PENDAHULUAN
Ulkus peptikum adalah cedera asam peptik pada mukosa traktus
gastrointestinal, yang dapat menyebabkan kerusakan hingga lapisan
submukosa. Ulkus peptikum umumnya mengenai lambung dan duodenum
proksimal. [1,2] Penyebab tersering dari ulkus peptikum adalah
infeksi Helicobacter pylori. Penyebab lain adalah konsumsi nonsteroidal
antiinflammatory drugs (NSAID) dan keadaan yang menyebabkan
hipersekretori asam lambung, seperti faktor konsumsi makanan dan stres.
[2]
Pasien ulkus peptikum umumnya datang dengan keluhan nyeri ulu hati,
kembung, dan mual-muntah. Pada keadaan lebih berat, dimana sudah
terjadi perforasi, pasien dapat mengeluhkan muntah darah, buang air
besar berwarna hitam, dan gejala peritonitis. Diagnosis dikonfirmasi
dengan melakukan endoskopi. [3]
Tatalaksana utama dari ulkus peptikum adalah terapi gaya hidup dan
farmakologi yang bertujuan menurunkan asam lambung serta mengobati
infeksi H.pylori. Regimen yang direkomendasikan adalah triple
therapy menggunakan proton pump inhibitor (PPI) atau penghambat H2
(H2 blocker), dan dua antibiotik, misalnya
regimen omeprazole, amoxicillin, dan clarithromycin. [3-5]
EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi dari ulkus peptikum dilaporkan berkisar 10% di Amerika
Serikat. Data epidemiologi secara nasional di Indonesia belum tersedia.
[5]
Global
Epidemiologi ulkus peptikum di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 10%.
[5] Sebuah studi di Iran melaporkan bahwa prevalensi ulkus peptikum
adalah sebesar 8,20%, dimana prevalensi ulkus gaster adalah 3,26% dan
ulkus duodenum 4,94%. [9] Studi lain di Swedia menunjukkan bahwa
prevalensi ulkus gaster adalah 2,0%. [10]
Indonesia
Sebuah penelitian di RSCM pada tahun 2004-2008 menyatakan bahwa
prevalensi ulkus gaster adalah 20,7% dan ulkus duodenum 12% dari 816
orang yang menjalani endoskopi. [11]
PROGNOSIS
Apabila penyebab yang mendasari terjadinya ulkus peptikum dapat
diatasi, prognosis pasien umumnya baik. Eradikasi H.pylori mampu
menurunkan rekurensi dari 60-90% menjadi 10-20%. [5]
Komplikasi
Pada ulkus peptikum yang disebabkan infeksi H.pylori, rekurensi dan
reinfeksi dapat terjadi. Studi kohort yang dilakukan di Lithuania tahun
2015 menunjukan adanya kasus reinfeksi H. pylori pada 17 dari 57 pasien
yang diteliti. Pola hidup yang sehat, serta menghindari segala bentuk
faktor risiko dapat mengurangi risiko reinfeksi. [18]
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah perdarahan dan perforasi.
Apabila erosi dan ulserasi terus berlangsung, kerusakan mukosa akan
berlanjut ke struktur yang lebih dalam, hingga mengenai pembuluh darah
dan menyebabkan perdarahan yang bercampur dengan cairan lambung.
Apabila berlanjut, kerusakan akan mencapai lapisan lambung terluar dan
menyebabkan perforasi dimana isi lambung keluar ke rongga peritoneum
Pasien dengan perforasi ulkus peptikum akan mengeluhkan gejala akut
abdomen dengan tanda peritonitis lokalisata maupun generalisata.
[12,19]
Prognosis
Pasien dengan ulkus peptikum memiliki risiko sebesar 5% dalam hidupnya
untuk mengalami perforasi. Risiko perforasi pada ulkus peptikum yang
disebabkan konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID)
berkisar 0,3% per pasien tahun, dan insidensi obstruksi adalah 0,1% per
pasien tahun. [5]
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien perforasi ulkus peptikum
memiliki mortalitas 8,9% pada pasien usia < 65 tahun. Tingkat mortalitas
ini meningkat seiring usia dan dapat mencapai 44,6% pada pasien usia di
atas 80 tahun. [25]
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi ulkus peptikum adalah adanya ketidakseimbangan antara
faktor protektif dari mukosa gaster dan faktor destruktif, sehingga terjadi
kerusakan mukosa yang menyebabkan ulkus pada traktus
gastrointestinal. Faktor protektif antara lain mukus, bikarbonat,
prostaglandin, sel epitel, sel progenitor mukosa, dan aliran darah mukosa.
Faktor destruktif antara lain penggunaan nonsteroidal antiinflammatory
drugs (NSAID), Helicobacter pylori, asam lambung, dan pepsin. [6]
Infeksi H. pylori
Infeksi H. pylori merupakan penyebab ulkus peptikum terbanyak.
Mekanisme kerusakan mukosa oleh bakteri H. pylori merupakan proses
yang kompleks, namun pada dasarnya bakteri H. pylori mengandung
enzim urease yang mampu memproduksi ammonia (NH3) dari urea.
Amonia akan bereaksi dengan asam lambung (HCl) membentuk
monochloramine (NH2Cl).
Amonia bersifat asam lemah. Adanya amonia menyebabkan kondisi
lambung menjadi lebih basa, sehingga menguntungkan bagi H. pylori.
Selain itu, amonia juga bersifat destruktif terhadap epitel lambung.
Infeksi H.pylori juga memicu reaksi radang. Sel radang yang berkumpul
akan menginduksi nekrosis sel lambung. H. pylori juga secara langsung
menstimulasi pembentukan reactive oxygen species yang dapat
menyebabkan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan kematian
sel. [3,6]
Konsumsi NSAID
Konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) dalam jangka
panjang dapat menyebabkan terhambatnya produksi prostaglandin.
Prostaglandin sendiri berfungsi dalam mengatur aktivitas molekuler pada
sel lambung, antara lain mengurangi aktivitas sel mast dan menghambat
adhesi leukosit, serta mengatur kecukupan peredaran darah untuk
mukosa lambung.
NSAID juga berperan langsung dalam kerusakan mukosa dengan
mengerahkan neutrofil dan memproduksi reactive oxygen species (ROS)
yang menimbulkan stress oksidatif. [6]
DIAGNOSIS
Diagnosis dari ulkus peptikum ditegakkan pada pasien dengan keluhan
nyeri ulu hati, kembung, dan mual-muntah. Kemudian dikonfirmasi
melalui endoskopi.
Anamnesis
Pasien dengan ulkus peptikum umumnya datang dengan keluhan nyeri
abdomen bagian epigastrium, seperti terbakar atau rasa perih yang tidak
nyaman. Nyeri dapat muncul segera setelah makan atau beberapa jam
setelahnya. Gejala lain yang dapat muncul adalah kembung, distensi
abdomen, mual-muntah, dan penurunan berat badan.
Pada pasien dengan ulkus duodenum, nyeri abdomen umumnya timbul
saat pasien sedang tidak makan atau ketika malam hari. Nyeri umumnya
akan membaik dengan konsumsi makanan atau pemberian agen penetral
asam lambung.
Pada keadaan yang lebih berat, dapat terjadi perdarahan yang ditandai
dengan hematemesis dan melena. Gejala peritonitis berupa nyeri tajam
yang berat dan tiba-tiba juga dapat muncul jika sudah terjadi perforasi.
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan mengenai faktor risiko, seperti
konsumsi NSAID dan atau kortikosteroid dan aspirin jangka waktu lama.
[3,12]
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien ulkus peptikum yang belum perforasi, umumnya pemeriksaan
fisik hanya menunjukkan nyeri tekan regio epigastrium dan distensi
abdomen. Jika sudah terjadi perforasi, akan didapatkan nyeri yang tajam,
berat dan tiba-tiba, biasanya dirasakan di seluruh abdomen. Pasien akan
tampak kesakitan dan sulit bergerak, dengan posisi berbaring dalam
posisi fetal. Pada pemeriksaan abdomen akan didapatkan nyeri tekan
seluruh kuadran disertai rigiditas dan defans muskular. [5]
Diagnosis Banding
Penyakit ulkus peptikum ditandai dengan nyeri epigastrium yang juga
dapat terjadi pada penyakit saluran pencernaan lain.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa endoskopi digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya ulkus pada gaster atau duodenum. Pemeriksaan
penunjang lain, seperti urea breath test dan biopsi digunakan untuk
mendeteksi adanya H.pylori.
Endoskopi
Edukasi Pasien
Karena infeksi H.pylori adalah penyebab tersering dari ulkus peptikum,
maka pencegahan infeksi menjadi unsur yang penting. Nutrisi merupakan
aspek yang juga harus diperhatikan untuk menciptakan suasana yang
baik bagi lambung.
Pencegahan Infeksi
Jenis makanan yang harus dihindari adalah makanan yang pedas, asam,
tinggi kafein, minuman berkarbonasi, dan makanan tinggi lemak. Jenis
makanan ini dapat menstimulasi produksi asam lambung.
ETIOLOGI
Etiologi ulkus peptikum adalah rusaknya mukosa traktus gastrointestinal,
umumnya lambung dan duodenum proksimal. Kerusakan ini dipengaruhi
beberapa faktor risiko seperti infeksi Helicobacter
pylori, konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID), stres,
merokok, dan konsumsi alkohol kronik. [3,7]
Faktor Risiko
Sebuah tinjauan sistematik melaporkan faktor risiko yang berkaitan
dengan munculnya ulkus peptikum, rekurensinya, dan mortalitasnya.
Infeksi pylori
Obat : NSAID, aspirin
Pertambahan usia
Pertambahan usia
Pertambahan usia
Komorbiditas
Penggunaan steroid
Keadaan klinis : syok, kadar Hb rendah saat masuk rumah sakit, tekanan
darah rendah, keterlambatan penanganan
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ulkus peptikum bergantung pada keadaan pasien saat
datang. Pasien dengan perdarahan atau perforasi membutuhkan tata
laksana gawat darurat dengan stabilisasi, endoskopi, atau pembedahan.
Pasien yang tidak memiliki kegawatdaruratan ditatalaksana dengan triple
therapy untuk eradikasi H.pylori, serta diberikan penurun asam lambung.
Eradikasi H.Pylori
Eradikasi merupakan kunci keberhasilan terapi ulkus peptikum yang
disebabkan infeksiH.pylori. Penelitian membuktikan triple therapy lebih
baik dibandingkan pemberian antisecretory agent dalam mencegah
perdarahan berulang pada ulkus peptikum.
Triple Therapy
Triple therapy adalah terapi standar yang telah digunakan sejak lama dan
masih menjadi pilihan hingga saat ini. Terapi ini terdiri dari Proton Pump
Inhibitor (PPI) berupa omeprazole 40 mg sekali sehari atau lansoprazole
30 mg dua kali sehari + Amoxicillin1000 mg + Clarithromycin 500 mg dua
kali sehari selama 7-10 hari dan dapat diteruskan hingga 14 hari. Terapi
ini dinilai sangat baik dengan tingkat eradikasi mencapai 80-90%.
Pada pasien yang alergi amoxicillin, regimen dapat diganti menjadi Proton
Pump Inhibitor (PPI) + Clarithromycin 500 mg + Metronidazole 500 mg
dua kali sehari selama 7-10 hari.
Pilihan alternatif lainnya adalah terapi kombinasi bismut selama 7-14 hari.
Kombinasi terapi ini adalah pemberian PPI dua kali sehari, bismut 240 mg
dua kali sehari, metronidazole 400 mg dua hingga tiga kali sehari, dan
tetrasiklin 400 mg empat kali sehari. Keberhasilan eradikasi H. pylori
kombinasi terapi ini mencapai lebih dari 80%.
2. Lanas A, Chan FKL. Peptic Ulcer Disease. Lancet, 2017. 390 : 613-24.
3. Mustafa M, Menon J, Muiandy RK, et al. Risk factor, diagnosis, and management of peptic
ulcer disease. IOSR J of Dental and Med Sci, 2015. 14(7): 40-46.
4. J. Fashner, A.C Gitu. Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer Disease and H.
pyloriInfection. Am Fam Phys, 2015. 91(4) : 236-242.
8. Lau JY, Sung J, Hill C, et al. Systematic Review of the Epidemiology of Complicated Peptic
Ulcer Disease: Incidence, Recurrence, Risk Factors and Mortality. Digestion, 2011. 84(2):
102–113. doi:10.1159/000323958
10. Aro P, Storskrubb T, Ronkainen J, et al. Peptic Ulcer Disease in a General Adult
Population. American Journal of Epidemiology, 2006. 163(11): 1025–1034.
doi:10.1093/aje/kwj129
11. H. Agustian, D. Makmun, C.H. Soejono. Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
pada Pasien Dyspepsia Usia Lanjut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 2015, 2(2) : 87-89
12. Malfertheiner P, Chan FK, McColl KE. Peptic ulcer disease. The Lancet, 2009. 374(9699):
1449–1461. doi:10.1016/s0140-6736(09)60938-7
13. W.D. Chey, G.I. Leontiadis, C.W. Howden, S.F. Moss. ACG Clinical Guideline: Treatment
of Helicobacter pylori Infection. Am J Gastroenterol. 2017,112:212–238.
17. Y. Gong, Y.Yuan. Accuracy of testing for anti-Helicobacter pylori IgG in urine for H. pylori
infection diagnosis: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 2017, 7:e013248.
19. K. Soreide, K. Thorsen, J. A. Soreide. Perforated peptic ulcer. Lancet. 2015, 386(10000):
1288-98
20. S. Ishaq, L. Nunn. Helicobacter pylori and gastric cancer: a state of the art review.
Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2015, 8(1): S6–S14.
21. N.D. Vomero, El. Colpo. Nutritional Care in Peptic Ulcer. ABCD Arq Bras Cir Dig.
2014,27(4):298-302.
22. J.M.Park, M. Jeong, E.H. Kim, Y.M. Han, et al. Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids
Intake to Regulate Helicobacter pylori- Associated Gastric Diseases as Nonantimicrobial
Dietary Approach. BioMed Research International. 2015:712363; 1-11.
23. I. Anwar, S. Sadeeqa. Peptic ulcer: Mini review with respect to case. Int J Vaccin.
2018;5(2):39-40.
24. Hooi JKY, Lai WY, Ng WK, et al. Global Prevalence of Helicobacter pylori Infection:
Systematic Review and Meta-Analysis. Gastroenterology 2017;153:420–429.
25. Christensen S, Riis A, Nørgaard M, Sørensen HT, Thomsen RW. Short-term mortality after
perforated or bleeding peptic ulcer among elderly patients: a population-based cohort
study. BMC Geriatr. 2007;7:8. Published 2007 Apr 17. doi:10.1186/1471-2318-7-8