. Sebagian
dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan
sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun. Namun demikian, asma
dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan
bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis (Ikawati, 2006).
Prevalensi :
– Pada golongan usia dan jenis kelamin
• <5 tahun : sering pada laki-laki
• 5-9 tahun : wanita sama dengan laki-laki
• 10-60 tahun : wanita lebih besar dari laki-laki
• >60 tahun : laki-laki > wanita
Bronkospasme
Respon dinding bronkus Hipersekresi
mukosa
Wheezing Edema mukosa
`
Penumpukan
Gg. pola nafas Bronkus menyempit
sekret kental
ventilasi terganggu
Gg. pertukaran gas
Bernafas melalui batuk tidak
mulut efektif
Suplai O2 ke otak
Hiperkapnea Suplai O2 jaringan menurun
menurun
Hipoksemia Keringnya Tidak
Gg. Perfusi jaringan Koma mukosa efektifnya
jalan nafas
Cemas
Resiko infeksi
Gelisah
7. Manifestasi Klinis Asma
Gejala asma terdiri atas triad : dispnea, batuk, dan mengi (bengek atau sesak
napas). Gejala sesak napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (‘sine qua
non’). Hal tersebut berarti jika penderita menganggap penyakitnya adalah asma namun
tidak mengeluhkan sesak napas, maka perawat harus yakin bahwa pasien bukan
menderita asma.
Gambaran klinis pasien yang menderita asma :
Gambaran objektif yang ditangkap perawat adalah kondisi pasien dalam keadaan
seperti di bawah ini :
Sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing
Dapat disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan
Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan
Sianosis, takikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus
Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus)
Gambaran subjektif yang ditangkap perawat adalah pasien mengeluhkan suka
bernapas, sesak, dan anoreksia.
Gambaran psikososial yang diketahui perawat adalah cemas, takut, mudah
tersinggung, dan kurangnya pengetahuan pasien terhadap situasi penyakitnya.
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala
klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,
duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja
dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi
(wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada.
Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak,
antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi
dan pernafasan cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
(Tanjung, 2003)
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP)
dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas reversibel, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Hasil pemeriksaan spirometri pada penderita
asma:
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai
prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Gambar 1: Spirometer
Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan
sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF
meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE).
1. Agonis β2 adrenergik (obat yang merangsang reseptor β2 yang terletak dalam jalan
napas dan menyebabkan relaksasi otot polos jalan napas).
2. Metilxantin (cara kerjanya yang pasti masih belum jelas, obat ini diperkirakan
menjalankan peran terapeutiknya dengan mengatur konsentrasi cAMP intraselular,
walaupun diketahui bahwa pada konsentrasi terapeutik efek dugaan ini lemah).
3. Obat-obatan antikolinergik (antikolinergik melawan reseptor muskarinik jalan napas
dan dengan demikian menghambat bronkokonstriksi yang disebabkan oleh stimulasi
saraf kolinergik).
Kortikosteroid inhalasi (misalnya budesonid, betametason, flutikason)
Obat-obatan ini direkomendasikan sebagai lini pertama dalam pengobatan
asma. Disarankan agar dosis awal cukup untuk mencapai kontrl gejala asma dan
memperoleh kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Begitu kontrol telah dicapai,
semua pengobatan harus ditinjau ulang dan kemudian dititrasi (biasanya ke bawah)
menjadi dosis pemeliharaan. Pilihan alat inhaler bergantung pada steroid inhalasi yang
iresepkan, kemampuan pasien menggunakan inhaler, dan faktor-faktor lainnya.
Kortekosteroid menurunkan proses inflamasi pada asma, obat-obatan ini
memiliki efek langsung terhadap banyak sel dan jalur sinyal yang terlibat. Kortikosteroid
efektif dalam menurunkan jumlah sel mast, eosinofil, dan limfosit di dalam jalan napas
dan juga mengakibatkan penurunan mediator yang berhubungan dengan inflamasi jalan
napas. Secara klinis obat ini akan memperbaiki fungsi paru asma, menurunkan tidak
hanya penggunaan obat pereda gejala, tetapi juga menghilangkan eksaserbasi dan
kebutuhan terapi steroid oral.
Anti-lekotrien (montelukas, zafirlukas)
Antagonis reseptor lekotrien menghambat efek dari sisteinillekotrien yang
dilepaskan selama asma. Sisteinillekotrien ini dilepaskan dari sel inflamsi jalan napas
dan menyebabkan bronkokonstriksi serta edema dan merangsang sekresi mukus.
Dengan demikian, penghambatan dari reaksi yang merugikan ini akan sangat
mengurangi obstruksi aliran udara yang ber-hubungan dengan asma.
Pendekatan langkah demi langkah pada tata laksana asma adalah sebagai berikut:
Langkah pertama:
Bronkodilator kerja singkat (seperti agonis β2, ipratropium bromida inhalasi)
harus diserepkan sebagai pereda gejala pada semua pasien dengan asma
simtomatik. Frekuensi pasien menggunakan bronkodilator kerja-singkat ini dapat
menjadi ukuran beratnya asma pasien dan/atau kepatuhan mereka terhadap
pengobatan lain.
Langkah kedua:
Pengenalan terapi pencegahan. Steroid inhalasi merupakan terapi pencegahan
yang direkomendasikan baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Obati ini
harus diresepkan pada pasien dengan eksaserbasi yang baru terjadi, asma
nokturnal atau gangguan fungsi paru, atau mereka yang menggunakan agonis β2
inhalasi lebih dari sekali sehari. Terapi pencegahan lainnya bukan merupakan
pengobatan pilihan pertama pada ‘Langkah Kedua; namun jika terdapat alasan
klinis atau alasan yang berpusat pada pasien untuk tidak meresepkan steroid
inhalasi, makan natrium kromaglikat, antagonis reseptor lekotrien, atau teofilin
dapat diresepkan.
Langkah ketiga:
Terapi tambahan. Sebelum memulai langkah ini, semua parameter lain perlu
diperiksa: seperti kepatuhan pasien terhadap pengobatan; kemampuan
menggunakan inhaler secara tepat dan menghindari faktor pemicu. Terapi
tambahan termasuk agonis β2 kerja lama, dosis steroid inhalasi yang
ditingkatkan, antagonis reseptor lekotrien , teofilin.
Langkah keempat:
Diindikasi pada kontrol gejala asma yang buruk. Pada kasus ini
direkomendasikan penambahan obat keempat.
Langkah kelima:
Sama seperti diatas, dengan ditambah pemberian steroid oral kontinu atau
sering. Pada kasus ini direkomendasikan pemantauan reguler seluruh fungsi
fisiologis pasien karena pemberian steroid oral telah menunjukkan efek smaping
bermakna yang berhubungan dengannya. Pemantauan ini termasuk
pemantauan pertumbuhan pada anak-anak dan observasi munculnya dibetes,
osteoporosis, hipertensi, dan perkembangan katarak.
Nonfarmakologis
Menghindari melakukan olah raga berat
Olahraga dapat mempresipitasi penyempitan jalan napas pada sebagia besar
pasien asmatik. Melakukan olah raga beray dapat menginduksi gejala asma yang jika
terjadi pada situasi klinis dapat dipantau dan didokumentasikan.
Menghilangkan, meminimalkan, atau menghindari alergen spesifik
Alergen dapat memicu serangan asma dan meningkatkan morbiditas asma. Hal
ini harus dipertimbangkan pada setiap peninjauan ulang tata laksanaan asma seorang
pasien. Identifikasi alergen putatif harus dilakukan dengan menggali riwaya medis yang
terinci, dan melakukan uji alergi jika mungkin.
Memberikan ASI eksklusif selama empat bulan pertama atau lebih
Pemberian ASI eksklusif selama mpat bulan pertama atau lebih telah terbukti
menurunkan peluang munculnya asma setelah anak tersebut mencapai usia 6 tahun.
Efek ini lebih bermakna pada anak-anak yang memiliki riwayat atopi tinggi pada
keluarga. Hipotesis higieni mengatakan bahwa pejanan produk mikroba (alergen) pada
awal kehidupan (masa bayi) kelak mengurangi kecenderungan untuk menghasilkan
respons alergi akut terhadap alergen tersebut.
Tidak merokok
Sama halnya dengan penyakit respirasi lainnya, merokok tembakau bersifat
merusak tata laksana asma. Walaupun ada bukti-bukti yang telah tersedia selama
beberapa dekade bahwa ‘merokok pasif’ berkontribusi terhadap beratnya asma pada
anak-anak, pekerja kesehatan tetap harus mencari kesempatan untuk mendukung
orang tua berhenti merokok.
9. Pencegahan Asma
a. Mencegah Sensititasi
Cara mencegah asma berupa pencegahan sensititasi alergi (terjadinya atopi, diduga
paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi.
b. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asama dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indor
seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur. Alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita
dengan beberapa faktor seperti menghentikan rokok, menghindari asap rokok,
lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat
memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi
terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk
dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor,
makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.
Menurut Akib, Arwin AP pada tahun 2002, upaya pencegahan asma bisa dilakukan
degan beberapa cara, yakni :
1. pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang belum
menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma.
2. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan
alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran
pencetus. alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak,
bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga.
Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok
dalam rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi
asma adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2.
3. Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march
maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat
perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan
mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak yang telah
tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment of the atopic child)
telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma pada anak
kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen tertentu
tetapi belum menderita asma.
4. Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan pencegahan dan
kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau menurunkan
kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin,
ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta kortikosteroid.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009,
upaya pencegahan asma dibagi menjadi :
1. Pencegahan primer
Penceghan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko
asma (orang tua asma), dengan cara:
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/ anak.
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengnggu asupan janin.
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder
Ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan
cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama
tungau rumah
3. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan
manifestasi alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC
Study (Early Treatment of Atopic Children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin
selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap
serbuk rumput (pollen) dan tungau debu rumah merupakan kejadian asma
sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini
bukan sebagai penendalian asma (controller).
I. Identitas Pasien
Nama : Bu Sumiatun
Usia : 60 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Bandulan 1 F 31 RT 11 RW 04
No. Reg :-
Diagnosa medis : Asma Bronkial
Tanggal MRS : 26 Maret 2015
Jam MRS : 10.00 WIB
Tanggal pengkajian : 26 Maret 2015
Jam pengkajian : 10.05 WIB
Breathing
Batuk, pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan, ekspirasi
memanjang dan napas cepat dangkal
Circulation
Nadi: 98 x/menit, regular, akral dingin dan berkeringat, tekanan darah: 170/130 mm Hg,
Disability
Kesadaran kualitatif : kompos mentis
Kesadaran kwalitatif: GCS 456
Head to toe
Keadaan umum
Pasien gelisah, sesak nafas
Kepala dan wajah
- Kepala
Bentuk kepala normal dan simetris, distribusi rambut merata warna putih dan
hitam
- Mata
- Telinga
- Hidung
- Mulut
- Leher
Dada
Pergerakan dinding dada simetris, nafas dangkal dan cepat, penggunaan otot bantu
pernafasan, bentuk dada normal, wheezing terdengar keras tanpa stetoskop di akhir
ekspirasi pada kedua sisi paru, ronchi, ekspirasi lebih panjang daripada inspirasi.
Ekstremitas
V. Therapi
Nebulizer : Ventolin 1 ampul
Tambahan O2 10L/menit
26/03/15
1 10.10 Nebulizer Ventolin 1 ampul
2 10.30 Terapi O2 10L/menit
X. Implementasi
Dx Tgl/ Implementasi Respon Pasien Ttd
Kep Jam
1 26/03/15 Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, Wheezing ++, ronchi, dispnue, bernafas cuping
Jam kecepatan, irama, kedalaman dan pengunaan hidung, menggunakan otot bantu pernapasan,
10.00 otot aksesoris dan tanda-tanmda vital lainnya Tensi 170/130 mmHg,
1 10.06 Catat kemampuan untuk batuk efektif Tidak dapat melakukan batuk efektif
1 10.07 Kaji ketidaknyamanan dan lakukan latihan Pasien kesulitan melakukan nafas dalam
pernafasan dalam
2 10.20 Perhatikan pergerakan dinding dada, amati Dispnue berkurang, pernafasan cuping hidung
kesimetrisan, penggunaan otot bantu berkurang
pernafasan
2 10.25 Auskultasi bunyi nafas, perhatikan area Wheezing berkurang, ronchi masih terdengar
penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya
bunyi nafas tambahan.
2 10.30 Terapi O2 10L/menit Saturasi O2 98%
XI. Evaluasi
Dx Tgl/
Evaluasi Ttd
Kep Jam
1 26/03/ S:
2015 Pasien mengatakan sesaknya sudah berkurang
jam Pasien mengatakan sudah mulai bisa membatukan
11.00 dahaknya
O:
Pasien bisa melakukan batuk efektif
RR: 20x/menit, nafas dalam, nadi: 87x/menit, TD; 160/120
mmHg
A:
Masalah sebagian teratasi
P:
Pertahankan intervensi
2 22/12/ S:
2011 Pasien mengatakan sesaknya sudah berkurang
04.15 Pasien mengatakan sudah mulai bisa membatukan
dahaknya
O:
RR: 20x/menit, wheezing berkurang, sekret mulai bisa
dibatukkan, saturasi O2 95%
Dispnue berkurang, pernafasan cuping hidung berkurang
Pasien tidak lagi menggunakan otot bantu pernafasan
A:
Masalah sebagian teratasi
P:
Pertahankan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Arwin AP. 2002. Asma Pada Anak. Jakarta : Sub-bagian Alergi –Imunologi Bgian
Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM.
Brunner & Suddart 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : AGC.
Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC
DEPKES RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
Gedhe N., Cristantie.2002. Keperawatn Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Irman Somantri. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008
Purnomo.2008. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma
Bronkial pada Anak (Studi Kasus di RS Kabupaten Kudus). Universitas
Diponegoro Semarang.
Rengganis, Iris. 2008. Diangnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing
10th. eBooks
Tanjung, dudut. 2003. Asuhan keperawatan asma bronkial. Dalam http://library.usu.ac.id.
diakses pada tanggal 24 maret pukul 19.00.