Anda di halaman 1dari 10

Tatalaksana Ensefalopati (Farmakologis dan Nonfarmakologis)

A. PENDAHULUAN
Ensefalopati, berasal dari kata Yunani en-cephalo (di dalam otak) dan pathos
(menderita), adalah kelainan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan pada status
mental sehingga mempengaruhi tingkat kesadaran dan kewaspadaan pasien. 1,2 Manifestasi
umum dari pasien dengan ensefalopati adalah perubahan kesadaran mulai dari
kebingungan, delirium, hingga koma. 3 Berdasarkan jenis dan tingkat keparahan
ensefalopti, manifestasi klinis tambahan lainnya yaitu kehilangan kemampuan kognitif dan
ingatan, perubahan kepribadian, tidak dapat berkonsentrasi, letargi, dan kehilangan
kesadaran yang progresif. Gejala neurologis lainnya yang dapat ditemukan yaitu mioclonus
(kontraksi otot secara tidak sadar), nistagmus (gerakan bola mata tidak terkendali dan
cepat), tremor, atrofi dan kelemahan otot, demensia, kejang, dan kehilangan kemampuan
berbicara atau menelan.1
Delirium adalah salah satu sub tipe dari ensefalopati dengan gambaran klinis
gangguan kesadaran, gangguan pemusatan pikiran, gangguan orientasi, gangguan
persepsi (seperti halusinasi visual dan halusinasi auditorik), perubahan mood yang
berfluktuatif sepanjang hari, dan lain-lain. 2,4 Delirium merupakan manifestasi umum dari
enselopati ringan hingga sedang pada pasien dengan COVID-19. 3 Istilah ensefalopati
sebenarnya lebih mendeskripsikan sindrom klinis dibandingkan diagnosis dan memiliki
banyak etiologi yang mendasarinya.2

B. PEMBAHASAN
Ensefalopati dapat disebabkan oleh agen infeksi (seperti bakteri, virus, dan prion),
disfungsi metabolik atau mitokondria, tumor otak atau peningkatan tekanan pada
tengkorak, paparan lama terhadap zat toksik (seperti pelarut, obat-obatan, radiasi, zat
kimia industri, dan logam-logam tertentu), trauma progresif kronik, nutrisi buruk, dan

1
kekurangan oksigen atau darah ke otak. 1 Oleh sebab itu, terdapat beberapa jenis
ensefalopati, seperti hypoxic ischemic ensefalopati, enselopati hepatik, dan ensefalopati
hipertensi.5
1. Hypoxic Ischemic Ensefalopati (HIE)
Ensefalopati toksik adalah penyebab tersering komplikasi neurologis pada
pasien COVID-19. Salah satu etiologi tersering dari ensefalopati toksik pada COVID-
19 adalah HIE.6 Selain pada COVID-19, HIE dikenal sebagai salah satu penyebab
utama kematian dan disabilitas pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Neonatal HIE
merupakan sindrom klinis dengan gangguan fungsi neurologis pada awal kehidupan
(≥35 minggu gestasi) dengan manidestasi klinis berupa penurunan kesadaran,
kejang, disertai gangguan untuk memulai dan menjaga pernapasan. Tatalaksana
farmakologis dari HIE bersifat neuroprotektif, yaitu untuk mengurangi kerusakan
serebral dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas yang toksik,
menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron, dan mengurangi
edema serebral.7 Berikut adalah beberapa tatalaksana farmakologis dari HIE:
i) Allopurinol
Allopurinol memiliki efek antioksidan sehingga dapat mengurangi
pembentukan radikal bebas yang merusak jaringan dan dapat menjaga sawar
darah otak. Dosis yang diberikan adalah 500 mg.7
ii) Cannabinoid
Cannabinoid memiliki fungsi neuroprotektor karena dapat memodulasi
respon neuronal dan glial. Cannabinoid juga memiliki fungsi antiinflamasi, efek
vasodilator, fungsi sel endotelial, dan dapat mengatur homeostasis kalsium. 7
iii) Recombinant human erythropoietin (rhEPO)
rHEPO memiliki efek neuroprotetif dengan mengikat reseptor RPO di
neuron dan glia. Umumnya diberikan dengan dosis 300 atau 500 U/kg.
Intervensi non farmakologi terdiri dari terapi sel punca dan terapi hipotermia. 7
i) Terapi Sel Punca
Pada HIE, terjadi kerusakan sel yang mengakibatkan nekrosis dan apoptosis.
Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel yang rusak, sebagai
antiinflamasi, dan antiapoptosis. Sel punca diambil dari sel punca neural dan
mesenkimal menggunaan darah tali pusat. Keuntungan penggunaan darah tali

2
pusat yaitu mudah mendapatkan sel punca primitif, tidak membutuhkan
imunosupresan untuk transplantasi autologis, dan dapat disimpan hingga ≥30
tahun. Kerugiannya yaitu jumlah sel terbatas dan berpotensi menularkan infeksi
atau penyakit genetik.7
ii) Terapi hipotermia
Terapi hipotermia merupakan terapi utama HIE dan terbukti sangat efektif
dalam mengurangi risiko disabilitas dan kematian pada bayi dengan klasifikasi
HIE sedang dan berat. Tujuan utama terapi hipotermia adalah untuk
menurunkan metabolisme otak, menyimpan energi, dan mencegah kegagalan
energi sekunder dan kematian sel, sehingga tidak terjadi fase cedera sekunder.
Penurunan temperatur hingga suhu 34.5 ± 0.5 oC untuk selective head cooling dan
34.5 ± 0.5oC untuk whole-body cooling telah menjadi standar penanganan bayi
dengan cedera otak. Untuk setiap penurunan 1 oC, laju metabolik serebral turun
sebesar 6-7%.7
2. Ensefalopati hepatik
Ensefalopatik hepatik (EH) adalah sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi
akibat penyakit hati akut dan kronik berat dengan manifestasi ringan hingga berat
seperti gangguan intelektual, perubahan perilaku, dan penurunan kesadaran tanpa
disertai kelainan pada otak yang mendasarinya. Berdasarkan kelainan hati yang
mendasarinya, EH terbagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe A yang berhubungan dengan
gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B yang berhubungan
dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati,
dan tipe C yang berhubungan dengan hipertensi portal dan sirosis. 8
Berdasarkan gejalanya, EH terbagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt.
EHM adalah istilah yang digunakan jika ditemukan defisit kognitif seperti perubahan
kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan elektrofisiologi dan
psikometrik. EH overt dibagi menjadi EH episodik yang terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang fluktuasi dan EH persisten yang terjadi secara
progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat. Berbagai kondisi yang
memicu timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun kronik yaitu,
gangguan asam basa dan elektrolit, penggunaan obat-obatan, dan keseimbangan

3
nitrogen positif dalam tubuh (seperti gangguan ginjal, asupan protein yang tinggi,
konstipasi, dan pendarahan varises esofagus).8
Patofisiologi EH disebabkan oleh akumulasi berbagai toksin dalam
peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan molekul
toksik pada sel yang berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya
meningkat pada pasien sirosis hati. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri
usus (terutama bakteri gram negatif anaerob seperti Clostridium, Proteus,
Enterobacteriaceae) dengan aktivitas enzim urease. Enzim urease bakteri akan
memecah urea menjadi amonia dan karbon dioksida. Amonia masuk ke dalam hati
melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolisme oleh hati dilakukan di
dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea
melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana
urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin. Pada keadaan sirosis, penurunan
massa hepatosit fungsional mengakibatkan detoksifikasi amonia oleh hati menurun
ditambah dengan adanya shunting portosistemik yang membawa darah
mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati. 8
Peningkatan kadar amonia dalam darah meningkatkan risiko permeabilitas
sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis. Hal ini menyebabkan astrosit
otak memetabolisme amonia melalui enzim glutamin sintetase sehingga
menghasilkan glutamin. Glutamin menyebabkan edema serebri karena merupakan
molekul osmotik. Edema tersebut akan menyebabkan disfungsi neurologis. Selain
itu, amonia juga dapat secara langsung merangsang stres oksidatif dan nitrosatif
pada astrosit melalui peningkatkan kalsium intraseluler sehingga terjadi disfungsi
mitokondria dan kegagalan produksi energi seluler. Amonia juga memicu oksidasi
RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada
peningkatan aktivitas sitokin dan respon inflamsi sehingga mengganggu aktivitas
persinyalan intraseluler.8 Tatalaksana nonfarmakologis pada EH adalah
transplantasi hati yang dilakukan pada kondisi gagal hati dan pada EH overt yang
tidak bisa sembuh.9 Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang
diterapkan dalam tatalaksana EH.8 Berikut adalah beberapa tatalaksana
fakrmakologis untuk menurunkan kadar amonia:
i) Nonabsorbable disaccharides (laktulosa)

4
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Laktulosa
bersifat laksatif sehingga menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia
dengan menurunkan pH kolon dan mengurangi uptake glutamin. Laktulosa juga
dapat diubah menjadi monosakarida oleh flora normal usus yang digunakan
dsebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam
laktat dan ion hidrogen. Ion hidrogen yang dihasilkan mengubahn amonia (NH 3)
menjadi ion amonium (NH4). Ionisasi tersebut menyebabkan amonia dari darah
menuju lumen. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 mL sehari dan
dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa yaitu
menurunnya persepsi rasa dan kembung.8
ii) Antibiotik
Antibiotik berfungsi untuk menurunkan produksi amonia dengan menekan
pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia. Selain itu,
antibiotik juga mempunyai efek anti-inflamasi dan aktivitas downregulation
glutaminase. Antibiotik utama yang digunakan untuk pengobatan HE adalah
rifampisin dengan dosis 2x550 mg dan lama pengobatan 3-6 bulan. Rifampisin
menjadi antibiotik utama yang digunakan karena memiliki aktivitas spektrum
luas terhadap bakteri gram positif, anaerobik gram negatif, dan anaerobik, serta
efek samping minimal.8 Selain rimfapicin, neomicin dan metronidazole juga
digunakan untuk terapi antimikrobial.9
Neomicin bekerja dengan mengurangi produksi amonia pada bakteri dengan
menginhibisi aktivitas enzim glutaminase (enzim yang mengkonversi glutamin
menjadi glutamat dan amonia). Neomicin oral diberikan dengan dosis 1-4 gram
per hari. Namun, neomicin dapat memiliki efek samping berupa ototoksisitas
dan nefrotoksisitas sehingga hanya digunakan sebagai agen alternatif dalam
tatalaksana HE.9
Metronidazole bekerja dengan mengurangi produksi urease pada bakteri
anaerobik gram negatif usus. Urease menghidrolisis urea menjadi amonia dan
karbon dioksida. Metronidazole diberikan dengan dosis 4x200 mg/hari.
Penggunaan metronidazole jangka panjang dapat menyebabkan efek samping

5
berupa neurotoksisitas sehingga dijadikan agen alternatif dalam tatalaksana
HE.9
iii) L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA adalah garam stabil yang tersusun dari dua asam amino. LOLA berkerja
sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan
glutamin. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot sehingga
menurunkan amonia di dalam darah dengan merangsang ureagenesis. LOLA
dapat ditransminase dengan α-ketoglutarate menjadi glutamat melalui enzim
ornithine aminotransferase (OAT) dan aspartat aminotransferase (AAT).
Amonia yang dihasilkan dapat menstimulasi glutamin sintetase sehingga
membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Walaupun begitu, glutamin
dapat dimetabolisme kembali menjadi amonia melalui phosphate-activated
glutaminase (PAG). Sebagai tambahan, LOLA juga mengurangi edema serebri
pada pasien dengan EH.8

Gambar C.1. Jalur amonia yang diinduksi LOLA.8

3. Ensefalopati hipertensi
Ensefalopati hipertensi ditandai dengan perubahan status mental dan
kenaikan tekanan darah yang parah. Gejala dari ensefalopati hipertensi terdiri dari
sakit kepala bertahap, mual, dan muntah, diikuti dengan gejala neurologis berupa
bingung, kejang, lelah, dan koma. Jika hipertensi diobati dengan tepat, gejala
ensefalopati umumnya reversibel. Ensefalopati hipertensi dipicu oleh kontrol
hipertensi primer yang tidak cukup.10
Tatalaksana dari ensefalopati hipertensi adalah pemberian terapi
antihipertensi untuk menurunkan mean arterial pressure (MAP) sebanyak 10-15%
pada 1 jam pertama. Terapi antihipertensi awal diberikan secara parenteral (terapi

6
antihipertensi oral tidak boleh diberikan pada tatalaksana fase awal karena memiliki
onset aksi yang lambat).10 Terapi antihipertensi parenteral yang diberikan yaitu:
i) Nicardipine
Nicardipine merupakan golongan calcium channel blockers yang bekerja
dengan menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan
jantung sehingga terjadi relaksasi arteriol dan penurunan resistensi perifer.
Nicardipine diberikan dengan dosis 5 mg/jam, dosis maksimalnya adalah 15
mg/jam. 10,11
ii) Labetalol
Labetalol merupakan golongan beta bloker. Labetalol diberikan dalam bolus
intravena sebanyak 20 mg, diikuti dengan pemberian 20-80 mg bolus setiap 10
menit. Dosis maksimal labetalol adalah 300 mg/hari. Labetalol bisa juga
diberikan dengan infus berkelanjutan sebanyak 0.5-2 mg/menit. 10
iii) Fendolopam
Fendolopam diberikan dengan dosis 0.1 mcg/kg/menit. Fendolopam sangat
bermanfaat pada pasien dengan penyakit ginjal.10
iv) Clevidipine
Clevidipine merupakan golongan calcium channel blockers, dan dan
diberikan dengan dosis awal 1 mg/jam. Dosis maksimumnya adalah 21 mg/jam. 10
v) Sodium nitroprusside
Sodium nitroprusside merupakan vasodilator kuat yang bekerja dengan cara
melepaskan nitrat oksida, aktivasi reseptor D1, membuka kanal kalium, dan
memblok reseptor α dan β. Sodium nitroprusside diberikan dengan dosis awal
0.25-0.5 mcg/kg/menit. Dosis maksimumnya adalah 8-10 mcg/kg/menit.
Sodium nitroprusside bukan obat lini pertama karena dapat meyebabkan
toksisitas sianida.10

B. PENUTUP
Ensefalopati adalah kelainan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan pada
status mental sehingga mempengaruhi tingkat kesadaran dan kewaspadaan pasien.
Ensefalopati dapat disebabkan banyak etiologi, mulai dari agen infeksi, disfungsi metabolik

7
atau mitokondria, tumor otak atau peningkatan tekanan pada tengkorak, paparan lama
terhadap zat toksik, trauma progresif kronik, nutrisi buruk, dan kekurangan oksigen atau
darah ke otak. Oleh sebab itu, terdapat beberapa jenis ensefalopati, seperti ensefalopati
metabolik, enselopati hepatik, dan ensefalopati hipertensi.
Hypoxic Ischemic Ensefalopati (HIE) adalah etiologi tersering dari ensefalopati toksik
yang terjadi pada sebagian besar COVID-19. Tatalaksana farmakologis HIE terdiri dari
allopurinol, cannabinoid, dan Recombinant human erythropoietin (rhEPO). Terapi
nonfarmakologis dari HIE terdiri dari terapi sel punca dan terapi hipotermia. Ensefalopatik
hepatik adalah sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi akibat penyakit hati akut dan
kronik berat dengan manifestasi ringan hingga berat seperti gangguan intelektual,
perubahan perilaku, dan penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan pada otak yang
mendasarinya. Tatalaksana farmakologis dari ensefalopatik hepatik terdiri dari laktulosa,
antibiotik (rifampisin, neomicin, dan metronidazole), dan L-Ornithine L-Aspartate (LOLA).
Tatalaksana nonfarmakologis dari ensefalopatik hepatik dapat berupa transplantasi hati.
Ensefalopati hipertensi adalah ensefalopati yang ditandai dengan perubahan status mental
dan kenaikan tekanan darah yang parah. Gejala dari ensefalopati hipertensi terdiri dari sakit
kepala bertahap, mual, dan muntah, diikuti dengan gejala neurologis berupa bingung,
kejang, lelah, dan koma. Tatalaksana dari ensefalopati hipertensi adalah nicardipine,
labetalol, fendolopam, clevidipine, dan sodium nitroprusside.
Pasien pada pemicu kemungkinan besar mengalami HIE sehingga dapat
dipertimbangkan pemberian tatalaksana berupa allopurinol, cannabinoid, Recombinant
human erythropoietin (rhEPO), terapi sel punca, dan terapi hipotermia.

C. REFERENSI
1. Encephalopathy information page [Internet]. Bethesda: National Institute of
Neurological Disorders and Stroke [updated 2019 Mar 27; cited 2021 Sept 8].
Available from: https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Encephalopathy-
Information-Page#disorders-r3
2. Erkkinen MG, Berkowitz AL. A clinical approach to diagnosing encephalopathy.

Am J Med. 2019 Oct;132(10):1142-47.


3. Garg RK, Paliwal VK, Gupta A. Encephalopathy in patients with COVID-19: A review.
J Med Virol. 2021;93:206-22.

8
4. Elvira SD. Buku ajar psikiatri, 2nd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2013.
5. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s principles of neurology. 10 th ed. New
York: McGraw-Hill; 2014.
6. Frontera JA, Melmed K, Fang T, Granger A, Lin J, Yaghi S, et al. Toxic metabolic
encephalopathy in hospitalized patients with COVID-19. Neurocrit Care. 2021;
7. Anggriawan A. Tinjauan klinis hypoxic-ischemic encephalopathy. Cdk-243.
2016;43(8):582–3.
8. Anurogo D. Ensefalopatik hepatik: apa, mengapa, dan bagaimana?. Medicinus.
2014;27(3):1–8.
9. Liou IW, Price J. Diagnosis and management of hepatic encephalopathy [internet].
Washington: Hepatitis C Online. [updated 2021 Feb 27; cited 2021 Sept 8]. Available
from: https://www.hepatitisc.uw.edu/go/management-cirrhosis-related-
complications/hepatic-encephalopathy-diagnosis-management/core-concept/all
10. Potter T, Schaefer TJ. Hypertensive encephalopathy. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021.
11. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Arif A, Bahry B, Dewoto H. Farmakologi dan
terapi. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2012.

9
10

Anda mungkin juga menyukai