Oleh:
NIM: 140070300011128
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Mioma uteri, disebut juga sebagai leimyoma, adalah neoplasma monoklonal pada
dinding uterus yang berasal dari sel-sel otot polos myometrium dan bersifat jinak.
Selain sel otot polos myometrium, mioma uteri juga terdiri dari matriks ekstraseluler
yang mengandung kolagen (tipe I dan III), fibronektin, dan proteoglikan (Parker, 2007;
Drinville, 2006). Serat kolagen terbentuk secara abnormal dan tersusun secara tidak
beraturan, menyerupai kolagen yang ditemukan pada pembentukan keloid
menyebabkan konsistensinya menjadi fibrous, sehingga sering mengalami misnomer
sebagai fibroid atau fibromyoma (Hoffman, 2008; Katz et al., 2007).
Mioma uteri memiliki pseudokapsul berupa jaringan ikat tipis yang secara klinis
mempermudah pengambilan mioma uteri saat operasi (Hoffman, 2008). Mioma uteri
dapat tumbuh secara tunggal, namun lebih sering tumbuh dengan jumlah lebih dari
satu dengan angka berulang lebih tinggi dibandingkan mioma tunggal. Mioma dapat
berkembang menjadi ukuran yang lebih besar yang dapat menyebabkan distorsi
permukaan uterus dan kavum uterus serta dapat menekan pembuluh darah sehingga
terjadi proses degenerasi seperti deposisi kalsium. Perubahan kalsifik dapat terlihat
secara radiografis sebagai gambaran honeycomb, susunan cincin konsentris, atau
massa solid terkalsifikasi (Kulp dan Griffith, 2007).
2.2 Epidemiologi
Mioma diketahui sebagai tumor solid pelvis yang paling sering terjadi pada wanita,
terutama usia produktif, dengan angka kejadian 20% hingga 40% (Wallach dan Vlahos,
2004), bahkan mencapai angka 70%-80% pada penelitian menggunakan preparat
histologi dan pemeriksaan sonografik. Mioma uteri dapat tumbuh sejak awal usia
reproduktif dan menurun saat menopause. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi
pada wanita sebelum menarche. Sedangkan setelah menopause masih dapat terjadi
mioma uteri dengan angka kejadian sebesar 10% (Victory et al., 2006). Pada salah
satu penelitian diketahui prevalensi mioma uteri teridentifikasi melalui USG berkisar
antara 4% pada usia 20 hingga 30 tahun, 11-18% pada usia 30 hingga 40 tahun, dan
33% pada wanita usia 40-60 tahun (Lurle et al., 2005).
Studi di Amerika Serikat pada wanita yang dipilih secara acak antara usia 35-49
tahun, yang dilakukan skrining baik melalui laporan pribadi, rekam medis, dan
sonografi, didapatkan insiden mioma uteri pada usia 35 tahun adalah 60% pada
penduduk Afrika-Amerika dan meningkat >80% pada usia 50 tahun. Sedangkan pada
3
wanita ras Kaukasia insiden mioma uteri sebesar 40% pada umur 35 tahun dan hampir
70% pada usia 50 tahun.
Sedangkan di Indonesia sendiri, angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,4%-
11,7% dari semua pasien ginekologi yang dirawat (Wiknjosastro, 2009).
2.3 Klasifikasi
Mioma uteri dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan arah pertumbuhannya,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Secara umum mioma uteri terbagi atas tiga,
yaitu subserosa, submukosa, dan intramural. Namun juga terdapat nomenklatur
terhadap mioma intraligamenter dan parasitik (Katz et al., 2007). Mioma uteri juga
dapat ditemukan pada serviks, ovarium, tuba fallopi, vagina, maupun vulva (Hoffman,
2008).
2.3.1 Mioma Subserosa
Mioma subserosa berasal dari sel otot polos yang berdekatan dengan serosa
uterus dan umumnya tumbuh mengarah keluar sehingga menonjol pada permukaan
uterus. Selain itu terdapat mioma parasitik yang merupakan varian mioma subserosa
yang melekat pada struktur pelvis untuk mendapat vaskularisasi pembuluh darah
sekitar, terikat maupun tidak kepada myometrium asal (Hoffman, 2008). Jika mioma
subserous tumbuh ke arah lateral dan meluas di antara 2 lapisan peritoneal dari
ligamentum latum maka akan menjadi mioma intraligamenter (Memarzadeh et al.,
2003).
2.3.2 Mioma Submukosa
Mioma submukosa berada di bagian proksimal endometrium dan tumbuh serta
menonjol ke arah kavum uterus. Angka kejadian mioma submukosa hanya berkisar 5-
10%, namun merupakan jenis yang paling menimbulkan masalah secara klinis. Mioma
submukosa sering dikaitkan dengan perdarahan vagina yang abnormal, atau distorsi
kavum uterus yang dapat menyebabkan infertilitas dan aborsi. Jika kemudian menjadi
mioma pedinkulata, uterus akan berusaha mengeluarkan sehingga terjadi protrusi
melalui ostium serviks eksterna (Katz et al., 2007).
Berdasarkan topografi, histokimia, dan respon terhadap steroid gonad, sangat
dimungkinkan mioma submukosa berasal dari junctional zone myometrium (Brosens et
al., 2000). Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,
dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan
pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai mioma.
al.(2004) yang menyatakan tidak terdapat hubungan berarti antara jumlah darah keluar
saat menstruasi dengan kecurigaan terdapatnya mioma uteri (Marino et al., 2004).
Kemungkinan lain terjadinya perdarahan berkaitan dengan dilatasi venula.
Tumor bulky dapat menekan venula sehingga terjadi dilatasi di dalam myometrium dan
endometrium,seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Perbedaan vaskularisasi pada (A) Uterus Normal dan (B) Uterus dengan
berbagai jenis mioma (Schorge Jo et al., 2008).
Permukaan endometrium yang menjadi lebih luas akibat pertumbuhan mioma,
akan menyebabkan lebih banyak dinding endometrium yang terkikis ketika menstruasi
dan ini menyebabkan perdarahan abnormal. Walaupun menstruasi berat sering terjadi
tetapi siklusnya masih tetap (Hadibroto, 2005; DeCherney et al., 2007).
Perdarahan abnormal ini terjadi pada 30% pasien mioma uteri dan perdarahan
abnormal ini dapat menyebabkan anemia. Pada suatu penelitian yang mengevaluasi
wanita dengan mioma uteri dengan atau tanpa perdarahan abnormal, didapat data
bahwa wanita dengan perdarahan abnormal secara bermakna menderita mioma
intramural (58% banding 13%) dan mioma submukosum (21% banding 1%) dibanding
dengan wanita penderita mioma uteri yang asimtomatik (Hadibroto, 2005).
9
Gambar 4. Pilihan terapi berdasarkan keadaan pasien (Evans dan Brunsell, 2007)
2.8.1 Terapi Ekspektan
Pengawasan berkala dilakukan pada wanita dengan mioma uteri yang tidak
menampakkan gejala dan ukuran uterus kurang dari usia 12 minggu, khususnya yang
mendekati fase menopause. Bagaimanapun, uterus yang membesar dapat
menimbulkan penekanan ureter sehingga mengganggu fungsi ginjal. Wanita yang
memenuhi kriteria terapi ekspektan harus diawasi secara berkala dalam 3-6 bulan
untuk mengetahui ukuran uterus dan laju pertumbuhan tumor melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis pasien (Duhan, 2011).
12
berat badan, iritabilitas, nyeri muskuloskeletal, hot flushes, dan atrofi payudara (Ke et
al., 2009).
2.8.2.6 IUD Levonorgestrel
Penggunaan IUD levonorgestrel dilaporkan dapat mengurangi ukuran mioma
dan jumlah perdarahan saat menstruasi, meskipun terdapat gangguan perdarahan
pada 68% wanita yang menggunakan (Jindabanjerd dan Taneepanichskul, 2006).
Dilaporkan pada penggunaan LNG-IUD terdapat peningkatan efek lokal
dibandingkan sistemik. Wanita dengan LNG-IUD memiliki ekspresi reseptor
progesteron dan estrogen lebih rendah dibandingkan wanita dengan IUD biasa (Orbo
et al., 2010). Selain itu, LNG mengurangi level progesteron serum dan mengurangi
aliran darah pada arteri uterus sehingga terjadi pengurangan ukuran mioma. Penelitian
oleh Xu et al. (2010) menunjukkan bahwa terapi dengan LNG terhadap sel mioma
secara invitro menurunkan viabilitas sel dan meningkatkan apoptosis sel (Xu et al.,
2010).
2.8.2.7 Analog Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
Penggunaan analog GnRHA diketahui efektif sebagai terapi konservatif dan
sebelum histeroskopi, miomektomi. dan histerektomi Efek analog GnRH hanya
sementara, sehingga dalam beberapa bulan setelah penghentian terapi mioma akan
kembali ke ukuran sebelumnya (Golan, 1996). Efek samping yang dapat terjadi yaitu
gejala menopause, osteoporosis, dan nyeri pelvis, selain itu jaringan akan menjadi
lebih fibrotik dan melekat setelah penggunaan analog GnRH sehingga pemakaian
preoperative dibatasi 3-6 bulan (DeFalco, 2009).
Setiap mioma memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian
analog GnRH. Ada mioma uterus yang sama sekali tidak memberikan respon terhadap
analog GnRH. Makin tinggi kadar reseptor estrogen suatu mioma, makin tinggi pula
respon terhadap analog GnRH.
Mioma uterus yang kromosomnya menunjukkan penyimpangan dari yang
normal merupakan mioma yang paling tidak responsif terhadap pemberian GnRH
analog. Mioma subserosum merupakan mioma yang paling banyak mengalami
penyimpangan, sehingga mioma jenis ini paling tidak responsif terhadap pemberian
analog GnRH.
2.8.2.8 Inhibitor Aromatase
Inhibitor aromatase bekerja melalui hambatan pada konversi androgen menjadi
estrogen. Aromatase, bagian dari enzim sitokrom p450, adalah enzim mikrosomal yang
mengkatalisasi androgen menjadi estrogen. Pada mioma uteri terdapat overekspresi
14
DAFTAR PUSTAKA
Bagaria, M., Suneja, A., Vaid, N.B., Guleria, K., Mishra, K., 2009. Low-dose
mifepristone in treatment of uterine leiomyoma: a randomised double-blind
placebo-controlled clinical trial. Aust. N Z J Obstet. Gynecol. 49, 77–83.
Cermik, D., Arici, A., Taylor, H.S., 2002. Coordinated regulation of HOX gene
expression in myometrium and uterine leiomyoma. Fertil Steril 78, 979–984.
DeCherney, A., Nathan L., Goodwin M., Laufer N. 2007. Benign Disorders of the
Uterine Corpus. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth,
page 134-145
DeFalco, M., Staibano, S., Mascolo, M., et al. 2009. Leiomyoma pseudocapsule after
presurgical treatment with gonadotropin releasing hormone agonists: relationship
between clinical features and immunohistochemical changes. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol.144:44–47.
Drinville, J.S. 2006. Benign Disorders of the Uterine Corpus. Current Diagnosis And
Treatment Obstetric And Gynecology. Tenth Edition. McGraw-Hill Companies.
Inc. USA.
Duhan N, Sirohriwal D. 2010. Uterine myomas revisited. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol. 152:119–125.
Duhan, N. 2011. Current and emerging treatments for uterine myoma – an update.
International Journal of Women’s Health, 3:231-241.
Evans, P., Brunsell, S. 2007. Uterine fibroid tumors : Diagnosis and treatment.
Am.Fam.Physician; 75:1503-1508.
Gibbs, Ronald S., Karlan, Beth Y.; Haney, Arthur F.; Nygaard, Ingrid E. 2008.
Leiomiomata. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition
Hadibroto, B. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 38, No. 3,
Halaman 1-6.
Hammoud, A.O., Asaad, R., Berman, J., Treadwell, M.C., Blackwell, S., Diamond,
M.P., 2006. Volume change of uterine myomas during pregnancy: do myomas
really grow? J. Minim. Invasive Gynecol. 13, 386–390.
18
Katz, V.L., Lentz G.M., Lobo R.A., and Gershenson D.M. 2007. Comprehensive
Gynecology. Fifth Edition. Mosby, Philadelphia.
Kim, J.J., Sefton, E.C. 2011. The role of progesterone signaling in the pathogenesis of
uterine leiomyoma. Molecular and Cellular Endocrinology, 223-228.
Kulp, J., Griffith, J. 2007. Uterine Leiomyomas. The John Hopkins Manual Of
Gynecology And Obstetrics. Third Edition. Lippincot Williams and Wilkins,
Baltimore, Maryland.
Levens ED, Potlog-Nahari C, Armstrong AY, et al. 2008. CDB-2914 for uterine
leiomyomata treatment: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol
;111(5):1129–1136.
Myers ER, Barber MW, Couchman GM, et al. 2001. Management of uterine fibroids.
Evidence Report/Technology Assessment No. 34. (Prepared by the Duke
Evidence-based Practice Center under Contract No. 290-97-0014.) AHRQ
Publication 01-E052. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and
Quality.
Neiger, R., Sonek, J.D., Croom, C.S., Ventolini, G., 2006. Pregnancy-related changes
in the size of uterine leiomyomas. J. Reprod. Med. 51, 671–674.
Northingon, G.M., Arya, L.A. 2006. Uterine leiomyoma. Obstetric and Gynecology, vol
10, part 1.
Orbo, A., Arnes, M., Pettersen, I., Larsen, K., Hanssen, K., Moe, B., 2010.
Downregulated progesterone receptor A and B coinciding with successful
treatment of endometrial hyperplasia by the levonorgestrel impregnated
intrauterine system. Acta Obstet. Gynecol. Scand. 89, 1438–1446.
Rock, J.A., Jones, H.W. 2008. Leiomyomata Uteri and Myomectomy. Te Linde’s
Operative Gynecology. Tenth Edition. Lipincot William and Wilkins. Baltimore,
Maryland.
19
Sue, W., Sarah, S.B. 2009. Radiological appearances of uterine fibroids. Indian Journal
of Radiology and Imaging; 19(3) : 222-231.
Wiknjosastro H. 2009. Ilmu Kebidanan. Edisi II. Jakarta : Bina Pustaka, 337-345.
Xu, Q., Qiu, L., Zhu, L., Luo, L., Xu, C., 2010. Levonorgestrel inhibits proliferation and
induces apoptosis in uterine leiomyoma cells. Contraception 82, 301–308.