Anda di halaman 1dari 36

SINDROME KORONER AKUT

Dosen Pengampu “ Ns.Agus Purnama,S.Kep.,M.Kep”

KELOMPOK 2 KELAS 3 C
Yuli Purwanti (08210100178)
Chyntia Naftali (08210100184)
Iis Nurhayati (08210100194)
Imam Gunawan (08210100166)
Lidya Lumbantoruan (08210100219)
Meilinda Fitra A (08210100210)
Riska Fitriani (08210100212)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN EKSTENSI


UNIVERSITAS INDONESIA MAJU
JAKARTA
2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa selalu menyertai seluruh tugas dan tanggung jawab,
Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat II yaitu mengenai Sindrome
Koroner Akut atau sering dikenal dengan SKA, sesuai dengan ketentuan dan waktu
yang ditentukan walau masih sangat sederhana.

Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
melengkapi nilai tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat II yang
diampuh oleh “ Ns.Agus Purnama,S.Kep.,M.Kep”. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan sebagai
acuan penyusun untuk bisa melangkah lebih maju lagi di masa depan.
Akhir kata, Penyusun berharap dengan adanya makalah ini, dapat bermanfaat
untuk semuanya.

Jakarta , 19 Oktober 2022

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS) meliputi spektrum
penyakit dari infark miokard akut (MI) sampai angina tak stabil (unstable
angina).Penyebab utama penyakit ini adalah trombosis arteri koroner yang berakibat
pada iskemi dan infark miokard.Derajat iskemik dan ukuran infark ditentukan oleh
derajat dan lokasi trombosis.
Sejak 1960‐an, ketika terapi standard menjadi istirahat penuh (bed rest) dan
defibrilasi (jika diperlukan), angka kematian infark miokard akut menurun terus.
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infarct myocard acute(IMA) yang
disertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST.3
SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung
koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis.
The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta
orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun.
Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun, dan tidak
ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung koroner
juga merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika.
Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler,
terutama SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-
negara berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006). World Health Organization
(WHO) (Tunstall H dkk,1994) dan American Heart Association (AHA) pada akhir
tahun 1950 menegakkan diagnosis SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu
manifestasi klinis nyeri dada, gambaran EKG dan penanda enzim jantung
(Luepker,2003).

3
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari makalah ini adalah Untuk Mengetahui dan
Memahami Tentang Konsep Dasar Teori dan Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat pada Pasien dengan Sindrom Koroner Akut.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari makalah ini antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori dari Sindrom Koroner Akut.
2. Untuk mengetahui konsep dasar Askep teoritis pada pasien dengan
Sindrom Koroner Akut dengan meliputi Pengkajian, Diagnosa
Keperawatan, Intervensi, implementasi dan evaluasi.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini antara lain :
a. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Sindrom Koroner Akut
b. Untuk meningkatkan pengetahuan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dari
Sindrom Koroner Akut

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI SKA


Sindroma koroner akut adalah suatu kondisi terjadinya pengurangan aliran
darah ke jantung secara mendadak. beberapa gejala dari syndrome ini adalah tekanan
di dada seperti serangan jantung, sesak nafas saat berisitirahat atau melakukan
aktivitas fisik ringan, keringat yang berlebihan secara tiba-tiba (diaphoresis), mual
muntah, nyeri di bagian tubuh lain seperti lengan kiri atau rahang dan jantung yang
berhenti mendadak (cardiac arrest). (journal Anastesiologi Indonesia volume IV no 3.
2014).

Syndrome Koroner Akut (biasa disingkat SKA) merupakan suatu terminologi


atau istilah yang biasanya dipergunakan untuk mendeskripsikan kumpulan beberapa
proses atau spektrum keadaan dari penyakit jantung yang meliputi, antara lain: angina
pektoris yang tidak stabil (unstable angina/ UA), infark miokard pada gelombang
non-Q (IMAnQ) atau infark miokard tanpa adanya elevasi segmen ST (Non-ST
elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q
(IMAQ) atau infark miokard dengan adanya elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/ STEMI). (www.penyakitjantung.id).

Sindrom koroner akut (SKA) adalah sindrom klinis yang biasanya disebabkan
oklusi total atau sebagian dari yang mendadak pada arteri koroner akibat ruptur plak
aterosklerosis (Overbaugh,2009 )

2.2 ETIOLOGI SKA


Penyebab terjadinya sindrom koroner akut :
A. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard oleh karena
penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak
aterosklerosis yang rupture dan biasanya tidak sampai menyumbat.
Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari

5
plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan
penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
B. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner
epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat adanya
disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh
konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
C. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena
spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan
aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner
perkutan (PCI).
D. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh yang berhubungan
dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi
plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak
meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat
mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat
mengakibatkan SKA.
E. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi
pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab dapat berupa
penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard,
dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik.

6
SKA jenis ini antara lain karena :
a) Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis berkurangnya aliran darah koroner,
b) Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan
hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak
terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari
satu penyebab dan saling terkait.

2.3 ANATOMI

Jantung merupakan alat pompa manusia yang berfungsi untuk memompakan


darah keseluruh tubuh guna memenuhi transport oksigen untuk jaringan dengan
membawa nutrisi yang dibutuhkan oleh jaringan. Jantung membawa darah dari vena
pulmonalis menuju atrium sinistra kemudian ke venrikel sinista dan di keluarkan ke
aorta, artri dan arteriol kemudian di jaringan terjadilah perfusi oksigen dan
karbondioksida setelah itu venul, vena, vena kava dan atrium dekstra kemudian ke
arteri pulmonalis.
Fungsi dari jantung sendiri mengalirkan darah ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan namun tak lupa jantung itu sendiri juga mempunyai
otot yang juga harus disuplai nutrisi oleh darah, namun berbeda dengan arteri dan
vena yang lain jantung menerima darah bukan saat kontraksi namun pada saat
relaksasi, jantung memiliki aliran untuk menyuplai darah yang dinamakan arteri
koroner, dimana arteri koroner memiliki 2 cabang dekstra dan sinistra, cabang dari

7
arteri sinistra ada dua yaitu sirkumflexa dan arteri left descendend, dimana kesemua
arteri ini mengalirkan darah dan nutrisi menuju ke jantung untuk memenuhi
kebutuhan otot jantung.
Kedua arteri ini tidak selamanya bisa berfungsi dengan baik, sama dengan
arteri – arteri pada umumnya pola hidup yang tidak sehat memicu pembentukan plak
terutama pada arteri koroner yang memungkinkan menimbulkan banyak gejala yaitu
ACS (Acute Coronary Syndrome).
ACS sendiri di sebabkan oleh penumpukan plak atau lemak kolesterol pada
arteri koroner yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga suplai
darah untuk otot jantung berkurang sehingga jantung akan mengalami masalah yaitu
kerusakan miokardium dan jika tidak segera ditanganio maka akan terjadi nekrosis
jaringan. (Erling Falk, 2013)

2.4 PATOFISIOLOGI
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat
suplei darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Penyebab
penurunan suplai darah mungkin akibat penyempitan arteri koroner karena
aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli (plak) atau thrombus.
Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh syok atau perdarahan.Pada
setiap kasus ini selalu terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
jantung.
Iskemia yang terjadi berlangsung cukup lama (>30-45menit) menyebabkan
kerusakan seluler yang irreversibel. Plak aterosklerosis menyebabkan bekuan darah
atau trombus yang akan menyumbat pembuluh darah arteri, jika bekuan terlepas dari
tempat melekatnya dan mengalir ke cabang arteri koronaria yang lebih perifer pada
arteri yang sama.
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi hemodinamik
dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah miokard setempat akan
memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection
fraction, isi sekuncup (stroke volume) dan peningkatan volume akhir distolik

8
ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan
atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg yang lama
akan menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisium paru (gagal jantung).
Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya
dengan bantuan rangsangan adrenergeik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi
dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak
akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan
sudah fibrotic. Sebagai akibat IMA sering terjadi perubahan bentuk serta ukuran
ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena infark maupun yang non
infark.
Perubahan tersebut menyebabkan remodeling ventrikel yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia. Bila IMA makin tenang fungsi
jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan karena daerah-
daerah yang tadinya iskemik mengalami perbaikan. Daerah-daerah diskinetik akibat
IMA akan menjadi akinetik, karena terbentuk jaringan parut yang kaku. Miokard
sehat dapat pula mengalami hipertropi.
Terjadinya penyulit mekanis seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi mitral
akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung. Aritmia
merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menit-menit atau jam-
jam pertama setelah serangan.Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa
refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaaan terhadap rangsangan.
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya.Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya
tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada
sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologi menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga

9
IMA STE memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Gambar 3) ( Hamm
dkk,2004)

2.5 KLASIFIKASI
Penyakit jantung koroner hampir selalu disebabkan oleh ateroskeloris dengan
atau tanpa luminal trombosis dan fasospasm. Ateroskeloris sendiri mungkin
menyebabkan angina stabil yang begitu fatal jelas trombosis memeliki peran besar
pada patogenesis dari perawatan ACS termasuk STEMI, NSTEMI dan unstable
angina. Kenyataannya akhir-akhir ini jika terjadi nyeri dada pada saat
istirahat.penjelasan lain yang sering muncul dari atero trobosis tiba-tiba menyebabkan
kematian pada koroner. (Erling Falk, 2013).

10
Sindrom koroner akut dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Akut ST-elevasi MI (STEMI)
STEMI terjadi karena sumbatan yang komplit pada arteri koroner. Jika tidak
dilakukan pengobatan akan dapat menyebabkan kerusakan miokardium yang lebih
jauh. Pada fase akut pasien beresiko tinggi untuk mengalami fibrilasi ventrikel atau
takhikardi yang dapat menyebabkan kematian.Bantuan medis harus segera dilakukan.

2) Non-ST-elevasi MI (NSTEMI) yang sering disebut dengan istilah non Q-


wave MI atau sub-endocardial MI)

Pada beberapa pasien dengan NSTEMI, mereka memiliki resiko tinggi


untuk terjadinya kemacetan pembuluh darah koroner, yang dapat
menyebabkan kerusakan miokardium yang lebih luas dan aritmia yang dapat
menyebabkan kematian. Resiko untuk terjadinya sumbatan dapat terjadi pada
beberapa jam pertama dan menghilang dalam seiring dengan waktu.
3) Unstable angina pectoris
Angina tidak stabil didefinisikan sebagai kejadian salah satu atau
beberapa dari kejadian berikut:
a) Angina yang terjadi pada periode waktu tertentu dari mulai beberapa hari
dan meningkat dalam serangan. Peningkatan itu disebabkan karena faktor

11
pencetus yang lebih sedikit atau kurang. Keadaan ini sering disebut
sebagai crescendo angina.
b) Episode kejadian angina sering berulang dan tidak dapat diprediksi.
Angina tidak stabil tidak pencetus karena olahraga tidak begitu jelas.
Biasanya terjadi dalam waktu pendek dan hilang dengan spontan atau
dapat hilang sementara dengan cara minum glyceryl trinitrate (GTN) sub
lingual.
c) Tidak ada pencetusnya dan nyeri dada yang memanjang. Tidak ada bukti
adanya myokardial infark.

A.Pembahasan dalam klasifikasi


1. Angina Pektoris
a. Definisi
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama
angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian),
dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada
angina pektoris tidak stabil (Erling, falk 2013)
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya
meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan
menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina
tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin
ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar
pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis parsial,
embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung
adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya. (Erling, falk 2013)
b. Penatalaksanaan
1) Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau

12
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin.
2) Terapi medikamentosa
a. Obat anti iskemia .(Nitrat)
b. Obat anti agregasi trombosit : Asam Asetil salisilat (Aspirin)
c. Obat anti trombin
d. Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
e. Direct trombin inhibitors
(Erling, falk 2013)
2. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)
a. Definisi
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak
stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas
otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol
dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di
jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi.
(Erling, falk 2013)
b. Patofisiologi

SKA ini dimulai ketika plak aterosklerosis ruptur yang dapat menstimulasi
aktivasi faktor pembekuan darah dan kemudian terjadi agregasi trombosit sehingga
terbentuklah trombus. Trombus inilah yang akan menghambat alirah darah yang
menuju ke otot jantung, sehingga otot jantung akan mengalami kekurangan oksigen
dan Adenosine Triphosphate (ATP). Pada kondisi ini pasien akan mengalami nyeri
dada yang bisa menjalar ke leher, punggung, tangan kiri dan epigastrium.

13
Pada kondisi ini pasien akan mengalami nyeri dada yang bisa menjalar ke
leher, punggung, tangan kiri dan epigastrium. Nyeri ini disebabkan oleh karena
adanya timbunan asam laktat hasil dari metabolisme anaerob yang terjadi di otot
jantung akibat dari kurangnya suplai oksigen dan nutrisi. Nyeri yang paling dominan
dirasakan oleh pasien adalah pada bagian di belakang sternum. Metabolisme anaerob
ini hanya menyediakan 6% dari seluruh energi yang dibutuhkan oleh otot jantung
untuk bisa bekerja dengan baik. (Hana Ariyani, 2014)
c. Penatalaksanaan

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
a) Terapi antiiskemia
b) Terapi anti platelet/antikoagulan (Erling, falk 2013)
d. Pemeriksaan Penunjang

Pada NSTEMI perlu dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif


tergantung dari stratifikasi risiko pasien: pada resiko tinggi, seperti angina terus-
menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat (Troponin T: ),
adanya gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif
dini. (Hana Ariyani, 2014)

14
3. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)
a. Definisi
Infark miokardium dengan elevasi ST menunjukan terbentuknya suatu daerah
nekrosis miokardium akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan
jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan
salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. (Erling, falk 2013)
b. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury
ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. (Erling, falk 2013)
c. Pemeriksaan Penunjang
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi
ST kurang lebih 2 mm atau 2 kotak kecil, minimal pada dua sadapan prekordial yang
berurutan atau kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim
jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis. (Erling, falk
2013)

15
(Bayer, 2008)

2.6 MANIFESTASI KLINIK


Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan
nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke
leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan
keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau
kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu
hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a) Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung
dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
b) Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina).
Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung
selama lebih dari 20 menit.Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher,
bahu dan lengan serta ke punggung.Nyeri dapat timbul pada waktu
istirahat.Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum
pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina,
namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.
c) Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa

16
di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat
dingin.
2.7 PATHWAY

17
2.8 DIAGNOSIS

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai
berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA
2.8.1 Anamnesis.
A. Keluhan
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina
atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal
ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini
patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif
terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Pria
2) Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)

18
3) Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP Format pengkajian spesifik untuk
mengkaji nyeri sebagai berikut ;
a) Format P (Provoking insident) dapat dikembangkan sebagai
pencetus timbulnya serangan jantung atau menyatakan posisi
nyeri dada yang dirasakan ada berkaitannya dengan area lokasi
jantung jantung pada area substernal kiri.
b) Format Q (Qualitas) artinya kualitas dari nyeri dada yang
dirasakan oleh klien. Oleh karena kwalitas nyeri dada ini
bervariasi, maka yang diutarakan kline bervariasi juga. Untuk
itu untuk menilai tingkat nyeri dada tersebut maka digunakan
dengan menggunakan skala nyeri. Rentang skala nyeri yang
digunakan adalah dari skala 0 sampai dengan 10, yang artinya
jika hasil tingkat nyeri dada menunjukan skala nyeri dada angka
0 artinya klien tidak mengalami nyeri dada tipikal (atipikal
angina), tetapi jika dalam pengkajian skala nyeri dada tersebut
menunjukan angka yang bermakna sampai dengan lebih dari
angka 7 maka dikatakan adalah nyeri dada tipikal (tipikal
angina).
c) Format R (Radiation) artinya lokasi nyeri dada atau radiasi dari
penjalaran nyeri yang menggambarkan area aliran darah yang
mengalami hambatan tersebut , yaitu disebelah dada kiri dan
menjalar kerahang, lengan kiri sampai akhirnya kejari kiri dan
punggung.
d) Format S (Severity) artinya gejala nyeri dada. Adapun gejala yang
ditampilkan atau dikeluhkan lain oleh klien adalah :
(1) Nyeri dada yang khas seperti tertindih benda berat yang
diikuti keringat dingin dan sesak dan tercekik. Nyeri dada
menjalar kepunggung , leher dan lengan kiri sampai jari

19
(2) Beberapa orang merasakan sensasi dada seperti diremas-
remas.
(3) Menyatakan pernah timbul serangan dan tampilan sekarang
adalah cepet capai sejak belakangan ini.
(4) Adanya perasaan mual muntah dan keringat dingin bahkan
ada yang merasa pada area ulu hati.
(5) Dada seperti terbakar
(6) Atau tiba-tiba meninggal. Pada orang tua dan penyakit
diabetes kadang tidak menampikan nyeri dada yang khas
e) Format T (Time). Kejadian nyeri dada dapat terjadi terus menerus
atau kadang-kadang.jika keluhan dada dirasakan kurang dari 20 menit
( uap /nstemi ) dan jika nyeri dada di rasakan lebih dari 20 menit (
stemi ) Sehingga ini merupakan waktu emas bagi tenaga
kesehatan khususnya perawat untuk melakukan intervensi segera.
Selain itu penentuan diagnose maupun prognose dari serangan
jantung tersebut yaitu dengan melakukan pengkajian, pemeriksaan
EKG dan pemeriksaan laboratorium.

20
2.9 FAKTOR RESIKO
Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas
risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National
Cholesterol Education Program). Faktor-faktor resiko penyakit jantung
koroner dibagi dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan factor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi.

21
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
1. Hipertensi
2. Diabetes
3. Hiperkolesterolemia
4. Merokok
5. Kurang latihan
6. Diit dengan kadar lemak tinggi
7. Obesitas
8. Stress

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:


1) Riwayat PJK dalam keluarga
2) Usia di atas 45 tahun
3) Jenis kelamin laki-laki > perempuan
4) Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK

2.10 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)


1) Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien
sindrom koroner akut (SKA) adalah:
a) Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta
menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
b) Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi.
Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray.
Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan
dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan
tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya
ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan
kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload)

22
sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner
besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi
platelet (masih menjadi pertanyaan).
c) Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan
venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta
nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan
after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak
kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek
samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan .
d) Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut
jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya
ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan-A2.Kedua hal tersebut menyebabkan
agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e) Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan
bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The
Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan
kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan
nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg
perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet,
terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat
diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4.Aspirin boleh
diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH
(unfractioned heparin).Ternyata efektif dalam menurunkan kematian,
infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f) Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan

23
kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard.Dapat dikombinasi
dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada
pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada
pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari)
bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk.memperoleh hasil
yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5%
menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16%
menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia
dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi
purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel
darah lengkap pada minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya
dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada
korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas
dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA
yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah
17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai
beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian
obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE
(Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah
(IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

2) Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut


(SKA) meliputi:
a) Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-
preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia)

24
dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai
efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun
dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan
terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000
ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.
b) Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada
APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih
lama; high bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai
tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak
mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio
antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor
jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi
dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin,
Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325
mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam
(Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
c) Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran
bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek
antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian
Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan
Asparin.
d) Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan
pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya
dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan
bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO

25
V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan
Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan
ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan
Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH
pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 4. Efek
GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan
serotonin 17.Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan
Eptifibatide yang diberikan secara intravena.Ada juga secara peroral,
yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.GPIIb/IIIa-I secara
intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun
pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas.Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada
Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi
plak.Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri
maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat
tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik.Namun, tetap perlu
diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut
trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26.
Dasgupta dkk.(2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada
Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan
sebab yang belum jelas.Diduga karena Abciximab menyebabkan
respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET
menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada
perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian
ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya
nenguntungkan pada grup APTS.

26
e) Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang
berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin.
GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien
APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan
yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f) Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch
block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek
sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan
NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi
dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah
infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang
diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas
ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama
saja.
g) Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi
jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui
pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak
memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan
pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang
disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat
kembali mengalir menjadi normal.

27
2.11 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKA
A. Pengkajian
1. Keluhan utama
Menanyakan tentang gangguan yang dirasakan oleh pasien sehingga
membutuhkan pertolongan. Keluhan tersebut antara lain nyeri dada,
berdebar-debar, cepat lelah, sesak nafas, pingsan.
2. Keluhan penyakit sekarang
Menanyakan tentang perjalanan sejak timbul keluhan hingga pasien
meminta pertolongan. Tanyakan keluhan nyeri dada, kapan keluhan itu
terjadi, berapa lama, dan berapa kali keluhan nyeri dada terjadi,bagaimana
sifat dan hebatnya keluhan, dimana pertama keluhan itu timbul, apa yang
sedang dilakukan ketika keluhan itu terjadi, keadaan apa yang memperberat
atau memperingan keluhan, adakah usaha mengatasi keluhan sebelum
meminta pertolongan, berhasil atau tidakkah usaha tersebut.
3. Riwayat penyakit dahulu
Menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Apakah
pasien pernah menderita nyeri dada khas infark, hipertensi, DM,
hiperlipidemia. Tanyakan pada pasien mengenai obat- obat yang biasa
diminum pada masa lalu.
4. Riwayat alergi
Menanyakan apakah pasien mempunyai alergi terhadap makanan, obat,
atau alergi lain seperti debu, cuaca.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari keadaan umum dan pengkajian persistem
meliputi status respirasi, status kardiovaskuler, dan hemodinamik, status
neurologi, status perkemihan, status pencernaan, sistem pembuluh darah
perifer

28
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan fisik yaitu :
1. Keadaan Umum
- Pasien tampak lemah / cukup baik / tampak sakit berat / tampak
sesak.
- Kesadaran penderita compos mentis, apatis, somnolen, sopor,
soporocoma dan coma.
2. Tanda-tanda vital meliputi :
Tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, nafas pasien.
3. Pernafasan
Pola nafas pasien, frekuensi nafas pasien, penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, kualitas nafas pasien (dangkal, dalam) bunyi nafas
pasien.
4. BB & TB
5. Pemeriksaan Kepala dan Leher
a. Wajah : ekspresi wajah tampak resah, gelisah, cemas, kesakitan,
pucat, biru
b. Mata :
- Pandangan mata kabur atau tidak, penggunaan alat bantu
kacamata
- Palpebra, adanya palpebrarum xantoma (edema pada
palpebra).
- Konjuctiva, pucat (anemia), petechi (perdarahan bawah kulit /
selaput lendir) contoh pada endocarditis bacterial.
- Sklera, ikhterik, contoh pada gagal ginjal dan penyakit hati.
- Kornea, akutsenellis, garis melingkar putih atau abu-abu di
tepi kornea berhubungan dengan peningkatan kolesterol pada
penyakit jantung.
- Esopthalmus, berhubungan dengan tiroksikosis dapat
ditemukan pada pasien CHF dengan hipertensi volum.
- Gerakan bola mata lateral, medial.

29
- Refleks kornea, kapas disentuhkan pada kornea mata maka
mata akan terpejam
- Funduscopi, pemeriksaan untuk melihat pembuluh arteri dan
vena karena hipertensi, arteroscelerosis, diabetes,
hiperkolesteromia.
c. Hidung
- Simetris atau tidak, adanya peradangan atau tidak.
- Kelainan bentuk, mukosa membran terdapat edema, exudat,
pendarahan.
d. Mulut dan Faring
- Bibir sianosis atau pucat, faring tidak terjadi exudat, ulserasi,
dan pembengkakan.
e. Leher
- Pembesaran kelenjar teroid, peningkatan JVP.
f. Perut
Bising usus, asites, nyeri tekan.
g. Kulit / Ekstremitas
Akral dingin atau hangat, kulit basah, dapat mencerminkan
tanda-tanda gagal jantung, sianosis perifer pada tangan dan kaki,
edema.
h. Pemeriksaan Kuku
Warna kuku, kebiruan, mengidentifikasi adanya sianosis perifer.
Clubbing, mengidentifikasi adanya hipoksia kronik. Splinter
hemorrhagic, merupakan garis merah kehitaman dibawah dasar
ujung kuku, contohnya adanya endokarditis bacterial.
i. Dada
Bentuk dada, gerakan pernafasan, penggunaan otot-otot bantu
nafas, kelainan tulang belakang.

30
j. Auskultasi
Adanya crackles, ronchi, wheezing, stridor, pleural friction rub,
bruits, bunyi jantung 1, bunyi jantung 2, gallop, murmur.

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri dada berhubungan dengan tidak seimbangnya supply dan demand
oksigen di miokard.
Tujuan : rasa nyaman nyeri teratasi
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
jam pasien mengatakan nyeri dada berkurang yang
ditandai dengan respon verbal pasien akan nyeri, ekspresi
wajah rileks dan meningkatnya aktifitas pasien.

Intervensi :
Mandiri
Ajarkan pasien teknik relaksasi, distraksi
Observasi vital sign
Ajarkan pasien menilai rentang nyeri dengan skala nyeri (0-10).

Kolaborasi
Pemberian therapi oksigen untuk meningkatkan supply oksigen ke
miokard.
Pemberian obat anti angina seperti NTG drip atau ISDN sublingual.
Pemberian MO bila nyeri belum berkurang.
Observasi efek pemberian narcotic analgesic terjadi hipotensi atau
bradikardi.

31
2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas miokard
Tujuan : penurunan cardiac output dapat teratasi
Kriteria hasil : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam ;
Tekanan darah dalam batas normal, Nadi perifer kuat, Tidak
adanya sianosis, Tidak ada bunyi jantung tambahan, Akral
hangat. RR normal (16- 20x/ menit). Haluaran urine dalam
batas normal 1 ml/KgBB/jam), warna kuning jernih

Intervensi:
Mandiri
1) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
2) Evaluasi adanya nyeri dada
3) Catat adanya disritmia jantung
4) Catat adanya tanda-tanda dan gejala penurunan cardiac output
5) Monitor balance cairan
6) Palpasi nadi perifer
7) Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
8) Kaji adanya distensi vena jugularis

Kolaborasi
1) Pemberian obat antiaritmia, inotropik, NTG dan vasodilator untuk
mempertahankan kontraktilitas preload, afterload sesuai program
medis
2) Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan thrombus
perifer sesuai dengan program atau protokol.
3) Tingkatkan penurunan afterload sesuai dengan program medis contoh
pemasangan IABP.

32
3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan efek samping terkait therapy
(pemberian obat anti koagulan)
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria hasil : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam
Tidak ada hematuria dan hematemesis. Tekanan darah
dalam batas normal (systole dan diastole). Hemoglobin
dan hematocrit dalam batas normal. Plasma, PT, APTT,
INR dalam batas normal

Intervensi :
1) Identifikasi penyebab perdarahan
2) Monitor parameter hemodinamik
3) Monitor tanda perdarahan
4) Catat nilai HB, HT sebelum dan sesudah terjadi perdarahan

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan
mortalitas tinggi serta merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri dada yang disertai
dengan gejala lain sebagai akibat iskemia miokard (Dep. Kes. RI, 2007). Menurut
laporan World Health Organization (WHO) tahun 2008, penyakit tidak menular menjadi
penyebab kematian 36 juta penduduk dunia (64%) dari seluruh kematian global (Rahajoe
& Rilantono, 2012).
The American Heart Association (AHA) memperkirakan lebih dari 6 juta
penduduk Amerika, menderita PJK dan merupakan penyebab kematian utama (20%)
penduduk Amerika (Harrisons, 2000). Berdasarkan Riskesdes di Indonesia tahun 2007
prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2%. Penyakit jantung iskemik menduduki
urutan ketiga (8,7%) sebagai penyebab kematian di daerah perkotaan (Subagjo et al.,
2012). Mortalitas SKA tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis, namun lebih
sering ditemukan dengan plak kurang dari 50-70% yang tidak stabil, tipis dan mudah
erosi atau ruptur (Soerianata & Sanjaya, 2004).

34
Daftar Pustaka
Brunner and Suddarth (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Corwin J. Elizabeth (2009). Buku SakuPatofisiologi. Jakarta : EGC

Krisanty Paula, S.Kep, Ns, dkw (2009). AsuhanKeperawatanGawatDarurat. Jakarta : TIM

Koroner-akut-infarkmiokard_obat_hosppharm.pdf-adobe reader

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23084/4/Chapter%20II.pdf

C.Susilo, Hidayat Sujuti, dkk.2013. Hubungan Luas Infark Miokard (Berdasar Skor
Selvester) Dengan Respon Nyeri Dada Pada Pasien Sindrom Koroner Akut (Ska) Di
Rsd Dr. Soebandi Jember. Diakses pada 03 Nopember 2105.
Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, et al. 2016 ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure European Heart
Journal, Volume 37, Issue 27, 14 July 2016, Pages 2129–2200, [cited September 21,
2017]. Available from https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehw128 2.
Kolte D, Sahil Khera S, Wilbert S. Mujib A.M , Palaniswamy C, Sule S, Jain D, Gotsis W,
Ahmed A, William H. Frishman, Gregg C. Fonarow. Trends in Incidence,
Management, and Outcomes of Cardiogenic Shock Complicating ST‐Elevation
Myocardial Infarction in the United States. J Am Heart Assoc. 2014 Feb; 3(1):
e000590. [PMC]
Swearingen P. All-In-One Nursing Care Planning Resource, 4th Edition. St Louis Missouri:
Elsevier; 2016 10.
Irmalita et al.. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia 2018 Edisi Keempat. Jakarta: Centra Communications;
2015.
Swearingen P. All-In-One Nursing Care Planning Resource, 4th Edition. St Louis Missouri:
Elsevier; 2016 10

35
Doenges ME. Nursing care plans: guidelines for individualizing client care across the life
span 9th edition. Philadelphia:Davis Company;2014 Trihono (2013)
Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta, Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI: 2013. [cited September 18]. Available from
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.p
df.
NYHA classification [cited september 2017) available from:
http://www.heartonline.org.au/media/DRL/New_York_Heart_Association_(NYHA)_
clas sification.pdf
Stephan Windecker, Victor Aboyans, Stefan Agewall,et.all ( ESC National Cardiac Societies
actively involved in the review process of the 2017 ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation)
Coven DL. Acute Coronary Syndrome. 2016 December 11 [cited September 2017]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1910735-overview

36

Anda mungkin juga menyukai