Anda di halaman 1dari 13

ULKUS PEPTIKUM

PENDAHULUAN
Ulkus peptikum adalah cedera asam peptik pada mukosa traktus
gastrointestinal, yang dapat menyebabkan kerusakan hingga lapisan
submukosa. Ulkus peptikum umumnya mengenai lambung dan duodenum
proksimal. [1,2] Penyebab tersering dari ulkus peptikum adalah
infeksi Helicobacter pylori. Penyebab lain adalah konsumsi nonsteroidal
antiinflammatory drugs (NSAID) dan keadaan yang menyebabkan
hipersekretori asam lambung, seperti faktor konsumsi makanan dan stres.
[2]
Pasien ulkus peptikum umumnya datang dengan keluhan nyeri ulu hati,
kembung, dan mual-muntah. Pada keadaan lebih berat, dimana sudah
terjadi perforasi, pasien dapat mengeluhkan muntah darah, buang air
besar berwarna hitam, dan gejala peritonitis. Diagnosis dikonfirmasi
dengan melakukan endoskopi. [3]

Tatalaksana utama dari ulkus peptikum adalah terapi gaya hidup dan
farmakologi yang bertujuan menurunkan asam lambung serta mengobati
infeksi H.pylori. Regimen yang direkomendasikan adalah triple
therapy menggunakan proton pump inhibitor (PPI) atau penghambat H2
(H2 blocker), dan dua antibiotik, misalnya
regimen omeprazole, amoxicillin, dan clarithromycin. [3-5]

EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi dari ulkus peptikum dilaporkan berkisar 10% di Amerika
Serikat. Data epidemiologi secara nasional di Indonesia belum tersedia.
[5]

Global
Epidemiologi ulkus peptikum di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 10%.
[5] Sebuah studi di Iran melaporkan bahwa prevalensi ulkus peptikum
adalah sebesar 8,20%, dimana prevalensi ulkus gaster adalah 3,26% dan
ulkus duodenum 4,94%. [9] Studi lain di Swedia menunjukkan bahwa
prevalensi ulkus gaster adalah 2,0%. [10]

Prevalensi infeksi bakteri H.pylori bervariasi antar negara di dunia.


Higienitas yang baik berkaitan dengan penurunan prevalensi
infeksi H.pylori. Infeksi H.pylori dilaporkan lebih tinggi di Cina (55,8%) dan
Asia Tenggara (Malaysia 28,6%). [24]

Indonesia
Sebuah penelitian di RSCM pada tahun 2004-2008 menyatakan bahwa
prevalensi ulkus gaster adalah 20,7% dan ulkus duodenum 12% dari 816
orang yang menjalani endoskopi. [11]

PROGNOSIS
Apabila penyebab yang mendasari terjadinya ulkus peptikum dapat
diatasi, prognosis pasien umumnya baik. Eradikasi H.pylori mampu
menurunkan rekurensi dari 60-90% menjadi 10-20%. [5]

Komplikasi
Pada ulkus peptikum yang disebabkan infeksi H.pylori, rekurensi dan
reinfeksi dapat terjadi. Studi kohort yang dilakukan di Lithuania tahun
2015 menunjukan adanya kasus reinfeksi H. pylori pada 17 dari 57 pasien
yang diteliti. Pola hidup yang sehat, serta menghindari segala bentuk
faktor risiko dapat mengurangi risiko reinfeksi. [18]
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah perdarahan dan perforasi.
Apabila erosi dan ulserasi terus berlangsung, kerusakan mukosa akan
berlanjut ke struktur yang lebih dalam, hingga mengenai pembuluh darah
dan menyebabkan perdarahan yang bercampur dengan cairan lambung.
Apabila berlanjut, kerusakan akan mencapai lapisan lambung terluar dan
menyebabkan perforasi dimana isi lambung keluar ke rongga peritoneum
Pasien dengan perforasi ulkus peptikum akan mengeluhkan gejala akut
abdomen dengan tanda peritonitis lokalisata maupun generalisata.
[12,19]

Komplikasi lain dari ulkus peptikum yang perlu diperhatikan adalah


peningkatan risiko kanker gaster akibat infeksi H.pylori. [20]

Prognosis
Pasien dengan ulkus peptikum memiliki risiko sebesar 5% dalam hidupnya
untuk mengalami perforasi. Risiko perforasi pada ulkus peptikum yang
disebabkan konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID)
berkisar 0,3% per pasien tahun, dan insidensi obstruksi adalah 0,1% per
pasien tahun. [5]
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien perforasi ulkus peptikum
memiliki mortalitas 8,9% pada pasien usia < 65 tahun. Tingkat mortalitas
ini meningkat seiring usia dan dapat mencapai 44,6% pada pasien usia di
atas 80 tahun. [25]

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi ulkus peptikum adalah adanya ketidakseimbangan antara
faktor protektif dari mukosa gaster dan faktor destruktif, sehingga terjadi
kerusakan mukosa yang menyebabkan ulkus pada traktus
gastrointestinal. Faktor protektif antara lain mukus, bikarbonat,
prostaglandin, sel epitel, sel progenitor mukosa, dan aliran darah mukosa.
Faktor destruktif antara lain penggunaan nonsteroidal antiinflammatory
drugs (NSAID), Helicobacter pylori, asam lambung, dan pepsin. [6]

Infeksi H. pylori
Infeksi H. pylori merupakan penyebab ulkus peptikum terbanyak.
Mekanisme kerusakan mukosa oleh bakteri H. pylori merupakan proses
yang kompleks, namun pada dasarnya bakteri H. pylori mengandung
enzim urease yang mampu memproduksi ammonia (NH3) dari urea.
Amonia akan bereaksi dengan asam lambung (HCl) membentuk
monochloramine (NH2Cl).
Amonia bersifat asam lemah. Adanya amonia menyebabkan kondisi
lambung menjadi lebih basa, sehingga menguntungkan bagi H. pylori.
Selain itu, amonia juga bersifat destruktif terhadap epitel lambung.
Infeksi H.pylori juga memicu reaksi radang. Sel radang yang berkumpul
akan menginduksi nekrosis sel lambung. H. pylori juga secara langsung
menstimulasi pembentukan reactive oxygen species yang dapat
menyebabkan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan kematian
sel. [3,6]

Konsumsi NSAID
Konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) dalam jangka
panjang dapat menyebabkan terhambatnya produksi prostaglandin. 
Prostaglandin sendiri berfungsi dalam mengatur aktivitas molekuler pada
sel lambung, antara lain mengurangi aktivitas sel mast dan menghambat
adhesi leukosit, serta mengatur kecukupan peredaran darah untuk
mukosa lambung.
NSAID juga berperan langsung dalam kerusakan mukosa dengan
mengerahkan neutrofil dan memproduksi reactive oxygen species (ROS)
yang menimbulkan stress oksidatif. [6]

Asam Lambung dan Pepsin


Normalnya, asam lambung memiliki keasaman 1,5 – 3,5. Jika terjadi
infeksi H. pylori, produksi gastrin akan meningkat pada fase kronik,
menyebabkan peningkatan produksi asam lambung. Produksi asam
lambung yang berlebihan ini akan bersifat destruktif terhadap epitel
mukosa.
Pepsin merupakan enzim yang dihasilkan chief cell melalui pepsinogen
yang berguna dalam mencerna protein. Hilangnya lapisan mukosa pada
dinding lambung, menyebabkan pepsin malah mencerna epitel lambung
dan menyebabkan tukak pada mukosa lambung. Apabila terjadi perforasi,
isi lambung dapat menginfeksi peritoneum dan menyebabkan peritonitis.
[6]

DIAGNOSIS
Diagnosis dari ulkus peptikum ditegakkan pada pasien dengan keluhan
nyeri ulu hati, kembung, dan mual-muntah. Kemudian dikonfirmasi
melalui endoskopi.

Anamnesis
Pasien dengan ulkus peptikum umumnya datang dengan keluhan nyeri
abdomen bagian epigastrium, seperti terbakar atau rasa perih yang tidak
nyaman. Nyeri dapat muncul segera setelah makan atau beberapa jam
setelahnya. Gejala lain yang dapat muncul adalah kembung, distensi
abdomen, mual-muntah, dan penurunan berat badan.
Pada pasien dengan ulkus duodenum, nyeri abdomen umumnya timbul
saat pasien sedang tidak makan atau ketika malam hari. Nyeri umumnya
akan membaik dengan konsumsi makanan atau pemberian agen penetral
asam lambung.

Pada keadaan yang lebih berat, dapat terjadi perdarahan yang ditandai
dengan hematemesis dan melena. Gejala peritonitis berupa nyeri tajam
yang berat dan tiba-tiba juga dapat muncul jika sudah terjadi perforasi.
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan mengenai faktor risiko, seperti
konsumsi NSAID dan atau kortikosteroid dan aspirin jangka waktu lama.
[3,12]

Pemeriksaan Fisik
Pada pasien ulkus peptikum yang belum perforasi, umumnya pemeriksaan
fisik hanya menunjukkan nyeri tekan regio epigastrium dan distensi
abdomen. Jika sudah terjadi perforasi, akan didapatkan nyeri yang tajam,
berat dan tiba-tiba, biasanya dirasakan di seluruh abdomen. Pasien akan
tampak kesakitan dan sulit bergerak, dengan posisi berbaring dalam
posisi fetal. Pada pemeriksaan abdomen akan didapatkan nyeri tekan
seluruh kuadran disertai rigiditas dan defans muskular. [5]

Diagnosis Banding
Penyakit ulkus peptikum ditandai dengan nyeri epigastrium yang juga
dapat terjadi pada penyakit saluran pencernaan lain.

Dyspesia Fungsional dan Gastritis

Dyspepsia fungsional atau dyspepsia esensial, yang


merupakan nonulcerative disease (NUD) merupakan salah satu penyebab
nyeri perut bagian atas tersering. Gastritismerupakan inflamasi pada
lapisan mukosa gaster. Membedakan dyspepsia dan gastritis dari ulkus
peptikum adalah melalui endoskopi. Pasien dengan dyspepsia dan
gastritis dapat dirujuk untuk endoskopi jika tidak ada perbaikan gejala
walaupun sudah diberi terapi adekuat. [4,5]
Gastroesophaeal Reflux Disease

Gastroesophaeal reflux disease (GERD) ditandai dengan


adanya heartburn, disfagia, dan regurgitasi. Penyakit ini juga dibedakan
dengan ulkus peptikum berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi.  [4,5]
Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, pada umumnya gejala utama adalah diare. Penyakit


ini umumnya dapat sembuh dalam beberapa hari, berbeda dengan
keluhan ulkus peptikum yang seringkali hilang-timbul dan dirasakan
dalam waktu lama. [4,5]
Sindrom Koroner Akut

Nyeri epigastrik juga merupakan salah satu manifestasi sindrom koroner


akut. Mual-muntah juga merupakan gejala prediktif kuat dari infark
miokard akut. Oleh karena itu, sindrom koroner akut harus dieksklusi,
terutama pada pasien dengan faktor risiko.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa endoskopi digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya ulkus pada gaster atau duodenum. Pemeriksaan
penunjang lain, seperti urea breath test dan biopsi digunakan untuk
mendeteksi adanya H.pylori.
Endoskopi

Ulkus peptikum ditandai dengan adanya kerusakan mukosa berukuran >


5 mm yang ditutupi fibrin. Kerusakan < 5 mm disebut sebagai erosi.

Predileksi kerusakan mukosa pada gaster adalah pada angulus kurvatura


minor, sedangkan predileksi ulkus di duodenum adalah pada pars superior
duodenum dimana isi lambung memasuki intestinum. Saat melakukan
endoskopi, dapat pula dilakukan biopsi untuk identifikasi
infeksi H.pylori dan keganasan. [12]
Deteksi Infeksi H.pylori

Deteksi adanya infeksi H.pylori dapat dilakukan secara noninvasif


menggunakan urea breath test (UBT), tes serologi darah, dan stool
antigen test (SAT). Infeksi H.pylorimerupakan salah satu penyebab
tersering dari ulkus peptikum. [13]
Urea Breath Test :

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang pilihan bila pasien


tidak dapat dilakukan endoskopi. Pasien akan diminta menelan urea yang
sudah dilabel dengan isotop karbon 13 atau 14. Kemudian, sampel napas
pasien akan diambil. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas sebesar 96%
dan spesifisitas sebesar 93%. Selain digunakan untuk diagnosis,
pemeriksaan ini juga ditujukan untuk memonitor keberhasilan
pengobatan.

Pada pemeriksaan ini, obat proton pump inhibitor


seperti omeprazole perlu dihentikan selama 2 minggu terlebih dahulu.
Kelemahan dari pemeriksaan ini yaitu akurasinya menurun pada pasien
yang telah dilakukan gastrektomi distal. [4,5,14]
Stool Monoclonal Antigen Tests :

Pemeriksaan ini juga termasuk pilihan pemeriksaan penunjang noninvasif


untuk diagnosis infeksi H.pylori. Stool monoclonal antigen test dapat
dilakukan melalui enzyme immunoassay (EIA)
dan immunochromatography (ICA). Pemeriksaan ini merupakan pilihan
pada pasien yang telah dilakukan gastrektomi distal dan anak anak.
Pemeriksaan ini juga dipakai sebagai indikator kesembuhan karena hanya
dapat mendeteksi infeksi yang aktif. Pada pemeriksaan ini, obat proton
pump inhibitor juga perlu dihentikan selama 2 minggu terlebih dahulu. 
[4,5,15]
Tes Serologi :

Tes serologi mendeteksi anti-immunoglobulin G yang spesifik


dari H.pylori pada serum. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas tinggi
>90%, namun kelemahan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat
membedakan infeksi aktif dan infeksi terdahulu. [4,5,16]
Urine-Based ELISA dan Rapid Urine Test :

Pemeriksaan ELISA dan rapid immunochromatography (IM) assay dapat


digunakan untuk deteksi anti-immunoglobulin G H.pylori pada urin.
Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan terutama untuk diagnosis pada
banyak orang, namun pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 83% dan
spesifisitas 89%, lebih rendah dibanding pemeriksaan noninvasif lainnya.
[2,5,17]
Biopsi Endoskopi :

Saat melakukan endoskopi, dapat pula diambil sampel untuk mendeteksi


adanya infeksi H.pylori. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan paling
invasif namun efektif karena dapat digunakan untuk mendiagnosis ulkus
peptikum bersamaan dengan mengidentifikasi infeksi H.pylori.
Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas >90-95%.
Jaringan yang diambil akan dianalisis di bawah mikroskop menggunakan
pewarnaan sederhana seperti hematoxylin dan eosin. Hasil biopsi juga
dapat dikultur. [2,5,16]

EDUKASI DAN PROMOSI


Edukasi yang dapat dilakukan untuk mencegah ulkus peptikum di
antaranya adalah edukasi diet, manajemen stres, dan modifikasi gaya
hidup.

Edukasi Pasien
Karena infeksi H.pylori adalah penyebab tersering dari ulkus peptikum,
maka pencegahan infeksi menjadi unsur yang penting. Nutrisi merupakan
aspek yang juga harus diperhatikan untuk menciptakan suasana yang
baik bagi lambung.
Pencegahan Infeksi

Upaya pencegahan infeksi H. pylori dapat dilakukan dengan menjaga


kebersihan tubuh, mencegah penularan dengan penggunaan alat makan
bersamaan, dan cuci tangan yang bersih. Kebersihan merupakan faktor
penting dalam transmisi H. pylori.
Pola Makan

Jenis makanan yang harus dihindari adalah makanan yang pedas, asam,
tinggi kafein, minuman berkarbonasi, dan makanan tinggi lemak. Jenis
makanan ini dapat menstimulasi produksi asam lambung.

Penting untuk diingatkan kepada pasien untuk makan tepat waktu


minimal 3 kali sehari. Pola makan yang teratur membentuk pola produksi
asam lambung yang lebih teratur. Hal ini dapat mencegah terjadinya
gastritis dan ulkus peptikum.

Pada pasien yang sudah mengalami ulkus peptikum, frekuensi makan


dapat ditingkatkan dengan jumlah yang kecil-kecil setiap kali makan.

Omega 3 Polyunsaturated Fatty Acid

Omega 3 polyunsaturated fatty acid (n3-PUFA) merupakan komponen


yang terkandung dalam minyak yang didapat dari berbagai jenis ikan,
sayuran, dan sumber tanaman lain. Penelitian mengindikasikan bahwa n-3
PUFA memiliki efek antiradang, antioksidan, dan antimikrobial terhadap H.
pylori.
Gaya Hidup

Pasien dengan ulkus peptikum disarankan untuk melakukan perubahan


gaya hidup, seperti menghindari stres, dan tidak berbaring setelah
makan. Gaya hidup sehat juga dapat mencegah pasien dari berbagai
penyakit, seperti arthritis dan gangguan kardiovaskular, yang dapat
memaparkan pasien pada konsumsi obat yang meningkatkan risiko ulkus
peptikum (misalnya aspirin dan NSAID). [21-23]

ETIOLOGI
Etiologi ulkus peptikum adalah rusaknya mukosa traktus gastrointestinal,
umumnya lambung dan duodenum proksimal. Kerusakan ini dipengaruhi
beberapa faktor risiko seperti infeksi Helicobacter
pylori, konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID), stres,
merokok, dan konsumsi alkohol kronik. [3,7]

Faktor Risiko
Sebuah tinjauan sistematik melaporkan faktor risiko yang berkaitan
dengan munculnya ulkus peptikum, rekurensinya, dan mortalitasnya.

Faktor Risiko Munculnya Ulkus Peptikum

Faktor risiko yang berkaitan dengan munculnya ulkus peptikum di


antaranya :

 Infeksi pylori
 Obat : NSAID, aspirin

 Jenis kelamin laki-laki

 Pertambahan usia

 Adanya komorbiditas : gangguan cemas


menyeluruh, schizophrenia, penyakit paru obstruktif kronis
 Alkoholisme kronik
 Merokok [8]

Faktor Risiko Rekurensi Ulkus Peptikum


Faktor risiko yang berkaitan dengan munculnya rekurensi ulkus peptikum
di antaranya :

 Pertambahan usia

 Obat : NSAID, aspirin, antikoagulan, imunosupresan, kortikosteroid


(misal : prednison)
 Infeksi pylori
 Ukuran ulkus > 1 cm

 Kelas Forrest I (ulkus peptikum dengan perdarahan aktif), dan II (ulkus


peptikum dengan riwayat perdarahan dalam waktu dekat)

 Sindrom Zollinger-Ellison [8]

Faktor Risiko Mortalitas Ulkus Peptikum

Faktor risiko yang berkaitan dengan mortalitas ulkus peptikum di


antaranya :

 Pertambahan usia

 Komorbiditas

 Penggunaan steroid

 Keadaan klinis : syok, kadar Hb rendah saat masuk rumah sakit, tekanan
darah rendah, keterlambatan penanganan

 Kelas Forrest I-II

 Rekurensi komplikasi [8]

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ulkus peptikum bergantung pada keadaan pasien saat
datang. Pasien dengan perdarahan atau perforasi membutuhkan tata
laksana gawat darurat dengan stabilisasi, endoskopi, atau pembedahan.
Pasien yang tidak memiliki kegawatdaruratan ditatalaksana dengan triple
therapy untuk eradikasi H.pylori, serta diberikan penurun asam lambung.

Tatalaksana Perdarahan dan Perforasi


Pasien ulkus peptikum yang datang dengan perdarahan atau dicurigai
mengalami perforasi, harus diberikan tata laksana kegawatdaruratan
terlebih dulu. Setelah pasien stabil, dapat dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan apakah terjadi peritonitis atau tidak, serta apakah
dibutuhkan tindakan operatif atau tidak

Eradikasi H.Pylori
Eradikasi merupakan kunci keberhasilan terapi ulkus peptikum yang
disebabkan infeksiH.pylori. Penelitian membuktikan triple therapy lebih
baik dibandingkan pemberian antisecretory agent dalam mencegah
perdarahan berulang pada ulkus peptikum.
Triple Therapy

Triple therapy adalah terapi standar yang telah digunakan sejak lama dan
masih menjadi pilihan hingga saat ini. Terapi ini terdiri dari Proton Pump
Inhibitor (PPI) berupa omeprazole 40 mg sekali sehari atau lansoprazole
30 mg dua kali sehari + Amoxicillin1000 mg + Clarithromycin 500 mg dua
kali sehari selama 7-10 hari dan dapat diteruskan hingga 14 hari. Terapi
ini dinilai sangat baik dengan tingkat eradikasi mencapai 80-90%.
Pada pasien yang alergi amoxicillin, regimen dapat diganti menjadi Proton
Pump Inhibitor (PPI) + Clarithromycin 500 mg + Metronidazole 500 mg
dua kali sehari selama 7-10 hari.
Pilihan alternatif lainnya adalah terapi kombinasi bismut selama 7-14 hari.
Kombinasi terapi ini adalah pemberian PPI dua kali sehari, bismut 240 mg
dua kali sehari, metronidazole 400 mg dua hingga tiga kali sehari, dan
tetrasiklin 400 mg empat kali sehari. Keberhasilan eradikasi H. pylori
kombinasi terapi ini mencapai lebih dari 80%.

Tatalaksana Ulkus Peptikum H.Pylori Negatif NSAID Negatif


Ulkus peptikum yang tidak disebabkan oleh H.pylori ataupun NSAID dan
aspirin adalah suatu kejadian yang sangat jarang. Pada keadaan ini,
pemeriksa harus benar-benar memastikan bahwa ulkus peptikum tidak
disebabkan oleh infeksi H.pylori dan tidak ada riwayat penggunaan NSAID
ataupun obat lain yang meningkatkan risiko ulkus peptikum. Kultur dan
anamnesis riwayat medis yang lengkap harus dilakukan.
Ulkus peptikum idiopatik dapat ditatalaksana menggunakan proton pump
inhibitor (PPI). Dosis lebih tinggi diduga akan lebih efektif pada keadaan
ini, namun belum ada konsensus yang menyatakan berapa dosis yang
lebih efektif. Perlu diingat bahwa penggunaan PPI jangka
panjang meningkatkan risiko kanker. Utilisasi berlebih dari PPI harus
dihindari. [12]
REFERENSI
1. W. I. Najm. Peptic Ulcer Disease, Prim Care, 2011 Sep;38(3):383-94.

2. Lanas A, Chan FKL. Peptic Ulcer Disease. Lancet, 2017. 390 : 613-24.

3. Mustafa M, Menon J, Muiandy RK, et al. Risk factor, diagnosis, and management of peptic
ulcer disease. IOSR J of Dental and Med Sci, 2015. 14(7): 40-46.

4. J. Fashner, A.C Gitu. Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer Disease and H.
pyloriInfection. Am Fam Phys, 2015. 91(4) : 236-242.

5. B.S. Anand. Peptic Ulcer Disease. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/181753-


overview

6. A. Choudhary, A. Singh, Peptic Ulcer: A Review on Epidemiology, Molecular Mechanism of


Pathogenesis and Management, 2014, 2(4) : 788-796

7. Levenstein S, Rosenstock S, Jacobsen RK, Jorgensen T. Psychological stress increases risk


for peptic ulcer regardless of Helicobacter pylori infection or use of NSAID. Clin
Gastroenterol Hepatol, 2014. https://doi.org/10.1016/j.cgh.2014.07.052

8. Lau JY, Sung J, Hill C, et al. Systematic Review of the Epidemiology of Complicated Peptic
Ulcer Disease: Incidence, Recurrence, Risk Factors and Mortality. Digestion, 2011. 84(2):
102–113. doi:10.1159/000323958

9. Barazandeh F, Yazdanbod A, Pourfarzi F, Sepanlou SG, Derakhshan MH, Malekzadeh R.


Epidemiology of peptic ulcer disease: endoscopic results of a systematic investigation in
iran. Middle East J Dig Dis, 2012. 4(2):90-6.

10. Aro P, Storskrubb T, Ronkainen J, et al. Peptic Ulcer Disease in a General Adult
Population. American Journal of Epidemiology, 2006. 163(11): 1025–1034.
doi:10.1093/aje/kwj129

11. H. Agustian, D. Makmun, C.H. Soejono. Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
pada Pasien Dyspepsia Usia Lanjut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 2015, 2(2) : 87-89

12. Malfertheiner P, Chan FK, McColl KE. Peptic ulcer disease. The Lancet, 2009. 374(9699):
1449–1461. doi:10.1016/s0140-6736(09)60938-7

13. W.D. Chey, G.I. Leontiadis, C.W. Howden, S.F. Moss. ACG Clinical Guideline: Treatment
of Helicobacter pylori Infection. Am J Gastroenterol. 2017,112:212–238.

14. M. Ferwana, I. Abdulmajeed, A. Alhajiahmed, W. Madani, B. Firwana, et al. Accuracy of


urea breath test in Helicobacter pylori infection: Meta-analysis. World J Gastroenterol.
2015, 21(4): 1305–1314
15. T. Shimoyama. Stool antigen tests for the management of Helicobacter pylori infection.
World J Gastroenterol. 2013, 19(45): 8188–8191.

16. Santacroce L, M.S. Bhutani. Helicobacter Pylori Infection Workup.


https://emedicine.medscape.com/article/176938-workup#c2, 2018.

17. Y. Gong, Y.Yuan. Accuracy of testing for anti-Helicobacter pylori IgG in urine for H. pylori
infection diagnosis: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 2017, 7:e013248.

18. L Jonaitis, G. Kiudelis, P. Slepavicius, L. Kupcinskas. High rate of Helicobacter pylori


reinfection in Lithuanian peptic ulcer patients. World J Gastrointest Pathophysiol, 2016,
7(1): 181-185

19. K. Soreide, K. Thorsen, J. A. Soreide. Perforated peptic ulcer. Lancet. 2015, 386(10000):
1288-98

20. S. Ishaq, L. Nunn. Helicobacter pylori and gastric cancer: a state of the art review.
Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2015, 8(1): S6–S14.

21. N.D. Vomero, El. Colpo. Nutritional Care in Peptic Ulcer. ABCD Arq Bras Cir Dig.
2014,27(4):298-302.

22. J.M.Park, M. Jeong, E.H. Kim, Y.M. Han, et al. Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids
Intake to Regulate Helicobacter pylori- Associated Gastric Diseases as Nonantimicrobial
Dietary Approach. BioMed Research International. 2015:712363; 1-11.

23. I. Anwar, S. Sadeeqa. Peptic ulcer: Mini review with respect to case. Int J Vaccin.
2018;5(2):39-40.

24. Hooi JKY, Lai WY, Ng WK, et al. Global Prevalence of Helicobacter pylori Infection:
Systematic Review and Meta-Analysis. Gastroenterology 2017;153:420–429.

25. Christensen S, Riis A, Nørgaard M, Sørensen HT, Thomsen RW. Short-term mortality after
perforated or bleeding peptic ulcer among elderly patients: a population-based cohort
study. BMC Geriatr. 2007;7:8. Published 2007 Apr 17. doi:10.1186/1471-2318-7-8

Anda mungkin juga menyukai