Anda di halaman 1dari 16

ACS

PENDAHULUAN

Sindroma koroner akut, penyebab kematian tertinggi secara global, merupakan kumpulan dari
gejala dan tanda klinis dari iskemik miokardium akut yang erat disebabkan oleh penyakit
aterosklerosis. Sulit untuk membedakan klasifikasi dari sindroma koroner akut pada
pemeriksaan awal. Klasifikasinya adalah:

 Angina tidak stabil atau unstable angina (UA),


 non-ST segment elevation miocardial infarction (NSTEMI), dan
 ST segment elevation myocardial infarction (STEMI)
Sindroma koroner akut ditandai dengan riwayat nyeri dada, nyeri yang menjalar ke bahu dan
lengan kiri, keringat dingin, mual dan muntah. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan
pemeriksaan enzim jantung perlu dilakukan untuk membedakan jenis serangan sindroma
koroner akut karena tata laksana lanjutan dan prognosisnya berbeda antara STEMI dan
NSTEMI.

Sindroma koroner akut harus segera ditatalaksana karena komplikasinya meningkat dengan
semakin lamanya penanganan. Tujuan tata laksana pada sindroma koroner akut adalah
revaskularisasi dan mencegah terjadinya komplikasi. Pada pasien dengan angina tidak stabil
dan NSTEMI perlu benar-benar dilakukan penilaian atau stratifikasi risiko sebelum
menentukan prosedur yang akan dilaksanakan.[1-4]

Elevasi Segmen ST

Ya
Tidak
STEMI Enzim jantung meningkat
Ya Tidak
NSTEMI Unstable Angina

Lakukan penilaian risiko


Evaluasi untuk terapi reperfusi

EPIDEMIOLOGI

Sindrom koroner akut merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia
berdasarkan data epidemiologi.
Global
Data WHO menunjukkan akibat penyakit kardiovaskular, terjadi 4 juta kematian setiap
tahunnya pada 49 negara di benua Eropa dan Asia Utara. Data yang dikeluarkan
oleh American Heart Association (AHA) pada tahun 2016 menyebutkan 15,5 juta warga
Amerika memiliki penyakit kardiovaskular.[5]
Indonesia
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa secara nasional
terdapat 0,5% prevalensi penyakit jantung koroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi
tersebut paling tinggi di provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh.[6]

Di provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008-2009 berdasarkan Jakarta Acute Coronary
Syndrome Registry, terdapat 2103 pasien sindroma koroner akut dan 654 di antaranya
adalah ST elevation myocardial infarction (STEMI).[7]

PROGNOSIS

Stratifikasi risiko dapat dilakukan untuk menentukan prognosis sindrom koroner akut.
Nekrosis jaringan akibat sindrom koroner akut dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dari
aritmia, gagal jantung, hingga kematian.

Komplikasi
Sindroma koroner akut dapat menyebabkan nekrosis jaringan pada organ jantung sehingga
selain dapat menimbulkan kematian, dapat juga menyebabkan komplikasi seperti:

 Aritmia, misalnya fibrilasi atrium, takikardi ventrikular, fibrilasi ventrikular


 trombus ventrikel kiri

 fibrosis jantung

 gagal jantung

 syok kardiogenik
 disfungsi katup mitral

 aneurisma ventrikel[24]

Gagal jantung pada sindroma koroner akut diklasifikasikan menurut Klasifikasi Killip:

 Killip Kelas I, tidak ada komplikasi

 Killip Kelas II, terdapat:

 Bunyi jantung S3

 Tanda bendungan paru/ peningkatan tekanan vena jugular


 Ronki pada kurang dari ½ lapangan paru posterior

 Killip Kelas III, terdapat edema paru

 Killip Kelas IV, syok kardiogenik[2]

Semakin tinggi klasifikasi Killip, semakin tinggi angka mortalitasnya di rumah sakit.[1]

Prognosis
Prognosis dari sindroma koroner akut, terutama grup NSTEMI dan angina tidak stabil,
bervariasi karena pasiennya juga heterogen. Untuk menilai prognosisnya maka yang harus
dilakukan adalah stratifikasi risiko. Stratifikasi risiko dapat dilakukan dengan sistem skoring.
Sistem skoring tersebut adalah:

TIMI (Trombolysis in Myocardial Infarction)

Skoring menggunakan sistem skoring TIMI adalah sebagai berikut:

 Risiko rendah (0-2 poin)

 Risiko sedang (3-5 poin)

 Risiko tinggi (5-7 poin)

Penilaian skor TIMI adalah sebagai berikut:

 Usia 65 tahun atau lebih (1 poin)

 3 atau lebih faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (1 poin)\

 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir (1 poin)

 Riwayat stenosis koroner lebih dari 50% (1 poin)

 Lebih dari 1 kali episode angina pada saat istirahat dalam waktu kurang dari 24 jam (1 poin)

 Deviasi segmen ST (1 poin)

 Peningkatan enzim jantung (1 poin)

GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)

Sistem skoring GRACE juga dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko sindrom koroner
akut:

 Risiko rendah (0-133 poin)

 Risiko sedang (134-200 poin)


 Risiko tinggi (lebih dari 200 poin)

Penilaian skor GRACE, meliputi umur, laju denyut jantung, tekanan darah sistolik, kadar
kreatinin, Kelas Killip, riwayat henti jantung, peningkatan enzim jantung, dan deviasi segmen
ST.[16,17]

Pasien yang dengan cepat dilakukan revaskularisasi memiliki prognosis yang lebih baik.
Pasien dengan komplikasi gagal jantung atau kelas Killip yang tinggi memiliki angka
mortalitas yang tinggi.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi sindrom koroner akut, baik angina tidak stabil maupun non-ST segment
elevation myocardial infarction (NSTEMI), adalah sama, yakni ruptur plak aterosklerosis
yang diikuti pembentukan trombus pada lesi. Trombus yang terbentuk kemudian kembali
ditutupi oleh plak aterosklerosis sehingga pembuluh darah semakin menyempit.[1] Plak yang
ruptur akan menyumbat pembuluh darah dan menyebabkan perubahan pada pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) yang menunjukkan gambaran iskemik. Bila iskemik berlanjut,
nekrosis dapat terjadi pada otot miokardium yang ditandai dengan peningkatan level enzim
jantung.[2]
Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah penyakit pembuluh darah kronis akibat metabolik yang diperparah oleh
inflamasi. Proses terjadinya aterosklerosis hingga ruptur plak, yaitu:

 akumulasi kolesterol

 inflamasi yang diperankan oleh leukosit (inisiasi, progresi, destabililisasi)

 destabilisasi plak dapat menyebabkan ruptur plak yang dipicu oleh sinyal inflamasi

 ruptur plak menyebabkan agregasi tombosit dan terbentuknya trombus yang menyumbat
arteri koroner[3,4]

Pada beberapa kondisi khusus, gejala mirip dengan sindrom koroner akut dapat terjadi, yakni
pada kondisi peningkatan kerja otot jantung melebihi suplai kebutuhan energi otot jantung,
misalnya akibat hipermetabolisme dan juga pada hiperparatiroid.[2]

DIAGNOSIS

Diagnosis sindrom koroner akut ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan factor risiko
yang dikombinasikan dengan hasil EKG dan enzim jantung. Walau demikian, dokter harus
mengingat bahwa pada unstable angina, hasil EKG dan enzim jantung dapat tetap normal.
Riwayat Penyakit
Gejala-gejala yang sering dikeluhkan pasien antara lain:
 Nyeri dada, 20-25% dari keseluruhan nyeri dada yang ditemukan pada pada pasien di ruang
gawat darurat merupakan pasien sindroma koroner akut.[8,9] Nyeri seperti terhimpit atau
tertindih beban berat dan berlangsung lebih dari 15 menit. Nyeri juga seperti panas yang
menjalar dari perut. Nyeri dada kadang dapat berkurang dengan pemberian nitrogliserin yang
mengindikasikan nyeri merupakan nyeri kardiak dan dapat dibedakan dengan nyeri akibat
lambung dengan pemberian antasida[9]

 Nyeri menjalar ke lengan kiri, namun penjalarannya dapat juga ke bahu kiri atau rahang kiri

 Mual hingga muntah akibat rangsangan vagal

 Keringat dingin

 Sesak napas

Gejala lainnya yang dapat muncul adalah:

 Pusing

 Hilang kesadaran

Faktor Risiko
Dokter juga harus menilai faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan serangan sindroma
koroner akut, antara lain:

 usia tua di atas 45 tahun

 laki-laki dua kali lebih berisiko dibanding perempuan, namun tren menunjukkan risiko pada
perempuan juga cenderung meningkat[5]

 gaya hidup sedenteri

 perokok

 obesitas

 diabetes melitus
 dislipidemia

 hipertensi[3]

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus segera dilakukan pada kecurigaan sindroma koroner akut.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah:

 Tanda-tanda vital, perlu diwaspadai jika terjadi takikardi, takipnue dan tanda-tanda syok
kardiogenik
 Auskultasi
 Murmur pada regurgitasi mitral atau apabila terjadi peningkatan intensitas murmur yang
sudah ada sebelumnya

 Bunyi jantung S3, S4

 Bunyi ronki pada paru

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari sindroma koroner akut antara lain:

 Perikarditis

 Tamponade jantung

 Emboli paru akut

 Tension pneumothorax

 Diseksi aorta

 Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)[1]


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk sindrom koroner akut mencakup
elektrokardiogram, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
khusus.

Elektrokardiogram

Oklusi pada arteri koroner akan menyebabkan gangguan impuls listrik jantung sehingga
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) sangat penting untuk dilakukan. Pada sindroma
koroner akut, terdapat beberapa perubahan EKG yang penting terutama pada segmen ST dan
gelombang T.
Perbedaan ST elevation myocardial infarction dan non-ST elevation myocardial
infarction (STEMI dan NSTEMI) adalah adanya elevasi segmen ST pada STEMI. Sebagian
kecil pasien dengan unstable angina dan NSTEMI memiliki gambaran EKG yang normal.
Perubahan pada segmen ST maupun T inversi pada hasil EKG pada saat disertai gejala
menunjukkan bahwa terdapat penyakit kardiovaskular yang serius.[2] EKG pada unstable
angina dan NSTEMI sering menunjukkan gambaran iskemik berupa depresi segemen ST dan
atau inversi gelombang T.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan sampel darah yang sangat penting adalah pemeriksaan biomarker yaitu enzim
jantung. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan enzim tersebut adalah waktu
pemeriksaan setelah onset serangan. Enzim jantung tidak serta merta muncul dalam darah
segera setelah onset, dan enzim jantung juga akan menghilang setelah beberapa waktu
tertentu. Pemeriksaan enzim jantung penting dalam mendiagnosis sindroma koroner akut.
Pada unstable angina tidak didapati peningkatan enzim jantung, sementara pada NSTEMI
terjadi peningkatan enzim jantung.[10]
Troponin:

Troponin merupakan enzim jantung yang penting untuk diperiksa. Troponin T yang
meningkat kadarnya dalam darah setelah 4 sampai 9 jam setelah serangan sindrom koroner
akut dan mencapai puncak pada jam ke-12 sampai 24 jam. Kadar troponin T tersebut
bertahan dalam darah selama 7 sampai 14 hari.[2]
Troponin merupakan protein yang didapati pada miokardium dan dilepaskan ke dalam darah
apabila terjadi iskemik pada miokardium. Kadar troponin Subunit Troponin terbagi dua
yakni:

 Troponin I

 Troponin T

Panduan AHA/ACC tahun 2014 menganjurkan pemeriksaan kadar troponin pada 3-6 jam
setelah onset gejala.[11] Pemeriksaan tersebut dilakukan bila menggunakan pemeriksaan
troponin secara kontemporer yang pada umumnya tersedia luas.

Pemeriksaan yang terbaru yaitu high-sensitive troponin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
mulai dari 1 jam setelah onset dan memiliki sensitifitas yang tinggi. Alat pemeriksaan
troponin terbaru mampu mendeteksi troponin hingga 3 ng/L sehingga nilai cut-off troponin
dapat diturunkan sehingga sensitifitas pemeriksaan kadar troponin terhadap NSTEMI
meningkat.[12] Pemeriksaan high-sensitive troponin (hsT) tersebut juga memberikan
keluaran yang baik terhadap penurunan mortalitas pasien dengan sindroma koroner akut.[13]
Tingginya sensitifitas kadar troponin 1 jam setelah onset tidak diikuti spesifisitas yang cukup
tinggi sehingga pemeriksaan kadar troponin 3 jam dan 6 jam setelah onset tetap perlu
dilakukan karena pada baik sensitifitas dan spesifisitasnya sama-sama tinggi.[12] Perubahan
kadar troponin yang mutlak pada pemeriksaan secara serial memiliki akurasi yang tinggi
untuk infark miokardium.

Biomarker Lainnya:

Mioglobin, meningkat dalam 20 jam sejak onset dan mencapai kadar puncaknya setelah 3-4
jam namun menghilang setelah 24 jam. Mioglobin tidak dianjurkan untuk diperiksa karena
karena kardiospesifisitasnya yang rendah.[13] Selain itu pemeriksaan ini tidak tersedia luas.

CK-MB (creatinin kinase MB), meningkat setelah 3 jam setelah onset dan mencapai kadar
puncaknya setelah 12 jam dan bertahan selama 5 hari dalam darah.
Panduan AHA/ACC 2014 menyatakan bahwa pemeriksaan mioglobin dan CKMB tidak
bermanfaat, karena sensitifitasnya yang rendah dan secara global pemeriksaan troponin yang
sensitifitasnya tinggi sudah tersedia.

Saat ini juga ditemukan biomarker baru, cardiac myosin-binding protein C (cMyC) yang
telah diteliti sebagai marker untuk mendeteksi infark miokard akut.
Pemeriksaan Darah Lainnya:

Pemeriksaan darah lainnya yang penting dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan
panel metabolik. Pemeriksaan darah lengkap dapat menilai ada tidaknya anemia yang dapat
memperburuk prognosis pasien. Pemeriksaan metabolik yang perlu dilakukan berupa kadar
kolesterol, terutama LDL, kadar glukosa darah, dan fungsi tiroid.

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto toraks dapat berguna untuk melihat kardiomegali, komplikasi sindroma
koroner akut seperti edema paru pada gagal jantung. Pada edema paru dapat terjadi gangguan
hemodinamik. Bila terdapat gangguan hemodinamik, pemeriksaan foto toraks sangat
membantu.[2] Selain itu foto toraks dapat menyingkirkan gejala lain yang menyebabkan
nyeri dada, seperti pneumotoraks.
Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ekokardiografi dapat dilakukan di rumah sakit yang memiliki fasilitas tersebut.
Melalui pemeriksaan ekokardiografi dapat ditentukan status kontraktilitas dari jantung pasien.
Pemeriksaan ekokardiografi juga dapat melihat komplikassi sindroma koroner akut yang
muncul, yaitu regurgitasi mitral atau perburukan regurgitasi mitral.[14]

Angiografi koroner lebih bermanfaat pada pasien sindroma koroner akut dengan
risiko thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) rendah yakni skor di bawah 3. Penilaian
skor TIMI adalah sebagai berikut:
 Usia 65 tahun atau lebih (1 poin)

 3 atau lebih faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (1 poin)\

 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir (1 poin)

 Riwayat stenosis koroner lebih dari 50% (1 poin)

 Lebih dari 1 kali episode angina pada saat istirahat dalam waktu kurang dari 24 jam (1 poin)

 Deviasi segmen ST (1 poin)

 Peningkatan enzim jantung (1 poin)[15,16,17]


EDUKASI DAN PROMOSI

Pencegahan sindrom koroner akut melalui edukasi dan promosi kesehatan untuk mencegah
terbentuknya aterosklerosis. Edukasi dan promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:

 Modifikasi gaya hidup, yakni dengan olahraga minimal 30 menit setiap hari

 Modifikasi diet, yakni diet rendah lemak

 Berhenti merokok

 Menurunkan kadar kolesterol LDL hingga di bawah 100 mg/dl pada pasien dengan risiko
tinggi. Kadar kolesterol dapat diturunkan dengan modifikasi gaya hidup dan obat penurun
LDL

 Manajemen tekanan darah pada pasien dengan hipertensi

 Mengontrol kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus[3]

ETIOLOGI

Etiologi primer dari sindroma koroner akut adalah aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi
akibat inflamasi kronis pada pembuluh darah yang dipicu akumulasi kolesterol pada kondisi
kelainan metabolisme lemak yaitu tingginya kadar kolesterol dalam darah. Plak aterosklerosis
dapat ruptur dan memicu pembentukan trombus sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner.

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan serangan sindroma koroner akut antara lain:

 usia tua di atas 45 tahun

 laki-laki dua kali lebih berisiko dibanding perempuan, namun tren menunjukkan risiko pada
perempuan juga cenderung meningkat[5]

 gaya hidup sedentari

 perokok

 obesitas

 diabetes mellitus
 dislipidemia

 hipertensi[3]
PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan pada sindroma koroner akut adalah mencegah nekrosis sel-sel
miokardium dan mengupayakan terjadinya reperfusi ke jaringan miokardium. Perbedaan ST
elevation myocardial infarction (STEMI) dengan sindroma koroner lainnya adalah STEMI
memerlukan penanganan segera berupa reperfusi baik dengan fibrinolisis maupun intervensi
dengan PCI (percutaneus coronary intervention) primer.
Tata Laksana Awal
Tata laksana awal adalah dengan pemberian oksigen dan mengamankan jalan napas. Akses
intravena dan pemeriksaan darah juga harus dilakukan secepatnya. Semua pasien dengan
gejala sindroma koroner akut harus dipantau dengan pemasangan monitor tanda vital dan
jantung. Bila terjadi henti jantung maka lakukan resusitasi dan defibrilasi.

Oksigen
Oksigen bersifat vasoaktif sehingga hanya diberikan apabila ada indikasi. Pemberian oksigen
bila terjadi penurunan saturasi oksigen arteri dan dipertahankan pada kadar saturasi 93-96%.
Pemberikan oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan hiperoksemia sehingga dapat
terjadi vasokonstriksi.[18] Hasil penelitian menunjukkan pemberian oksigen pada pasien
STEMI tanpa hipoksia dapat meningkatkan kerusakan pada miokardium.[19]
Analgesik
Nyeri pada sindroma koroner akut harus ditangani agar nyeri tidak menginduksi pelepasan
katekolamin yang memperberat beban jantung. Analgesik yang dapat diberikan adalah:

Nitrat atau Nitrogliserin

Nitrat, misalnya isosorbide dinitrate, dapat diberikan secara sublingual apabila tidak ada
hipotensi. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,4 mg, sebanyak 3 kali dengan interval
3-5 menit. Pemberian nitrat secara intravena diberikan bolus inisial 12,5-25 mikrogram dan
rumatan 5-10 mikrogram per menit. Dosis rumatan dapat dinaikkan 10 mikrogram per menit
sesuai kondisi pasien dan tekanan darah. Kontraindikasi pemberian nitrat pada pasien yang
menggunakan sildenafil dalam 24 jam sebelumnya.
Morfin

Morfin pada non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) diberikan 1-5 mg melalui
intravena. Pemberian dapat diulang 5-30 menit sesuai dengan kondisi nyeri pasien, namun
hati-hati terhapat overdosis yang dapat menyebabkan depresi pernapasan dan hipotensi.
Naloxon 0,4-2,0 mg intravena diberikan apabila terjadi overdosis morfin. Pemberian morfin
pada STEMI diberikan 2-4 mg secara intravena.[11]
Antiplatelet
Antiplatelet seperti aspirin dan clopidogrel dapat digunakan sebagai tata laksana sindrom
koroner akut.
Aspirin

Aspirin diberikan 160-320 mg, dikunyah untuk dosis awal. Selanjutnya diberikan dosis
rumatan sebesar 80 mg tiap per hari.

Clopidogrel

Pemberian clopidogrel sebagai penatalaksanaan sindrom koroner akut dimulai dengan dosis
awal 300-600 mg, lalu dilanjutkan dengan dosis rumatan 75 mg per hari.[1,2]
Penurun Kolesterol
Pasien dengan sindroma koroner akut juga dapat memiliki kelainan metabolisme seperti
diabetes maupun dislipidemia. Dislipidemia ditatalaksana dengan pemberian obat penurun
kolesterol yang pilihan utamanya golongan HMG co-A reductase inhibitor.[2] Sediaan yang
banyak tersedia adalah simvastatin 40 mg per hari atau atorvastatin 10-20 mg per hari.
Stratifikasi Risiko
Sebelum terapi reperfusi pasien dengan NSTEMI harus dilakukan penilaian stratifikasi risiko.
Hal ini agar mencegah dilakukannya prosedur yang tidak perlu dalam pemilihan strategi
invasif. Stratifikasi risiko dilakukan dengan sistem skoring menggunakan salah satu dari 2
sistem skoring di bawah ini.

TIMI (Trombolysis in Myocardial Infarction)

Skoring menggunakan sistem skoring TIMI adalah sebagai berikut:

 Risiko rendah (0-2 poin)

 Risiko sedang (3-5 poin)

 Risiko tinggi (5-7 poin)

Penilaian skor TIMI adalah sebagai berikut:

 Usia 65 tahun atau lebih (1 poin)

 3 atau lebih faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (1 poin)\

 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir (1 poin)

 Riwayat stenosis koroner lebih dari 50% (1 poin)

 Lebih dari 1 kali episode angina pada saat istirahat dalam waktu kurang dari 24 jam (1 poin)

 Deviasi segmen ST (1 poin)

 Peningkatan enzim jantung (1 poin)

GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)


Sistem skoring GRACE juga dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko sindrom koroner
akut:

 Risiko rendah (0-133 poin)

 Risiko sedang (134-200 poin)

 Risiko tinggi (lebih dari 200 poin)

Penilaian skor GRACE, meliputi umur, laju denyut jantung, tekanan darah sistolik, kadar
kreatinin, Kelas Killip, riwayat henti jantung, peningkatan enzim jantung, dan deviasi segmen
ST. [16,17]

Pasien dengan stratifikasi risiko tinggi sebaiknya segera dilakukan terapi intervensi segera
yakni dalam kurang dari 2 jam. Sedangkan pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang dan
rendah dapat dipertimbangkan untuk terapi intervensi dini kurang dari 24 jam dan tertunda
25-72 jam.[1]

Terapi Reperfusi
Sebelum dilakukan reperfusi, pasien NSTEMI harus dilakukan penilaian stratifikasi risiko.

Tata laksana berikutnya adalah tindakan reperfusi. Tindakan reperfusi dapat dilakukan
dengan:

 Fibrinolisis

 Intervensi (primary PCI)


 Operasi coronary artery bypass graft (CABG)
Fibrinolisis

Terapi reperfusi dengan fibrinolisis adalah dengan memberikan agen farmakologis yang
bertujuan melisiskan trombus. Fibrinolisis sangat penting terutama bila tidak terdapat fasilitas
untuk PCI. Dalam beberapa panduan disebutkan untuk pemberian terapi fibrinolisis pra
rumah sakit namun hal ini tidak umum dilakukan.

Fibrinolisis dianjurkan dilakukan dalam kurang dari 12 jam setelah onset, jika primary PCI
tidak dapat dilakukan dalam 90 menit di awal sejak onset gejala. Selain itu fibrinolisis hanya
dapat dilakukan bila tidak ada kontraindikasi absolut. Fibrinolisis dikontraindikasikan secara
absolut pada kondisi berikut:

 Riwayat perdarahan intrakranial

 Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir


 Aneurisma serebrovaskular

 Tumor intrakranial

 Trauma kepala dalam 3 bulan terakhir

 Diseksi aorta

 Perdarahan gastrointestinal dalam sebulan terakhir

 Riwayat pungsi lumbal dalam 24 jam sebelumnya[20]

Sedangkan kontraindikasi yang bersifat relatif adalah:

 Serangan iskemik transien dalam 6 bulan terakhir

 Mendapat terapi antikoagulan

 Hamil atau postpartum 1 minggu

 Hipertensi yang refrakter

 Penyakit liver tahap lanjut

 Endokarditis infektif

 Ulkus peptikum aktif

 Trauma akibat resusitasi

Fibrinolisis dapat dilakukan dengan pemberian:

1. Streptokinase 1,5 juta unit yang dilarutkan dengan 100 ml Dekstrosa 5% atau normal salin,
diberikan selama 30-60 menit.
2. Alteplase 15 mg melalui intravena dan dilanjutkan 0,75 mg/kgBB untuk 30 menit berikutnya
dan 0,6 mg/kgBB untuk 60 menit berikutnya.

3. Pemberian Streptokinase atau alteplase diberikan diikuti pemberian heparin


 Unfractionated Heparin diberikan sebanyak 60 unit/kgBB dan dilanjutkan 12 unit/kgBB/jam
 Low Molecular Weight Heparin, diberikan dengan dosis inisial 30 mg secara intravena dan
rumatan 1 mg/kgBB secara subkutan. [1]
Primary Percutaneus Coronary Intervention (pPCI)

Primary Percutaneous Coronary Intervention (pPCI) merupakan pilihan utama dalam terapi
reperfusi dibandingkan dengan fibrinolisis. Dengan pPCI maka risiko perdarahan akibat
fibrinolisis dapat dihindarkan. Risiko perdarahan intrakranial dapat meningkat pada
pemberian fibrinolisis.[21
Indikasi dilakukan primary PCI adalah :
 Diutamakan dilakukan dalam kurang dari 120 menit setelah kontak dengan petugas medis
 Pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali pada kondisi
yang diakibatkan oleh keterlambatan prosedur PCI[20]

Aspek-aspek dalam prosedur PCI yang harus diperhatikan antara lain:

 Diutamakan pemasangan stentpada semua kasus dibandingkan hanya dengan angioplasti


dengan balon
 Tindakan primary PCIhanya terbatas pada pembuluh darah yang memiliki lesi, kecuali bila
dibarengi syok kardiogenik atau iskemik yang menetap setelah PCI
 Akses melalui radial diutamakan dibandingkan femoral dan dilakukan oleh dokter yang
berpengalaman

 Aspirasi trombus secara rutin diutamakan untuk dilakukan

 Penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan

 Penggunaan rutin intraaortic baloon pump(IABP) selain pada syok kardiogenik tidak
direkomendasikan[20]
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)

Tidak banyak pasien sindrom koroner akut yang membutuhkan tindakan coronary artery
bypass grafting (CABG). CABG diindikasikan pada pasien dengan kelainan anatomis dan
tidak dapat dilakukan PCI serta pasien dengan komplikasi gangguan mekanik pada jantung.
Pasien yang tidak dimungkinkan dengan intervensi PCI dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan CABG. Pasien dengan gangguan di tiga pembuluh darah (3VD/ 3 vessel disease)
sebaiknya dilakukan graft agar revaskularisasi ke seluruh miokardium dapat dicapai dengan
baik.[1,22] Hasil studi prospektif dan terrandomisasi oleh NOBLE, didapati bahwa pada
penyakit pada arteri koroner kiri utama (left main coronary artery diseases), hasil CABG
lebih baik dibandingan dengan PCI.[23] Walau tingkat mortalitas dalam 5 tahun tidak beda
jauh, namun CABG didapati lebih baik daripada PCI pada kasus left main coronary artery
diseases.
Rujukan
Bila pada fasilitas kesehatan tidak mampu untuk melakukan terapi reperfusi, maka pasien
harus dirujuk ke fasilitas yang memadai. Hitungan onset serangan hingga terapi reperfusi
dapat berpengaruh terhadap strategi reperfusi.[1]
Bila waktu kurang dari 3 jam sejak onset hingga dapat fasilitas dengan terapi fibrinolisis,
maka terapi fibrinolisis dapat dilakukan. Bila waktu kurang dari 12 jam sejak onset, maka
pertimbangkan langsung dirujuk ke fasilitas yang mampu melaksanakan primary PCI. Pasien
dengan stratifikasi risiko tinggi segera dilakukan revaskularisasi dengan intervensi, dan
dalam kondisi tertentu atau left main artery coronary disease perlu dilakukan CABG.
DAPUS
1. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS Indonesia. Kosasih A, editor.
Jakarta; 2016. 76-96 p.

2. Bash E. Mayo Clinic Cardiology Concise Text Book. Murphy JG, editor. Mayo Clinic
Scientific Press; 2007. 781-93 p.

3. Libby P. The Pathogenesis, Prevention, and Treatment of Atherosclerosis. In: Fauci AS,
Braunwald E, Kasper DL, editors. Harrison’s Pronciples of Internal Medicine. 17th ed. Mc-
Graw Hill; 2008. p. 1501–9.

4. Sager HB, Nahrendorf M. Inflammation: A trigger for acute coronary syndrome. Q J Nucl
Med Mol Imaging [Internet]. 2016;60(3):185–93. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27273431

5. Sanchis-gomar F, Perez-quilis C, Leischik R, Lucia A. Epidemiology of coronary heart


disease and acute coronary syndrome. Ann Transl Med [Internet]. 2016;4(13):1–12.
Available from: http://dx.doi.org/10.21037/atm.2016.06.33

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)


2013. Lap Nas 2013 [Internet]. 2013;1–384. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil Riskesdas 2013.pdf

7. Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Soerianata S, Wardeh AJ, Jukema JW. Acute myocardial
infarction system of care in the third world. Netherlands Hear J [Internet]. 2012;20(6):254–
9. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12471-012-0259-9

8. Cervellin G, Mattiuzzi C, Bovo C, Lippi G. Diagnostic algorithms for acute coronary


syndrome — is one better than another ? Ann Transl Med [Internet]. 2016;4(8):2–7.
Available from: http://dx.doi.org/10.21037/atm.2016.05.16

9. Cervellin G, Rastelli G. The clinics of acute coronary syndrome. Ann Transl Med [Internet].
2016;4(10):1–9. Available from: http://dx.doi.org/10.21037/atm.2016.05.10

10. Fox WR, Diercks DB. Troponin assay use in the emergency department for management
of patients with potential acute coronary syndrome : current use and future directions. Clin
Exp Emerg Med [Internet]. 2016;3(1):1–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.15441/ceem.16.120

11. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, Holmes DR, et al. 2014
AHA/ACC guideline for the management of patients with non-st-elevation acute coronary
syndromes: A report of the American college of cardiology/American heart association task
force on practice guidelines [Internet]. Vol. 130, Circulation. 2014. 26-8 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1161/CIR.0000000000000134
12. Gamble JHP, Carlton E, Orr W, Greave K. High-Sensitivity Troponin [Internet]. Medscape.
2013. Available from: Sindroma Koroner Akut v.1.1 rev.docx

13. Kurz K, Giannitsis E, Becker M, Hess G, Zdunek D, Katus HA. Comparison of the new high
sensitive cardiac troponin T with myoglobin, h-FABP and cTnT for early identification of
myocardial necrosis in the acute coronary syndrome. Clin Res Cardiol [Internet].
2011;100(3):209–15. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s00392-010-0230-y

14. Favot M, Courage C, Ehrman R. Strain Echocardiography in Acute Cardiovascular


Diseases. West J Emerg Med [Internet]. 2016;XVII(January):54–60. Available from:
http://dx.doi.org/10.5811/westjem.2015.12.28521

15. Coven DL. ACS [Internet]. Medscape. 2016. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/1910735

16. Kones R. Oxygen therapy for acute myocardial infarctionthen and now. A century of
uncertainty. Am J Med [Internet]. 2011;124(11):1000–5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.amjmed.2011.04.034

17. Stub D, Smith K, Bernard S, Nehme Z, Stephenson M, Bray JE, et al. Air versus oxygen in
ST-segment-elevation myocardial infarction. Circulation [Internet]. 2015;131(24):2143–50.
Available from: http://dx.doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.114.014494

18. Zhu H, Xue H, Wang H, Chen Y, Zhou S, Tian F, et al. Risk stratification and prognostic
value of GRACE and TIMI risk scores for female patients with non-ST segment elevation
acute coronary syndrome. Minerva Cardioangiol. 2015;63(3):171–8.

19. De Araújo Gonçalves P, Ferreira J, Aguiar C, Seabra-Gomes R. TIMI, PURSUIT, and GRACE
risk scores: Sustained prognostic value and interaction with revascularization in NSTE-ACS.
Eur Heart J. 2005;26(9):865–72.

20. Davierwala PM. Current outcomes of off-pump coronary artery bypass grafting:
evidence from real world practice. J Thorac Dis [Internet]. 2016;8(S10):S772–86. Available
from: http://jtd.amegroups.com/article/view/10291/9026

21. Mäkikallio T, Holm NR, Lindsay M, Spence MS, Erglis A, Menown IBA, et al. Percutaneous
coronary angioplasty versus coronary artery bypass grafting in treatment of unprotected left
main stenosis (NOBLE): a prospective, randomised, open-label, non-inferiority trial. Lancet
[Internet]. 2016;6736(16):1–10. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0140673616320529%5Cnhttp://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pubmed/27810312

22. Salvagno GL, Pavan C. Prognostic biomarkers in acute coronary syndrome. Ann Transl
Med [Internet]. 2016;4(13):258–258. Available from:
http://atm.amegroups.com/article/view/10986/11531

Anda mungkin juga menyukai