DISUSUN OLE
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Halisna wati
Sutiva vidianti
Zainal abidin
TAHUN
2019
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
disfungsi endotel dan berlanjut ke inflamasi kronis pada dinding endotel.
Terjadinya inflamasi berpengaruh pada peningkatan permeabilitas
vaskuler. Hal ini bila terjadi di dalam pembuluh darah jantung akan
mengakibatan menurunnya fungsi miokard sehingga terjadi manifestasi
klinis berupa sindroma koroner akut. Terjadinya inflamasi dalam proses
aterosklerosis ditandai dengan kenaikan kadar leukosit atau leukositosis.
Leukositosis sendiri selain dipengaruhi oleh reaksi dari sumsum tulang
terhadap, inflamasi, juga dipengaruhi oleh infeksi, penggunaan
kortikosteroid, dan anemia hemolitik.
3
diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia pada
tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara
berdasarkan diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar
2.650.340 orang.
IMA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak,
sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan
medis secepatnya (Pratiwi, 2012). Manifestasi klinis berkaitan dengan
beratnya iskemia yang terjadi, serta komplikasi dari kematian sel. Nyeri
pada infark miokard terjadi lebih berat, lebih lama dan dapat menjalar
lebih luas. Nyeri secara tipikal terjadi pada daerah substernal yang dapat
menjalar ke leher, pundak, dan lengan. Istirahat belum
cukup untuk meredakan nyeri, begitu juga dengan pemberian nitrogliserin
sublingual yang hanya menghasilkan sedikit respon. Namun, tidak semua
pasien infark miokard mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman di dada.
Sekitar 25% pasien ternyata dapat mengalami kejadian infark miokard
akut yang asimptomatik,terutama pada pasien diabetes yang mengalami
gangguan persepsi nyeri karena adanya neuropati perifer (Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015). Ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dengan kebutuhan jaringan terhadap oksigen
menyebabkan timbulnya kerusakan atau bahkan kematian pada sel-sel
miokard..
Kondisi kegawatdaruratan sindrom koroner akut (SKA)
memerlukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Keterlambatan respon
waktu yang panjang sebelum ke rumah sakit dapat berakibat kematian
yang dikaitkan dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan dan jenis
transportasi.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
lebih sering dan lebih berat nyerinya tetapi faktor
presipitasi makin ringan.
3. Pasien dengan serangan angina masa istirahat.
b. Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)
Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah
sama dengan angina pektoris tak stabil dan penatalaksanaan
juga adalah sama. Akan tetapi NSTEMI ditegakkan dengan
adanya nekrosis miokard dan adanya peningkatan biomaker
jantung.
c. Infark Miokard Dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)
Infark miokard ini merupakan gambaran cedera miokard
transmural akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus.
2.1.3 Etiologi
Penyebab sindroma koroner akut adalah menurut
Departmen Kesehatan:
a. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi
miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai
akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang
robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat. Pada
kebanyakan pasien, mikroemboli (emboli kecil) dari
agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang
ruptur akan mengakibatkan infark kecil di distal adalah
petanda kerusakan miokard.
b. Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)
Penyebab agak jarang, yang mungkin sebab oleh spasme
fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner
epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan
oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau
akibat
disfungsi endotel. Juga bisa terjadi akibat konstiksi
abnormal pada pembuluh darah yang kecil.
c. Obstruksi mekanik yang progresif
6
Penyebab ini adalah penyempitan yang hebat namun bukan
karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah
pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI) .
d. Inflamasi dan/atau infeksi
Inflamasi bisa disebabkan oleh/berhubungan dengan
infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri,
destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis.Makrofag dan
limfosit-T di dinding plak dapat mengakibatkan penipisan
dan ruptur plak sehingga terjadi SKA
e. Faktor atau keadaan pencetus
Faktor ini merupakan faktor sekunder dari kondisi pencetus
diluar arteri koroner. Penyebab berupa penyempitan arteri
koroner yang menyebabkan terbatasnya perfusi miokard,
dan biasanya pasien ini menderita angina stabil
2.1.4 Tanda dan gejala
Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis
awal. Timbulnya gejala saat istirahat menandakan prognosis lebih
buruk disbanding gejala yang hanya timbul pada saat aktivitas
fisik. Pada pasien dengan gejala intermiten, peningkatan jumlah
episode yang mendahului kejadian acuan juga mempunyai dampak
terhadap hasil akhir klinis. Adanya takikardia, hipotensi
atau gagal jantung pada saat masuk rumah sakit juga
mengindikasikan prognosis buruk dan memerlukan diagnosis serta
tatalaksana segera(PERKI,2012).
Faktor risiko yang tinggi termasuk angina yang memberat,
nyeri dada yang berkelanjutan (> 20 menit), edema paru (Killip
klas ≥2 ), hipotensi dan aritmia. Scirica dkk (2002) melaporkan
bahwa pasien dengan IMA non STE / APTS yang mengalami
serangan angina yang memberat akan memiliki risiko kematian
yang meningkat dalam 1 tahun.
Keluhan pasien pada angina tak stabil umumnya berupa
angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah
dari biasa, nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan
7
lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul
karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan
sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai
keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada
yang khas
Keluhan pasien pada infark miokard dengan Non Elevasi
Segmen ST (NSTEMI) umumnya berupa nyeri dada dengan lokasi
khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti
diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar. Nyeri tumpul,
rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala
yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan
gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka yang
memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi
memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki
nyeri pada waktu istirahat. Gejala khas rasa tidak enak di dada
iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik. Gejala tidak
khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam
kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari
65 tahun.
Keluhan pasien pada infark miokard dengan Elevasi
Segmen ST (STEMI) umumnya berupa nyeri dada dengan lokasi
substernal, retrosternal, dan prekordial. Sifat nyeri seperti rasa
sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Penjalaran biasanya ke lengan
kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung /
interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri
membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Gejala
yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas
2.1.5 Pemeriksaan penunjang
a. EKG (Electrocardiogram)
8
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih
berfungsi akan menghasilkan perubahan gelombang T,
menyebabkan inervasi saat aliran listrik diarahkan menjauh
dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan iskemik
akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST. Pada
infark, miokard yang mati tidak mengonduksi listrik dan
gagal untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan
elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk, dengan
penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik,
gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan
parut yang tidak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik
akan menggambarkan perubahan gelombang T saat iskemik
terjad lagi. Pada awal infark miokard, elevasi ST disertai
dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau
berhari-hari berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai
dengan umur infark miokard, gelombang Q menetap dan
segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG (daerah infark
perubahan EKG)
1. Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3-V4,
perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.
2. Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF,
perubahan resiprokal (depresi ST) V1-V6, I, aVL.
3. Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, v5-v6.
4. Posterior perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III,
aVF, terutama gelombang R pada V1-V2.
5. Ventrikel kanan perubahan gambaran dinding inferior.
b. Tes darah
Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan
pecah sehingga protein-protein tertentu keluar masuk aliran
darah. Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini
CPK-MB terdeteksi setelah 6-8 jam, mencapai puncak
setelah 24 jam berikutnya. LDH (Laktat Dehidrogenasi)
9
terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu setelah 24
jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih
dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu. Iso enzim LDH
lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi
penggunaan klinisnya masih kalah akurat dengan nilai
Troponin, terutama Toponin T. Isoenzim CPK-MB maupun
LDH selain ditemuka pada otot jantung juga bias
ditemukan pada otot skeletal. Troponin T & I protein
merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung,
terutama Troponin T (TnT). TnT sudah terdeteksi 3-4 jam
pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam
serum selama 1-3 minggu. Pengukuran serial enzim jantung
diukur setiap selama 3 hari pertama. Peningkatan bermakna
jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.
c. Coronary angiography
Pemeriksaan khusus dengan sinar X pada jantung
dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan
untuk menentukan letak sumbatan pada arteri coroner.
Kateter dimasukkan melalui arteri pada lengan atau paha
menuju jantung, yang merupakan bagian dari angiografi
coroner. Zat kontras yang terlihat melaui sinar X
diinjeksikan melaui ujung kateter pada aliran darah.
Pemeriksa dapat mempelajari zat kontras pada aliran darah
yang melewati pembuluh darah jantung. Jika ditemukan
sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat
dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri
tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil
yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap
terbuka.
2.1.6 Prognosis penyakit
Ada beberapa sistem penilaian stratifikasi risiko yang dapat
memprediksi kematian pada pasien dengan SKA yaitu GRACE,
10
TIMI, PURSUIT dan FRISC (Wallentin dkk, 2000) yang paling
sering digunakan adalah GRACE dan TIMI (Antman dkk, 2000).
Pada penilaian secara prospektif, skor risiko GRACE memberikan
stratifikasi paling akurat untuk risiko pada saat awal rawat dan
pulang, karena kekuatan diskriminatifnya yang baik dan juga
merupakan prediksi yang paling akurat terhadap hasil
akhir klinis dan digunakan sebagai data yang sah untuk penelitian-
penelitian selanjutnya (PERKI, 2012).
Penerapan secara umum dan ketepatan hasil akhir
dari skor GRACE dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko pada
SKA. Risiko skor TIMI untuk IMA non STE/APTS dibuat sebagai
alat bantu prognostik para klinisi (Antman dkk, 2000; Fransisco
dkk, 2005) yang dapat digunakan secara mudah dengan hanya
menggunakan variabel-variabel dasar (Morrow dkk, 2000) untuk
mengevaluasi hasil akhir klinis jangka pendek (14 hari) dan jangka
panjang (6 bulan) (Marc dkk, 2003). Nilai skor tersebut
dapat dihubungkan dengan luasnya penyempitan pada pembuluh
darah koroner (Lakhani dkk, 2010; Manoharan dkk, 2009)
Angka rata-rata kematian, IMA ataupun pasien dengan
revaskularisasi segera secara signifikan meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah skor risiko TIMI (Rathore dkk, 2005; Soiza
dkk, 2006), mulai dari > 5% pada pasien dengan skor risiko 0-1
sampai dengan > 40% pada skor risiko 6 atau 7. (Marc dkk, 2003).
Untuk IMA non STE/APTS, penilaian dibagi menjadi skor 0-2 =
risiko rendah, skor 3–4 = risiko sedang dan skor 5–7 =
skor tinggi. Penentuan risiko penting dilakukan untuk penentuan
strategi pengobatan (Antman dkk, 2000). Skor risiko TIMI untuk
IMA STE (tabel 9) menunjukkan hubungan yang kuat antara
kematian dalam 30 hari, sebanyak > 40 kali lipat pada
kelompok dengan skor > 8 dibandingkan dengan skor 0. Sementara
kelompok skor > 5 hanya sebanyak 12% namun > 2 kali lipat dari
jumlah populasi (Morrow dkk, 2000).
11
2.1.7 Penatalaksanaan medis
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa dan
pemeriksaan fisik terarah serta gambaran EKG, pasien
dikelompokan menjadi salah satu dari: UAP, STEMI, NSTEMI dan
kemungkinan bukan SKA.
a. Penanganan awal
Penanganan awal dimulai dengan pemberian
beberapa terapi medikamentosa yang telah terbukti dapat
memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian
antiplatelet jangka panjang untuk menurunkan risiko
thrombosis arteri koroner berulang, penyekat beta dan
statin.
b. Terapi anti-iskemia dan analgesic
1. Oksigen dianjurkan bila saturasi O₂ perifer < 90%.
2. Nitrogliserin, isosorbid dinitrat diberikan secara
sublingual dan dilanjutkan dengan pemberian kontinu
melalui intravena.
3. Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan
ansietas.
4. Penyekat beta secara kompetitif mengambat efek
katekolamin terhadap miokard dengan cara menurunkan
laju jantung, kontraktilitas dan tekanan darah, sehingga
konsumsi oksigen oleh miokard menurun.
c. Agen anti platelet
Peran aktivasi dan agregasi platelet merupakan
target utama pada penanganan pasien SKA. Pemberian
antiplatelet dilakukan untuk mengurangi risiko komplikasi
iskemia akut dan kejadian aterotrombosis berulang.
1. Penyekat Glycoprotein IIb/IIIa
Pengunaan GIIb/IIIa akan meningkatkan kejadian
perdarahan mayor, sehingga potensi keuntungannya
harus dinilai bersama dengan risiko perdarahannya.
2. Antikoagulan
Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi
thrombin dan aktivitasnya. Banyak studi telah
12
membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan
antiplatelet sangat efektif dalam mengurangi serangan
jantung akibat thrombosis.
d. Revaskularisasi coroner
Pada pasien dengan risiko tinggi menjalani
kematian dan kejadian kardivaskular, pemeriksaan
angiografi koroner dengan tujuan untuk revaskularisasi
(strategi invasif) telah terbukti mengatasi simptom,
memperpendek hari perawatan dan memperbaiki prognosis.
e. Intervensi coroner percutan (PCI)
Intervensi koroner perkutan (PCI) umumnya
menggunakan stent/cincin untuk mengurangi kejadian
oklusi tiba-tiba (abrupt closure) dan penyempitan
kembali.
f. Intervensi bedah: Coronary artery bypass graft (CABG)
Proses trombosis merupakan target terapi
antiplatelet dan antikoagulan, sehingga bila pasien
menjalani CABG risiko perdarahan dan komplikasi
perioperatif lebih tinggi. Secara umum bila memungkinkan,
CABG dilakukan setelah minimal 48-72 jam.
g. Tatalaksana jangka panjang
Pasien dengan SKA non ST elevasi memiliki risiko
tinggi untuk berulangnya iskemia setelah fase awal. Oleh
sebab itu, prevensi sekunder secaraaktif sangat penting
sebagai tatalaksana jangka panjang, yang mencakup:
1. Perbaikan gaya hidup seperti berhenti merokok,
aktivitas fisik teratur, dan diet.
2. Penurunan berat badan pada pasien obesitas dan
kelebihan berat badan overweight.
3. Intervensi terhadap profil lipid yaitu:
a) Statin direkomendasikan pada semua pasien dengan
SKA tanpa ST elevasi, diberikan hari ke 1-4, dengan
tujuan menstabilisasi dinding plak aterosklerosis,
efek pleitropik.
13
b) Disarankan terapi penurunan level lipid secara
intensif dengan target LDL<100 mg/dL
4. Meneruskan pemakaian anti-platelet.
5. Pemakaian penyekat beta harus diberikan pada semua
pasien, termasuk pasien dengan fungsi ventrikel kiri
yang menurunkan, dengan atau tanpa gejala gagal
jantung. Setelah suatu SKA tanpa elevasi ST,
direkomendasi penilaiaan kapasitas fungsional.
Berdasarkan status kardiovaskular dan penilaian
kapasitas fisik fungsional tersebut, pasien diberi
informasi mengenai waktu dan level aktivitas fisik yang
direkomendasikan, termasuk rekreasi, kerja, dan
aktivitas seksual. Pasien pasca SKA tanpa elevasi ST
dapat disarankan menjalani uji latih jantung dengan
EKG atau suatu pemeriksaan stress non invasif untuk
iskemia yang setara, dalam 4-7 minggu setelah
perawatan.
2.2 Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
2.2.1 Triase
Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering dijumpai
pada sebagian besar fasilitas kesehatan. Dengan banyaknya variasi
penyebab nyeri dada, yang bervariasi dari keluhan yang mengacam
jiwa sampai dengan nyeri karena otot, dokter di fasilitas kesehatan
harus dapat mentriase pasien nyeri dada dengan akurat sehingga
jika ditemukan kecurigaan SKA dapat dievaluasi dengan cepat dan
pengobatan definitif segera dilakukan.
14
1. Apakah ada riwayat PJKA sebelumnya?
2. Singkirkan faktor risiko komorbid, seperti merokok, diabetes,
hipertensi, dislipidemia atau riwayat PJK di keluarga
3. Apakah nyeri dada dirasakan seperti menusuk atau menekan
(curiga angina) ?
4. Apakah nyeri (kearah angina) menjalar ke bagian tubuh lain.
5. Adakah nyeri saat istirahat dan apakah terus menerus (> 20
menit)?
6. Pada pasien PJK, apakah nyeri menghilang dengan pemakian
nitrat sublingual?
Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan ini, jika dicurigai
adanya diagnosis SKA, harus dilakukan pemeriksaan EKG 12
sadapan dalam waktu 10 menit. Jika belum ada fasilitasnya maka
pasien harus segera dirujuk ke fasilitas terdekat yang
memungkinkan.
EKG 12 sadapan merupakan hal utama dalam triase pasien
dengan menentukan stratifikasinya pada salah satu dari kelompok
di bawah ini:
1. Elevasi segment ST atau onset baru LBBB spesifitas tinggi
terhadap adanya STEMI
2. Depresi segment ST Indikasi kuat adanya iskemia
3. Non diagnostik atau EKG normal
2.2.2 Initial assessment
a. Primary survey
1) Airway
a) Sumbatan atau penumpukan sekret
b) Wheezing atau krekles
2) Breathing
a) Sesak dengan aktvitas ringan atau istirahat
b) RR > 24X/m, irama ireguler dangkal
c) Ronchi, krekles
d) Ekspansi dada tidak penuh
e) Penggunaan otot bantu nafas
3) Circulation
a) Nadi lemah, tidak teratur
15
b) Takikardi
c) TD meningkat atau menurun
d) Edema
e) Gelisah
f) Akral dingin
g) Kulit pucat, sianosis
h) Output urine menurun
b. Secondary survey
2.2.3 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu :
16
g) aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti
dengan dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan
h) mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat
diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin
25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
a. Hasil penilaian EKG, bila:
a) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan
ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau
lebih sadapan prekordial berdampingan atau blok berkas
(BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap
yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
1) terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai
terapi < 12 jam, usia < 75 tahun dan tidak ada
kontraindikasi.
2) angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat
dan tenaga memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi
alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik atau
bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
b) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST,
insersi T), diberi terapi anti-iskemia, maka segera dirawat
di ICCU; dan
c) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan
dilanjutkan di UGD. Perhatikan monitoring EKG dan ulang
secara serial dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim
jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama
12 jam, bila:
1) EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat
jalan untuk evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan
(bukan di ICCU), dan
2) EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung
meningkat, pasien di rawat di ICCU.
17
2.2.5 Rencana keperawatan stabilasis
Diagnosa Intervensi
18
Monitor balance cairan
Monitor respon pasien terhadap
efek
pengobatan antiaritmia
Atur periode latihan dan istirahat
untuk menghindari kelelahan
Monitor toleransi aktivitas pasien
Monitor adanya dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu
Anjurkan untuk menurunkan
stress
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan
dan
bandingkan
Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
Monitor jumlah, bunyi dan irama
jantung
19
dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
osmolalitas urin )
Monitor vital sign
Monitor indikasi retensi /
kelebihan
cairan (cracles, CVP , edema,
distensi vena leher, asites)
Kaji lokasi dan luas edema
Monitor masukan makanan /
cairan
Monitor status nutrisi
Berikan diuretik sesuai interuksi
20
Program rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan pasien
pada kondisi dimana dapat melakukan aktivitas sehari hari seara
bertahap. Rehabilitasi meliputi aspek psikologi, sosioekonomi,
aktifitas fisik dan anjuran perubahan gaya hidup.
Pencegahan Sekunder
Ada berbagai cara pencegahan sekunder pasien dengan infark
miokard yaitu dengan mengontrol atau modifikasi berbagai faktor
risiko Penyakit jantung koroner yang dimiliki yaitu:
1. Berhenti merokok
2. Melakukan latihan atau aktifitas fisik secara teratur dengan
target latihan 30 menit tiap latihan dan dilakukan 3-4
x/minggu
3. Memiliki berat badan ideal dengan target IMT 18,5 – 22,5
dan lingkar metabolic < 35 inch pada wanita dan < 40 inch
pada laki-laki mmHg
4. Mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes yaitu
dengan target HbA1C < 6,5 %
5. Mengontrol tekanan darah dengan target < 140/90 atau
<130/80 mmHg pada penderita diabetes
6. Mengontrol kadar lemak darah dengan target kadar LDL <
100 mmHg, trigliserida < 150 mg/dl dan HDL > 40 mg/dl
7. Pemberian antitrombotik atau antikoagulan sesuai indikasi
yaitu :
a. Aspirin 80-160 mg/hari seumur hidup
b. Clopidogrel 75 mg/hari selama 1 bulan setelah
pemasangan Bare-metal stent atau selama 9 – 12 bulan
setelah pemasangan Drug Eluting Stent (DES).
Clopidogrel juga dapat digunakan sebagai alternatif
antitrombotik pada pasien yang kontraindikasi atau
intoleran terhadap aspirin
21
c. Antikoagulan oral warfarin dengan target INR 2 – 3
kali control bila terdapat indikasi antikoagulan atau
pasien tidak toleran terhadap aspirin
d. Pemberian penghambat system renin angiotensin
Pemberian obat ACE inhibitor terutama pada pasien
dengan infark anterior, riwayat infark miokard
sebelumnya, gagal jantung dan fungsi ventrikel kiri
yang rendah (EF<40%). Bila pasien intoleran terhadap
ACE inhibitor, maka dapat diberikan Angiotensin
Receptor Blocker (ARB)
8. Pemberian antagonis aldosteron
Terutama pada pasien dengan fungsi ginjal masih baik,
fungsi ventrikel kiri menurun dengan DM atau gagal
jantung yang sudah mendapat terapi ACE inhibitor optimal
9. Penghambat beta atau Beta blocker
Diberikan pada pasien SKA dengan elevasi ST bila tidak
terdapat kontraindikasi. Pilihannya yaitu carvedilol,
bisoprolol dan metoprolol.
10. Pemberian Nitrat
Preparat nitrat terutama yang short acting dapat diberikan
sebagai terapi simtomatik untuk nyeri dada tapi tidak
digunakan rutin tiap hari
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis
kondisi terjadi pengurangan aliran darah ke jantung secara mendadak.
22
Beberapa gejala dari sindrom ini adalah tekanan di dada seperti
serangan jantung, sesak saat sedang beristirahat atau melakukan
aktivitas fisik ringan, keringat yang berlebihan secara tiba-tiba
(diaforesis), muntah, mual, nyeri di bagian tubuh lain seperti lengan
kiri atau rahang, dan jantung yang berhenti mendadak (cardiac arrest).
3.2 SARAN
Demikian makalah ini dibuat, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan dari segi kalimat mau pun materinya
tersendiri, untuk itu penulis mengharapkan pembaca dapat
memberikan saran yang membangun agar penulis dapat
menyempurnakan makalah yang telah dibuat dan untuk makalah
selanjut nya. Terima kasih
DAFTAR PUSTAKA
Doenges M.E., 2002. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi ke-3. Jakarta : EGC
Fakultas Kedokteran UI, 2001, Kapita Selekta Kedokteran, editor Arif M.
Dkk edisi ke-3 jilid 1, Jakarta, Media Aesculapius
Heni Rokaeni, SMIP, CCRN. et. al. 2001. Keperawatan Kardiovaskular. Harapan
Kita. Jakarta
Nanda, 2011. Diagnosa Keperawatan, alih bahasa Budi Santosa, Jakarta ; EGC
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam , edisi ke-3. jilid 1 Jakarta : FKUI
Bertrand ME Simoons ML Fox KAA Wallentin LC et al . Management Of Acute
Coronary Syndrome In Patiens Presenting Without Persistent St Segmen
Elevation . European Heart Journal 2002; 23: 1406 – 1432, 1809- 1840
23
Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2001: Menuju
Indonesia Sehat 2010. Jakarta, 2002.
24