Anda di halaman 1dari 19

1

LAPORAN PENDAHULUAN MYOMA UTERI

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Surgikal di Ruang 13

Rumah Sakit Umum Dr.Saiful Anwar Malang

Oleh:

Edwina Narulita Sari Agustin J.

NIM: 140070300011128

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016
2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mioma uteri, disebut juga sebagai leimyoma, adalah neoplasma monoklonal pada
dinding uterus yang berasal dari sel-sel otot polos myometrium dan bersifat jinak.
Selain sel otot polos myometrium, mioma uteri juga terdiri dari matriks ekstraseluler
yang mengandung kolagen (tipe I dan III), fibronektin, dan proteoglikan (Parker, 2007;
Drinville, 2006). Serat kolagen terbentuk secara abnormal dan tersusun secara tidak
beraturan, menyerupai kolagen yang ditemukan pada pembentukan keloid
menyebabkan konsistensinya menjadi fibrous, sehingga sering mengalami misnomer
sebagai fibroid atau fibromyoma (Hoffman, 2008; Katz et al., 2007).
Mioma uteri memiliki pseudokapsul berupa jaringan ikat tipis yang secara klinis
mempermudah pengambilan mioma uteri saat operasi (Hoffman, 2008). Mioma uteri
dapat tumbuh secara tunggal, namun lebih sering tumbuh dengan jumlah lebih dari
satu dengan angka berulang lebih tinggi dibandingkan mioma tunggal. Mioma dapat
berkembang menjadi ukuran yang lebih besar yang dapat menyebabkan distorsi
permukaan uterus dan kavum uterus serta dapat menekan pembuluh darah sehingga
terjadi proses degenerasi seperti deposisi kalsium. Perubahan kalsifik dapat terlihat
secara radiografis sebagai gambaran honeycomb, susunan cincin konsentris, atau
massa solid terkalsifikasi (Kulp dan Griffith, 2007).
2.2 Epidemiologi
Mioma diketahui sebagai tumor solid pelvis yang paling sering terjadi pada wanita,
terutama usia produktif, dengan angka kejadian 20% hingga 40% (Wallach dan Vlahos,
2004), bahkan mencapai angka 70%-80% pada penelitian menggunakan preparat
histologi dan pemeriksaan sonografik. Mioma uteri dapat tumbuh sejak awal usia
reproduktif dan menurun saat menopause. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi
pada wanita sebelum menarche. Sedangkan setelah menopause masih dapat terjadi
mioma uteri dengan angka kejadian sebesar 10% (Victory et al., 2006). Pada salah
satu penelitian diketahui prevalensi mioma uteri teridentifikasi melalui USG berkisar
antara 4% pada usia 20 hingga 30 tahun, 11-18% pada usia 30 hingga 40 tahun, dan
33% pada wanita usia 40-60 tahun (Lurle et al., 2005).
Studi di Amerika Serikat pada wanita yang dipilih secara acak antara usia 35-49
tahun, yang dilakukan skrining baik melalui laporan pribadi, rekam medis, dan
sonografi, didapatkan insiden mioma uteri pada usia 35 tahun adalah 60% pada
penduduk Afrika-Amerika dan meningkat >80% pada usia 50 tahun. Sedangkan pada
3

wanita ras Kaukasia insiden mioma uteri sebesar 40% pada umur 35 tahun dan hampir
70% pada usia 50 tahun.
Sedangkan di Indonesia sendiri, angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,4%-
11,7% dari semua pasien ginekologi yang dirawat (Wiknjosastro, 2009).
2.3 Klasifikasi
Mioma uteri dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan arah pertumbuhannya,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Secara umum mioma uteri terbagi atas tiga,
yaitu subserosa, submukosa, dan intramural. Namun juga terdapat nomenklatur
terhadap mioma intraligamenter dan parasitik (Katz et al., 2007). Mioma uteri juga
dapat ditemukan pada serviks, ovarium, tuba fallopi, vagina, maupun vulva (Hoffman,
2008).
2.3.1 Mioma Subserosa
Mioma subserosa berasal dari sel otot polos yang berdekatan dengan serosa
uterus dan umumnya tumbuh mengarah keluar sehingga menonjol pada permukaan
uterus. Selain itu terdapat mioma parasitik yang merupakan varian mioma subserosa
yang melekat pada struktur pelvis untuk mendapat vaskularisasi pembuluh darah
sekitar, terikat maupun tidak kepada myometrium asal (Hoffman, 2008). Jika mioma
subserous tumbuh ke arah lateral dan meluas di antara 2 lapisan peritoneal dari
ligamentum latum maka akan menjadi mioma intraligamenter (Memarzadeh et al.,
2003).
2.3.2 Mioma Submukosa
Mioma submukosa berada di bagian proksimal endometrium dan tumbuh serta
menonjol ke arah kavum uterus. Angka kejadian mioma submukosa hanya berkisar 5-
10%, namun merupakan jenis yang paling menimbulkan masalah secara klinis. Mioma
submukosa sering dikaitkan dengan perdarahan vagina yang abnormal, atau distorsi
kavum uterus yang dapat menyebabkan infertilitas dan aborsi. Jika kemudian menjadi
mioma pedinkulata, uterus akan berusaha mengeluarkan sehingga terjadi protrusi
melalui ostium serviks eksterna (Katz et al., 2007).
Berdasarkan topografi, histokimia, dan respon terhadap steroid gonad, sangat
dimungkinkan mioma submukosa berasal dari junctional zone myometrium (Brosens et
al., 2000). Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,
dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan
pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai mioma.

2.3.3 Mioma Intramural


4

Mioma intramural tumbuh di dalam dinding uterus dan merupakan penyebab


perdarahan tersering kedua setelah mioma submukosa. Mioma uteri tipe intramural
adalah yang terbanyak dari tipe mioma uteri secara patologi anatomi (51,3%). Pada
mioma intramural yang terletak pada dinding depan uterus jika terus bertambah besar
akan mendorong kandung kemih sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi (Katz et
al., 2007).

Gambar 1. Klasifikasi Mioma Uteri Berdasarkan Lokasi (Hoffman, 2008)

2.4 Etiologi dan Patogenesis


Belum jelas diketahui penyebab utama terjadinya mioma uteri. Diketahui berkisar
pada 40%-50% mioma uteri menunjukkan abnormalitas kromosom yang dapat
dideteksi secara karyotipik. Abnormalitas kromosom bersifat spesifik tumor, seperti
t(12;14)(q15;q23-q24), del(7)(q22q32), rearrangement 6p21, 10q, trisomi 12, dan
delesi 3q. Terdapat penelitian yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif
antara abnormalitas sitogenetik dengan lokasi anatomi mioma (Rock dan Jones, 2008).
Selain abnormalitas kromosom, juga terdapat penelitian yang fokus pada
polipeptida yang berperan sebagai faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor,
transforming growth factor-alpha dan beta, insulin like growth factor (IGF), platelet-
derived growth factor, vascular endothelial growth factor, dan basic fibroblast growth
factor (Rock dan Jones, 2008), seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.
5

Gambar 2. Efektor dan Reseptor Dalam Patogenesis Mioma Uteri


Mutasi somatik diketahui menginduksi tumorigenesis dan terbukti bahwa mioma
uteri sangat tergantung pada hormon steroid ovarium. Angka kejadian mioma uteri
selama usia reproduktif dan regresi saat menopause mendukung kuat hal tersebut.
Selama ini estrogen dianggap sebagai hormone yang paling bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan mioma, namun melalui penelitian klinis, biokimia, histologi, dan
farmakologi ditemukan bahwa hormone progesteron dan reseptornya (PR) berperan
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri (Cermik et al., 2002).
Telah banyak penelitian terdahulu yang mendukung teori ini, seperti penelitian oleh
Kawaguchi et al., pada tahun 1989 dan 1991, melaporkan bahwa pertumbuhan mioma
uteri saat fase sekretoris dibandingkan dengan fase proliferative memiliki aktivitas
mitotik lebih tinggi. Selama kehamilan, dilaporkan bahwa mioma uteri meningkat
ukurannya selama 10 minggu pertama kehamilan, namun tidak meningkat saat
trimester kedua dan ketiga (Neiger et al., 2006; Hammoud et al., 2006).
Penggunaan antiprogestin dan selective progesterone receptor modulator (SPRM)
memberi bukti terkuat efek mitogenik progesterone secara in vivo terhadap
pertumbuhan mioma uteri. Antiprogestin seperti mifepriston dapat mengurangi ukuran
mioma, perdarahan, dan rasa tidak nyama di perut secara efektif (Bagaria et al., 2009).
2.5 Degenerasi Mioma Uteri
Penampakan mioma uteri dapat bervariasi ketika jaringan otot polos normal
digantikan bermacam substansi degenerasi yang timbul saat perdarahan dan nekrosis.
Proses inilah yang disebut dengan degenerasi, dan perubahan tersebut termasuk
dalam kategori normal. Degenerasi sering terjadi karena vaskularisasi mioma uteri
6

yang cenderung lebih rendah densitasnya dibandingkan myometrium normal (Hoffman,


2008).
2.6 Faktor Risiko
Etiologi mioma uteri bersifat multifaktorial dan hingga saat ini belum ada faktor
tunggal yang menjadi penyebab. Faktor risiko yang paling banyak diteliti adalah usia
menarche, paritas, ras, riwayat keluarga, infertilitas, serta paparan terhadap hormon
estrogen dan progesteron (Northington dan Arya, 2006).
2.6.1 Usia Menarche
Usia saat menarche berbanding terbalik dengan risiko terjadinya mioma uteri.
Menarche yang terjadi di usia 10 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 50% lebih
besar terkena dibandingkan usia 12 tahun ke atas. Hal ini dimungkinkan oleh paparan
terhadap estrogen dan progesteron serta pembelahan sel pada miometrium dalam
waktu yang lebih lama sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya mutasi sel
(Northington dan Arya, 2006).
2.6.2 Paritas
Perkembangan mioma uteri dipengaruhi oleh usia pada wanita nullipara,
semakin tua usia risiko semakin tinggi. Pada wanita multipara terjadi penurunan risiko
relatif, dilaporkan seorang wanita yang melahirkan lima anak cukup bulan memiliki
risiko hanya sebesar 1/5 dari wanita nullipara. Penelitian lain menyebutkan terjadinya
penurunan risiko dari 20% hingga 50% pada wanita yang paling tidak telah melahirkan
satu anak.
Peningkatan risiko mioma uteri dengan diagnosis infertilitas juga pernah
dilaporkan, dikatakan terdapat hubungan antara mioma uteri submukosa dan infertilitas
serta nulliparitas. Selain itu dilaporkan bahwa rasio implantasi lebih rendah secara
signifikan pada wanita dengan mioma intramural ataupun submukosa meskipun tanpa
adanya deformasi kavum uterus (Northington dan Arya, 2006).
2.6.3 Ras
Faktor ras berperan dalam penurunan faktor genetik dan peningkatan paparan
terhadap estrogen endogen. Risiko ras Afrika-Amerika dilaporkan 3 hingga 9 kali lebih
tinggi dibandingkan ras kaukasia (Northington dan Arya, 2006)..
2.6.4 Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama adalah penderita mioma uteri
mempunyai peningkatan risiko sebesar 2,5 kali untuk menderita mioma uteri dan
memiliki ekspresi VEGF-α 2 kali lipat lebih tinggi dibanding dengan wanita tanpa garis
keturunan penderita mioma uteri (Parker, 2007).
7

2.6.5 Paparan terhadap Hormon


Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari hasil
histerektomi wanita yang telah menopause karena kadar hormon estrogen endogen
pada wanita menopause lebih rendah dibandingkan premenopause. Semakin lama
terpapar hormon ovarium, seperti awal menarche pada usia di bawah 10 tahun,
dilaporkan dapat meningkatkan risiko terkena mioma uteri (RR 1,24), sedangkan
menarche pada usia setelah 16 tahun menurunkan risiko (RR 0,68) terkena mioma
uteri (Parker, 2007).
2.6.6 Faktor Risiko Lainnya
Berat badan oleh karena kegemukan meningkatkan risiko terkena mioma uteri
disebabkan oleh konversi androgen menjadi estrogen oleh aromatase sel lemak. (Rock
dan Jones, 2008). Satu studi prospektif dijalankan dan dijumpai kemungkinan risiko
menderita mioma uteri adalah setinggi 21% untuk setiap kenaikan 10 kg berat badan
dan dengan peningkatan indeks massa tubuh. Temuan yang sama juga turut
dilaporkan untuk wanita dengan 30% kelebihan lemak tubuh (Parker, 2007).
Sebaliknya, merokok dapat mengurangi insidensi mioma uteri. Banyak faktor
yang bisa menurunkan bioavailibiltas hormon estrogen pada jaringan seperti
penurunan konversi androgen menjadi estrone dengan penghambatan enzim
aromatase oleh nikotin (Parker, 2007).
2.7 Diagnosis
2.7.1 Gejala Klinis
Pada sebagian besar wanita, mioma uteri tidak menunjukkan gejala klinis yang
berarti. Namun, pada sebagian yang lain, ukuran, jumlah, atau letak moma dalam
uterus dapat menimbulkan gejala tertentu. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, mioma
mudah mengalami degenerasi oleh karena lingkungannya yang hipoperfusi sehingga
nyeri akut dapat timbul saat proses tersebut (Hoffman, 2008). Umumnya pada mioma
uteri didapatkan gejala berupa perdarahan, nyeri, perut terasa penuh atau merasa
adanya tekanan, dan infertilitas. Secara umum, semakin besar ukuran suatu mioma
maka akan semakin menimbulkan gejala.
2.7.1.1 Perdarahan
Perdarahan abnormal, termasuk menorrhagia, adalah gejala yang paling umum
berhubungan dengan mioma uteri, terutama mioma submukosa. Mioma uteri dapat
menyebabkan disregulasi faktor pertumbuhan lokal, sehingga terjadi abnormalitas
vaskuler yang berdampak pada menorrhagia dan tidak berkaitan dengan letak mioma
dalam uterus (Evans dan Brunsell, 2007). Namun terdapat penelitian oleh Marino et
8

al.(2004) yang menyatakan tidak terdapat hubungan berarti antara jumlah darah keluar
saat menstruasi dengan kecurigaan terdapatnya mioma uteri (Marino et al., 2004).
Kemungkinan lain terjadinya perdarahan berkaitan dengan dilatasi venula.
Tumor bulky dapat menekan venula sehingga terjadi dilatasi di dalam myometrium dan
endometrium,seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Perbedaan vaskularisasi pada (A) Uterus Normal dan (B) Uterus dengan
berbagai jenis mioma (Schorge Jo et al., 2008).
Permukaan endometrium yang menjadi lebih luas akibat pertumbuhan mioma,
akan menyebabkan lebih banyak dinding endometrium yang terkikis ketika menstruasi
dan ini menyebabkan perdarahan abnormal. Walaupun menstruasi berat sering terjadi
tetapi siklusnya masih tetap (Hadibroto, 2005; DeCherney et al., 2007).
Perdarahan abnormal ini terjadi pada 30% pasien mioma uteri dan perdarahan
abnormal ini dapat menyebabkan anemia. Pada suatu penelitian yang mengevaluasi
wanita dengan mioma uteri dengan atau tanpa perdarahan abnormal, didapat data
bahwa wanita dengan perdarahan abnormal secara bermakna menderita mioma
intramural (58% banding 13%) dan mioma submukosum (21% banding 1%) dibanding
dengan wanita penderita mioma uteri yang asimtomatik (Hadibroto, 2005).
9

2.7.1.2 Nyeri dan Rasa Tekanan


Rasa nyeri yang sering muncul adalah dismenorhhea, namun dapat juga wanita
penderita mengalami dispareunia ataupun nyeri pelvis yang tidak mengikuti siklus
menstruasi.
Uterus yang cukup membesar akan menimbulkan rasa penuh, peningkatan
frekuensi kencing, inkontinensia, dan konstipasi. Meskipun jarang, moma dapat
membesar ke lateral dan menekan ureter sehingga terjadi hidronefrosis oleh karena
obstruksi (Hoffman, 2008).
Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvis dan menekan bagian tulang
pelvis yang dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar
ke bagian punggung dan ekstremitas posterior (Hadibroto, 2005).
2.7.1.3 Infertilitas
Infertilitas ditemukan pada 27-55% wanita dengan mioma. Penyebab mioma
infertilitas adalah obstruksi mekanik serviks dan tuba, perubahan bentuk kavum uteri
(penambahan panjang uterus), iritasi mioma akibat perubahan degenerasi,
kontraktilitas uterus terganggu, dan gangguan vaskularisasi endometrium dan
gangguan endokrinologi endometrium (Hadibroto, 2005; Gibbs et al., 2008).
2.7.1.4 Abortus
Bila terjadi kehamilan maka mioma uteri memberikan masalah lagi yaitu
meningkatnya kejadian abortus (41%), munculnya his lebih awal atau his yang tidak
terkoordinasi, lahir prematur, obstruksi kanalis servikalis, kelainan letak bayi serta
perdarahan postpartum (DeCherney et al., 2007).
2.7.1.5 Gejala Klinis Lainnya
Pada wanita dengan mioma uteri di tempat tertentu dapat menyebabkan rasa
tidak nyaman saat koitus. Selain itu pada 0,5% wanita dengan mioma uteri akan
mengalami sindrom eritrositosis miomatus. Sindrom tersebut dapat terjadi karena
produksi eritropoietin secara berlebihan oleh ginjal atau oleh mioma uteri tersebut .
Jika dilakukan histerektomi, jumlah eritrosit dalam vaskuler kembali ke nilai normal
(Hoffman, 2008).
Mioma uteri juga dapat menyebabkan sindrom pseudo-Meigs. Sindrom meigs
adalah terdapatnya efusi pleura dan asites yang umumnya timbul pada fibroma jinak
ovarium. Namun, semua tumor pelvis termasuk mioma dan kista ovarium juga dapat
menimbulkan sindrom tersebut. Hal yang dapat menjelaskan keadaan tersebut adalah
karena diskordansi antara suplai arteri dan vena serta limfatik dari mioma. Umumnya
asites dan efusi pleura membaik setelah dilakukan histerektomi (Hoffman, 2008).
10

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual uterus. Diagnosis
mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih
massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus (DeCherney et al., 2007).
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
2.7.3.1 Temuan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Namun dalam
beberapa kasus, mioma menghasilkan eritropoeitin yang dapat menyebabkan
polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat
penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter
dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal (DeCherney et al., 2007).
2.7.3.2 Ultra Sonografi (USG)
Mioma uteri dengan ukuran besar paling baik didiagnosis dengan kombinasi
transabdominal dan transvaginal sonografi. Jika dilakukan secara tunggal, maka USG
transvaginal akan menghasilkan gambaran yang lebih sensitif karena USG
transabdominal terkendala jaringan lemak terutama pada wanita dengan obesitas (Sue
dan Sarah, 2009). Gambaran sonografi mioma umumnya adalah simetrikal, berbatas
tegas, hipoechoic, terkadang hyperechoic dan degenerasi kistik menunjukkan anechoic
(Hadibroto, 2005).
2.7.3.3 Magnetic Resonance Imagine (MRI)
MRI lebih baik daripada USG tetapi mahal. MRI mampu menentukan ukuran,
lokasi dan jumlah mioma uteri serta bisa mengevaluasi jarak penembusan mioma
submukosa di dalam dinding miometrium (Hadibroto, 2005).
2.7.3.4 Patologi
Dua perubahan signifikan pada mioma uteri meliputi: 1. Perubahan kearah
keganasan dan terjadinya 2. Degenerasi. Perubahan kearah keganasan didapatkan
0.04%-0,13%. Hanya sedikit kasus yang telah dilakukan tindakan operasi berkembang
menjadi leimyosarcoma. Dasar diagnosis leiomyosarcoma yakni didapatkan lebih dari
10 mitosis per 10 high-power fields (HPF) yang mempunyai prognosis jelek. Jika
didapatkan 5-10 mitosis per 10 HPFs yang dianggap sebagai tumor otot polos yang
belum jelas potensial keganasannya. Sedang mitosis yang kurang dari 5 per 10 HPF
dan dengan gambaran little cytologic atipia diklasifikasikan sebagai seluler leiomiomas
Pertumbuhan mioma mempunyai konsekuensi berupa berkuranganya aliran darah ke
11

uterus sehingga menyebabkan perubahan degenerasi yang ditandai dengan deposit


kalsium yang secara radologis berupa diffuse honey comb pattern, lingkaran konsentrik
atau massa solid yng mengalami kalsifikasi (Hadibroto, 2005).
2.7.4 Diagnosis Banding
2.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana penanganan mioma uteri perlu memperhatikan usia, paritas, keinginan
memiliki anak, keparahan gejala, ukuran, jumlah, lokasi, kondisi medis terkait, risiko
keganasan, jarak menuju menopause, dan keinginan untuk mempertahankan uterus.
Melalui hal di atas dapat dilakukan pendekatan terbaik terapi yang paling tepat bagi
penderita (Duhan dan Sirohriwal, 2010). Pertimbangan jenis terapi ditunjukkan pada
gambar 4.

Gambar 4. Pilihan terapi berdasarkan keadaan pasien (Evans dan Brunsell, 2007)
2.8.1 Terapi Ekspektan
Pengawasan berkala dilakukan pada wanita dengan mioma uteri yang tidak
menampakkan gejala dan ukuran uterus kurang dari usia 12 minggu, khususnya yang
mendekati fase menopause. Bagaimanapun, uterus yang membesar dapat
menimbulkan penekanan ureter sehingga mengganggu fungsi ginjal. Wanita yang
memenuhi kriteria terapi ekspektan harus diawasi secara berkala dalam 3-6 bulan
untuk mengetahui ukuran uterus dan laju pertumbuhan tumor melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis pasien (Duhan, 2011).
12

2.8.2 Terapi Medikamentosa


Pengobatan hormonal maupun nonhormonal telah dikembangkan untuk
menangangi gejala yang ditimbulkan mioma uteri. Sebagian besar hanya meringankan
gejala dan menurunkan ukuran tumor secara temporer. Terapi dengan penggunaan
medikamentosa juga ditujukan bagi penderita yang dipersiapkan operasi, dan terapi ini
kurang memiliki efek terhadap fungsi reproduksi karena kecenderungan mioma uteri
yang akan tumbuh kembali saat penghentian konsumsi medikamentosa (Duhan,
2011). Beberapa terapi medikamentosa yang digunakan adalah sebagai berikut :
2.8.2.1 Antifibrinolitik
Salah satu yang digunakan adalah asam traneksamat, derivat sintetis lisin,
bekerja melalui penghambatan aktivasi plasminogen menjadi plasmin sehingga tidak
terjadi degradasi fibrin. Antifibrinolitik telah digunakan sebagai lini pertama terapi
nonhormonal dalam perdarahan hebat yang berkaitan dengan mioma uteri dan
perdarahan uterus disfungsional (ACOG, 2008).
2.8.2.2 Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
NSAID efektif untuk menangani gejala dismenorhea dan jumlah darah yang
keluar melalui hambatan pembentukan prostaglandin sehingga kontraksi uterus serta
nyeri yang ditimbulkan berkurang. Namun penggunaan jangka panjang obat ini dapat
menyebabkan ulserasi gaster dan perdarahan saluran pencernaan yang kemudian
dapat berujung menjadi anemia (Peura, 2002).
2.8.2.3 Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral umumnya digunakan untuk mengontrol perdarahan dan
dismenorhea. Namun karena mioma dependen terhadap estrogen, maka penggunaan
pil kombinasi justru akan meningkatkan ukurannya (Duhan, 2011).
2.8.2.4 Progesteron
Agen progestasi seperti progesterone diketahui menginduksi efek
hipoestrogenik melalui hambatan sekresi gonadotropin dan menekan fungsi ovarium,
serta bekerja sebagai anti-estrogenik dalam tingkat seluler. Namun penelitian klinis
fase III terhadap agen progestasi menemukan bahwa terdapat perubahan pada sampel
endometrium yang reversibel jika obat tidak dilanjutkan (Duhan, 2011).
2.8.2.5 Danazol
Danazol dilaporkan efektif dalam mengurangi ukuran mioma dan mengontrol
gejala yang muncul. Danazol adalah derivat sintetis isoxazole yang menyebabkan
peningkatan androgen dan menurunkan level estrogen. Efek samping yang dapat
muncul dalam penggunaan obat ini adalah timbulnya jerawat, hirsutisme, penambahan
13

berat badan, iritabilitas, nyeri muskuloskeletal, hot flushes, dan atrofi payudara (Ke et
al., 2009).
2.8.2.6 IUD Levonorgestrel
Penggunaan IUD levonorgestrel dilaporkan dapat mengurangi ukuran mioma
dan jumlah perdarahan saat menstruasi, meskipun terdapat gangguan perdarahan
pada 68% wanita yang menggunakan (Jindabanjerd dan Taneepanichskul, 2006).
Dilaporkan pada penggunaan LNG-IUD terdapat peningkatan efek lokal
dibandingkan sistemik. Wanita dengan LNG-IUD memiliki ekspresi reseptor
progesteron dan estrogen lebih rendah dibandingkan wanita dengan IUD biasa (Orbo
et al., 2010). Selain itu, LNG mengurangi level progesteron serum dan mengurangi
aliran darah pada arteri uterus sehingga terjadi pengurangan ukuran mioma. Penelitian
oleh Xu et al. (2010) menunjukkan bahwa terapi dengan LNG terhadap sel mioma
secara invitro menurunkan viabilitas sel dan meningkatkan apoptosis sel (Xu et al.,
2010).
2.8.2.7 Analog Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
Penggunaan analog GnRHA diketahui efektif sebagai terapi konservatif dan
sebelum histeroskopi, miomektomi. dan histerektomi Efek analog GnRH hanya
sementara, sehingga dalam beberapa bulan setelah penghentian terapi mioma akan
kembali ke ukuran sebelumnya (Golan, 1996). Efek samping yang dapat terjadi yaitu
gejala menopause, osteoporosis, dan nyeri pelvis, selain itu jaringan akan menjadi
lebih fibrotik dan melekat setelah penggunaan analog GnRH sehingga pemakaian
preoperative dibatasi 3-6 bulan (DeFalco, 2009).
Setiap mioma memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian
analog GnRH. Ada mioma uterus yang sama sekali tidak memberikan respon terhadap
analog GnRH. Makin tinggi kadar reseptor estrogen suatu mioma, makin tinggi pula
respon terhadap analog GnRH.
Mioma uterus yang kromosomnya menunjukkan penyimpangan dari yang
normal merupakan mioma yang paling tidak responsif terhadap pemberian GnRH
analog. Mioma subserosum merupakan mioma yang paling banyak mengalami
penyimpangan, sehingga mioma jenis ini paling tidak responsif terhadap pemberian
analog GnRH.
2.8.2.8 Inhibitor Aromatase
Inhibitor aromatase bekerja melalui hambatan pada konversi androgen menjadi
estrogen. Aromatase, bagian dari enzim sitokrom p450, adalah enzim mikrosomal yang
mengkatalisasi androgen menjadi estrogen. Pada mioma uteri terdapat overekspresi
14

aromatase dibandingkan pada orang normal. Penggunaan inhibitor aromatase akan


menciptakan lingkungan hipoestrogenik dan memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan analog GnRH. Namun hingga saat ini masih terbatas penelitian terhadap
efek jangka panjang obat ini (Duhan, 2011).
2.8.2.9 Mifepristone
Paparan terhadap estrogen maupun progenteron dapat menginduksi
pertumbuhan mioma uteri, sehingga dilakukan penelitian terhadap pengobatan dengan
menggunakan antiprogestin. Mifepristone dosis rendah dapat digunakan dalam waktu
lama sehingga menjadi pilihan pada penderita perimenopause dan pada penderita usia
muda yang masih ingin memiliki anak (Duhan, 2011).
2.8.2.10 CDB-2914
Penggunaan CDB-2914, agen antiprogestin, masih dalam tahap penelitian
klinis dan dilaporkan lebih aman dibandingkan terapi medikamentosa lainnya karena
tidak memiliki efek antiprogesteron (Levens et al., 2008).
2.8.3 Terapi Bedah
Terapi bedah menjadi pilihan pada kasus AUB (abnormal uterine bleeding)
yang tidak responsif terhadap tatalaksana konservatif, kecurigaan terhadap keganasan
pelvis, mioma yang tumbuh setelah menopause, distorsi kavum endometrium atau
obstruksi tuba pada wanita infertil dan anemia karena kehilangan darah secara kronis
(Duhan, 2011).
2.8.3.1 Miomektomi abdominal
Miomektomi abdominal menjadi pilihan pada wanita dengan mioma uteri
simtomatik yang masih menginginkan uterus intak dan pada kasus mioma pedinkulata.
Sebelum dilakukan miomektomi harus diketahui status hematologis sebab kehilangan
darah saat operasi berhubungan dengan ukuran uterus, berat mioma yang diambil,
serta lama operasi. Jika diketahui pasien anemia, maka sebaiknya diberikan analog
GnRH atau agen progetasi sehingga menginduksi amenorrhea sekaligus sebagai
terapi preoperative (Duhan, 2011).
Angka kemungkinan terjadi kehamilan setelah miomektomi adalah 30-50%.
Perlu dilakukan pemeriksaan patologi anatomi segera setelah dilatasi kuretase dan
miomektomi untuk menyingkirkan myosarcoma atau mixed mesodermal sarcoma.
Prosedur nonhisterektomi berkaitan dengan rekurensi pertumbuhan tumor baik yang
pre-eksis maupun tumor baru, sempat dilaporkan mencapai 59% wanita membutuhkan
operasi kedua setelah miomektomi (Kim dan Sefton, 2011).
15

2.8.3.2 Miomektomi histeroskopik


Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma submukosum
yang terletak pada kavum uteri.Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan
paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi namun dapat timbul
perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan (Duhan,
2011).
2.8.3.3 Miomektomi vaginal
Pada mioma yang mengisi vagina dapat menyebabkan perdarahan
intermenstrual ataupun retensi urin. Mioma tersebut dapat dienukleasi per vaginam
dan batang mioma diligasi (Duhan, 2011).
2.8.3.4 Miomektomi laparoskopik
Miomektomi laparoskopik paling baik dilaksanakan pada mioma subserosa
superfisial atau pedinkulasi, jika dilakukan pada mioma intramural hasilnya tidak jauh
berbeda dengan laparotomy (Duhan, 2011).
2.8.3.5 Histerektomi
Histerektomi adalah terapi bedah ginekologi yang paling umum dilakukan pada
wanita dan sebesar 33,5% dilakukan sebagai tatalaksana mioma uteri (Duhan dan
Sirohriwal, 2010). Tergantung terhadap ukuran, jumlah dan lokasi tumor, histerektomi
menjadi pilihan ketika penderita sudah tidak lagi meninginkan anak dan terdapat
kecurigaan terhadap keganasan. Beberapa jenis histerektomi yaitu vaginal
histerektomi (menjadi pilihan pada mioma uteri dengan ukuran uterus kurang dari 12
minggu), supraservikal histerektomi (menurunkan risiko cedera saluran kemih dan
waktu operasi lebih singkat), serta histerektomi abdominal total (Duhan, 2011).
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal
hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH). Masing-masing
prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. STAH dilakukan untuk menghindari
risiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada
ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan melakukan STAH kita
meninggalkan serviks, di mana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat
terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi
sumber timbulnya sekret vagina dan perdaraahn paska operasi di mana keadaan ini
tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.
2.8.3.6 Ligasi arteri uterus
Prosedur ligasi ditujukan untuk membatasi vaskularisasi uterus dan lebih
mudah dilaksanakan dibandingkan embolisasi arteri uterus. Prosedur ligasi arteri telah
16

dicoba digabungkan dengan miomektomi dan dilaporkan mengurangi perdarahan


dibandingkan dengan miomektomi saja (Duhan, 2011).
17

DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologists. 2008. ACOG Practice Bulletin.


Alternatives to hysterectomy in the management of leiomyomas. Obstet Gynecol.
112(2 Pt 1):387–400.

Bagaria, M., Suneja, A., Vaid, N.B., Guleria, K., Mishra, K., 2009. Low-dose
mifepristone in treatment of uterine leiomyoma: a randomised double-blind
placebo-controlled clinical trial. Aust. N Z J Obstet. Gynecol. 49, 77–83.

Brosens J, Campo R, Gordts S, Brosens I. 2003. Submucous and outer myometrium


leiomyomas are two distinct clinical entities. Fertil Steril ;79:1452–1454.

Cermik, D., Arici, A., Taylor, H.S., 2002. Coordinated regulation of HOX gene
expression in myometrium and uterine leiomyoma. Fertil Steril 78, 979–984.

DeCherney, A., Nathan L., Goodwin M., Laufer N. 2007. Benign Disorders of the
Uterine Corpus. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth,
page 134-145

DeFalco, M., Staibano, S., Mascolo, M., et al. 2009. Leiomyoma pseudocapsule after
presurgical treatment with gonadotropin releasing hormone agonists: relationship
between clinical features and immunohistochemical changes. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol.144:44–47.

Drinville, J.S. 2006. Benign Disorders of the Uterine Corpus. Current Diagnosis And
Treatment Obstetric And Gynecology. Tenth Edition. McGraw-Hill Companies.
Inc. USA.

Duhan N, Sirohriwal D. 2010. Uterine myomas revisited. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol. 152:119–125.

Duhan, N. 2011. Current and emerging treatments for uterine myoma – an update.
International Journal of Women’s Health, 3:231-241.

Evans, P., Brunsell, S. 2007. Uterine fibroid tumors : Diagnosis and treatment.
Am.Fam.Physician; 75:1503-1508.

Gibbs, Ronald S., Karlan, Beth Y.; Haney, Arthur F.; Nygaard, Ingrid E. 2008.
Leiomiomata. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition

Golan, A. 1996. GnRH analogues in the treatment of uterine fibroids. Hum.


Reprod;11:33–41.

Hadibroto, B. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 38, No. 3,
Halaman 1-6.

Hammoud, A.O., Asaad, R., Berman, J., Treadwell, M.C., Blackwell, S., Diamond,
M.P., 2006. Volume change of uterine myomas during pregnancy: do myomas
really grow? J. Minim. Invasive Gynecol. 13, 386–390.
18

Hoffman, B.L. 2008. Chapter 9 : Pelvic Mass. William’s Gynecology.McGraw-Hill, USA.


p 412-475.

Jindabanjerd, K., Taneepanichskul, S. 2006. The use of levonorgestrel-IUD in the


treatment of uterine myoma in Thai women. J Med Assoc Thai; 89(4):5147–5151.

Katz, V.L., Lentz G.M., Lobo R.A., and Gershenson D.M. 2007. Comprehensive
Gynecology. Fifth Edition. Mosby, Philadelphia.

Kim, J.J., Sefton, E.C. 2011. The role of progesterone signaling in the pathogenesis of
uterine leiomyoma. Molecular and Cellular Endocrinology, 223-228.

Kulp, J., Griffith, J. 2007. Uterine Leiomyomas. The John Hopkins Manual Of
Gynecology And Obstetrics. Third Edition. Lippincot Williams and Wilkins,
Baltimore, Maryland.

Levens ED, Potlog-Nahari C, Armstrong AY, et al. 2008. CDB-2914 for uterine
leiomyomata treatment: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol
;111(5):1129–1136.

Marino JL, Eskenazi B, Warner M, Samuels S, Vercellini P, Gavoni N, et al. 2004.


Uterine leiomyoma and menstrual cycle characteristics in a population- based
cohort study. Hum Reprod ;19:2350-5.

Myers ER, Barber MW, Couchman GM, et al. 2001. Management of uterine fibroids.
Evidence Report/Technology Assessment No. 34. (Prepared by the Duke
Evidence-based Practice Center under Contract No. 290-97-0014.) AHRQ
Publication 01-E052. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and
Quality.

Neiger, R., Sonek, J.D., Croom, C.S., Ventolini, G., 2006. Pregnancy-related changes
in the size of uterine leiomyomas. J. Reprod. Med. 51, 671–674.

Northingon, G.M., Arya, L.A. 2006. Uterine leiomyoma. Obstetric and Gynecology, vol
10, part 1.

Orbo, A., Arnes, M., Pettersen, I., Larsen, K., Hanssen, K., Moe, B., 2010.
Downregulated progesterone receptor A and B coinciding with successful
treatment of endometrial hyperplasia by the levonorgestrel impregnated
intrauterine system. Acta Obstet. Gynecol. Scand. 89, 1438–1446.

Parker, W.. 2007. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine Myomas.


American Society for Reproductive Medicine, Elsevier Inc Vol. 87, No. 4.

Peura DA. Gastrointestinal safety and tolerability of nonselective nonsteroidal anti-


inflammatory agents and cyclooxygenase-2-elective inhibitors. Cleve Clin J Med.
2002;69:S131–S139.

Rock, J.A., Jones, H.W. 2008. Leiomyomata Uteri and Myomectomy. Te Linde’s
Operative Gynecology. Tenth Edition. Lipincot William and Wilkins. Baltimore,
Maryland.
19

Sue, W., Sarah, S.B. 2009. Radiological appearances of uterine fibroids. Indian Journal
of Radiology and Imaging; 19(3) : 222-231.

Victory R, Romano W, Bennett J, Diamond M. 2006. Clinical Gynecology. Churchill


Livingstone, an imprint of Elsevier Inc. 179-205.

Wallach EE, Vlahos NF. Uterine myomas: an overview of development, clinical


features, and management. Obstet Gynecol 2004;104:393– 406.

Wiknjosastro H. 2009. Ilmu Kebidanan. Edisi II. Jakarta : Bina Pustaka, 337-345.

Xu, Q., Qiu, L., Zhu, L., Luo, L., Xu, C., 2010. Levonorgestrel inhibits proliferation and
induces apoptosis in uterine leiomyoma cells. Contraception 82, 301–308.

Anda mungkin juga menyukai