Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS) meliputi spektrum
penyakit dari infark miokard akut (MI) sampai angina tak stabil (unstable
angina).Penyebab utama penyakit ini adalah trombosis arteri koroner yang berakibat
pada iskemi dan infark miokard.Derajat iskemik dan ukuran infark ditentukan oleh
derajat dan lokasi trombosis.
Sejak 1960‐an, ketika terapi standard menjadi istirahat penuh (bed rest) dan
defibrilasi (jika diperlukan), angka kematian infark miokard akut menurun terus.
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute(IMA) yang
disertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST.3
SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung
koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis.3
The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta
orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun.
Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak
ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung koroner
juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari makalah ini adalah Untuk Mengetahui dan
Memahami Tentang Konsep Dasar Teori dan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
pada Pasien dengan Sindrom Koroner Akut.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari makalah ini antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori dari Sindrom Koroner Akut.

1
2. Untuk mengetahui konsep dasar Askep teoritis pada pasien dengan
Sindrom Koroner Akut dengan meliputi Pengkajian, Diagnosa
Keperawatan, Intervensi, implementasi dan evaluasi.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini antara lain :
a. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Sindrom Koroner Akut
b. Untuk meningkatkan pengetahuan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dari
Sindrom Koroner Akut
c. Untuk menambah referensi pustaka bagi mahasiswa Keperawatan UMI
tentang Sindrom Koroner Akut

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi

Jantung merupakan alat pompa manusia yang berfungsi untuk memompakan


darah keseluruh tubuh guna memenuhi transport oksigen untuk jaringan dengan
membawa nutrisi yang dibutuhkan oleh jaringan. Jantung membawa darah dari vena
pulmonalis menuju atrium sinistra kemudian ke venrikel sinista dan di keluarkan ke
aorta, artri dan arteriol kemudian di jaringan terjadilah perfusi oksigen dan
karbondioksida setelah itu venul, vena, vena kava dan atrium dekstra kemudian ke
arteri pulmonalis.
Fungsi dari jantung sendiri mengalirkan darah ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan namun tak lupa jantung itu sendiri juga mempunyai
otot yang juga harus disuplai nutrisi oleh darah, namun berbeda dengan arteri dan
vena yang lain jantung menerima darah bukan saat kontraksi namun pada saat
relaksasi, jantung memiliki aliran untuk menyuplai darah yang dinamakan arteri
koroner, dimana arteri koroner memiliki 2 cabang dekstra dan sinistra, cabang dari
arteri sinistra ada dua yaitu sirkumflexa dan arteri left descendend, dimana kesemua
arteri ini mengalirkan darah dan nutrisi menuju ke jantung untuk memenuhi
kebutuhan otot jantung.
Kedua arteri ini tidak selamanya bisa berfungsi dengan baik, sama dengan
arteri – arteri pada umumnya pola hidup yang tidak sehat memicu pembentukan plak
terutama pada arteri koroner yang memungkinkan menimbulkan banyak gejala yaitu
ACS (Acute Coronary Syndrome).

3
ACS sendiri di sebabkan oleh penumpukan plak atau lemak kolesterol pada
arteri koroner yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga suplai
darah untuk otot jantung berkurang sehingga jantung akan mengalami masalah yaitu
kerusakan miokardium dan jika tidak segera ditanganio maka akan terjadi nekrosis
jaringan. (Erling Falk, 2013)

2.1 Konsep Dasar Teoritis


2.1.1 Defenisi
Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler,
terutama SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-
negara berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006). World Health Organization
(WHO) (Tunstall H dkk,1994) dan American Heart Association (AHA) pada akhir
tahun 1950 menegakkan diagnosis SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu
manifestasi klinis nyeri dada, gambaran EKG dan penanda enzim jantung
(Luepker,2003).
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai
elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan
angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC,2005).
Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi
(Libby,1995). Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut
IMA non STE dan jika troponin negatif disebut APTS.

4
Acute coronary syndrome adalah istilah untuk tanda-tanda klinis dan gejala
iskemia miokard: angina stabil, non-ST-segmen elevasi miokard infark, dan elevasi
ST-segmen infark miokard. Sindrom koroner akut (SKA) adalah merupakan satu dari
tiga penyakit pembuluh darah arteri koroner, yaitu : ST-Elevasi infark miokard (30
%), Non ST-Elevation infark miokard (25 %), dan Angina Pectoris Tidak Stabil (25
%).
Penyakit jantung koroner disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen miokardium.Bila kebutuhan oksigen miokardium
meningkat, maka suplai oksigen juga harus meningkat. Peningkatan kebutuhan
oksigen terjadi pada: takikardia, peningkatan kontraktilitas miokard, hipertensi,
hipertrofi, dan dilatasi ventrikel. Untuk meningkatkan suplai oksigen dalam jumlah
yang memadai aliran pembuluh koroner harus ditingkatkan.

5
Sindrom koroner akut dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Akut ST-elevasi MI (STEMI)
STEMI terjadi karena sumbatan yang komplit pada arteri koroner. Jika tidak
dilakukan pengobatan akan dapat menyebabkan kerusakan miokardium yang lebih
jauh. Pada fase akut pasien beresiko tinggi untuk mengalami fibrilasi ventrikel atau
takhikardi yang dapat menyebabkan kematian.Bantuan medis harus segera dilakukan.

2) Non-ST-elevasi MI (NSTEMI) yang sering disebut dengan istilah non Q-


wave MI atau sub-endocardial MI)
Pada beberapa pasien dengan NSTEMI, mereka memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya kemacetan pembuluh darah koroner, yang dapat menyebabkan kerusakan
miokardium yang lebih luas dan aritmia yang dapat menyebabkan kematian. Resiko
untuk terjadinya sumbatan dapat terjadi pada beberapa jam pertama dan menghilang
dalam seiring dengan waktu.
3) Unstable angina pectoris
Angina tidak stabil didefinisikan sebagai kejadian salah satu atau beberapa
dari kejadian berikut:

6
a) Angina yang terjadi pada periode waktu tertentu dari mulai beberapa hari
dan meningkat dalam serangan. Peningkatan itu disebabkan karena faktor
pencetus yang lebih sedikit atau kurang. Keadaan ini sering disebut
sebagai crescendo angina.
b) Episode kejadian angina sering berulang dan tidak dapat diprediksi.
Angina tidak stabil tidak pencetus karena olahraga tidak begitu jelas.
Biasanya terjadi dalam waktu pendek dan hilang dengan spontan atau
dapat hilang sementara dengan cara minum glyceryl trinitrate (GTN) sub
lingual.
c) Tidak ada pencetusnya dan nyeri dada yang memanjang. Tidak ada bukti
adanya myokardial infark.

2.1.2 ETIOLOGI
Masalah yang sesungguhnya pada SKA terletak pada penyempitan pembuluh
darah jantung (vasokontriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh 4 hal yaitu :
a) Adanya timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolesterol yang tinggi.
b) Sumbatan (trombosit) oleh sel bekuan darah (thrombus)
c) Vasokontriksi (penyempitan pembuluh darah akibat kejang terus menerus.
d) Infeksi pada pembuluh darah
Terjadinya SKA dipengaruhi oleh beberapa keadaan yakni :
1) Aktivitas atau latihan fisik yang berlebihan (tidak terkondisikan)
2) Stress atau emosi dan terkejut.
3) Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi
debar meningkat dan kontra aktivitas jantung meningkat

2.1.3 PATOFISIOLOGI
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat
suplei darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Penyebab

7
penurunan suplai darah mungkin akibat penyempitan arteri koroner karena
aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli (plak) atau thrombus.
Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau perdarahan.Pada
setiap kasus ini selalu terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
jantung.
Iskemia yang terjadi berlangsung cukup lama (>30-45menit) menyebabkan
kerusakan seluler yang irreversibel. Plak aterosklerosis menyebabkan bekuan darah
atau trombus yang akan menyumbat pembuluh darah arteri, jika bekuan terlepas dari
tempat melekatnya dan mengalir ke cabang arteri koronaria yang lebih perifer pada
arteri yang sama.
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi hemodinamik
dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah miokard setempat akan
memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection
fraction, isi sekuncup (stroke volume) dan peningkatan volume akhir distolik
ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan
atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg yang lama
akan menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisium paru (gagal jantung).
Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya
dengan bantuan rangsangan adrenergeik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi
dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak
akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan
sudah fibrotic. Sebagai akibat IMA sering terjadi perubahan bentuk serta ukuran
ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena infark maupun yang non
infark.
Perubahan tersebut menyebabkan remodeling ventrikel yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia. Bila IMA makin tenang fungsi
jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan karena daerah-
daerah yang tadinya iskemik mengalami perbaikan. Daerah-daerah diskinetik akibat
IMA akan menjadi akinetik, karena terbentuk jaringan parut yang kaku. Miokard
sehat dapat pula mengalami hipertropi.

8
Terjadinya penyulit mekanis seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi mitral
akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung. Aritmia
merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menit-menit atau jam-
jam pertama setelah serangan.Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa
refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaaan terhadap rangsangan.
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya.Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya
tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada
sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologi menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga
IMA STE memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Gambar 3) ( Hamm
dkk,2004)

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya sindroma


koroner akut (Hamm dkk,2004)

9
2.7 Klasifikasi
Penyakit jantung koroner hampir selalu disebabkan oleh ateroskeloris dengan
atau tanpa luminal trombosis dan fasospasm. Ateroskeloris sendiri mungkin
menyebabkan angina stabil yang begitu fatal jelas trombosis memeliki peran besar
pada patogenesis dari perawatan ACS termasuk STEMI, NSTEMI dan unstable
angina. Kenyataannya akhir-akhir ini jika terjadi nyeri dada pada saat
istirahat.penjelasan lain yang sering muncul dari atero trobosis tiba-tiba menyebabkan
kematian pada koroner. (Erling Falk, 2013)
1. Angina Pektoris
a. Definisi
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama
angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian),
dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada
angina pektoris tidak stabil (Erling, falk 2013)
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya
meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan
menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina
tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin
ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar
pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis parsial,
embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung
adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya. (Erling, falk 2013)
b. Penatalaksanaan
1) Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin.
2) Terapi medikamentosa

10
a. Obat anti iskemia .(Nitrat)
b. Obat anti agregasi trombosit : Asam Asetil salisilat (Aspirin)
c. Obat anti trombin
d. Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
e. Direct trombin inhibitors
(Erling, falk 2013)
2. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)
a. Definisi
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak
stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas
otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol
dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di
jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi.
(Erling, falk 2013)
b. Patofisiologi

SKA ini dimulai ketika plak aterosklerosis ruptur yang dapat menstimulasi
aktivasi faktor pembekuan darah dan kemudian terjadi agregasi trombosit sehingga
terbentuklah trombus. Trombus inilah yang akan menghambat alirah darah yang
menuju ke otot jantung, sehingga otot jantung akan mengalami kekurangan oksigen
dan Adenosine Triphosphate (ATP). Pada kondisi ini pasien akan mengalami nyeri
dada yang bisa menjalar ke leher, punggung, tangan kiri dan epigastrium.

Pada kondisi ini pasien akan mengalami nyeri dada yang bisa menjalar ke
leher, punggung, tangan kiri dan epigastrium. Nyeri ini disebabkan oleh karena
adanya timbunan asam laktat hasil dari metabolisme anaerob yang terjadi di otot
jantung akibat dari kurangnya suplai oksigen dan nutrisi. Nyeri yang paling dominan
dirasakan oleh pasien adalah pada bagian di belakang sternum. Metabolisme anaerob

11
ini hanya menyediakan 6% dari seluruh energi yang dibutuhkan oleh otot jantung
untuk bisa bekerja dengan baik. (Hana Ariyani, 2014)

c. Penatalaksanaan

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
a) Terapi antiiskemia
b) Terapi anti platelet/antikoagulan (Erling, falk 2013)
d. Pemeriksaan Penunjang

Pada NSTEMI perlu dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari
stratifikasi risiko pasien: pada resiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi
segmen ST, kadar troponin meningkat (Troponin T: ), adanya gangguan irama jantung
seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini. (Hana Ariyani, 2014)

(Bayer, 2008)

3. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)


a. Definisi
Infark miokardium dengan elevasi ST menunjukan terbentuknya suatu daerah
nekrosis miokardium akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan
jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan
salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. (Erling, falk 2013)

12
b. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury
ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. (Erling, falk 2013)
c. Pemeriksaan Penunjang
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi
ST kurang lebih 2 mm atau 2 kotak kecil, minimal pada dua sadapan prekordial yang
berurutan atau kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim
jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis. (Erling, falk
2013)

(Bayer, 2008)
2.8 Penatalaksanaan

13
Penatalaksanaa yang dapat dilakukan untuk pasien Sindrom Koroner Akut
(SKA) yaitu :
1. Morphine
Diberikan jika nitroglycerin sublingual tidak pengobatan yang cukup penting
pada infark miokard dengan alasan:
a. Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivitas
neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin
b. Menghasilkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen.
c. Menurunkan tahanan vaskuler sistemik, sehingga mengurangi after load
ventrikel kiri.
d. Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut.
2. Oksigen
Oksigen diberikan pada semua pasien infark miokard. Pemberian oksigen
mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior. Berdasarkan konsensus,
dianjurkan memberikan oksigen dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian oksigen lebih
dari 6 jam secara klinis tidak bermanfaat, kecuali pada keadaan berikut :
a. Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau dengan hemodinamik yang
tidak stabil.
b. Pasien dengan tanda-tanda edema paru akut
c. Pasien dengan saturasi oksigen < 90%.
3. Nitroglycerin
Tablet nitroglycerin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan interval
3-5 menit jika tidak ada kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan keadaan hemodinamik tidak stabil, misalnya pada pasien dengan tekanan
diastolik ≤ 90 mmHg atau 30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan awal.
Nitroglycerin adalah venodilator dan penggunaannya harus secara hati-hati pada
keadaan infark inferior atau infark ventrikel kanan, hipotensi, bradikardi, takikardi,
dan penggunaan obat penghambat fosfodiesterase dalam waktu <24 jam.
4. Acetylsalicylic acid

14
Acetylsalicylic acid 160-325 mg dikunyah, untuk pasien yang belum
mendapat acetylsalicylic acid dan tidak ada riwayat alergi dan tidak ada bukti
perdarahan lambung saat pemeriksaan. Acetylsalicylic acid supositoria dapat
digunakan pada pasien dengan mual, muntah atau ulkus peptik, atau gangguan
saluran cerna atas.
5. Terapi reperfusi awal
Sebelum melakukan terapi reperfusi awal harus dilakukan evaluasi sebagai
berikut:
a. Langkah I: Nilai waktu onset serangan, risiko STEMI, risiko fibrinolisis dan
waktu yang diperlukan untuk transportasi ke ahli kateterisasi PCI yang tersedia.
b. Langkah II: strategi terapi reperfusi fibrinolisis atau invasif.

Terapi fibrinolisis dilakukan jika onset < 3 jam, tidak tersedia pilihan terapi
invasif; waktu doctor-baloon atau door-baloon > 90 menit; door-baloonminus door-
needle > 1 jam, dan tidak terdapat kontraindikasi fibrinolisis.
Terapi invasif (PCI) dilakukan jika onset > 3 jam, tersedia ahli PCI, kontak
doctorbaloon doctorbaloon atau door-baloon <90 menit; doorbaloonminus door-
needle < 1 jam. Terdapat kontraindikasi fibrinolisis, termasuk risiko perdarahan
intraserebral, pada STEMI risiko tinggi (CHF, Killip ≤ 3) atau diagnosis STEMI
diragukan.
6. Low Molecular Weight Heparin (misalnya enoxaparin)
Indikasi: STEMI, NSTEMI, angina tidak stabil ; pada STEMI digunakan
sebagai terapi tambahan fibrinolitik. Mekanisme kerja: menghambat thrombin secara
tidak langsung melalui kompleks antithrombin III Dibandingkan dengan
unfractionated heparin lebih selektif pada penghambatan faktor Xa.
7. Clopidogrel dapat menggantikan acetylsalicylic acid bila pasien alergi terhadap
acetylsalicylic acid.
8. Pemberian dosis awal clopidogrel 300 mg (loading dose) dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari merupakan terapi tambahan selain acetylsalicylic

15
acid, UFH atau LMWH dan GP IIb/IIIa. Mekanisme kerja clopidogrel adalah
sebagai antiplatelet, antagonis reseptor adenosine diphosphat.
9. Statin (MHGCoenzyme A Reductase Inhibitor) mengurangi insiden reinfark,
angina berulang, rehospitalisasi, dan stroke bila diberikan dalam beberapa hari
setelah infark miokard. Pemberian dapat dilakukan lebih awal (dalam 24 jam)
pada infark miokard dan bila sudah mendapatkan statin sebelumnya maka terapi
dilanjutkan.
10. Terapi complete heart block
Keadaan bradikardi akibat complete heart block dengan hemodinamik tidak
stabil harus disiapkan untuk pemasangan pacu jantung transkutan atau transvena.
Sambil menunggu persiapan pacu jantung dapat dipertimbangkan pemberian atropine
0,5mg i.v dengan dosis maksimal 3mg i.v. Selain itu dapat dipertimbangkan
pemberian epinefrin dengan dosis 2-10 μg/kgBB/menit. (Verdy,2012)

2.1.4 MANIFESTASI KLINIK


Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan
nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke
leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan
keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau
kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu
hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a) Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot
jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
b) Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit.Rasa nyeri ini dapat menjalar ke
rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung.Nyeri dapat

16
timbul pada waktu istirahat.Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang
sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi
lebih berat atau lebih sering.
c) Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang
terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau
keringat dingin.

2.1.5 PATHWAY

17
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Sindrom Koroner Akut (SKA)
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang
harus ditemukan, yakni:
a) Sakit dada
Analisa Bivariat
Tabel 5. Analisa Bivariat Luas Infark dengan Respon Nyeri Dada
Var. Penduga Stat.
Varibl Sign OR
Indep Prmtr Wald
Intersp -3.162 4.200 0.040*
Sedang Luas
Infark 0.181 4.027 0.045* 1.198
Miokrd
Intersp -9.234 5.024 0.025*
Berat Luas
Infark 0.365 5.483 0.019* 1.441

18
* signifikan pada taraf kesalahan 0.05

Berdasarkan tabel 5. Hasil analisis bivariat mengunakan uji regresi logistik,


dengan nilai signifikansi yang kurang dari taraf kesalahan 0,05. Hasil tersebut dapat
dilihat pada nilai p:0,045 untuk nyeri sedang dan 0,019 untuk nyeri berat artinya
terdapat hubungan antara luas infark miokard dengan respon nyeri dada pada pasien
Sindrom Koroner Akut (SKA). Berdasarkan nilai Odd Ratio untuk variabel 1,198, hal
ini berarti setiap kenaikan luas infark miokard sebesar 1% maka akan meningkatkan
peluang pasien mengalami nyeri dada kategori sedang sebesar 1,198 kali dan nilai
Odd Ratio sebesar 1,441, berarti setiap kenaikan luas infark miokard sebesar 1%
maka akan meningkatkan peluang pasien mengalami nyeri dada kategori berat
sebesar 1,441 kali.
b) Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik . Gambaran EKG awal sangat berguna untuk
menduga kejadian SKA. Jumlah lead yang menunjukkan depresi ST dan
magnitudonya, merupakan indikasi adanya iskemia berat dan luas dan
berkorelasi dengan prognosis terhadap angka kematian dalam 1 tahun seperti
yang di tunjukkan pada tabel 6 (Hamm, 2004). Pemantauan segmen ST secara
berkala pada EKG saat istirahat memberi informasi prognostik tambahan,
selain hasil troponin dan variabel klinis lainnya (Hamm, 2004; PERKI,2012).
Pada penelitian GRACE (2001) juga dijumpai faktor yang berhubungan
secara independen terhadap peningkatan angka kematian yaitu pertambahan usia, klas
Killip, peningkatan denyut jantung, depresi segmen ST, tanda-tanda gagal jantung,
tekanan darah sistolik yang rendah, nyeri dada yang khas dan peningkatan enzim
jantung. Adanya gambaran segmen ST yang deviasi (Kaul dkk, 2003) merupakan
prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis dibandingkan dengan peningkatan enzim
jantung troponin pada pasien SKA (SIGN, 2007).
Tabel 6. Jumlah angka kematian dalam 1 tahun terhadap luasnya infark
(Hamm,2004)

19
c) Penelitian dari Fibrinolytic Therapy Trialists’ Collaboration (FTTC) (1994)
melaporkan bahwa gambaran EKG merupakan prediktor kematian yang cukup
memberikan manfaat apabila dijumpai adanya elevasi segmen-ST atau bundle
branch block yang dianggap baru. Go AS dkk (1998) menunjukkan bahwa
right bundle branch block (RBBB) ternyata banyak dijumpai pada gambaran
EKG namun memiliki angka kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan left bundle branch block (LBBB).
d) Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal),
terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk
nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap
positif bila > 0,2 ng/dl. Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai
batas atas normal, terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih
spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl,
dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl)

2.8 Kegunaan Troponin


Troponin adalah protein spesifik yang ditemukan dalam otot jantung dan otot
rangka. Bersama dengan tropomiosin, troponin mengatur kontraksi otot. Kontraksi
otot terjadi karena pergerakan molekul miosin di sepanjang filamen aktin intrasel.
Troponin terdiri dari tiga polipeptida :

20
1. Troponin C (TnC) dengan berat molekul 18.000 dalton, berfungsi mengikat
dan mendeteksi ion kalsium yang mengatur kontraksi.
2. Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen
inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
3. Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi
mengikat tropomiosin.

Dari tiga polipeptida tersebut, hanya bentuk troponin I (cTnI) dan troponin T
(cTnT) yang ditemukan di dalam sel-sel miokardium, tidak pada jenis otot lain.

cTnI dan cTnT dikeluarkan ke dalam sirkulasi setelah cedera miokardium. Sel-sel
otot rangka mensintesis molekul troponin yang secara antigenis berbeda dengan
troponin jantung.

Pembebasan troponin jantung dari miokardium yang cedera terjadi


dalam dua fase. Pertama, pada kerusakan awal beberapa troponin jantung dengan
cepat keluar dari sel-sel miokardium dan masuk ke dalam sirkulasi bersama
dengan CK-MB dan memuncak pada 4-8 jam. Dengan demikian, kemunculan
akut troponin jantung mengisyaratkan IMA. Kedua, troponin jantung juga
dibebaskan dari aparatus kontraktil intrasel. Pelepasan troponin yang
berkelanjutan ini memberikan informasi yang setara dengan yang diberikan oleh
isoenzim laktat dehidrogenase (LDH) untuk diagnosis konfirmatorik infark
miokardium sampai beberapa hari setelah kejadian akutnya. Keluarnya troponin
jantung ke sirkulasi sedikit lebih tertinggal dari mioglobin. Karena itu
penggabungan pengukuran mioglobin (sangat sensitif tetapi kurang spesifik untuk
cedera miokardium) dan troponin jantung (sangat spesifik untuk cedera
miokardium) sangat bermanfat.

a) Pemakaian Diagnostik

Uji troponin digunakan untuk membantu mendiagnosis serangan jantung, untuk


mendeteksi dan mengevaluasi cedera miokardium, dan untuk membedakan nyeri
dada karena serangan jantung atau mungkin karena penyebab lainnya. Selama ini,

21
penanda cedera jantung yang umum digunakan adalah CK-MB dan laktat
dehidrogenase (LDH). CK-MB mampu memberikan informasi diagnostik yang tepat,
tetapi kadang-kadang menimbulkan hasil positif palsu pada cedera otot lainnya. Hal
ini dapat dijumpai, misalnya pada pelari maraton atau pasien dengan distrofi otot
yang menghasilkan CK-MB di otot rangka, atau pasien dengan gagal ginjal yang
mengalami gangguan mengeluarkan CK-MB dan mioglobin dari sirkulasi. Troponin
jantung tetap rendah pada kasus-kasus ini.

Pengukuran LDH sering mangalami gangguan serius oleh hemolisis dan


kelainan non-jantung lainnya karena LDH terdapat pada hampir semua jaringan.

Troponin adalah tes yang lebih spesifik untuk serangan jantung daripada tes
lainnya (yang mungkin menjadi positif pada cedera otot rangka) dan tetap tinggi
untuk jangka waktu beberapa hari setelah serangan jantung. Troponin kadang-kadang
meningkat secara menetap pada pasien dengan penyakit miokardium yang tidak
memperlihatkan peningkatan mioglobin, CK-MB, atau LDH. Pasien-pasien ini
biasanya mengidap angina yang tidak stabil; troponin bisa untuk memantau
perkembangan klinis pada penyakit ini secara kuantitatif.

Ketika seorang pasien mengalami serangan jantung, kadar troponin bisa


menjadi meningkat dalam darah dalam waktu 3 atau 4 jam setelah cedera dan dapat
tetap tinggi selama 1-2 minggu setelah serangan jantung. Pengujian ini tidak
terpengaruh oleh kerusakan otot lain, sehingga suntikan, kecelakaan, dan obat-obatan
yang dapat merusak otot tidak mempengaruhi kadar troponin.

Peningkatan konsentrasi troponin tidak boleh digunakan sendiri untuk


mendiagnosa atau menyingkirkan serangan jantung, sebaiknya disertai pemeriksan
laboratorium lainnya, seperti CK-MB, LDH, hsCRP, dan AST. Di samping itu,
pemeriksaan fisik, riwayat klinis, dan EKG juga penting. Beberapa orang yang
memiliki serangan jantung bisa saja memiliki kadar troponin normal, dan beberapa
orang dengan konsentrasi troponin meningkat tidak memiliki cedera jantung yang
jelas.

22
b) Masalah Klinis

Penting untuk dicatat bahwa troponins jantung adalah penanda dari semua
kerusakan otot jantung, bukan hanya infark miokard. Kondisi lain yang langsung atau
tidak langsung mengakibatkan kerusakan otot jantung juga bisa meningkatkan kadar
troponin. Takikardia berat (misalnya karena takikardia supraventricular) pada seorang
individu dengan arteri koroner normal juga dapat menyebabkan peningkatan
troponin, misalnya, mungkin karena permintaan oksigen meningkat dan pasokan
oksigen yang tidak memadai ke otot jantung.

Troponins juga meningkat pada pasien dengan gagal jantung, kondisi


inflamasi (miokarditis dan perikarditis dengan keterlibatan otot jantung yang
kemudian disebut myopericarditis), kardiomiopati (kardiomiopati membesar,
kardiomiopati hipertrofik atau hipertrofi ventrikel (kiri), kardiomiopati peripartum,
kardiomiopati Takotsubo), gangguan infiltrasi (amiloidosis jantung).

Cedera jantung dengan peningkatan troponin juga terjadi pada keadaan


jantung memar, defibrilasi dan kardioversi internal atau eksternal. Peningkatan
troponin juga meningkat pada beberapa prosedur seperti operasi jantung dan
transplantasi jantung, penutupan cacat septum atrium, intervensi koroner perkutan
atau ablasi frekuensi radio .

c) KONDISI NON JANTUNG


Beberapa kondisi non-jantung yang dapat meningkatkan kadar troponin akibat
memberi efek tidak langsung pada otot jantung seperti : sepsis (troponin meningkat
sekitar 40%; ada peningkatan risiko kematian dan lama tinggal di dalam unit
perawatan intensif pada pasien ini), perdarahan gastrointestinal yang parah (terdapat
ketidaksesuaian antara permintaan dan pasokan oksigen miokardium), diseksi aorta,
peningkatan stress hemodinamik, hipertensi pulmonar, emboli paru, eksaserbasi akut
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), iskemia, gangguan sistem syaraf pusat
(perdarahan subaraknoid, stroke, perdarahan intrakranial, kejang), penyakit ginjal
stadium akhir, toxin (kalajengking, ular, ubur-ubur, lipan), keracunan (CO, sianida).

23
Pengaruh obat : agen kemoterapi (anthracycline, cyclophosphamide, 5-fluorourasil
dancisplatin) .
Uji Laboratorium
Troponin jantung (cTnT dan cTnI) dapat diukur dengan immunoassay yang
baru-baru ini tersedia luas dalam analyzer imunokimia otomatis.
Spesimen untuk pengukuran troponin berupa darah lengkap atau serum. Karena
troponin jantung relatif tidak stabil dalam darah lengkap atau serum, maka spesimen
harus diproses dan diperiksa segera. Apabila serum harus disimpan, serum harus
dibekukan.

Nilai Rujukan

Hasil tes troponin dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan IMA
dengan trombolisis. Di pasaran, banyak beredar tes komersial jenis Troponin I
daripada Troponin T. Namun, belum adanya standardisasi untuk nilai rujukannya
masih menjadi kendala.

Menurut Kosasih (2008), nilai rujukan untuk Troponin I (metode immunoassay)


1. Nilai antara 0,04 dan 0,1 ng/mL diinterpretasikan sebagai tak pasti
2. Nilai di atas o,1 ng/mL diinterpretasikan sebagai nekrosis sebagian sel otot
jantung
3. Pada operasi jantung dan takikardia yang berlangsung lama, nilai dapat sedikit
lebih tinggi
4. Pada orang normal nilai kurang dari kurang dari 0,2 ng/mL

Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium

1. Pengaruh obat (lihat Pengaruh obat)


2. Penundaan pengujian

24
2.1.6 Algoritma

2.1.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)


1) Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien
sindrom koroner akut (SKA) adalah:

25
a) Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta
menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
b) Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi.
Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray.
Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan
dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan
tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya
ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan
kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload)
sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner
besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi
platelet (masih menjadi pertanyaan).
c) Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan
venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta
nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan
after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak
kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek
samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan .
d) Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut
jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya
ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan-A2.Kedua hal tersebut menyebabkan
agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e) Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan
bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The
Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan
kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan

26
nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg
perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet,
terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat
diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4.Aspirin boleh
diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH
(unfractioned heparin).Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,
infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f) Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan
kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard.Dapat dikombinasi
dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada
pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada
pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)
bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk.memperoleh hasil
yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5%
menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16%
menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia
dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi
purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel
darah lengkap pada minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya
dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada
korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas
dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA
yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah
17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai

27
beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian
obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE
(Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah
(IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

2) Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut


(SKA) meliputi:
a) Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-
preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia)
dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai
efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun
dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan
terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000
ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.
b) Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada
APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih
lama; high bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai
tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak
mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio
antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor
jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi
dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin,
Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325

28
mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam
(Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
c) Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran
bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek
antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian
Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan
Asparin.
d) Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan
pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya
dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan
bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO
V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan
Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan
ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan
Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH
pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 4. Efek
GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan
serotonin 17.Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan
Eptifibatide yang diberikan secara intravena.Ada juga secara peroral,
yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.GPIIb/IIIa-I secara
intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun
pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas.Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada
Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi
plak.Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri
maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat
tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik.Namun, tetap perlu
diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet

29
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut
trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26.
Dasgupta dkk.(2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada
Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan
sebab yang belum jelas.Diduga karena Abciximab menyebabkan
respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET
menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada
perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian
ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya
nenguntungkan pada grup APTS.
e) Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang
berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin.
GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien
APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan
yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f) Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch
block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek
sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan
NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi
dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah
infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang
diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas
ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama
saja.

30
g) Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi
jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui
pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak
memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan
pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang
disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat
kembali mengalir menjadi normal.

BAB III
PENUTUP

31
4.1 Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan
mortalitas tinggi serta merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri dada yang disertai
dengan gejala lain sebagai akibat iskemia miokard (Dep. Kes. RI, 2007). Menurut
laporan World Health Organization (WHO) tahun 2008, penyakit tidak menular menjadi
penyebab kematian 36 juta penduduk dunia (64%) dari seluruh kematian global (Rahajoe
& Rilantono, 2012).
The American Heart Association (AHA) memperkirakan lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita PJK dan merupakan penyebab kematian utama (20%)
penduduk Amerika (Harrisons, 2000). Berdasarkan Riskesdes di Indonesia tahun 2007
prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2%. Penyakit jantung iskemik menduduki
urutan ketiga (8,7%) sebagai penyebab kematian di daerah perkotaan (Subagjo et al.,
2012). Mortalitas SKA tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis, namun lebih
sering ditemukan dengan plak kurang dari 50-70% yang tidak stabil, tipis dan mudah
erosi atau ruptur (Soerianata & Sanjaya, 2004).

Daftar Pustaka
Brunner and Suddarth (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

32
Corwin J. Elizabeth (2009). Buku SakuPatofisiologi. Jakarta : EGC

Krisanty Paula, S.Kep, Ns, dkw (2009). AsuhanKeperawatanGawatDarurat. Jakarta : TIM

Koroner-akut-infarkmiokard_obat_hosppharm.pdf-adobe reader

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23084/4/Chapter%20II.pdf

C.Susilo, Hidayat Sujuti, dkk.2013. Hubungan Luas Infark Miokard (Berdasar Skor
Selvester) Dengan Respon Nyeri Dada Pada Pasien Sindrom Koroner Akut (Ska) Di
Rsd Dr. Soebandi Jember. Diakses pada 03 Nopember 2105.

33

Anda mungkin juga menyukai