Anda di halaman 1dari 25

I. ENSEFALOPATI HEPATIKUM I.

1 Pendahuluan Ensefalopati adalah keadaan kebingungan akut yang berhubungan dengan perubahan tingkat kesadaran (dari mengantuk, stupor atau koma)1 Sering dikelirukan dengan delirium yang merupakan keadaan kebingungan fluktuatif yang diakibatkan disfungsi serebral yang difus atau multifokal dengan ciri gangguan atensi, konsentrasi, orientasi dan memori, kesadaran berfluktuasi, gangguan berfikir, halusinasi, pembicaraan yang inkoheren dan agitasi.1 Ensefalopati dapat disebabkan berbagai faktor,diantaranya : penyakit sistemik berat terutama pada pasien berusia tua dan demensia; zat toksik baik yang sistemik seperti benzodiazepine, propofol, steroid, dan sebagainya, maupun zat industri seperti organofosfat dan toksin dari lingkungan. Sering juga timbul akibat gejala withdrawal zat tertentu seperti : alkohol, yang dikenal dengan delirium tremens dan bentuk lain ensefalopati yang terkenal dengan istilah ensefalopati Wernicke. Penyebab metabolik diantaranya berupa : gangguan elektrolit seperti hiponatremia, gangguan kadar glukosa baik hipoglikemia maupun hiperglikemia (ketotik atau non-ketotik) dan gangguan respirasi yang menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Sedangkan ensefalopati septik dapat infeksi disebabkan saluran berbagai infeksi diluar SSP, diantaranya : bakteremia/sepsis, kemih/urosepsis, pneumonia, peritonitis, bacterial

endocarditis, dan infeksi gastrointestinal. Ensefalopati akibat gangguan gastrointestinal yang tersering adalah ensefalopati hepatikum.1,2 Ensefalopati hepatikum menurut The Working Party on Hepatic Encephalopathy pada kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998) adalah suatu spektrum kelainan neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hepar, sesudah mengekslusikan adanya penyakit otak lain.3 Sedangkan dibeberapa literatur disebutkan bahwa ensefalopati hepatikum (EH) adalah suatu sindrom neuropsikiatri kompleks, berupa gangguan kesadaran, perilaku, perubahan kepribadian, gangguan kognitif, akibat komplikasi penyakit hati akut atau kronik yang berhubungan dengan gangguan fungsi hepatoseluler atau akibat pintasan portosistemik atau kombinasi keduanya.4,5,6 Sebagaimana diketahui, hati adalah salah satu organ yang berperan penting dalam mengatur proses metabolisme tubuh (anabolisme dan katabolisme), menyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin,serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus. Apabila terjadi kerusakan hati, maka fungsi-fungsi tersebut akan terganggu sehingga menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat akumulasi zat-zat toksik. Gambaran klinis

gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati ini bermanifestasi dalam bentuk gangguan neuropsikiatri yang dikenal sebagai koma hepatikum atau EH.7 Gangguan pada otak yang diakibatkan oleh penyakit hati terjadi melalui beberapa cara. Gagal hati akut akan menyebabkan evolusi cepat menjadi koma, kejang dan tingginya angka mortalitas akibat herniasi serebral yang berkaitan dengan hipertensi intrakranial dan hipoksia. Bentuk kedua EH tampil dengan onset yang lebih lambat dan gejala yang lebih ringan dan dapat pulih. Bentuk ketiga EH memperlihatkan evolusi kronis dengan gejala neuropsikiatrik yang persisten.2,8 I.2 Klasifikasi Berdasarkan perjalanan penyakitnya, EH dibedakan atas:7,9 1. EH akut (fulminant hepatic failure), akibat kerusakan parenkim hati yang fulminan karena infeksi virus, obat-obatan, zat toksik dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Perjalanan penyakitnya eksplosif dan tanpa faktor pencetus. 2. EH kronik (ensefalopati portosistemik), akibat peningkatan tekanan portal dengan konsekuensi adanya pintasan portal ke sistemik, menyebabkan berkurangnya fungsi proteksi dan bersihan dari hati terhadap zat toksik. Gejalanya tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi secara perlahan-lahan dan biasanya dicetuskan oleh faktor pencetus. Klasifikasi lain membagi EH menjadi ensefalopati primer dan sekunder, yaitu:10 1. 2. EH primer (endogen), disebabkan langsung oleh kerusakan hati yang difus atau nekrosis hati yang meluas. EH sekunder (eksogen), disebabkan bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi disebabkan oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi seperti perdarahan saluran cerna dan gangguan elektrolit. Klasifikasi EH menurut The Working Party on Hepatic Encephalopathy pada kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998) dapat dilihat pada gambar 1.6 I.3 Faktor Pencetus Beberapa faktor pencetus terjadinya EH dapat dibagi atas 4 kelompok:5,7,9,10 Kelompok produk nitrogen : perdarahan gastrointestinal, hiperazoemia, konstipasi, diet tinggi protein, h.pylori, uremia Kelompok obat : opiat, benzodiazepin, diuretik, sedatif, fenol Kelompok ketidakseimbangan metabolik : hipokalemia, alkalosis, hipoksia, hiponatremia, hiperkalemia, dehidrasi 2

Lain-lain : infeksi (peritonitis bakterial spontan, sepsis), operasi/pembedahan, hepatopati, gagal ginjal, asam amino rantai pendek

Gambar 1. Klasifikasi ensefalopati hepatikum Episodic HE (precipitated, spontaneous, recurrent); persistent HE (mild,severe,,treatment dependent); minimal HE

I.4 Patogenesis Patogenesis EH belum diketahui secara pasti. Sebagai konsep umum, dikemukakan EH terjadi akibat akumulasi sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik.5 Saat ini telah dipastikan bahwa terdapat perubahan multi organ perifer seiring perubahan komunikasi intrasel otak yang dihasilkan oleh perubahan dalam astrosit. Perubahan perifer, diantaranya terdapat pada:5 a. Usus halus Terdapat kontroversi tentang peranan Helycobacter pylori, yang menghasilkan amonium di lambung dalam patogenesis EH. Sebagian penelitian memperlihatkan prevalensi tinggi infeksi pada individu dengan hepatitis alkoholik yang mengalami EH sebagaimana individu dengan serosis dan ensefalopati kronik. Tetapi eradikasi H.pylori ini tidak 3

mempengaruhi kadar amonium pada kelompok pasien ini dan berperan pada perkembangan EH. b. Komunikasi sistemik portal Diperlihatkan bahwa sebagian kelainan kongenital yang menyebabkan shunt portalsistemik pada anak dapat muncul sebagai ensefalopati hepatik episodik, bahkan tanpa kelainan hepar sebelumnya. Pasien serosis dengan shunt portal-sistemik mudah berkembang menjadi EH dibandingkan pasien tanpa shunt portal-sistemik c. Gagal hepar Terdapat berbagai penelitian yang melaporkan bahwa gagal hepar merupakan penyebab utama EH, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsi hepar yang berguna untuk detoksifikasi amonium, sehingga meningkatkan kadar plasma amoniak dan memberikan gejala klinis. d. Otot Penurunan masa otot pasien serosis dapat mencetuskan terjadinya EH. Atrofi otot tidak hanya disebabkan kelainan hepar dan status nutrisi pasien, tetapi juga akibat peningkatan sebagian sitokin seperti TNF- yang akan mengaktifkan faktor transkripsi seperti NK-a yang mengakibatkan penurunan sintesis miosin. Atrofi otot ini berhubungan dengan rendahnya kapasitas metabolik untuk mendetoksifikasi amonium dan glutamin, dan menyebabkan perkembangan kearah EH. Perubahan di otak, diantaranya :5 a. Osmotik Sebagian penelitian memperlihatkan adanya perubahan osmotik pada pasien dengan edem serebri dan insufisiensi hepar. Otak yang edem, akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menyebabkan herniasi yang dapat menyebabkan kematian. Glutamin dihasilkan dari detoksifikasi amonium dalam astrosit, sebagai osmol organik yang dapat menyebabkan edem dalam astrosit. Diamati bahwa saluran air aquaphorin-4 mengendalikan air ke dalam sel. Terdapat juga bukti bahwa otak beradaptasi terhadap perubahan selama kelainan hepar kronik. Determinasi langsung dan tak langsung osmol organik dengan memakai spektroskopi pada pencitraan resonansi memperlihatkan kehilangan myo-inositol, taurin, dan gliseril-fosfokolin, yang osmol-nya dipakai oleh astrosit untuk pengaturan osmolalitas intrasel. Perubahan ini membuat otak lebih rentan terhadap perubahan osmotik kedua. b. Komunikasi aksonal Terdapat bukti, pentingnya astrosit dalam mempertahankan fungsi neuron normal. Pada EH tidak ada perubahan morfologi di neuron. Sedangkan, sel Alzheimer tipe II (astrosit) 4

memperlihatkan kelainan : dimana terjadi penurunan aktifitas transporter (glutamat), meningkatkan ekspresi reseptor benzodiazepin dan meningkatkan aktifitas monoamin oksidase (MAO). Sebagai akibatnya terjadi perubahan dalam komunikasi metabolik antara astrosit dan sel lain. Sebagai contoh, astrosit menghasilkan neurosteroid yang mengaktifkan reseptor GABA dan reseptor benzodiazepin endogen. c. Komunikasi endotel dengan astrosit : aliran darah otak dan EH Pasien dengan EH memiliki fluktuasi dalam perfusi serebral. Sebagian hewan eksperimental memperlihatkan peningkatan perfusi serebral pada keadaan tingginya kadar amonium. Hal ini diaktifkan oleh sinyal intraserebral yang dibangkitkan sesudah sintesis glutamin dalam astrosit. Hipotermia dan edem serebri dapat juga memiliki peranan penting dalam rendahnya perfusi serebral yang diperlihatkan pada hewan coba d. Hipotesis lain : 2,5,7,9 (1) Amonium Sesudah detoksifikasi amonium oleh astrosit sebagian perubahan neurokimia terjadi. Terdapat berbagai faktor yang berinteraksi dengan amonium, menyebabkan perubahan dalam astrosit (hiponatremia, peningkatan sitokin, perubahan dalam ligand astrosit), yang menghasilkan substrat anatomi dan sinergisme neurokimia yang dapat meningkatkan perkembagan EH. Tetapi, tingginya kadar amonium tidak berhubungan dengan beratnya ensefalopati. Di otak, amoniak dimetabolisme oleh astrosit menjadi glutamin. Glutamin kemudian disimpan dalam sel, menyebabkan pembengkakan sel. Amoniak secara in vitro dapat mengubah loncatan perpindahan pada membran sel saraf dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Terjadi peningkatan permeabilitas sawar darah otak tanpa rusaknya tight junction, mengakibatkan edema serebri yang bisa berlanjut ke peningkatan TIK. (2) Toksisitas sinergisme Menurut hipotesis ini terdapat neurotoksin yang bersinergi dengan amoniak seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus, akan menghambat pompa Na-K ATPase. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilamin dapat menekan aktivitas otak dan enzim monoamin oksidase, laktat-dehidrogenase, suksinat dehidrogenase dan prolin oksidase yang berpotensiasi dengan zat toksik lain seperti amoniak, mengakibatkan terjadinya koma hepatikum. (3) Neurotransmiter palsu Penurunan asam amino rantai cabang dapat merubah masuknya asam amino ke dalam otak, yang menjadi prekursor neurotransmiter palsu yang merubah sintesis glutamin, 5

seperti oktapamin dan feletanolamin yang lebih lemah dari dopamin dan norepinefrin . Pengalaman klinis dengan menambahkan asam amino merupakan terapi yang baik karena asam amino memiliki efek langsung ke otot, meningkatkan detoksifikasi amonium. Jalur neurotransmisi lain terlibat dalam perkembangan EH adalah serotonin (5HT), opiat dan katekolamin. Faktor tambahan lain yang dapat menyebabkan episode EH rekuren adalah status nutrisi khususnya pada penderita alkoholik yang mengalami defisiensi vitamin dan mikronutrien, seperti kekurangan Zinc yang merupakan kofaktor dalam siklus urea. Isu lain adalah kolonisasi H.pylori di lambung yang menghasilkan urease. (4) Benzodiazepin endogen Amoniak yang meningkat akan menghambat aktivitas otak menyebabkan meningkatnya efek GABA yang menghambat transmisi impuls disertai dengan adanya suatu substansi yang menyerupai benzodiazepin. I.5 Gambaran klinis Dari perspektif neurologi, terdapat beberapa gejala dan tanda EH, yaitu:2,9,11 1. Perubahan status mental. Pasien memperlihatkan perubahan perilaku ringan (stadium I) yang kadang teramati oleh anggota keluarga. Misalnya pasien kesulitan dalam melakukan perhitungan matematis yang sederhana, perubahan siklus bangun-tidur yang ditandai dengan kesulitan memulai tidur di malam hari dan mengantuk di siang hari. Bila ensefalopati berlanjut, pasien akan terlihat letargi dan cenderung somnolen (stadium II). Pada stadium III, kesadaran pasien stupor dan menjadi koma pada stadium IV dengan derajat respon yang bervariasi terhadap rangsangan nyeri. Klasifikasi ini dikenal dengan West Haven Classification. 2. Kelainan pada neuromuskular a) Asterixis Asteriksis adalah tanda klasik dari EH, meskipun bisa juga terlihat pada ensefalopati metabolik lainnya (seperti pada uremia, retensi CO2 dan hipomagnesia). Pada mulanya digambarkan sebagai gerakan palmar flapping yang terjadi tiba-tiba saat tangan dikembangkan pada posisi dorsofleksi pada pergelangan tangan. Asterixis juga sering terjadi pada otot-otot kaki, lidah, dagu. Patogenesis asterixis ini belum diketahui secara pasti, diduga disebabkan oleh gangguan fungsi ganglia basal dan talamus. b) Gangguan traktus kortikospinal Pada pasien EH stadium yang berat, dapat dijumpai reflek babinski bilateral dan klonus. c) Edema serebri 6

Seperti pada kelainan neurologi lainnya, edema serebri dapat tidak terdeteksi hingga terjadi suatu peningkatan TIK yang jelas. Oleh karena itu penting untuk memantau reflek pupil dan reflek okulovestibuler pada gagal hati akut. Pada sirosis hepatis, edema serebri ringan tidak terdiagnosis secara klinis. d) Gejala ekstrapiramidal Pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, dapat mengalami hipokinesia, rigiditas dan tremor postural seperti pada penyakit Parkinson. e) Degenerasi hepatoserebral. Pada pasien dengan pintasan portosistemik yang berlangsung lama, dapat mengalami degenerasi hepatoserebral berupa acquired hepatolenticular degeneration. Gejala ekstrapiramidal dan serebelar yang terutama terlihat, bersamaan dengan gejala paraparesis spastis, perubahan mood dan demensia. f) Gangguan respirasi. Merkaptan, suatu produk dari metabolisme bakteri usus dihubungkan dengan bau nafas yang busuk (fetor hepatikus). Bisa juga dijumpai hiperventilasi akibat stimulasi pusat pernafasan yang diinduksi oleh glutamat. Selain klasifikasi menurut West Haven Classification diatas, klasifikasi yang dibuat oleh Trey et al (1966) juga sering digunakan. Trey et al memasukan hasil rekaman elektroensefalografi (EEG) sebagai salah satu kriteria. Klasifikasi tersebut adalah :12 1. Stadium 1 (prodromal) a. Terjadi perubahan mental, berupa (1) kepandaian menurun, (2) tidur terganggu atau tidak teratur, (3) euforia dan kadangkala depresi, (4) kebingungan yang ringan dan berfluktuasi, (5) bereaksi lambat, (6) bicara tidak jelas, dan (7) suara monoton. b. Tremor ada, tapi sedikit c. Tidak ada perubahan pada rekaman EEG 2. Stadium 2 (impending koma atau prekoma) a. Perubahan mental sama dengan stadium 1, tapi lebih nyata b. Terdapat flapping tremor. Kadang dapat terjadi tremor pada kelopak mata yang tertutup, pada bibir yang dikatupkan dan pada lidah yang dijulurkan. c. Pada EEG terlihat kelainan berupa perlambatan gelombang otak 3. Stadium 3 (stupor) a. Mulai tampak seperti tidur, tetapi kadang masih ada reaksi. Berbicara inkoheren dan kekacauan pikiran makin nyata. b. Flapping tremor biasanya ada bila pasien masih bisa kooperatif c. EEG abnormal 7

4.

Stadium 4 (koma dalam) a. Terlihat seperti orang tidur yang dalam dan nyenyak. Bisa atau tidak bereaksi terhadap rangsangan b. Tremor tidak ada c. EEG abnormal

I.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang:5,12,13 1. 2. 3. Tentukan stadium dari EH, yang merupakan kombinasi dari penilaian perubahan derajat kesadaran, perubahan perilaku dan gangguan neuromuskular Pemeriksaan kadar amoniak darah. Ini penting diperiksa pada pasien dengan gagal hati akut. Kadar > 200g/dL mengindikasikan risiko tinggi terjadinya herniasi serebral Pemeriksaan/tes neuropsikologi. Pasien sirosis hati sering memperlihatkan gangguan kognitif tanpa disertai defisit neurologis yang jelas. Skor ensefalopati hepatik psikometri (PHES) seperti Number Connection test A dan B, line drawing, digital symbols dan points following dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan tersebut, terutama fokus pada waktu untuk bereaksi dan ketepatan, konstruksi visual, konsentrasi, atensi dan memori. 4. Pemeriksaan neurofisiologi (EEG). Pada EEG akan terlihat perlambatan yang progresif berupa aktivitas lambat simetris yang bermula di lead frontal dan menyebar ke posterior sesuai dengan makin dalamnya penurunan kesadaran. Perubahan ini khas namun tidak spesifik, dapat membantu dalam mengidentifikasi kelainan difus namun tidak cukup dalam mendiagnosis gagal hati 5. Pemeriksaan imajing otak. CT scan atau MRI kepala hanya membantu dalam menyingkirkan lesi struktural. Namun pada EH stadium lanjut, pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya edema serebri. I.7 Penatalaksanaan Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan EH adalah: 7,9 1. 2. 3. Mengobati penyakit dasar Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus Mengurangi dan mencegah pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak dengan cara mengurangi asupan protein, pemberian asam amino rantai cabang, pemberian laktulosa dan antibiotika dan pembersihan saluran cerna bagian bawah 4. Upaya suportif jka ditemukan komplikasi seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna dan gangguan keseimbangan elektrolit 8

5.

Memperbaiki eliminasi amoniak. Zink adalah kofaktor semua reaksi pada siklus urea. Pasien dengan sirosis dan defisiensi zink mengalami perbaikan dalam mensintesis urea setelah suplementasi zink. Pemberian suplemen jangka panjang sangat bermanfaat pada pasien dengan ensefalopati kronik ringan

6.

Memperbaiki abnormalitas dari neurotransmiter.

I.8 Prognosis Prognosis tergantung pada keparahan EH/gagal hati dan lamanya /waktu. Pasien dengan gagal hati berat 30% meninggal karena EH. Ensefalopati hepatikum akut dengan koma atau gagal hati fulminan, 80% akan berakhir dengan kematian.14

II. SIROSIS HATI II.1 Pendahuluan Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus degeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.13 II.2 Klasifikasi dan Etiologi Sirosis secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata dan dekompensata. Berdasarkan morfologi, sirosis hati (SH) dibagi menjadi (1) makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm) , (2) mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) dan (3) kombinasi antara bentuk makronodular dan mikronodular.12,13 Sebagian besar SH diklasifiasikan secara etiologis dan morfologis, yaitu: (1) alkoholik, (2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrotik), (3) biliaris, (4) kardiak, dan (5) metabolik, keturunan dan terkait obat. Etiologi tersering penyakit ini di negara barat adalah alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B dan C.13 11.3 Patologi dan Patogenesis Gambaran patologi hati pada SH pasca nekrotik biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopis konsisten dengan gambaran makroskopis. Pada patogenesis SH pasca nekrotik, terdapat peran dari sel stelata. Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ektraseluler dan proses degradasi. Pembentukan 9

fibrosis menunjukkan perubahan pada proses keseimbangan ini. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misalnya hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis juga berjalan terus di dalam sel stelata dan jaringan hati yang normal diganti oleh jaringan ikat.13 11.4 Gambaran klinis Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata) gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur dan demam yang tidak terlalu tinggi.13 Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai spider angioma (spider telangiektasi), eritema palmaris, perubahan kuku Muchrche, jari gada, kontraktur dupuytren, ginekomastia, atroi testis hipogonadisme, splenomegali, asites, fetor hepatikum, ikterik dan asterixis bilateral.13 II.5 Gambaran Laboratoris Tes fungsi hati meliputi pemeriksaan enzim aspartat dan alanin aminotransferase (AST dan ALT), alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase (GGT), bilirubin, albumin dan waktu protrombin. AST dan ALT meningkat tapi tidak begitu tinggi. Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas. GT konsentrasinya tinggi pada sirosis alkoholik. Bilirubin konsentrasinya bisa meningkat pada sirosis lanjut. Albumin konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis, sedangkan globulin konsentrasinya meningkat. Waktu protrombin memanjang dan natrium serum kadarnya menurun pada sirosis dengan asites. USG sudah rutin digunakan karena non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang.13 II.6 Diagnosis Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan SH. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan tandatanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.13 hepatomegali,

10

II.7 Komplikasi Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasi yang ditimbulkannya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain adalah: (1) peritonitis bakterialis spontan (PBS), (2) sindroma hepatorenal, (3) varises esofagus, dan (4) EH.13 II.8 Pengobatan Terapi ditujukan untuk mengurangi progesifitas penyakit hati, menghindari bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.13 II.9 Prognosis Prognosis SH sangat bervariasi, dipengaruhi oleh sejumlah faktor (etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai). SH saat ini masih dianggap sebagai kondisi yang ireversibel. Sepuluh persen pasien SH kompensata akan menjadi dekompensata setiap tahunnya. Penderita SH dekompensata mempunyai angka ketahanan hidup 5 tahun hanya sekitar 20%. Sedangkan penderita SH hati dengan komplikasi PBS mempunyai angka ketahanan hidup sebesar 30-40% dan pada EH sekitar 40% dalam satu tahun.15 ILUSTRASI KASUS Seorang pasien laki-laki usia 44 tahun, dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP DR M Djamil Padang sejak tanggal 6 -12- 2011, dengan: Keluhan Utama : Gelisah dan meracau sejak 12 jam yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang : Demam sejak 2 minggu yang lalu, tidak menggigil dan tidak berkeringat dan menurut keluarga, pasien terlihat pucat disertai buang air kecil berwarna teh pekat. Pasien juga mengeluh sakit perut sejak 2 minggu yang lalu, hilang timbul dan disertai mual sejak 3 hari terakhir Tidur malam kurang nyenyak sejak 2 minggu yang lalu Nafsu makan berkurang sejak 3 hari yang lalu dan mengalami buang air besar berwarna hitam Pasien terlihat gelisah didahului banyak tidur sejak 12 jam yang lalu dan saat di IGD rumah sakit os meracau dan mengamuk. Mata terlihat kuning tidak ada

11

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit kuning atau sakit liver sebelumnya tidak ada Riwayat transfusi darah tidak ada Riwayat operasi bedah tulang 11 tahun yang lalu ec. fraktur cruris sinistra Riwayat hipertensi tidak ada Riwayat DM tidak ada Riwayat orang tua sakit kuning disangkal Kakak no.2 (laki-laki) meninggal karena penyakit liver Pasien seorang pekerja swasta Riwayat minum alkohol sejak 17 tahun yang lalu Riwayat suka makan kacang-kacangan tidak ada
Kesadaran Keadaan umum Tekanan darah Frek nadi Frek nafas Suhu Keadaan gizi : delirium : sedang : 130/70 mmHg : 112 x/menit pengisian cukup : 26 x/menit : 38C : sedang Tinggi badan Berat badan IMT Sianosis Edema Anemis Ikterik : 165 cm : 65kg : 23,9 (normoweight) : (-) : (-) : (+) : (-)

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

Pemeriksaan Umum

Kulit Kelenjar Getah Bening Kepala Rambut Mata Telinga Hidung Tenggorokan Gigi & Mulut Leher Dada: Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung

: spider nevi (-) : tidak teraba pembesaran : tidak ditemukan kelainan : hitam, tidak mudah dicabut : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : carries (+), mukosa mulut tidak ikterik : JVP 5-2 cmH2O : Simetris statis dan dinamis kiri = kanan, spider nevi (-) : Fremitus kiri = kanan : Sonor kiri = kanan, pekak hepar pada RIC V : Suara nafas vesikuler, rokhi (-/-), wheezing (-/-) 12

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Perut Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Punggung Alat kelamin Anus Anggota gerak Status neurologi:

: Iktus tak terlihat : Iktus teraba 2 jari medial LMCS RIC V : Batas Jantung kiri : 1 jari med LMCS RIC V, batas kanan: LSD, batas atas: RIC II : Bunyi jantung murni, reguler M1>M2, P2<A2, bising (-) : Perut tidak membuncit : Hepar teraba 1 jari bawah arkus kostarum, pinggir tumpul, rata, konsistensi padat, : Shiffting dullness (+) : Bising usus (+) normal : Nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok CVA(-) : Tak ada kelainan : Tidak ada kelainan : Edema (-/-), palmar eritema (+/+), flapping tremor (+)

Kesadaran apatis; GCS: E3M5V4 = 12 Tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-), Kernig (-) Tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK): tidak ada Nn. Kranialis: NI N II N III : penciuman belum bisa dinilai : belum bisa dinilai : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), pupil isokor 3mm, ptosis (-), motorik tidak bisa dinilai N IV : belum bisa dinilai NV : reflek kornea (+/+), motorik dan sensorik belum bisa dinilai N VI : belum bisa dinilai N VII : motorik: wajah simetris dengan rangsang nyeri sensorik: belum bisa dinilai N VIII : belum bisa dinilai N IX,X : arcus faring simetris, uvula ditengah, reflek muntah ada N XI : belum bisa dinilai N XII : belum bisa dinilai Motorik: ekstremitas superior dan inferior tidak nampak lateralisasi Reflek fisiologis: 13

Bisep Trisep KPR APR Reflek patologis: Babinski

++ ++ ++ ++ +

++ ++ ++ ++ +

Tes fungsi kognitif : NCT (number connection test) tidak bisa dilakukan Hasil Laboratorium 6 Desember 2011 Darah (RSUD Padang) : Hb Leukosit GDR : 5,2 gr % : 47.900/mm : 249 mg/dl SGOT SGPT Albumin Globulin : 94 u/L : 69 u/L : 1,7 g/dL : 3,4 g/dL

Total protein : 5,1 g/dL

Bilirubin total : 0,6 mg/dL Bilirubin direk: 0,5 mg/dL Bilirubin indirek: 0,1 mg/dL RSUP DR.M.Djamil Padang : Hb Lekosit Hitung jenis LED Trombosit Eritrosit MCV MCH MCHC Hematokrit Retikulosit : 5,7 gr% : 58700/mm3 : 0/0/2/70/17/2 : 48 /mm : 289000 : 1,89 juta/mm3 : 103 fL : 30,3 pg : 29,3% : 19,6 : 70 (5-10 )

Protein total Globulin

: 5,1 g/dL : 1,7 g/dL : 3,4 g/dL

Albumin

Bilirubin total : 0,6 mg/dl Bilirubin direct : 0,5 mg/dL Bilirubin indirect : 0,1 mg/dL Natrium Kalium Khlorida HBsAg Ureum Creatinin : (+) : 85,25 g/dL : 0,96 g/dL : 134 mmol/L : 4,8 mmol/L : 107 mmol/L

Kesan: Eritrosit : anisositosis, normokrom, polikromasi Leukosit : leukositosis, netrofil shift to the left Trombosit: jumlah cukup Kimia klinik : 14

pH pCO2 pO2 Na+ K+ HCO3HCO3 std TCO2 BE ecf BE (B) SO2 c THbc Kesan :

: 7,51 : 23 mHg : 62 mmHg ; 132 mmol/L : 4,5 mmol/L : 18,4 mmol/L : 22,4 mmol/L : 19,1 mmol/L : -4,6 mmol/L : -3,2 mmol/L : 94 % : 11,2 g/dL

APTT PT Hb Ht Leukosit Trombosit

: 29 detik (29,2-39,4) : 13,4 detik (10,0-13,6) : 6,2 g/dL : 18,9 % : 63.300 /mm3 : 292.000/mm3

Anemia berat normositik normokrom ec. hemolitik et hemoragik Hipoksia ec?

EKG: Heart rate Irama Axis Gel P PR interval : 75 x/menit : sinus : normoaxis : normal ST segmen T inverted SV1+RV5 R/S V1 Q patologis Kesan : isoelektrik : V1 : < 35 mm :<1 : (-) : dalam batas normal

QRS komplek : 0,08 detik : 0,16 detik

Foto Thorax : kesan dalam batas normal Diagnosis Kerja: Terapi 15 Prekoma hepatik Sherlock grade II ec. sekunder Hematemesis melena ec. pecahnya varises esofagus ec. sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom Hipoalbuminemia SIRS

- Ranitidine 2 x 50 mg (IV) - Istirahat/ NGT/puasa - IVFD Comafuchsin :Triofuchsin : NaCl 0,9% = - Drip sandostatin 2 ampul dalam D5% 500 2:1:1 (6 jam/500cc) Cefotaksim 2 x 1 gram (IV) Transamin 3 x 1gram (IV) Vit K 3x 1 ampul (IV) Koreksi albumin cc 8 jam/kolf - Transfusi PRC s.d Hb 8 gr/d - Madopar 3 x 1 tab (po) - Lactulac 3 x 30 cc (po) -Klisma/hari

Pemeriksaan anjuran Faal hepar (bilirubin total, bilirubin I dan II, SGOT, SGPT, albumin, globulin, GT) USG abdomen Darah lengkap (eritrosit, MCV, MCH,MCHC, retikulosit, trombosit) Gastroskopi PT/APTT SGOT/SGPT Bilirubin direct/indirect Albumin, globulin Cek Hb serial EEG

Follow up Tanggal 7-12-2011 A/ PF/ Mulai bisa diajak bicara, tidur kurang, mengeluh sakit perut, NGT masih berdarah, BAK seperti teh pekat KU Nadi : lemah : 110 x/menit TD : 140/80 mmHg Nafas : 20x/menit Suhu : 36,5C

Kesadaran : CMC, Flapping tremor (+) NCT : 2 menit 18 detik WD/ Th/ Prekoma hepatikum (perbaikan) Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus ec.sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises esophagus SIRS Hipoalbuminemia Lanjut Transfusi PRC s.d Hb 8 gr/dL Koreksi albumin 16

Tanggal 8-12-2011 A/ pasien sadar, sakit perut (+), darah di NGT (+), BAK seperti teh pekat (+) PF/ KU Nadi : sedang : 96x/menit TD : 110/80 mmHg Nafas : 20x/menit Suhu : 38C

Kesadaran : CMC, Flapping tremor (-/-) Hasil laboratorium: Darah: Hb Lekosit LED Hitung Jenis Trombosit Eritrosit Kesan : Eritrosit : hipokrom, polikromasi Leukosit : jumlah sangat meningkat, netrofil shift to the left WD/ Prekoma hepatikum (perbaikan) Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus ec. sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises esophagus SIRS Hipoalbuminemia : 39 : 0/2/3/76/15/4 : 217.000/ mm3 : 2,04 juta/mm3 : 6,3 gr% : 26.100/mm3 MCHC Ht Retikulosit MCV MCH : 31 % : 21% : 60 : 101 fL : 31 pg

Tanggal 10-12-2011 A/ pasien sadar, sakit perut (+), darah di NGT (-), BAK seperti teh pekat (-) PF/ KU Nadi : sedang : 90x/menit TD : 110/60 mmHg Nafas : 20x/menit Suhu : 37,4C

CMC, Flapping tremor (-/-) Urinalisa: Makroskopis: Warna Mikroskopis: Leukosit Eritrosit Epitel : kuning : (+) (7-8/LPB) : (+)(1-2/LPB) : gepeng (+) Bilirubin Protein : (-) : (-) 17 Urobilinogen : (+)

Glukosa Protein total ; 3,2 g/dL Bilirubin total 1,3 g/dL Bilirubin direct : 0,83 g/dL Bilirubin indirect : 0,47 g/dL Trigliserida ; 82,9 mg/dL WD/ -

: (-)

Prekoma hepatikum (perbaikan) Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) Sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises esophagus SIRS Hipoalbuminemia

Tanggal 11-12-2011 A/ PF/ pasien sadar, BAK seperti teh pekat (-), edem kedua tungkai (+) KU Kes : sedang : CMC TD Nadi : 110/60 mmHg : 90x/menit Nafas : 20x/menit Suhu : 37,1C

NCT : 1 menit USG Abdomen :

18

Hati : membesar, permukaan tidak rata, parenkim heterogen, kasar, pinggir tajam, vena tidak melebar, duktus biliaris tidak melebar, vena portal melebar 14,2 cm Kandung Empedu : dinding tebal, batu (-) Pankreas ; normal Lien : membesar Ginjal : tidak membesar, batu (-), hidronefrosis (-), kista(-) Diagnosa USG : serosis hati, splenomegali, hipertensi portal Kolesistitis kronis 19

WD/

Prekoma hepatikum (perbaikan) Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) ec. sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises esophagus SIRS

Tanggal 15-12-2011 A/ PF/ pasien sadar, makan kurang, BAB kurang lancar, edem tungkai dan perut membesar KU Kes WD/ Th/ : sedang : CMC TD Nadi : 120/90 mmHg : 84x/menit Nafas : 20x/menit Suhu : 36,6C

Hasil Laboratorium : ureum : 19,91 g/dL; creatinin : 0,61 g/dL (kesan : perbaikan) Prekoma hepatikum (perbaikan) Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) ec sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises esophagus SIRS (perbaikan) Hipoalbuminemia

Lanjut Koreksi albumin

Tanggal 17-12-2011 A/ PF/ edem tungkai (+), perut agak membesar KU Kes : sedang : CMC TD Nadi : 130/80 mmHg : 72x/menit ureum ; 19,91 g/dL creatinin : 0,61 g/dL (kesan : perbaikan) Nafas : 20x/menit Suhu : afebris

Hasil Laboratorium : Hb : 10,7 g/dL Protein total : 6,397 g/dL Albumin : 2,275 g/dL; Globulin 4,1 g/dL WD/ Prekoma hepatikum (perbaikan) Hematemesis melena ec pecahnya varises esophagus (perbaikan) ec sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata 20

Th/

Anemia berat normositik normokrom ec perdarahan akut ec pecahnya varises esophagus SIRS (perbaikan) Hipoalbuminemia

Lanjut Koreksi albumin

Tanggal 19-12-2011 Albumin : 2,454 g/dL Tanggal 22-12-2011 Gastroskopi : Esofagus : varises esophagus grade III Lambung : Gastropati HP Gastroskopi masuk sepanjang 85 cm Kesan : Varises esophagus grade III Gastropati HP Tanggal 24-12-2011 Pasien minta pulang. DISKUSI Telah dilaporkan kasus, seorang pasien laki-laki berumur 44 tahun dengan diagnosis awal: Prekoma hepatik Sherlock grade II Hematemesis melena ec. pecahnya varises esofagus ec. sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata Anemia berat normositik normokrom Hipoalbuminemia SIRS

Diagnosis ini berdasarkan pada anamnesis gelisah dan meracau sejak 12 jam yang lalu dan termasuk klasifikasi Sherlock grade II karena ditemukan penurunan kesadaran berupa kebingungan, bicara tidak jelas dan meracau disertai adanya flapping tremor. Diperkirakan EH yang terjadi adalah sekunder akibat adanya faktor presipitasi berupa perdarahan saluran cerna, infeksi (SIRS) dan dehidrasi serta adanya riwayat gangguan tidur 2 minggu sebelumnya. 21

Demikian juga berdasarkan klasifikasi menurut West Haven classification dan klasifikasi menurut Trey dkk, pasien dikategorikan pada EH stadium II karena dijumpai adanya gangguan status mental dan gejala neuromuskular yaitu asterixis (flapping tremor). Pada pasien ini ensefalopati yang dialami akibat kondisi anemia berat (Hb waktu masuk rumah sakit 5,7 g%) dan hipoksia (berupa saturasi oksigen yang 94%) sehingga menyebabkan oksigenisasi otak terganggu. Setelah dikoreksi dengan pemberian transfusi PRC dan oksigenisasi kesadaran cepat membaik (pada hari ke II rawatan). Pada literatur dikatakan bahwa hipoksia sering dialami oleh pasien EH yang merupakan pertanda bahwa kelainan heparnya cukup berat, dimana sering dijumpai hiperventilasi dengan turunnya tekanan arteri PCO2 dan meningkatnya kadar pH yang terutama timbul pada keadaan koma sampai koma dalam sedangkan bila dijumpai asidosis metabolik biasanya jarang diakibatkan oleh gangguan hepar. Pada pasien ini dijumpai hipoksia dengan PCO2 turun tetapi PH asidosis metabolik tidak sesuai dengan gangguan heparnya. Sedangkan kriteria SIRS dapat ditegakkan sesuai data suhu yang tinggi (demam-suhu 38 ), leukosistosis (leukosit > 12.000/mm3 ), takikardia (Nadi > 90 x/menit), frekuensi nafas > C 20 x/menit. Pemeriksaan NCT yang dilakukan pada hari ke-2 rawatan tidak sesuai dengan klinis dimana pasien sudah compos mentis tetapi NCT sangat rendah (2 menit 18 detik). Hal ini dapat disebabkan karena kondisi pasien yang masih berbaring dan belum bisa duduk atau memang masih mengalami mild EH. Nilai normal number connection test dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Waktu yang dibutuhkan s.d 30 detik 31-50 detik 51-80 detik 81-120 detik Sukar melakukan Stadium EH 0-1 1-2 2-3 3

Number connection test direkomendasikan untuk menilai EH akan tetapi dapat dipengaruhi usia dan tingkat pendidikan. Pada pemeriksaan fisik dijumpai hepar membesar 2 jari arkus kosta dan lien teraba S2. Dijumpai shifting dullness dan nyeri tekan serta nyeri lepas di seluruh permukaan abdomen. Pada anggota gerak dijumpai palmar eritem dan edema pada kedua tungkai. Dari pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya anemia normokrom normositik dan hipoalbuminemia. Semua data ini sesuai untuk pasien dengan serosis hepatis stadium dekompensata dan dibuktikan dari hasil USG abdomen dengan kesan serosis hati, splenomegali, hipertensi portal dan kolesistitis kronis 22

Pada hari kelima rawatan terjadi perbaikan, hematemesis dan melena tidak dijumpai lagi, tetapi Hb masih rendah sehingga pada pasien belum bisa dilakukan endoskopi dan transfusi masih lanjut sedangkan analisa cairan ascites tidak dilakukan karena ascites minimal. Kadar albumin masih rendah dan sesuai klinis terdapat ascites di perut dan edem kedua tungkai dan direncanakan koreksi albumin. Perbaikan Hb terjadi pada hari ke 11 rawatan dimana Hb : 10,7 g/dL dan albumin pada hari ke-13 rawatan naik menjadi: 2,454 g/dL, dan hasil ini sejalan dengan perbaikan klinis. Profil lipid dalam hal ini kadar trigliserida yang menurun sesuai untuk gambaran adanya gangguan fungsi sintesis hepar dan dari laboratorium tidak ditemukan kesan kearah kolestasis. Pasien mendapat terapi prekoma sesuai dengan tujuan terapi EH, selain itu pasien juga mendapat terapi untuk SIRS yaitu pemberian antibiotik sefalosporin generasi ke-3intravena dalam hal ini diberikan cefotaksim 2 x 1 gr serta rehidrasi dan oksigenisasi yang adekuat. Pada terapi prekoma, salah satu obat yang didapat pasien adalah madopar (mengandung L-dopa dan benserazid), obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi gejala penyakit Parkinson. Mekanisme kerja L-dopa pada ensefalopati hepatikum ini belum diketahui dengan pasti. Diduga neurotransmitter palsu seperti oktopamin, yang dihasilkan di saluran cerna dari degradasi nitrogen yang normalnya didetoksikasi di hepar, mencapai sirkulasi serebral pada kasus penyakit hati akut atau kronik melalui kolateral porto-sistemik. Neurotransmiter palsu ini berkompetensi dengan dopamin, suatu neurotransmitter sinaptik di formasio retikularis di batang otak sehingga dapat menyebabkan penurunan kesadaran. L-dopa, yang merupakan prekursor dopamine dapat mengganti neurotransmitter palsu ini setelah diubah menjadi dopamin sehingga dapat memperbaiki kesadaran. Setelah mendapat terapi, keadaan pasien makin membaik. Salah satunya ditandai dengan hilangnya flapping tremor. Patogenesis flapping tremor ini juga belum diketahui dengan pasti, diduga karena adanya gangguan di ganglia basal (khususnya substansia nigra yang menghasilkan dopamine) dan thalamus. Oleh karena itu madopar dapat juga dipakai untuk memperbaiki gejala asterixis ini. Prognosis pada pasien adalah dubia ad malam karena keadaan pasien sangat rentan untuk berulang dan dianjurkan untuk beristirahat cukup, kontrol teratur dan diet rendah protein. Daftar Pustaka 1. Wright WL, Encephalopathy. In : Handbook of neurocritical care. 10th Ed. New Jersey. Humana Press, 2004 : 19-30

23

2.

Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Multifocal, diffuse, and metabolic brain disease causing delirium, stupor, or coma. In: Plum and Posner Diagnosis of Stupor and Coma. 4th ed. Oxford: Oxford University Press, 2007: 224-240

3.

Dhiman RK, Saraswat VA, Sharma BK, Sarin SK, Chawla YK, Butterwoth E et al. 2010. Minimal hepatic encephalopathy: consensus statement of a working party of the Indian National Association for Study of the Liver. Journal of Gastroenterology and Hepatology 25 (2010) 10291041.

4. 5. 6. 7.

Tarigan P. Ensefalopati Hepatik. Dalam: Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi ke-1. Jakarta: Jayabadi, 2007: 407-419 Lizardi-Cervera J, Almeda P, Guevara L, Uribe M. hepatic encephalopathy : a review in Annals of Hepatology 2003; 2(3): July-September: 122-130 Prakash R, Mullen KD. 2010 Mechanisms, diagnosis and management of hepatic encephalopathy. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 7, 515525 Zubir N. Koma Hepatikum. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M, Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 499-451

8. 9.

Lemberg A, Fernandez MA. 2009. Hepatic encephalopathy, ammonia, glutamate, glutamine and oxidative stress. Annals of Hepatology; 8 (2) : April-June: 95-102 Blei AT, Weissenborn K. Hepatic Rncephalophaty. In: Billler J et al eds. The Interface of Neurology & Internal Medicine. Philadelphia: Wolter Kluwer Lippicont Williams and Wilkins, 2008: 281-289

10. Komolmit P, Davies M. Hepatic Encephalopathy.In: Management of severe liver disease. Leeds: The Medicine Publishing Company Ltd, 1999: 77-79 11. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. 2002. Hepatic encephalopathy-definition, nomenclature, diagnosis, and quantification : final report of the working party at the 11th world congresses of gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology : 716-722 12. Hadi S. Koma Hepatikum.1995. Dalam : Gastroenterologi. Edisi ke-6. Bandung : Penerbit Alumni : 447-460 13. Nirdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M, Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 443-4446 14. Irawan C, Abdullah M, Tarigan TJE, Marbun MB, Rinaldi I, Chen K et al. Ensefalopati Hepatik. Dalam: Irawan C, Tarigan THE, Marbun MB editor. Panduan tatalaksana 24

kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009: 44-47 15. Setiawan, Purnomo B. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga. Surabaya: Penyakit Dalam FK Unair, 2006: 129-136

25

Anda mungkin juga menyukai