Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit yang disebabkan

adanya plak yang menumpuk di dalam arteri koroner yang mensuplai oksigen

ke otot jantung. Penyakit ini termasuk ke dalam penyakit kardiovaskuler

yang paling umum terjadi. Penyakit kardiovaskuler merupakan gangguan dari

jantung dan pembuluh darah termasuk stroke, penyakit jantung rematik dan

kondisi lainnya (WHO, 2013).

Manifestasi akut dari plak pembuluh darah koroner yang koyak atau

pecah disebut juga dengan sindroma koroner akut (PERKI, 2015). Akibat

dari penumpukan plak yang ada dapat menyebabkan timbulnya iskemia yang

ditandai dengan keluhan nyeri dada (angina pectoris). Berikut adalah tipe

angina pectoris:

1. Angina Pektoris Stabil adalah suatu keadaaan yang ditandai oleh adanya

suatu ketidaknyamanan (jarang digambarkan sebagai nyeri) di dada atau

lengan yang sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan dengan aktivitas

fisik atau stress emosional dan menghilang dalam 5-15 menit dengan

istirahat dan atau pemberian nitrogliserin sublingual.

2. Angina Pektoris Tidak Stabil

Angina pectoris tidak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen

ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal

berikut:

9
10

a. Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya

berakhir setelah lebih dari 20 menit (jika diberikan nitrogliserin).

b. Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan

merupakan onset baru (dalam 1 bulan)

c. Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah lama,

atau lebih sering dari sebelumnya) (Yusnidar 2007).

B. Klasifikasi

Klasifikasi sindrom koroner akut menurut PERKI, 2015 berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan EKG dan pemeriksaan marka

jantung, sindroma Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST Segment elevation

Myocardial Infarction)

2. Infark Miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment

elevation myocardial infarction)

3. Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)

STEMI merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah

arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk

mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara

medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi

koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan

angina pectoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua

sandapan yang bersebelahan.


11

Diagnosis NSTEMI dan angina tidak stabil ditegakkan jika terdapat

keluhan angina pectoris akut tanpa segmen ST yang persisten di dua sandapan

yang bersebelahan. Rekaman EKG dapat berupa depresi segmen ST, inversi

gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T tanpa perubahan.

Sedangkan angina pectoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan

kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningktanan marka jantung.

Marka jantung yang biasa digunakan adalah TROPONIN I/T atau CKMB.

Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,

maka diagnosis menjadi NSTEMI. Pada angina pectoris tidak stabil marka

jantung tidak meningkat secara bermakna.

Bagan manifestasi klinis pada sindrom coroner Akut

(Braunwald,2008)

Menurut PERKI (2015) adapun cara yang dapat dilakukan untuk


12

menilai berat ringannya STEMI yaitu dengan klasifikasi KILLIP

digunakan untuk menilai berat-ringannya penurunan fungsi jantung

dan prognosis pasien infark miokard akut. Klasifikasi KILLIP pertama

kali dibuat oleh dr. Killip T pada tahun 1967 dalam penelitiannya

terhadap 250 pasien yang mengalami infark miokard akut. Angka

kematian masing-masing kelas KIllip adalah angka pada penelitian

tersebut. Dengan era reperfusi (fibrinolitik dan primary PCI) angka-

angka ini telah menurun sekitar 30-50%.

Kelas Keterangan Angka Kematian 30 hari


KILLIP
KILLIP I Tidak ada gagal jantung. Tidak ada tanda 6%
klinis dekompensasi jantung
KILLIP II Gagal jantung. Terdapat tanda-tanda 17%
gagal jantung seperti gallop S3, dan
ronki basah halus di separuh lapangan
bawah paru
KILLIP III Gagal jantung berat. Ronki basah halus 38%
di seluruh lapangan paru
KILLIP IV Syok kardiogenik. Tanda-tanda: tekanan 67%
darah sistolik <90 mm Hg, dan tanda-
tanda vasokonstriksi perifer seperti akral
dingin, sianosis, oliguri, dan diaphoresis
Sumber: PERKI, (2015). Pedoman dan Tatalaksan Sindrom Koroner Akut. Edisi ketiga

C. Definisi STEMI

Infark miokard akut dengan ST Elevasi (ST Elevation myocardial

infarction = STEMI) merupakan bagian dari spectrum Sindrom Koroner Akut

(SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan

IMA dengan ST elevasi ST (Sudoyo 2010).

STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang ditampilkan, terjadi

peningkatan baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di atasi dengan

pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktu-waktu yang
13

disertai Infark Miokard Akut dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena

adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil

(Pusponegoro,2015)

Infark miokard (Miocardial Infarction) adalah keadaan yang

mengancam kehidupan dengan tanda khas terbentuknya jaringan nekrosis otot

yang permanen karena otot jantung kehilangan suplai oksigen. Infark miokard

juga diketahui sebagai serangan jantung atau serangan koroner (Udjianti,

2010).

Definisi dari ST elevasi miokard infark adalah nyeri dada dengan

gambaran elektrokardiogram elevasi segmen ST (Hamm et al,2011).

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran

darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak

aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi

secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh

faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa STEMI adalah keadaan

yang mengancam jiwa akibat adanya plak arterosklerosis sehingga aliran

darah ke koroner menurun dan menyebabkan terbentuknya jaringan nekrosis

otot jantung yang permanen karena suplai oksigen ke jantung menurun yang

ditandai dengan nyeri dada dan adanya ST elevasi dari gambaran

electrocardiogram.
14

D. Etiologi

Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri

koroner yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor

risiko yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifable). Faktor risiko modifable

dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup dan kebiasaan pribadi,

sedangkan faktor risiko non modifiable merupakan konsekuensi genetik yang

tidak dapat dikontrol (Smeltzer, 2002).

Menurut Muttaqin (2009), ada lima faktor risiko yang dapat diubah

(modifable) yaitu merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia, kolesterol

darah tinggi, dan pola tingkah laku. Sedangkan faktor yang tidak dapat diubah

meliputi usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga.

1. Faktor yang dapat diubah (modifable)

a. Merokok

Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya

karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah

mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang

disuplai ke jantung menjadi berkurang. Asam nikotina pada tembakau

memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri

dan membuat aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu.

Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat

mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.


15

b. Tekanan Darah Tinggi

Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat

menyebabkan penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan

dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel

kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus

menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.

c. Kolesterol Darah Tinggi

Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki

hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat dengan

lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat

diangkut dalam sistem peredaran darah. Tiga komponen metabolisme

lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density

lipoprotein) dan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein).

Peningkatan kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan

dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses

arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein

(HDL) yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap

penyakit arteri koronaria dengan cara mengangkut LDL ke hati,

mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi (Price, 1995)

d. Hiperglikemia

Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi

aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan


16

peningkatan agregasi trombosit yang dapat menyebabkan

pembentukan thrombus.

e. Pola perilaku

Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut

berperan dalam menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan

Friedman telah mempopulerkan hubungan antara apa yang dikenal

sebagai pola tingkah laku tipe A dengan cepatnya proses aterogenesis.

Hal yang termasuk dalam kepribadian tipe A adalah mereka yang

memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa

diburu waktu. Stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih

dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya

mempercepat serangan.

2. Faktor yang tidak dapat diubah

Menurut Iman Soeharto, 2005 terdapat beberapa faktor risiko yang tidak

dapat diubah atau disebut alami, seperti keturunan, jenis kelamin, dan

usia. Diantaranya adalah:

a. Keturunan

Pada faktor faktor yang dapat diubah telah disebutkan antara lain

adalah merokok, tekanan darah tinggi dan adanya kadar kolesterol

yang tinggi. Pada beberapa kasus, kolesterol darah meunjukkan

peningkatan karena mengkonsumsi banyak lemak jenuh, tetapi

berbagai penelitian memperlihatkan bahwa bagaimanapun banyaknya

lemak jenuh pada diit diturunkan, tetap masih terdapat individu-


17

individu yang tidak dapat menurunkan tingkat kolesterol mereka

hanya dengan melakukan diit. Tampaknya pada beberapa individu

terdapat pengaruh keturunan yang kuat terhadap metabolisme

kolesterol.

b. Usia

Usia membawa perubahan yang tidak terelakkan pada tubuh manusia

termasuk system kardiovaskuler, seperti meningkatnya risiko PJK.

Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik serta

diperparah oleh berkurangnya aktivitas, dan berbagai penyakit

degeneratif.

c. Jenis Kelamin

Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi (dalam periode tertentu)

daripada perempuan. Risiko laki-laki terkena PJK melampaui risiko

pada perempuan setelah usia remaja dan terus demikian sampai usia

60 tahun. Pada rentang usia tersebut laki-laki memiliki 2-3 kali lipat

kemungkinan menderita PJK dibandingkan dengan perempuan.

Perempuan lebih tidak beresiko akibat mengalami menopause.

Selama premenopouse terdapat hormone esterogen yang dipercaya

dapat mencegah terbentuknya plak pada arteri dengan menaikkan

kadar HDL dan menurunkan kadar LDL. Berikut adalah tabel

perbandingan tingkat HDL dan rasio total kolesterol/HDL antara laki-

laki dan perempuan.


18

Umur HDL Rasio Umur HDL Rasio


(mg/dL) Total (mg/dL) Total
kolesterol/ kolesterol/
HDL HDL
kolesterol kolesterol
Laki- Perempuan
laki 43,0 4,1 <30 51,0 3,2
<30
30-39 42,0 4,5 30-39 54,0 3,3
40-49 43,0 4,8 40-49 57,0 3,2
50-59 43,0 4,8 50-59 59,0 3,5
>60 44,0 4,7 >60 55,0 3,7

Beberapa cara untuk menilai faktor risiko pada penderita PJK

1) Skor Resiko TIMI untuk STEMI

Skor resiko TIMI pada STEMI (TIMI risk score for STEMI) adalah sistem

skoring untuk menilai resiko kematian dalam 30 hari pada pasien STEMI.

Faktor Resiko Skor


Historikal
Umur 65-74 tahun 2
Umur ≥ 75 tahun 3
Diabetes/Hipertensi/Angina 1
Pemeriksaan
Tekanan Darah Sistolik < 100 3
Frekuensi Denyut Jantung > 100 2
Killip II – IV 2
Berat Badan < 67 kg 1
Presentasi
Elevasi ST di Anterior atau LBBB
Onset > 4 jam 1
Skor Total 0 – 14
Sumber: PERKI, (2015). Pedoman dan Tatalaksan Sindrom Koroner Akut. Edisi

ketiga

Hitung skor resiko TIMI total pasien STEMI dengan memasukkan faktor-

faktor resiko yang dimilikinya sesuai tabel di atas. Tabel di bawah

menunjukkan resiko pasien tersebut untuk mengalami kematian dalam

waktu 30 hari sesuai dengan total skor resiko TIMI yang dimilikinya.
19

Skor Total Angka kematian dalam 30 hari %


0 0.8
1 1.6
2 2.2
3 4.4
4 7.3
5 12
6 16
7 23
8 27
>8 36
Sumber: PERKI, (2015). Pedoman dan Tatalaksan Sindrom Koroner Akut. Edisi

ketiga

2) Skor Resiko TIMI untuk UA/NSTEMI

Skor resiko TIMI pada UA/STEMI (TIMI risk score for UA/NSTEMI)

adalah sistem skoring untuk menilai resiko terjadinya kejadian kardiak

pada pasien UA/NSTEMI.

Faktor Resiko Skor


Historikal
Umur ≥ 65 tahun 1
≥ 3 faktor resiko coroner 1
Telah diketahui adanya stenosis koroner ≥ 50% 1
Penggunaan ASA dalam 7 hari terakhir 1
Presentasi
≥ 2 episode angina berat dalam 24 jam 1
Peningkatan enzim jantung 1
Deviasi segmen ST > 0.05 mm 1
Skor Total 0–7
Sumber: PERKI, (2015). Pedoman dan Tatalaksan Sindrom Koroner

Akut. Edisi ketiga

Hitung skor resiko TIMI total pasien UA/NSTEMI dengan memasukkan

faktor-faktor resiko yang dimilikinya sesuai tabel di atas. Tabel di bawah

menunjukkan resiko pasien tersebut untuk mengalami kejadian kardiak

dalam waktu 14 hari sesuai dengan total skor resiko TIMI yang

dimilikinya.
20

Skor Total Kejadian Cardiac dalam 14 hari (%)


0–1 5
2 8
3 13
4 20
5 26
6–7 41
Sumber: PERKI, (2015). Pedoman dan Tatalaksan Sindrom Koroner Akut. Edisi

ketiga

Keterangan:

a. TIMI = Thrombolysis in Myocardial Infarction. Sistem skoring TIMI

pada UA/NSTEMI diambil dari penelitian TIMI 11B yang

dipublikasikan tahun 2000

b. Faktor resiko koroner = hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi,

perokok aktif, atau riwayat keluarga

c. Kejadian kardiak = kematian, infark miokard atau revaskularisasi

urgen

E. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosis yang sudah ada

sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat

biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral

sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara

cepat pada lokasi injury vascular, dimana injuri ini di cetuskan oleh faktor-

faktor seperi merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.


21

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis

mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau iskemik

memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture

yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan

plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang

tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis

klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar

sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,

efinerphrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan

memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang

poten). Selain aktivitas trombosit memicu perubahan konformasi reseptor

glikoprotein IIb/IIIa.

Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas

tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)

seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya

adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda

secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.

Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel

endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi

prothrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen

menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi

oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang
22

jarang, STEMI dapat juga disenbabkan oleh emboli coroner, abnormalitas

kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

F. Pathway

Terlampir

G. Manifestasi Klinis

Penyakit jantug koroner terbentuk secara perlahan-lahan dan dalam

waktu yang lama, kebanyakan orang tidak tahu bahwa mereka sudah memiliki

penyakit yang parah ini. Biasanya gejala yang paling awal adalah nyeri dada

atau angina serta sesak napas. Tidak semua nyeri dada disebabkan oleh

penyakit jantung koroner. Angina atau nyeri dada karena penyakit jantung

koroner timbul setelah melakukan aktifitas dan hilang ketika beristirahat. Rasa

nyeri timbul karena otot jantung tidak mendapat oksigen cukup. Angina

biasanya berlangsung selama 2-3 menit dan tidak lebih dari 10 menit. Tiga

cara mengenali nyeri dada karena penyakit jantung koroner adalah:

1. Rasa nyeri yang tidak bertambah parah saat menarik napas

2. Biasanya terasa di tengah dada, bisa menyebar kesisi kiri, kedua lengan,

atau ke leher dan rahang

3. Dada terasa seperti sesak, terbakar, tertusuk-tusuk, atau tertekan

(Maulana, 2008).

Diagnosis STEMI ditegakkan apabila terdapat tanda sebagai berikut:

1. Pada anamnesis
23

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada dengan sifat nyeri dada angina

yang khas yaitu sebagai berikut:

a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan precordial

b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda

berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir

c. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang

bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan

kanan.

d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat

e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah

makan

f. Gejala yang menyertai: mual, mutah, sulit bernapas, keringat dingin,

cemas, dan lemas

2. Pemeriksaan fisik

a. Ekstremitas pucat disertai keringat dingin

b. Pada seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi

hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan/atau hipotensi)

c. Pasien dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas

parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi)

d. Terdapat suara tambahan seperti mur-mur, gallop dan split

paradoksikal, serta pericardial friction rub

e. Peningkatan suhu hingga 38 dapat dijumpai dalam minggu pertama

pasca STEMI
24

3. Pemeriksaan Penunjang

a. EKG: terdapat elevasi segmen T

b. Laboratorium: creatinine kinase (CKMB) meningkat hingga 2 kali

nilai batas atas normal, dan pemeriksaan cardiac specific troponin

(cTn)T atau cTn1 meningkat

c. Pemeriksaan enzim jantung lainnya

1) Myoglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai

puncak dalam 4-8 jam

2) Creatinine Kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada

infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan

kembali normal dalam 3-4 hari

3) Lactat dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila

ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali

normal dalam 8-14 hari.

d. Echocardiogram: Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi,

gerakan katup atau dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi

katup.

e. Kateterisasi : Angiografi koroner untuk mengetahui derajat

obstruksi.

f. Radiology: Pembesaran dari jantung (Alwi, 2009).


25

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk sindroma coroner akut (SKA) diberikan pada

pasien dengan keluhan angina di ruang gawat darurat berdasarkan hasil

rekaman EKG dan/ atau marka jantung yaitu dengan Morfin, Oksigen, Nitrat,

Aspirin (MONA), yang tidak harus diberikan semua atau secara bersamaan

(PERKI, 2015).

Berikut adalah penatalaksanaan STEMI secara umum:

1. Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik

pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan

dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai

dosis total 20 mg (Alwi, 2009)

2. Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen

arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan

oksigen selama 6 jam pertama (Alwi, 2009).

3. Nitrat

Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,

dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat

mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah

oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki

aliran darah kolateral (Tjay, 2007).


26

4. Aspirin

Aspirin menghambat sintesis tromboxon A2 (TXA2) didalam trombosit

dan protasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat secara

irreversible enzim siklooksigenase (akan tetapi siklooganisme dapat

dibentuk kembali oleh sel endotel). Penghambatan enzim siklooksigenase

terjadi karena aspirin mengatesilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil

hanya dapat menekan pembentukan tromboxon A2, sebagai akibatnya

terjadi pengurangan agregasi trombosit. Sebagai antitrombotik dosis

efektif aspirin 80-320 mg per hari. Dosis lebih tinggi selain meningkatkan

toksisitas (terutama pendarahan), juga menjadi kurang efektif karena

selain menghambat tromboxon A2 juga menghambat pembentukan

protasiklin (Dewoto, 2011).


27

Tatalaksana pada STEMI

1. Tatalaksana pra Rumah Sakit

Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan

adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24

jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya tejadi pada jam

pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang

dicurigai STEMI antara lain:

a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan

tindakan resusitasi

c. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas

ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat terlatih

d. Melakukan terapi reperfusi

2. Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalkasana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mnecakup:

mengurangi/ menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang

merupakan kandidat terapi reperfusi segera.


28

I. Komplikasi STEMI

1. Disfungsi Ventrikel

2. Gangguan hemodinamik

3. Syok Kardiogenik

4. Infark Ventrikel kanan

5. Aritmia Pasca STEMI

6. Fibrilasi Ventrikel

J. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Primery Survey

1) Circu lation

a) Nadi lemah/tidak teratur.

b) Takikardi.

c) TD meningkat/menurun.

d) Edema.

e) Gelisah.

f) Akral dingin.

g) Kulit pucat atau sianosis

h) Output urine menurun.

2) Airway

a) Sumbatan atau penumpukan secret.

b) Gurgling, snoring, crowing.


29

3) Breathing

a) Sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat.

b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.

c) Ronki,krekels

d) Ekspansi dada tidak maksimal/penuh

e) Penggunaan obat bantu nafas

4) Disability

a) Penurunan kesadaran.

b) Penurunan refleks.

5) Eksposure

a) Nyeri dada spontan dan menjalar.

b. Secondary Survey.

1) TTV Tekanan darah bisa normal/naik/turun (perubahan postural di

catat dari tidur sampai duduk/berdiri.

2) Nadi dapat normal/penuh atau tidak kuat atau lemah/kuat

kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur

(disritmia).

3) RR lebih dari 20 x/menit.

4) Suhu hipotermi/normal.

5) Pemeriksaan fisik

a) Pemakaian otot pernafasan tambahan.

b) Nyeri dada
30

c) Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, bunyi nafas

(bersih, krekels, mengi), sputum.

d) Pelebaran batas jantung.

e) Bunyi jantung ekstra; S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal

jantung/ penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel. Bias

normal ataupun terdapat suara tambahan.

f) Odem ekstremitas.

6) Pemeriksaan selanjutnya

a) Keluhan nyeri dada.

b) Obat-obat anti hipertensi.

c) Makan-makanan tinggi natrium

d) Penyakit penyerta DM, Hipertensi

e) Riwayat alergi

c. Tersier

1) Pemeriksaan Laboratorium

2) Elektrolit, ketidakseimbangan (hipokalemi).

3) Sel darah putih (10.000-20.000).

4) GDA (hipoksia).

5) Pemeriksaan Rotgen Mungkin normal atau menunjukkan

pembesaran jantung di duga GJK atau aneurisma ventrikuler.

6) Pemeriksaan EKG T inverted, ST elevasi, Q patologis.


31

d. Pemeriksaan lainnya

1) Angiografi koroner Menggambarkan penyempitan atau sumbatan

arteri koroner.

2) Pencitraan darah jantung (MVGA) Mengevaluasi penampilan

ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional dan fraksi

ejeksi (aliran darah)

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan yang dapat muncul menurut NANDA yaitu Nyeri akut

b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri.

L. KONSEP TEORI NYERI

1. Definisi

The International Association for the Study of Pain (Towsend,

2008), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan

emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan

jaringan aktual dan potensial. Keperawatan mendefinisikan nyeri sebagai

apapun yang menyakitkan atau tidak nyaman yang dikatakan individu

(Perry & Potter, 2010).

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif.

Keluhan sensorik yang dinyatakan seperti pegal, linu, ngilu, keju, kemeng,
32

cengkeul, dan seterusnya dapat dianggap sebagai modalitas nyeri

(Mutaqin, 2008).

Sedangkan nyeri pada penderita penyakit jantung koroner yaitu

STEMI merupakan nyeri yang ditimbulkan oleh adanya penurunan aliran

darah koroner yang menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus

pada plak arterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2010).

Aliran darah yang berkurang menyebabkan suplai oksigen juga berkurang,

sehingga kondisi tersebut dapat mengakibatkan kematian sel miosit

jantung karena iskhemia yang berkepanjangan akibat oklusi koroner akut

(Devi, 2013).

2. Mekanisme terjadinya nyeri

Sesaui dengan teori Gate Control: Semua aktivitas aferen dari

sistem saraf perifer dapat dimodulasikan ketika saraf tersebut memasuki

sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat akan menyaring dan

mengintegrasikan informasi sensoris yang jumlahnya banyak dan hanya

sedikit saja dari semua itu yang akan mencapai tingkatan untuk dirasakan.

Banyak informasi yang dibuang selain banyak pula yang digunakan dalam

aktivitas reflex otonom yang tidak disadari. Informasi noksius yang

diterima otak adalah bagian dari pola menyeluruh tersebut. Proses

pengintegrasian itu dianalogikan dengan suatu gerbang. Jika gerbang

membuka, aktivitas sensoris dating akan melintasinya dan meneruskan

perjalanannya ke tingkat berikutnya.


34

memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan

melepaskan tromboxan A2. Tromboxan A2 mentsimulasi sintesis

prostaglandin, selanjutnya prostaglandin dapat meningkatkan kepekaan

reseptor nyeri akibat rangsangan mekanik atau kimia dengan menurunkan

nilai polimodal nosiseptor dari serat syaraf C. Prostaglandin tidak secara

langsung menyebabkan nyeri, yaitu menyebabkan sensitivitas bradikinin

dan substansi nyeri lain meningkat. Pada tahap modulasi stimulasi nyeri

menuju sum-sum tulang belakang dan akan terjadi sekresi substansi P

yang akan menstimulasi sel mast untuk mensekresi histamine dan

serotonin dari trombosit (Satoto, 2014; Sulistyowati, 2009).

3. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat, sifat, berat ringannya

nyeri, dan waktu lamanya serangan (Asmadi,2008):

a. Nyeri berdasarkan tempatnya:

1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

misalnya pada kulit, mukosa

2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang

lebih dalam atau pada organ-organ tubuh viseral.

3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit

organ/ struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh

di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.


35

4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada

sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus.

b. Nyeri berdasarkan sifatnya:

1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang

2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

dalam waktu yang lama

3) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi

dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit,

lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat ringannya:

1) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas yang rendah

2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan

1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat

dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri

diketahui dengan jelas.

2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan.

Pola nyeri ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi

interval bebas dari nyeri lalu nyeri timbul kembali. Adapula pola

nyeri kronis yang terus-menerus terasa makin lama semakin


36

meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.

Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.

4. Penyebab Nyeri

Penyebab rasa nyeri antara lain (Asmadi,2008):

b. Fisik: Trauma (trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun

elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah.

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf

bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun

luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf

reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma

elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik

yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri.

c. Psikis: Trauma psikologis

Nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri yang

dirasakan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap

fisik.
38

dan persona, yang menyebabkan laporan diri pasien menjadi satu-satunya

indicator nyeri yang reliabel.

Skala nyeri merupakan tindakan pelaporan nyeri secara kuantitatif.

Untuk mendapatkan penilaian intensitas nyeri yang paling valid dan dapat

dipercaya, skala yang digunakan harus disesuaikan dengan usia. Skala

yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri antara lain:

a. Skala Analogi Visual (VAS).

Skala analogi visual sangat berguna dalam mengkaji intensitas nyeri.

Skala tersebut adalah berbentuk garishorizontal sepanjang 10 cm,

dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat. Pasien diminta

untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri

terjadi di sepanjang rentang tersebut ujung kiri biasanya

menunjukkan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan

biasanya menandakan “berat” atau nyeri yang paling buruk. Untuk

menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak

yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri “ diukur dan

ditulis dalam sentimeter (Nursalam, 2008).

b. Numeric Pain Scale

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat

ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan

mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0

hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas

nyeri, sedangkan 1-3 adalah nyeri ringan, 4-6 adalah nyeri sedang, 7-
41

cognitive-behavioral dimana pasien dibimbing untuk

membayangkan sesuatu yang indah atau pengalaman yang indah

sehingga memberikan perasaan bebas secara mental dan fisik dari

ketegangan atau stres yang membuat individu memiliki rasa

kontrol terhadap nyerinya. Yoga merupakan teknik relaksasi yang

mengajarkan seperangkat teknik seperti pernafasan, meditasi, dan

posisi tubuh untuk meningkatkan kekuatan dan keseimbangan.

Yoga telah terbukti mengurangi nyeri, seperti nyeri pada saat

menstruasi (dismenorhea) (Siahaan, Erminati & Maryati. 2014).

Teknik relaksasi otot progresif adalah terapi relaksasi dengan

gerakan mengencangkan dan melemaskan otot–otot pada satu

bagian tubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan

relaksasi secara fisik (Rochmawati, 2015).

2) Distraksi

Distraksi adalah mengarahkan perhatian klien kepada suatu hal lain

selain nyeri, dengan demikian mengurangi kesadaranya terhadap

nyeri. Distraksi dilakukan dengan cara melakukan aktivitas yang

disukai oleh klien, tentunya aktivitas yang tidak berat agar tidak

memperparah nyeri. Dengan stimulus sensorik yang cukup,

seseorang dapat mengabaikan atau tidak menyadari akan adanya

nyeri. Distraksi dapat dilakukan dengan cara mendengarkan musik

yang disukai oleh pasien untuk mendapatkan efek terapeutik, atau

pasien bernyanyi, bermain game ringan dan memainkan alat musik.


42

Penelitian telah membuktikan bahwa teknik distraksi mampu

mengurangi ketidaknyamanan akibat dari nyeri (Potter & Perry,

2010; Jameson, Trevena & Swain, 2011).

3) Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi pada kulit yang dapat

membantu mengurangi nyeri, karena menyebabkan pelepasan

endorfin sehingga klien memiliki rasa kontrol terhadap nyerinya.

Masase atau pijatan, pemberian sensasi hangat dan dingin dapat

mengurangi nyeri dan memberikan kesembuhan. Contoh stimulasi

kutaneus lainnya adalah transcutaneus electrical nerve stimuation

(TENS) meliputi menstimulasi kulit dengan arus elektrik ringan

berjalan melewati elektroda eksternal. TENS sangat efektif untuk

mengontrol nyeri post pembedahan dan tindakan prosedural (Potter

& Perry, 2010).

4) Herbal

Kebanyakan masyarakat Indonesia menggunakan herbal, namun

penggunaannya belum sesuai dosis yang tepat sehingga

pengobatan menggunakan herbal kurang dianjurkan. Apabila akan

menggunakan herbal, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan

tenaga kesehatan ahli agar tidak mengganggu bekerjanya obat di

dalam tubuh namun justru membantu kesembuhan (Potter &Perry,

2010). Salah satu herbal yang dapat digunakan adalah ekstrak

chamomile. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jerman,


43

ekstrak chamomile yang mengandung flavonoid mampu

menurunkan skala nyeri dan juga perdarahan (Sharafzadeh &

Alizadeh, 2011).

5) Akupresur

Pemberian penekanan pada pusat nyeri. Akupresur adalah salah satu

cara pengobatan tradisional Cina. Penekanan titik akupunktur

dengan tujuan memperlancar chi sehingga tercapai keseimbangan

energi dengan indikasi utama untuk nyeri dan gangguan

neuromuskuler, sedangkan indikasi lainnya adalah sama dengan

akupunktur (Brunner&Suddarth, 2008).

6) Anticipatory guidance

Anticipatory guidance adalah memodifikasi secara langsung cemas

yang berhubungan dengan nyeri. Contoh tindakan: sebelum klien

menjalani prosedur pembedahan, perawat memberikan penjelasan/

informasi pada klien tentang pembedahan, dengan begitu klien

sudah punya gambaran dan akan lebih siap menghadapi nyeri

(Tamsuri, A. 2007).

7) Sentuhan Terapeutik

Teori ini mengatakan bahwa individu yang sehat mempunyai

keseimbangan energi antara tubuh dengan lingkungan luar. Orang

sakit berarti ada yang tidak seimbang energi, dengan memberikan

sentuhan pada klien, diharapkan ada transfer energi dari perawat ke

klien (Tamsuri, A. 2007).


44

8) Hipnoterapi

Hypnosis merupakan salah satu manajemen nyeri teknik

nonfarmakologis (Wilkinson&Ahern, 2011). Berdasarkan

penelitian-penelitian yang banyak dilakukan di dalam dan di luar

negeri, hypnosis sangat efektif dalam menurunkan skor nyeri.

Meskipun dalam Nursing Intervention Classification NIC) hypnosis

hanya disebut pada diagnosis nyeri, namun dapat diterapkan pada

beberapa diagnosis keperawatan lainnya. Hipnoterapi berfungsi

membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti

positif, sehingga seseoraang akan merasakan nyerinya berkurang

karena persepsi tentang nyeri berubah (Nurindra, 2008).

Penggunaan hypnosis (hypnotherapy) pada pasien di dasarkan

kepada Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 tentang

penyelenggaraan pengobatan komplementer alternatif di fasilitas

kesehatan. Peran perawat sebagai pelayanan hypnotherapy untuk

penanganan nyeri sesuai dengan Permenkes RI Nomor HK.

02.02/Menkes/148/ 1/ 2010 tentang ijin penyelengaraan praktik

perawat.

8. Teori Kenyamanan Kolcaba

Kolcaba (2003) mengenalkan teori kenyamanan sebagai middle

range theory karena mempunyai tingkat abstraksi yang rendah dan mudah

diaplikasikan dalam praktik keperawatan.


45

Terdapat 7 komponen dalam konsep utama teori comfort yang

disampaikan Kolcaba sebagai berikut:

a. Health care needs

Kolcaba mendefinisikan kebutuhan pelayanan kesehatan sebagai suatu

kebutuhan akan kenyamanan, yang dihasilkan dari situasi pelayanan

kesehatan yang stressful, yang tidak dapat dipenuhi oleh penerima

support sistem tradisional. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan fisik,

psikospiritual, sosial dan lingkungan, yang kesemuanya membutuhkan

monitoring, pemenuhan kebutuhan secara spesifik (kenyamanan fisik,

lingkungan, hubungan interpersonal yang baik, serta edukasi

psikospiritual) pada pasien STEMI akan memberikan pengalaman

dalam memenuhi kebutuhan akan keringanan (relief), ketenangan

(ease), dan kemampuan lebih dalam mengatasi masalah dalam upaya

peningkatan kenyamanan.

b. Comfort

Comfort merupakan sebuah konsep yang mempunyai hubungan yang

kuat dalam keperawatan. Comfort diartikan sebagai suatu keadaan

yang dialami oleh penerima yang dapat didefinisikan sebagai suatu

pengalaman immediate yang menjadi sebuah kekuatan melalui

kebutuhan akan keringanan (relief), ketenangan (ease), dan

kemampuan lebih (transcedence) yang dapat terpenuhi dalam empat

konteks pengalaman yang meliputi aspek fisik, psikospiritual,

sosiokultural dan lingkungan. Dengan pemenuhan kebutuhan secara


46

spesifik (kenyamanan fisik, lingkungan, hubungan interpersonal yang

baik, serta edukasi psikospiritual). Pada pasien STEMI akan

memberikan pengalaman dalam memenuhi kebutuhan akan keringanan

(relief), ketenangan (ease), dan kemampuan lebih dalam mengatasi

masalah dalam upaya peningkatan kenyamanan.

c. Comfort measures

Comfort measures mengacu pada tiga comfort berikut, yaitu: Comfort

care adalah filosofi perawatan kesehatan yang berdasarkan fisik,

psikosipiritual, sosiokultural dan lingkungan yang nyaman bagi klien.

Comfort care mempunyai 3 komponen, yaitu intervensi yang sesuai

dan tepat waktu, model perawatan yang perhatian dan empati, berfokus

pada kenyamanan pasien. Comfort measures itu sendiri adalah

intervensi yang sengaja dirancang untuk meningkatkan kenyamanan

klien atau keluarga. Tindakan kenyamanan diartikan sebagai suatu

intervensi keperawatan yang didesain untuk memenuhi kebutuhan

kenyamanan yang spesifik dibutuhkan oleh penerima jasa, seperti

fisiologis, sosial, finansial, psikologis, spiritual, lingkungan dan

intervensi fisik. Kolcaba menyatakan bahwa perawatan untuk

kenyamanan memerlukan sekurangnya tiga tipe intervensi comfort

yaitu:

1) Teknis pengukuran kenyamanan, merupakan intervensi yang

dibuat untuk mempertahankan homeostasis dan mengontrol nyeri

yang ada, seperti memantau tanda-tanda vital, hasil kimia darah,


47

juga termasuk pengobatan nyeri. Tehnis tindakan ini didesain

untuk membantu mempertahankan atau mengembalikan fungsi

fisik dan kenyamanan, serta mencegah komplikasi.

2) Coaching (mengajarkan) meliputi intervensi yang didesain untuk

menurunkan kecemasan, memberikan informasi, harapan,

mendengarkan dan membantu perencanaan pemulihan (recovery)

dan integrasi secara realistis atau dalam menghadapi kematian

dengan cara yang sesuai dengan budayanya.

3) Comfort food untuk jiwa, meliputi intervensi yang menjadikan

penguatan dalam sesuatu hal yang tidak dapat dirasakan. Terapi

untuk kenyamanan psikologis meliputi pemijatan, adaptasi

lingkungan yang meningkatkan kedamaian dan ketenangan, guided

imagery, terapi musik, mengenang, dan lain lain.

e. Intervening variables

Variabel intervensi sebagai kekuatan interaksi untuk meningkatkan

persepsi resipien tentang kenyamanan total. Variabel ini terdiri atas

pengalaman, umur, sikap, status emosional, suport sistem, prognosa,

keuangan, dan pengalaman resipien secara keseluruhan (Kolcaba,

2003; March & Cormarck, 2009).

f. Enhanced Comfort

Enhanced comfort yaitu meningkatkan kenyamanan yang terus

menerus dengan melakukan intervensi kenyamanan secara konsisten

dan terus-menerus, sampai klien akan mencapai kesehatan yang


48

diinginkan dalam mencari kesembuhan (HSBs). Ini dilakukan dengan

cara melakukan asuhan keperawatan secara menyeluruh dengan

tindakan yang independent dan dependen sesuai dengan kewenangan

perawat. Intervensi keperawatan dalam upaya peningkatan

kenyamanan untuk menurunkan nyeri pada pasien dengan STEMI

meliputi tiga teori perawatan comfort, yaitu pengukuran kenyamanan

untuk mengontrol nyeri yang dirasakan pasien, Coaching

(mengajarkan) yaitu pemberian harapan, informasi akan penyakit

jantung STEMI dan perencanaan pemulihan (recovery) serta edukasi

psikospiritual, Comfort food (jiwa) terapi untuk kenyamanan

psikologis yaitu hipnoterapi yang meningkatkan kedamaian dan

ketenangan sehingga dapat meningkatkan kadar endorphin di dalam

tubuh dan akan mengurangi sensasi nyeri pasien STEMI.

g. Health-seeking Behaviors (HSBs).

HSBs adalah perilaku pasien atau keluarga yang terlibat secara sadar

atau tidak sadar, menggerakkan mereka ke arah kesejahteraan. HSBs

ini merupakan sebuah kategori yang luas dari outcome berikutnya yang

berhubungan dengan pencarian kesehatan. Peningkatan Kenyamanan

pasien dengan ST Elevasi Miocard Infark (STEMI) adalah sesuatu

hasil ilmu perawatan yang merupakan bagian penting dari teori

comfort. Ketika intervensi kenyamanan yang meliputi pengukuran

kenyamanan, pemberian informasi/edukasi, dan pemberian hipnoterapi

dikirimkan secara konsisten dan terus-menerus, maka mereka secara


49

teoritis dihubungkan dengan suatu kecenderungan ke arah kenyamanan

yang di tingkatkan setiap saat, dan dengan sendirinya klien akan

mencapai kesehatan yang di inginkan dalam mencari kesembuhan

(HSBs).

h. Institusional integrity

Integritas kelembagaan berdasarkan pada system nilai yang

berorientasi pada penerima perawatan. Sarana perawatan kesehatan

yang menyeluruh, jujur, professional dan beretika.

9. Intervensi

Intervensi berdasarkan kaidah ONEC

a. Observation

1) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

2) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

b. Nursing

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

2) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

dukungan

3) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

4) Kurangi faktor presipitasi nyeri

5) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi


50

6) Tingkatkan istirahat

7) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa

lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari

prosedur

8) Melakukan terapi komplementer yaitu dengan massage,

hipnoterapi.

c. Education

1) Ajarkan teknik teknik non farmakologi yaitu tentang Tarik napas

dalam untuk mengurangi nyeri

d. Colaboration

Berkolaborasi dengan berbagai multidisiplin profesi yaitu:

1) Dokter: Berikan analgetik seperti morfin, CPG, heparin dll.untuk

mengurangi nyeri.

2) Ahli gizi: Berikan diit jantung sesuai dengan kebutuhan klien

3) Analis kesehatan: lakukan pengecekan rutin CKMB dan kolesterol

darah pasien

10. Tujuan dan Evaluasi Pada Masalah Keperawatan Nyeri

Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) NOC : NIC (ONEC):


iskemia jaringan sekunder terhadap 1. Pain Level, 1. Observation
sumbatan arteri. 2. pain control, a. Observasi reaksi nonverbal
DS: 3. comfort level dari ketidaknyamanan
Laporan secara verbal Setelah dilakukan tinfakan b. Monitor vital sign sebelum
DO: keperawatan selama …. Pasien dan sesudah pemberian
a. Posisi untuk menahan nyeri tidak analgesik
b. Tingkah laku berhati-hati mengalami nyeri, dengan 2. Nursing
51

c. Gangguan tidur (mata sayu, kriteria hasil: a. Lakukan pengkajian nyeri


tampak capek, sulit atau gerakan 1. Mampu mengontrol nyeri secara komprehensif
kacau, menyeringai) (tahu penyebab nyeri, termasuk lokasi,
d. Terfokus pada diri sendiri mampu menggunakan karakteristik, durasi,
e. Fokus menyempit (penurunan tehnik nonfarmakologi frekuensi, kualitas dan
persepsi waktu, kerusakan proses untuk mengurangi nyeri, faktor presipitasi
berpikir, penurunan interaksi mencari bantuan) b. Bantu pasien dan keluarga
dengan orang dan lingkungan) 2. Melaporkan bahwa nyeri untuk mencari dan
f. Tingkah laku distraksi, contoh : berkurang dengan menemukan dukungan
jalan-jalan, menemui orang lain menggunakan manajemen c. Kontrol lingkungan yang
dan/atau aktivitas, aktivitas nyeri dapat mempengaruhi nyeri
berulang-ulang); 3. Mampu mengenali nyeri seperti suhu ruangan,
g. Respon autonom (seperti (skala, intensitas, pencahayaan dan kebisingan
diaphoresis, perubahan tekanan frekuensi dan tanda nyeri) d. Kurangi faktor presipitasi
darah, perubahan nafas, nadi dan 4. Menyatakan rasa nyaman nyeri
dilatasi pupil) setelah nyeri berkurang e. Kaji tipe dan sumber nyeri
h. Perubahan autonomic dalam 5. Tanda vital dalam rentang untuk menentukan
tonus otot (mungkin dalam normal intervensi
rentang dari lemah ke kaku) 6. Tidak mengalami f. Ajarkan tentang teknik non
i. Tingkah laku ekspresif (contoh : gangguan tidu farmakologi: napas dalam,
gelisah, merintih, menangis, relaksasi, distraksi, kompres
waspada, iritabel, nafas hangat/ dingin
panjang/berkeluh kesah) g. Tingkatkan istirahat
j. Perubahan dalam nafsu makan h. Berikan informasi tentang
dan minum nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur
3. Education
a. Ajarkan teknik teknik non
farmakologi yaitu tentang
Tarik napas dalam untuk
mengurangi nyeri
4. Colaboration
Berkolaborasi dengan berbagai
multidisiplin profesi yaitu:
a. Dokter: Berikan analgetik
seperti morfin, CPG,
heparin dll. untuk
mengurangi nyeri.
b. Ahli gizi: Berikan diit
jantung sesuai dengan
kebutuhan klien
c. Analis kesehatan: lakukan
pengecekan rutin CKMB
dan kolesterol darah pasien

Anda mungkin juga menyukai