Anda di halaman 1dari 6

BAB I

KONSEP
MEDIS
A. Definisi
Ensefalopati hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri
 pada penderita penyakit hati berat, dimana sindrom ini ditandai dengan kekacauan
mental, tremor otot, dan  flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis. Perubahan
mental yang terjadi diawali dengan perubahan kepribadian, hilang ingatan, dan
irirtabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam. Ensefalopati
hepatikum yang berakhir dengan koma adalah mekanisme kematian yang terjadi pada
sepertiga kasus sirosis yang fatal (Price & Wilson, 2006). Ensefalopati adalah semua
 penyakit yang mengenai otak. penyakit ini muncul tiba-tiba yang ditandai dengan
gangguan mental dan penurunan tingkat kesadaran, paralysis gerakan bola mata, dan
ataksia gaya berjalan (Wilson, Kasper, & Isselbacher, 2001). Ensefalopati hepatik
adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosystemic venous
shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien Ensefalopati hepatik
sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan
hingga koma dalam (Ndraha, 2015).
1

B. Etiologi
Menurut Price & Wilson (2006) terdapat beberapa faktor yang biasanya dapat
mencetuskan ensefalopati hepatikum atau hepatic encephalopathy, antara lain:
1. Peningkatan beban nitrogen, yaitu:
a) Perdarahan saluran cerna. Darah yang berlebihan dalam saluran cerna (10-
20 gr protein/dl) atau makanan mengandung protein yang berlebihan
menyediakan substrat bagi peningkatan pembentukan amonia (NH3).
 b) Makanan mengandung protein dalam jumlah banyak. Kerja bakteri usus
 pada protein menimbun NH3 yang diabsorpsi dan normalnya didetokfikasi
dalam hati melalui konversi menjadi urea. Kadar NH3 yang meningkat
memasuki sirkulasi sistemik bila terdapat kegagalan hepatoseluler. NH3
(dan mungkin metabolit toksik lainnya) langsung dengan cepat melewati
sawar darah otak, dan ditempat tersebut NH3 memiliki efek toksik
langsung pada otak.
c) Azotemia (BUN yang meningkat). Gangguan fungsi ginjal dan
meningkatnya BUN menyebabkan lebih banyak urea yang berdifusi dalam
usus, yang akan diubah menjadi NH3 oleh bakteri usus.
d) Konstipasi. Konstipasi meningkatkan produksi absorpsi NH3 karena
kontak yang lama antara substrat protein dengan bakteri usus.
2. Ketidakseimbangan Elektrolit, yaitu:
a) Alkalosis dan hipokalemia. Alkalosis dan hipokalemia seringkali
disebabkan oleh hiperventilasi dan muntah, menyebabkan difusi NH3 dari
cairan ekstrasel ke cairan intrasel, termasuk sel-sel otak, yang
menyebabkan efek toksik. Pada alkalosis, lebih banyak NH3 yang
diproduksi dari glutamin dalam ginjal yang kembali memasuki sirkulasi
sistemik dibandingkan dengan yang disekresi sebagai ion amonium
(NH4+).
 b) Hipovolemia. Hipovolemia yang disebebkan oleh perdarahan saluran
cerna, pemakaian diuretik berlebihan atau parasintesis, dapat mencetuskan
ensefalopati hepatikum dengan cara menyebabkan gagal ginjal dan
azotemia yang pada gilirannya menyebabkan meningkatnya NH3 dalam
darah.
3. Obat-obatan, yaitu:
Obat diuretik (tranquillzer, narkotika, sedatif, anestetik). Pemakaian diuretik
yang terlalu radikal dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, meliputi
alkalosis, hipokalemia, dan hipovolemia. Oleh karena itu, obat tersebut sebaiknya
dihindari. Obat sedatif dan obat-obatan lain yang menyebabkan depresi susunan
saraf pusat bekerja secara sinergis dengan NH3. Metabolisme obat-obat tersebut
terganggu dapat terjadi akibat kegagalan hepatoseluler.
4. Infeksi dan pembedahan. Infeksi atau pembedahan meningkatkan katabolisme
 jaringan, menyebabkan peningkatan produksi BUN dan NH3. Hipotermia,
dehidrasi, dan gangguan fungsi ginjal berpotensi menyebabkan toksisitas NH3.
C. Manifestasi Klinik
Adapun gejala dan tanda klinis yang dapat timbul sangat cepat dan
 berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan.
Pada penderita sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila
ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversible. Perkembangan ensefalopati
hepatikum menjadi koma biasanya dibagi menjadi dalam empat stadium (Price &
Wilson, 2006).
1. Stadium I. Tidak begitu jelas dan mungkin sukar diketahui. Tanda yang berbahaya
adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang
tidak terawat baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa
sembarangan, pelupa dan tidak mampu memusatkan pikiran. Penderita mungkin
cukup rasional, hanya kadang tidak kooperatif. Pemantauan yang seksama
menunjukan bahwa mereka lebih letargi atau tidur lebih lama dari biasanya, atau
irama tidurnya terbalik.
2. Stadium II. Lebih menonjol dari stadium I dan mudah diketahui. Terjadi
 perubahan perilaku yang tidak semestinya, dan pengendalian sfingter tidak dapat
terus dipertahankan. Kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan
khas.  Asteriksis  atau  flapping tremor  dapat dicetuskan bila penderita diminta
untuk mengangkat kedua lengannya dengan lengan atas difiksasi, peregangan
tangan hiperekstensi, dan jari-jari terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan
fleksi dan ekstensi involuntar cepat dari pergelangan tangan dan sendi
metakarpofalang. Asteriksis merupakan suatu manifestasi perifer akibat gangguan
metabolisme otak. Pada keadaan ini, letargi dan perubahan kepribadian menjadi
lebih jelas terlihat.
3. Stadium III. Penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan
 perubahan perilaku. Bila pada saat ini penderita hanya diberi sedatif dan bukan
 pengobatan untuk mengatasi proses toksiknya, maka ensefalopati mungkin akan
 berkembang menjadi koma dan prognosisnya fatal. Selama stadium ini penderita
dapat tertidur sepanjang waktu.
4. Stadium IV. Pada stadium ini penderita masuk ke dalam fase koma yang tidak
dapat dibangunkan, sehingga timbul refleks hiperaktif dan tanda Babinsky. Pada
saat ini bau apek yang amis (fetor hepatikum) dapat tercium pada napas penderita
atau bahkan ketika masuk ke dalam kamar rawatnya. Fetor hepatikum merupakan
tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan
derajat somnolensia dan kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan
adalah kadar amonia darah yang meningkat, hal tersebut dapat mendeteksi
ensefalopati.
D. Anatomi dan Fisiologi Hati (hepar)
Hati adalah organ internal terbesar, mewakili 2-3% dari total berat tubuh pada
orang dewasa dengan berat ±1500-2000 gr. Organ ini menempati kuadran kanan atas
abdomen, mengelilingi vena kava inferior, dan menempel pada diafragma dan
 peritoneum parietal dengan berbagai lampiran yang sering disebut ligamen. Pasokan
vaskular hati mencakup dua sumber arus masuk yang berjalan dalam ligamentum
hepatoduodenal, yaitu arteri hepatik dan vena portal. Hati dibungkus oleh kapsul
glison yang melindungi hati dari trauma dan unit fungsional hati disebut dengan
lobulus (Cicalese, 2017).

Fungsi hati antara lain sebagai berikut (Sherwood, 2012):


1. Berperan dalam proses pencernaan yaitu sekresi garam empedu, yang membantu
 pencernaan dan penyerapan lemak.
2. Memproses secara metabolis ketiga kategori utama nutrien ( karbohidrat, protein,
lemak) setelah zat tersebut diserap dari saluran cerna.
3. Mendetokfikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan
senyawa asing lain.
4. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan
darah dan untuk mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam
darah.
5. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
6. Mengaktifkan vitamin D yang dilakukan hati bersama dengan ginjal.
7. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua berkat adanya makrofag
residennya.
8. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin, bilirubin adalah produk penguraian
yang berasal dari destruksi sel darah merah tua.
E. Komplikasi
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2013) komplikasi yang dapat timbul pada
1. Perdarahan varises
2. Perdarahan gastrointestinal
3. Koma
4. Kematian

F. Diagnosis dan Prognosis


Adapun penegakan diagnosis ensefalopati hepatikum dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2013).
1. Tes faal hati, yaitu untuk mengetahui kenaikan kadar aspartat aminotransferase,
alanin aminotransferase, alkali fosfatase dan bilirubin
2. Pemeriksaan darah memperlihatkan anemia, gangguan produksi sel darah merah,
kenaikan waktu perdarahan, serta pembekuan, kadar glukosa darah yang rendah,
dan peningkatan kadar amonia serum
3. Osmolaritas urine meningkat
Sedangkan untuk prognosis ensefalopati hepatikum yaitu pada ensefalopati
hepatikum sekunder, bila factor-faktor pencetus teratasi, maka dengan pengobatan
standar hamper 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan ensefalopati
hepatikum primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk biladisertai
hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara ensefalopati hepatikum akibat
gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah
dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Davey (2006), pemeriksaan penunjang pada ensefalopati hepatikum
antara lain:
1. Waktu protrombin adalah penanda prognostik tunggal terbaik. Koagulapati tidak
 boleh dikoreksi dengan pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) yang tidak perlu.
2. Glukosa darah harus sering diukur. Hipoglikemia merupakan tanda peringatan.
3. Elektrolit. Kerusakan ginjal paling sering berhubungan dengan suatu derajat
nekrosis tubular akut saat masuk rumah sakit dan tidak menggambarkan sindrom
hepatorenal yang sebenarnya.
4. Analisis gas darah arteri. Asidosis metabolik merupakan tanda yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Cicalese, L. (2017, Mei 3). Hepatocelluler Carcinoma. Dipetik Juni 10, 2017, dari Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview#a9

Corwin, E. J. (2008). Handbook of pathophysiology (3rd Ed). . Philadelphia: Lippincott.

Davey, P. (2006). At a glance medicine. Jakarta: Erlangga.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010).  Nursing care plans ed.8.
Philadelphia: F.A Davis Company.

Ginsberg, L. (2008). Lecture notes: neurology ed.8. Jakarta: Erlangga.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015).  Nanda International Nursing Diagnoses:


 Defenitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Kowalak, Welsh, & Mayer. (2013).  Buku ajar patofisiologi: proses penyakit, tanda dan
 gejala, penatalaksanaan, efek pengobatan. Jakarta: EGC.

 Ndraha, S. (2015). Ensefalopati Hepatikum Minimal. CDK-234 vol. 42 no. 11, 824-828.

 Nurarif, A. H., & Hardhy, K. (2013).  Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis
 Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Medication.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006).  Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit
vol.1 ed.6. Jakarta: EGC.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem ed.6. Jakarta: EGC.

Wilson, Kasper, & Isselbacher. (2001).  Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam vol.5 ed.3.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai