Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

CLINICAL STUDY 2
Departemen Emergency Nursing
SERANGAN ASMA
IGD- RS Tingkat II Dr. Soepraoen

disusun oleh :

Eka Fitri Cahyani 115070201111001

KELOMPOK 6A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
1. Definisi Asma
Asma adalah suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas
percabangan trakheobronkhial terhadap berbagai stimuli. Kondisi ini
dimanifestasikan oleh penyempitan jalan nafas yang bersifat periodic reversible
yang disebabkan oleh spasme bronkus (Niluh Gedhe dan Cristantie,2002)
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer & Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma merupakan penyakit pernapasan obstruktif ditandai dengan
inflamasi saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus yang
menyebabkan produksi mukus berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran
udara, dan penurunan ventilasi alveolus (Corwin, 2009).
Global Initiative for Asthma mendefinisikan asthma sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan ,khususnya sel
mast, eosinophil dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi dapat
menyebabkna mengi berulang, sesak nafas,rasa tertekan dan batuk, khususnya
pada malam atau dini hari.
Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari.
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu.
(Smelzer Suzanne : 2001).

2. Klasifikasi Asma (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1023/MENKES/SK/XI/2008)
Berat ringannya sama ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian
obat inhalasi beta 2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian
obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-
ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal
paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat ringannya asma yang sangat
penting dalam penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas ama saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut)
1. Asma saat tanpa serangan
S e d a n g k a n

mengklasifikasikan derajat asma menjadi :


2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, sedang dan berat.
3. Etiologi Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab
atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari.
Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
4. Faktor Risiko Asma
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan (Tanjung, 2003).
b. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan
terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffat, dd
(2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi
asma.
c. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anka-anak (7-10%), yaitu
umur 5-14 tahun. Sedngakan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih
kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010).
Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Healt and Welfare
(2007), kejadian asma pada kelompok umur 18-34 tahun adalah 14%
sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8,8%. Di Jakarta, sebuah studi pada
RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah
umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009).
d. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan
sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada
masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi
pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati
perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono,
2009).
e. Faktor Pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling
penting. Alergen-alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang dann
polen/tepung sari. Kutu debu biasanya ditemukan pada lantai rumah, karpet
dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan
sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut
Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang khususnya
bulu kucing dan anjing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma.
Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya
dibawa oleh angin dalam bentuk partikel-partikel besar.
Iritan-iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah
dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokk diasosiasikan denga
penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keprahan
asma, dan mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan
pengontrolan asma. Menurut Dezteux dkk (1999), balita dari ibu yang
merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti
mengi dalam tahun pertama dalam kehidupannya.
Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat
memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit
infeksi saluran pernapasan jugs telah dihubingkan dengan kejadian asma.
Menurut sebuah studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak
penderita asma dengan riwayat infeksi salran pernapasan (Respiratory
syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam
kehidupannya.
f. Status Sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik
pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi
derajat asma berat banyak terjadi pada penderita dengan status
sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

5. Epidemiologi Asma
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta
orang di dunia mengidap penyakit asma dan 225 ribu orang meninggal karena
penyakit asma pada tahun 2005 lalu. Hasil penelitian International Study on
Asthma and Alergies in Childhood pada tahun yang sama menunjukkan bahwa di
Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari sebesar 4,2% menjadi
5,4 %.
Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit
saluran napas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di
Indonesia setelah penyakit gangguan pembuluh darah. Di Amerika, 14 sampai 15
juta orang mengidap asma, dan kurang lebih 4,5 juta di antaranya adalah anak-
anak. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan
pasien memerlukan perawatan, baik di rumah sakit maupun di rumah. Sebagian
dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan
sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun. Namun demikian, asma
dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan
bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis (Ikawati, 2006).
Prevalensi :
– Pada golongan usia dan jenis kelamin
• <5 tahun : sering pada laki-laki
• 5-9 tahun : wanita sama dengan laki-laki
• 10-60 tahun : wanita lebih besar dari laki-laki
• >60 tahun : laki-laki > wanita

Diperkirakan prevalensi asma bronkiale di Indonesia adalah 3 - 8%. Disini


terlihat prevalensi asma anak di beberapa kota di luar Jakarta antara 2 - 8%,
sedang di Jakarta antara 6,9 - 15%. Tidak jelas mengapa di Jakarta Iebih tinggi,
tetapi hal ini harus diwaspadai, apakah di kota besar di masa datang prevalensi
asma akan bertambah. Sering penderita asma hanya berobat atau makan obat
bila merasa sesak napas saja dengan aturan sendiri. Sekitar 20 juta orang
Amerika menderita asma dan sekitar 300 juta orang di seluruh dunia. Hampir 7
juta adalah anak-anak. Banyak anak mengatasi asma pada masa remaja mereka.
Setiap tahun, 5.000 orang meninggal karena asma. Asma cenderung berjalan
dalam keluarga.
6. Pathophisiology Asma

Ekstrinsik (Inhaled alergi)


Intrinsik (Infeksi, psikososial, stress)

Bronchial mukosa menjadi Penurunan stimulireseptor


sensitive oleh IgE terhadap iritan pda
tracheobronchial

Peningkatan mast cell


pada tracheobronchial Hiperaktif non spesifik stimuli
penggerak dari cell mast
Stimulasi reflek reseptor Pelepasan histamine, terjadi
syaraf parasimpatis pada stimulasi pada bronkialsmooth shg
mukosabronchial trjdi kontraksi bronkus Perangsang reflek reseptor
tracheobronchial

Peningkatan permeabilitas vaskuler


akibat kebocoran protein da cairan Stimuli bronchial smooth dan
dalam jaringan konytraksi otot bronchiolus
Perubahan jaringan , peningkatan
IgE dalam serum

Bronkospasme
Respon dinding bronkus Hipersekresi
mukosa
Wheezing Edema mukosa
`
Penumpukan
Gg. pola nafas Bronkus menyempit
sekret kental

ventilasi terganggu
Gg. pertukaran gas
Bernafas melalui batuk tidak
mulut efektif
Suplai O2 ke otak
Hiperkapnea Suplai O2 jaringan menurun
menurun
Hipoksemia Keringnya Tidak
Gg. Perfusi jaringan Koma mukosa efektifnya
jalan nafas
Cemas
Resiko infeksi
Gelisah
7. Manifestasi Klinis Asma
Gejala asma terdiri atas triad : dispnea, batuk, dan mengi (bengek atau sesak
napas). Gejala sesak napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (‘sine qua
non’). Hal tersebut berarti jika penderita menganggap penyakitnya adalah asma namun
tidak mengeluhkan sesak napas, maka perawat harus yakin bahwa pasien bukan
menderita asma.
Gambaran klinis pasien yang menderita asma :
Gambaran objektif yang ditangkap perawat adalah kondisi pasien dalam keadaan
seperti di bawah ini :
 Sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing
 Dapat disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan
 Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan
 Sianosis, takikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus
 Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus)
Gambaran subjektif yang ditangkap perawat adalah pasien mengeluhkan suka
bernapas, sesak, dan anoreksia.
Gambaran psikososial yang diketahui perawat adalah cemas, takut, mudah
tersinggung, dan kurangnya pengetahuan pasien terhadap situasi penyakitnya.
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala
klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,
duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja
dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi
(wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada.
Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak,
antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi
dan pernafasan cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
(Tanjung, 2003)

8. Pemeriksaan Diagnostik Asma


Pemeriksaan diagnostik asma meliputi :
a. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah “mengi”.Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan nafas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis
jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran napas (Chung,
2002).
b. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilihat untuk melihat adanya :
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil.
 Spiral crushman, yakni yang merupakan mast cell ( sel cetakan ) dari cabang
bronkus.
 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
 Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang mucus plag.
c. Pemeriksaan Darah
 Analisa gas darah pada umumnya akan normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia atau LDH.
 Hiponatremia dan kadar Leukosit kadang-kadang diatas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
d. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru, yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
 Bila disertai bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
 Bila terdapat komplikasi empisema ( COPD ), maka gambaran radiolusen
akan semakan bertambah.
 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
 Bila terjadi pneumotoraks, pneumonia mediastinum dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat gambaran radiolusen pada paru-paru.
e. Pemeriksaan Tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
f. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi
tiga bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru,
yaitu :
 Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan
clock wise rotation.
 Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
( Right Bundle Branch Block).
g. Spirometer

Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP)
dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas reversibel, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Hasil pemeriksaan spirometri pada penderita
asma:

a. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) menurun


b. Kapasitas vital paksa (FVC)menurun
c. Perbandingan antara FEV1 dan FEC menurun. Hal ini disebabkan karena
penurunan FEV1 lebih besar dibandingkan penurunan FVC
d. Volume residu (RV) meningkat
e. Kapasital fungsional residual (FRC) meningkat

Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai
prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Gambar 1: Spirometer

h. Peak Expiratory Flow Meter (PEF Meter)

Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan
sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF
meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE).

Penuntun meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta untuk


menghirup napas dalam, kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas
dengan sangat keras dan cepat ke bagian mulut alat tersebut, sehingga
penuntun meteran akan bergeser ke angka tertentu. Angka tersebut adalah nilai
APE yang dinyatakan dalam liter/menit. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai
APE < 80%.
9. Penatalaksanaan pada Asma
Farmakologis
Tujuan tatalaksana farmakologis adalah untuk mengontrol gejala termasuk gejala
nokturnal dan asma yang diinduksi oleh olah raga; untuk mencegah eksaserbasi dan
mencapai tingkat fungsi respirasi yang terbaik dengan efek samping yang minimal.
Panduan British Thoracic Society (2003) merupakan pendekatan langkah demi langkah
dalam pengobatab asma, dan merekomendasikan agar tenaga kesehatan memulai
pengobatan asma pada tingkat yang paling mungkin untuk mencapai tujuan yang
disebutkan di atas.
Pengobatan bronkodilator
Pengobatan ini nemiliki efek antibronkokonstriktor dan akan menyebabkan
pemulihan segera dari obstruksi jalan napas terutama sebagai hasil dari efek primernya
terhadap otot polos jalan napas. Terdapat 3 jenis bronkodilator, yaitu:

1. Agonis β2 adrenergik (obat yang merangsang reseptor β2 yang terletak dalam jalan
napas dan menyebabkan relaksasi otot polos jalan napas).
2. Metilxantin (cara kerjanya yang pasti masih belum jelas, obat ini diperkirakan
menjalankan peran terapeutiknya dengan mengatur konsentrasi cAMP intraselular,
walaupun diketahui bahwa pada konsentrasi terapeutik efek dugaan ini lemah).
3. Obat-obatan antikolinergik (antikolinergik melawan reseptor muskarinik jalan napas
dan dengan demikian menghambat bronkokonstriksi yang disebabkan oleh stimulasi
saraf kolinergik).
Kortikosteroid inhalasi (misalnya budesonid, betametason, flutikason)
Obat-obatan ini direkomendasikan sebagai lini pertama dalam pengobatan
asma. Disarankan agar dosis awal cukup untuk mencapai kontrl gejala asma dan
memperoleh kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Begitu kontrol telah dicapai,
semua pengobatan harus ditinjau ulang dan kemudian dititrasi (biasanya ke bawah)
menjadi dosis pemeliharaan. Pilihan alat inhaler bergantung pada steroid inhalasi yang
iresepkan, kemampuan pasien menggunakan inhaler, dan faktor-faktor lainnya.
Kortekosteroid menurunkan proses inflamasi pada asma, obat-obatan ini
memiliki efek langsung terhadap banyak sel dan jalur sinyal yang terlibat. Kortikosteroid
efektif dalam menurunkan jumlah sel mast, eosinofil, dan limfosit di dalam jalan napas
dan juga mengakibatkan penurunan mediator yang berhubungan dengan inflamasi jalan
napas. Secara klinis obat ini akan memperbaiki fungsi paru asma, menurunkan tidak
hanya penggunaan obat pereda gejala, tetapi juga menghilangkan eksaserbasi dan
kebutuhan terapi steroid oral.
Anti-lekotrien (montelukas, zafirlukas)
Antagonis reseptor lekotrien menghambat efek dari sisteinillekotrien yang
dilepaskan selama asma. Sisteinillekotrien ini dilepaskan dari sel inflamsi jalan napas
dan menyebabkan bronkokonstriksi serta edema dan merangsang sekresi mukus.
Dengan demikian, penghambatan dari reaksi yang merugikan ini akan sangat
mengurangi obstruksi aliran udara yang ber-hubungan dengan asma.
Pendekatan langkah demi langkah pada tata laksana asma adalah sebagai berikut:
 Langkah pertama:
Bronkodilator kerja singkat (seperti agonis β2, ipratropium bromida inhalasi)
harus diserepkan sebagai pereda gejala pada semua pasien dengan asma
simtomatik. Frekuensi pasien menggunakan bronkodilator kerja-singkat ini dapat
menjadi ukuran beratnya asma pasien dan/atau kepatuhan mereka terhadap
pengobatan lain.
 Langkah kedua:
Pengenalan terapi pencegahan. Steroid inhalasi merupakan terapi pencegahan
yang direkomendasikan baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Obati ini
harus diresepkan pada pasien dengan eksaserbasi yang baru terjadi, asma
nokturnal atau gangguan fungsi paru, atau mereka yang menggunakan agonis β2
inhalasi lebih dari sekali sehari. Terapi pencegahan lainnya bukan merupakan
pengobatan pilihan pertama pada ‘Langkah Kedua; namun jika terdapat alasan
klinis atau alasan yang berpusat pada pasien untuk tidak meresepkan steroid
inhalasi, makan natrium kromaglikat, antagonis reseptor lekotrien, atau teofilin
dapat diresepkan.
 Langkah ketiga:
Terapi tambahan. Sebelum memulai langkah ini, semua parameter lain perlu
diperiksa: seperti kepatuhan pasien terhadap pengobatan; kemampuan
menggunakan inhaler secara tepat dan menghindari faktor pemicu. Terapi
tambahan termasuk agonis β2 kerja lama, dosis steroid inhalasi yang
ditingkatkan, antagonis reseptor lekotrien , teofilin.
 Langkah keempat:
Diindikasi pada kontrol gejala asma yang buruk. Pada kasus ini
direkomendasikan penambahan obat keempat.
 Langkah kelima:
Sama seperti diatas, dengan ditambah pemberian steroid oral kontinu atau
sering. Pada kasus ini direkomendasikan pemantauan reguler seluruh fungsi
fisiologis pasien karena pemberian steroid oral telah menunjukkan efek smaping
bermakna yang berhubungan dengannya. Pemantauan ini termasuk
pemantauan pertumbuhan pada anak-anak dan observasi munculnya dibetes,
osteoporosis, hipertensi, dan perkembangan katarak.

Nonfarmakologis
Menghindari melakukan olah raga berat
Olahraga dapat mempresipitasi penyempitan jalan napas pada sebagia besar
pasien asmatik. Melakukan olah raga beray dapat menginduksi gejala asma yang jika
terjadi pada situasi klinis dapat dipantau dan didokumentasikan.
Menghilangkan, meminimalkan, atau menghindari alergen spesifik
Alergen dapat memicu serangan asma dan meningkatkan morbiditas asma. Hal
ini harus dipertimbangkan pada setiap peninjauan ulang tata laksanaan asma seorang
pasien. Identifikasi alergen putatif harus dilakukan dengan menggali riwaya medis yang
terinci, dan melakukan uji alergi jika mungkin.
Memberikan ASI eksklusif selama empat bulan pertama atau lebih
Pemberian ASI eksklusif selama mpat bulan pertama atau lebih telah terbukti
menurunkan peluang munculnya asma setelah anak tersebut mencapai usia 6 tahun.
Efek ini lebih bermakna pada anak-anak yang memiliki riwayat atopi tinggi pada
keluarga. Hipotesis higieni mengatakan bahwa pejanan produk mikroba (alergen) pada
awal kehidupan (masa bayi) kelak mengurangi kecenderungan untuk menghasilkan
respons alergi akut terhadap alergen tersebut.

Tidak merokok
Sama halnya dengan penyakit respirasi lainnya, merokok tembakau bersifat
merusak tata laksana asma. Walaupun ada bukti-bukti yang telah tersedia selama
beberapa dekade bahwa ‘merokok pasif’ berkontribusi terhadap beratnya asma pada
anak-anak, pekerja kesehatan tetap harus mencari kesempatan untuk mendukung
orang tua berhenti merokok.

9. Pencegahan Asma
a. Mencegah Sensititasi
Cara mencegah asma berupa pencegahan sensititasi alergi (terjadinya atopi, diduga
paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi.
b. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asama dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indor
seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur. Alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita
dengan beberapa faktor seperti menghentikan rokok, menghindari asap rokok,
lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat
memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi
terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk
dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor,
makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.
Menurut Akib, Arwin AP pada tahun 2002, upaya pencegahan asma bisa dilakukan
degan beberapa cara, yakni :
1. pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang belum
menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma.
2. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan
alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran
pencetus. alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak,
bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga.
Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok
dalam rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi
asma adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2.
3. Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march
maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat
perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan
mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak yang telah
tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment of the atopic child)
telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma pada anak
kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen tertentu
tetapi belum menderita asma.
4. Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan pencegahan dan
kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau menurunkan
kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin,
ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta kortikosteroid.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009,
upaya pencegahan asma dibagi menjadi :
1. Pencegahan primer
Penceghan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko
asma (orang tua asma), dengan cara:
 Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/ anak.
 Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengnggu asupan janin.
 Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
 Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder
Ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan
cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama
tungau rumah
3. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan
manifestasi alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC
Study (Early Treatment of Atopic Children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin
selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap
serbuk rumput (pollen) dan tungau debu rumah merupakan kejadian asma
sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini
bukan sebagai penendalian asma (controller).

10. Komplikasi Asma


Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah pneumotoraks,
atelektasis, gagal nafas, bronkhitis dan fraktur iga.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn/Ny/Nn/An……...
DENGAN ………………………………………….

I. Identitas Pasien
Nama : Bu Sumiatun
Usia : 60 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Bandulan 1 F 31 RT 11 RW 04
No. Reg :-
Diagnosa medis : Asma Bronkial
Tanggal MRS : 26 Maret 2015
Jam MRS : 10.00 WIB
Tanggal pengkajian : 26 Maret 2015
Jam pengkajian : 10.05 WIB

II. Data Subyektif


 Keluha utama
Pasien mengeluh sesak nafas, batuk dan mengi
 Provocative
Pasien merasa sangat kelelahan dan banyak pikiran.
 Quality
Pasien mengeluh batuk tetapi tidak produktif, pasien merasa berat saat bernapas.
 Radiasi
Tidak menyebar ke daerah yang lainnya hanya di dada
 Skala
-
 Time
Batuk dan sesak dirasa sejak 1 minggu yang lalu, 2 hari kemarin sesak dan batuk
terasa semakin memburuk dan pada jam 02.00 WIB asma kambuh.

 Riwayat penyakit dahulu


Sejak 4 tahun yang lalu pasien menderita sesak dan hipertensi.
III. Data Obyektif
 Airway
Pasien masih sadar dapat diajak komunikasi, terdengar bunyi wheezing pada saat
ekspirasi, terdapat ronhki, Saturasi O2= 78%

 Breathing
Batuk, pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan, ekspirasi
memanjang dan napas cepat dangkal

 Circulation
Nadi: 98 x/menit, regular, akral dingin dan berkeringat, tekanan darah: 170/130 mm Hg,

 Disability
 Kesadaran kualitatif : kompos mentis
 Kesadaran kwalitatif: GCS 456

 Head to toe
 Keadaan umum
Pasien gelisah, sesak nafas
 Kepala dan wajah
- Kepala
Bentuk kepala normal dan simetris, distribusi rambut merata warna putih dan
hitam
- Mata

- Telinga

- Hidung

- Mulut

- Leher
 Dada
Pergerakan dinding dada simetris, nafas dangkal dan cepat, penggunaan otot bantu
pernafasan, bentuk dada normal, wheezing terdengar keras tanpa stetoskop di akhir
ekspirasi pada kedua sisi paru, ronchi, ekspirasi lebih panjang daripada inspirasi.

 Perut dan pinggang

 Pelvis dan perineum

 Ekstremitas

IV. Pemeriksaan Penunjang

V. Therapi
 Nebulizer : Ventolin 1 ampul
 Tambahan O2 10L/menit

VI. Tindakan Resusitasi

No Tgl/Jam Tindakan Resusitasi Keterangan

26/03/15
1 10.10 Nebulizer Ventolin 1 ampul
2 10.30 Terapi O2 10L/menit

VII. Analisa Data


No Tanda Etiologi Problem
1 Subyektif Faktor pencetus  Ketidakefektifan
Pasien mengatakan sesak bronchial mukosa menjadi bersihan jalan nafas
dan batuk sejak 1 minggu sensitive IgE 
yang lalu dan 2 hari kemarin peningkatan sel mast 
batuk dan sesak semakin pelepasan mediator yaitu
memburuk, pada pukul 02.00 histamine  respon dinding
WIB asma kambuh bronkus  tidak dapat
Obyektif batuk efektif  ronkhi
 Wheezing terdengar keras penumpukan secret 
tanpa stetoskop wheezing
 Dipsnea ketidakefektifan bersihan
 Gelisah jalan nafas
 Batuk tidak efektif
 Ronkhi

2 Subyektif Faktor pencetus  ketidakefektifan


 Pasien merasa berat saat peningkatan IgE bersihan jalan nafas
bernapas meningkatkan
 Pasien mengatakan lelah permeabilitas vaskuler
Obyektif perubahan jaringan
 Pasien tampak gelisah respon dinding bronkus
 Napas dangkal cepat bronkospasme
 Penggunaan otot bantu wheezing penggunaan
pernapasan otot bantu pernapasan 
 Ekspirasi memanjang napas dangkal cepat 
 Pernapasan cuping ekspirasi memanjang 
hidung ketidakefektifan bersihan
 Wheezing jalan nafas
 Saturasi O2 78%

VIII. Prioritas Dx Keperawatan


No Prioritas Diagnosa Keperawatan
1 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hipersekresi mukus

2 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi dan bronkospasme


IX. Intervensi Keperawatan
Dx Tgl/ Tujuan Intervensi Keperawatan & Ttd
Kep Jam Rasionalisasi
1 26/03 Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas,
/2015 diharapkan klien menunjukkan kepatenan jalan kecepatan, irama, kedalaman dan pengunaan
jam nafas, dengan kriteria hasil: otot aksesoris.
10.08  Sekret encer R: Bunyi nafas menunjukkan aliran udara
 RR=20x/menit melalui trakeobronkial dan dipengaruhi oleh
 Tidak ada ronkhi adanya cairan, mukus, atauobstr uksi aliran
 Pasien dapat melakukan batuk efektif udara. Mengi dapat menunjukkan bukti
konstriksi bronkus atau penyempitan jalan nafas
sehubungan dengan oedem. Ronki dapat jelas
terdengar tanpa batuk menunjukkan
pengumpulan mukus pada jalan nafas
 Catat kemampuan untuk batuk efektif
R: untuk mengetahui apakah pasien dapat
melakukan batuk efektif atau tidak
 Kaji ketidaknyamanan pasien dan lakukan
latihan pernafasan dalam.
R: Dapat mensupport klien untuk bergerak,
batuk efektif dan melakukan nafas dalam untuk
mencegah kegagalan pernafasan.
 Berikan pasien posisi semi fowler
R: Posisi membantu memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya pernapasan.
Ventilasi maksi mal
 Pemberian ventolin 1 ampul dengan nebulizer
R: sebagai bronkodilator
2 26/03/2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Pantau kecepatan irama, kedalaman dan usaha
015 diharapkan klien menunjukkan pola nafas respirasi
jam normal/efektif, dengan kriteria hasil: R: Distres pernafasan dan perubahan TTV
10.10  RR daalam batas normal: 12-20x/menit dapat terjadi sebagai akibat stres pernafasan
 Ekspansi dada simetris  Perhatikan pergerakan dinding dada, amati
 Tidak ada penggunaan otot bantu kesimetrisan, penggunaan otot bantu
pernafasan pernafasan.
 Tidak ada bunyi nafas tambahan R: kebutuhan O2 yang tidak terpenuhi akan
 Nafas pendek tidak ada menyebabkan hiperventilasi yang melibatkan
 N =80x/menit otot-otot bantu pernafasan.
 Saturasi O2 95%  Auskultasi bunyi nafas, perhatikan area
penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya
bunyi nafas tambahan.
R: Bunyi nafas dapat menurun atau tidak ada
sama sekali pada lobus, segmen paru, atau
seluruh area paru (unilateral). Pada area
atelektasis tidak ada bunyi nafas dan paru bisa
kolaps menurun bunyinya.
 Pemberian terapi O2 10L/menit

X. Implementasi
Dx Tgl/ Implementasi Respon Pasien Ttd
Kep Jam
1 26/03/15 Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, Wheezing ++, ronchi, dispnue, bernafas cuping
Jam kecepatan, irama, kedalaman dan pengunaan hidung, menggunakan otot bantu pernapasan,
10.00 otot aksesoris dan tanda-tanmda vital lainnya Tensi 170/130 mmHg,
1 10.06 Catat kemampuan untuk batuk efektif Tidak dapat melakukan batuk efektif

1 10.07 Kaji ketidaknyamanan dan lakukan latihan Pasien kesulitan melakukan nafas dalam
pernafasan dalam

1 10.10 Kolaborasi nebulizer Ventolin 1 ampul


2 10.20 Kaji bunyi paru, frekuensi, kedalaman, usaha RR: 20x/menit, wheezing berkurang, sekret mulai
bernafas, dan produksi sputum bisa dibatukkan

2 10.20 Perhatikan pergerakan dinding dada, amati Dispnue berkurang, pernafasan cuping hidung
kesimetrisan, penggunaan otot bantu berkurang
pernafasan
2 10.25 Auskultasi bunyi nafas, perhatikan area Wheezing berkurang, ronchi masih terdengar
penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya
bunyi nafas tambahan.
2 10.30 Terapi O2 10L/menit Saturasi O2 98%
XI. Evaluasi
Dx Tgl/
Evaluasi Ttd
Kep Jam
1 26/03/ S:
2015  Pasien mengatakan sesaknya sudah berkurang
jam  Pasien mengatakan sudah mulai bisa membatukan
11.00 dahaknya
O:
 Pasien bisa melakukan batuk efektif
 RR: 20x/menit, nafas dalam, nadi: 87x/menit, TD; 160/120
mmHg
A:
Masalah sebagian teratasi
P:
Pertahankan intervensi
2 22/12/ S:
2011  Pasien mengatakan sesaknya sudah berkurang
04.15  Pasien mengatakan sudah mulai bisa membatukan
dahaknya
O:
 RR: 20x/menit, wheezing berkurang, sekret mulai bisa
dibatukkan, saturasi O2 95%
 Dispnue berkurang, pernafasan cuping hidung berkurang
 Pasien tidak lagi menggunakan otot bantu pernafasan
A:
Masalah sebagian teratasi
P:
Pertahankan intervensi

XII. Diacharge Planing


Format Discharge Planning (Pulang/Pindah Ruangan)
 Pasien mengatakan sesaknya sudah berkurang
S
Pasien mengatakan sekarang sudah bisa bernafas kembali
O  RR: 20x/menit, nadi : 87x/menit, TD: 160/120 mmHg
 Sa O2: 95%
 Pernafasan cuping hidung tidak ada
 Wheezing berkurang
 Penggunaan otot bantu pernafasan tidak ada
A  Masalah teratasi sebagian
Edukasi untuk lifestyle modification untuk mengurangi kekambuhan dengan
P
melakukan pengkajian lebih dalam tentang lingkungan pasien dan lifestyle pasien
 Kotrak waktu untuk melakukan home visit terkait modifikasi lifestyle
I
 Anjurkan pasien untuk control dan melakukan konsultasi ke poli
E  Masalah teratasi

DAFTAR PUSTAKA
Akib, Arwin AP. 2002. Asma Pada Anak. Jakarta : Sub-bagian Alergi –Imunologi Bgian
Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM.
Brunner & Suddart 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : AGC.
Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC
DEPKES RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
Gedhe N., Cristantie.2002. Keperawatn Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Irman Somantri. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008
Purnomo.2008. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma
Bronkial pada Anak (Studi Kasus di RS Kabupaten Kudus). Universitas
Diponegoro Semarang.
Rengganis, Iris. 2008. Diangnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing
10th. eBooks
Tanjung, dudut. 2003. Asuhan keperawatan asma bronkial. Dalam http://library.usu.ac.id.
diakses pada tanggal 24 maret pukul 19.00.

Anda mungkin juga menyukai