Anda di halaman 1dari 19

SEMINAR JURNAL & KASUS

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dan Kritis pada NY. N dengan


NSTEMI di Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten

Disusun guna memenuhi penugasan pada stase gawat darurat dan


kritis

Disusun oleh kelompok 13


Hania Hamid 22160035
Wayan Siwa Ananda 22160086

Program Studi Pendidikan Profesi Ners Program Profesi


Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Respati Yogyakarta
Tahun Ajaran 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit epidemi di Amerika Serikat.
Sekitar 6 juta orang Amerika terkena beberapa penyakit jantung atau pembuluh
darah. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di
Amerika Serikat. Setiap tahunnya hampir 1 juta orang meninggal akibat
gangguan kardiovaskuler. Menurut American Heart Association, semakin
banyak kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dibandingkan
dengan gabungan ketujuh penyebab kematian utama berikutnya. Hal ini
menunjukan terjadinya satu kematian akibat penyakit kardiovaskuler setiap 33
detik. (Mozaffarian et al. 2015).
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, penyakit
kardiovaskular adalah penyebab kematian nomor satu secara global. Secara
epidemiologi, pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 17,5 juta orang yang
meninggal karena penyakit kardiovaskular, merepresentasikan 31% dari
keseluruhan kematian secara global. Dari angka kematian tersebut, di
estimasikan sebanyak 7,4 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner
dan 6,7 juta orang meninggal akibat stroke. Jantung merupakan sebuah organ
dalam tubuh manusia yang termasuk dalam sistem sirkulasi. Jantung bertindak
sebagai pompa sentral yang memompa darah untuk menghantarkan bahan-
bahan metabolisme yang diperlukan ke seluruh jaringan tubuh dan mengangkut
sisa-sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh (Andra & Yessie, 2016).
Infark miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang
berkepanjangan. Menurut WHO, Infark miokard diklasifikasikan berdasarkan
dari gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim jantung. Infark miokard dapat
dibedakan menjadi infark miokard dengan Elevasi gelombang ST (STEMI) dan
infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI) (Thygesen, et al, 2015)
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral
dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali
tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Andrianto,
Petrus. 2017).
Infark Miokard Akut merupakan salah satu manifestasi klinis dari
Sindroma Koroner Akut (SKA), Sindrom Koroner Akut sendiri merupakan
bagian dari penyakit jantung coroner (PJK) dimana yang termasuk kedalam
Sindrom Koroner Akut adalah angina pectoris tidak stabil (Unstable Angina
Pectoris/UAP), infark miokard dengan ST Elevasi (ST Elevation Myocard
Infarct (STEMI), dan infark miokard tanpa ST Elevasi (Non ST Elevation
Myocard Infarct (STEMI) (Myrtha, 2015).
Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable
Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-
segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). (Andrianto, Petrus. 2017).
Infark Miokard Akut Non ST Elevasi (IMA NSTEMI) merupakan salah satu
manifestasi klinis dari Sindroma Koroner Akut (SKA) dimana terjadi oklusi sub
total disertai vasokonstriksi yang dinamis dari arteri koroner sehingga terjadi
penurunan suplai oksigen ke miokard disertai adanya ST depresi atau T inverse
dan peningkatan mark ajantung (PERKI, 2015). Yang merupakan suatu kegawat
daruratan jantung dengan morbiditas dan mortalitas komplikasi yang masih
tinggi, sehingga dapat menyebabkan kematian mendadak bila tidak di tangani
secara cepat dan tepat (O’Gara et al. 2016).
NSTEMI merupakan penyakit kardiovaskuler yang salah satunya
penyebab kecacatan dan kematian terbesar di seluruh dunia. NSTEMI
menyebabkan kematian 6%-14% dari jumlah total kematian pasien yang
disebabkan oleh SKA. (Widimsky et al. 2016) BerdasarkanStudi yang
dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 38% pasien SKA
merupakan pasien NSTEMI (Mozaffarian et al. 2015).
xcc0070040031czzzxxzzzcccccccccccxcxxccxcx
Setiap tahunnya di Amerika Serikat 1.360.000 pasien datang dengan
SKA, 810.000 diantaranya mengalami infark miokard dan sisanya dengan UA.
Sekitar dua per tiga pasien dengan infark miokard merupakan NSTEMI dan
sisanya merupakan STEMI (Kumar A, 2014). Angka kejadian NSTEMI lebih
sering dibandingkan STEMI. Kurang lebih tiga dari 1000 orang menderita
penyakit ini, namun angka kejadiannya berbeda-beda di tiap negara (Hamm
CW, Bassand JP, dkk, 2015).
Di Indonesia lebih dari 3 juta orang pertahun diperkirakan mendapatkan
STEMI dan lebih dari 4 juta orang mengalami NSTEMI. Di Eropa diperkirakan
insidensi tahunan NSTEMI adalah 3 dari 1000 penduduk, namun angka ini
cukup bervariasi di negara-negara lain. Angka mortalitas di rumah sakit lebih
tinggi pada STEMI namun mortalitas jangka panjang didapati dua kali lebih
tinggi pada pasien-pasien dengan NSTEMI dalam rentang 4 tahun (Hamm CW,
Bassand JP, dkk, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengambil kasus dengan judul
“Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dan Kritis pada NY. N dengan NSTEMI
di Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten” sebagai penugasan
pada stase gawat darurat dan kritis.

B. Tujuan Umum dan Khusus


1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat dan kritis pada
NY. N dengan NSTEMI di ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro
Klaten

2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian pada NY. N dengan NSTEMI di Ruang
ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten
b. Dapat menetapkan diagnosa keperawatan pada NY. N dengan NSTEMI di
Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten
c. Dapat membuat rencana keperawatan pada NY. N dengan NSTEMI di
Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten
d. Dapat melakukan implementasi keperawatan pada NY. N dengan
NSTEMI di Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten
e. Dapat melakukan evaluasi keperawatan pada NY. N dengan NSTEMI di
Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten
f. Dapat melakukan dokumentasi keperawatan pada NY. N dengan NSTEMI
di Ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Non-ST Elevasi Infark Miokard merupakan adanya
ketidakseimbangan permintaan dan suplai oksigen ke miokardium
terutama akibat penyempitan oleh arteri koroner akan menyebabkan
iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan
menyebabkan perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan
(Sylvia, 2016).
Non-ST Elevasi Miokardial Infark (NSTEMI) adalah oklusi
sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
Infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi
segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction / NSTEMI),
dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan
elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction / STEMI).
NSTEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST
yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.
Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan
oksigen. Pada Non-STEMI, trombus yang terbentuk biasanya
tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner
Etiologi
B. Consep Map NSTEMI
Rilantono (1996) dalam Aspiani (2014), mengatakan sumber
masalah sesungguhnya hanya terleak pada penyempitan
Definisi
pembuluh darah jantung (vasokontraksi). Penyempitam ini
Non-ST Elevasi Infark Miokard merupakan adanya
diakibatkan oleh empat, meliputi: Patofisiologi
ketidakseimbangan permintaan dan suplai oksigen ke
- Adanya timbunan lemak (aterosklerosis) dalam NSTEMI dimulai pada saat plak aterosklerotik terganggu.
miokardium terutama akibat penyempitan oleh arteri
pembuluh darah akibat konsumsi kolestrol tinggi Plak pada arteri coroner tersebut merangsang agregasi
koroner akan menyebabkan iskemia miokardium lokal.
- Sumbatan (thrombosis) oleh sel beku darah (thrombus) trombosit dan pembentukan thrombus. Pembentukan
Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan
- Vasokontraksi atau penyempitan pembuluh darah akibat thrombus yang terjadi di pembuluh darah coroner dapat
perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan (Sylvia,
kejang yang terus menerus mencegah perfusi miokard. Sel miokard membutuhkan
2016)
- Infeksi pada pembuluh darah oksigen dan adenosis 5b-triphosphate (ATP) untuk
menjaga kontraktilitas dan stabilitas listrik yang
Penatalaksanaan
S kekurangan oksigen akan menyebabkan metabolism
Terdapat empat komponen utama terapi yang harus
anaerob, produksi ATP berkurang dan menyebabkan
dipertimbangkan pada pasien NSTEMI yaitu:
kegagalan pompa sodium-potassium dan kalsium dan
- Terapi antiiskemia
akumulasi ion hydrogen dan laktat yang dihasilkan dalam
- Terapi anti platelet/antiakoagulan
asidosis. Pada saat ini terjadilah infark dan kematian sel
- Terapi invasive (kateterisasi dini/revaskularisasi) NSTEMI
- Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah
perawatan RS

Manifestasi Klinis
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kasron (2015), tanda dan gejala NSTEMI yaitu:
a. Biomarker jantung
- Nyeri dada - Gelisah
- Troponin T dan Troponin I Komplikasi
- Sesak nafas - Jantung berdebar kuat,
- EKG a. Syok kardiogenik
- Mual muntah cepat dan tidak teratur
b. Echo cardiografi b. Edema paru
- Pusing - Penurunan kesadaran
- Fraksi ejeksi - Gagal jantung sisi kiri (katup mitral)

- Angiografi koroner - Kerusakan membrane kapiler paru


SDKI: Penurunan Curah Jantung (D. 0008)
SLKI: Curah Jantung (L. 02008)
SIKI: Perawatan Jantung (I. 02075)
SDKI: Nyeri Akut (D. 0077)
- Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung
SLKI: Tingkat Nyeri (L. 08066)
- Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
SIKI: Manajemen Nyeri (I. 08238)
- Monitor tekanan darah SDKI: Bersih Jalan Nafas Tidak Efektif
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
- Monitor intake dan output cairan (D.0001)
kualitas, intensitas nyeri
- Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama SLKI: Bersih Jalan Nafas (L. 01002)
- Identifikasi skala nyeri
- Monitor saturasi oksigen SIKI: Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Monitor keluhan nyeri dada - Monitor pola nafas
- Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Monitor EKG 12 sadapan - Monitor bunyi nafas tambahan
memperingan nyeri
- Monitor aritmia - Monitor sputum
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Monitor nilai laboratorium jantung - Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Periksa tekanan arah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah aktivitas - Posisikan semi-fowler atau fowler
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat - Berikan minuman hangat
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
- Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
sudah diberikan
posisi nyaman - Lakukan penghisapan lender kurang
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
- Berikan diet jantung yang sesuai dari 15 detik
- Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
- Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai indikasi - Lakukan hiperoksigenasi sebelum
nyeri
- Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat penghisapan endotrakeal
- Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu - Keluarkan sumbatan benda padat
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Berikan dukungan emosional dan spiritual dengan forsep McGill
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
- Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94% - Berikan oksigen
pemilihan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi - Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap - Ajarkan Teknik batuk efektif
- Jelaskan strategi meredakan nyeri secara mandiri
- Anjurkan berhenti merokok
- Anjurkan menggunakan analgesic secara tepat
- Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
- Ajarkan teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
- Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan
- Kolaborasi pemberian analgetik
harian
- Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
- Rujuk ke program rehabilitasi jantung
BAB IV
JURNAL YANG DIAMBIL (ASLI

EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN TERHADAP PENYELAMATAN


MIOKARD PADA PASIEN INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST:
LITERATUR REVIEW

Dorkas Agustina1*,Taufik Septiawan2, Rusni Masnina2, Ellysa Rahma Diana2, Arifudin Riyadi3
1
Program Studi Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, Universitas Airlangga, Jl. Mayjen Prof. Dr.
Moestopo
No.47, Pacar Kembang, Tambaksari, SBY, Jawa Timur 60132, Indonesia
2
Program Studi S1 Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, Jl. Ir. H. Juanda
No.15,
Sidodadi, Samarinda Ulu, Samarinda, Kalimantan Timur 75124, Indonesia
3
Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Kalimantan Timur, Jl. Palang Merah No.1, Sidodadi,
Samarinda Ulu, Samarinda, Kalimantan Timur 75123, Indonesia
*ns.dorkas.agustina-2021@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) atau infark miokard disebabkan oleh arteri
koroner mengalami aterosklerotik atau penyebab lain yang dapat membuat
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard. Iskemia miokard terjadi
pada kondisi awal, tetapi jika tidak segera diambil tindakan hal itu menyebabkan nekrosis
jantung yang irreversible. Salah satu tindakan yang dapat membantu melindungi otot jantung
adalah memberikan terapi oksigen Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektivitas terapi oksigen untuk penyelamatan miokard pada pasien infark miokard dengan
elevasi ST. Metode penelitian ini menggunakan literatur review dengan melakukan telaah
jurnal nasional dan internasional tentang pengaruh terapi oksigen terhadap penyelamatan
miokard pada pasien infark miokard dengan segmen elevasi ST. Terapi oksigen hanya boleh
diberikan pada pasien terduga Acute Coronary Sindrom (ACS) dengan kondisi normoxia
menurut AHA 2015, Selain itu kondisi hyperoxia justru dapat menyebabkan cidera lebih luas
pada miokard. Beberapa penelitian menyatakan jika terapi oksigen dapat mengurangi nyeri
dan memperbaiki status haemodinamik pada pasien dengan infark miokard.

Kata kunci: penyelamatan myocard; st-elevation myocardial infarction; terapi oksigen

EFFECTIVENESS OF OXYGEN THERAPY AGAINST MYOCARDIAL


RESCUE IN MYOCARDIAL INFARCTION PATIENTS WITH ST
ELEVATION
ABSTRACT
ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) or myocardial infarction is caused by coronary
arteries undergoing atherosclerotic or other causes that can create an imbalance between the
supply and oxygen demand in the myocardial. Myocardial ischemia occurs in the initial
condition, but if not taken immediate action it leads to irreversible cardiac necrosis. One of
the measures that can help protect the heart muscle is to provide oxygen therapy. The purpose
of this study was to determine the effectiveness of oxygen therapy for myocardial rescue in
myocardial infarction patients with ST elevation This study used literature by reviewing
national and international journals on the effect of oxygen therapy on myocardial
preservation in myocardial infarction patients with ST elevation segments. Oxygen Therapy
should only be given to patients with suspected Acute Coronary Syndrome (ACS) with
normoxic conditions According AHA 2015. In addition, hyperoxia can actually cause more
extensive injury to the myocardium.some studies suggest that oxygen therapy can reduce
pain and improve haemodinamic status patient with myocardial infarction

Keywords: myocard salvage; oxygen therapy; st-elevation myocardial infarction


PENDAHULUAN
Menurut WHO (2015) penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian hingga
17.5 juta jiwa atau 31% dari seluruh kematian diseluruh dunia, dan penyakit koroner
akut khususnya menyebabkan kematian 7.4 juta orang. Diperkirakan sekitar 23.3 juta
orang akan meninggal akibat penyakit koroner akut pada tahun 2030 (Muhibbah et
al, 2019). Penyakit jantung yang umum terjadi di Indonesia adalah sindrom koroner
akut (SKA). Sindrom koroner akut meliputi angina pektoris tidak stabil (UAP), infark
miokard dengan elevasi ST (STEMI)), dan infark miokard tanpa Elevasi ST
(NSTEMI)), (Tumade et al, 2014)

Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI) sebagai indikator jika pembuluh darah
arteri koronaria pada jantung mengalami oklusi total. Kondisi ini membutuhkan
tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard
baik melalui pemberian obat seperti fibrinolitik atau secara metode mekanis seperti
intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI dapat ditegakkan bila terdapat
keluhan angina pektoris akut dengan elevasi segmen ST yang persisten pada dua
sadapan EKG yang berdekatan (Perki, 2018). Sejak Dr. Charles Stele pada tahun
1900 menerbitkan publikasi bahwa salah satu pasien dengan angina pectoris
dihilangkan nyeri dan sesak dengan O2, terapi tambahan O2 telah menjadi landasan
dalam perawatan pasien dengan dugaan infark miokard akut (AMI) dan
direkomendasikan oleh banyak pendoman dikarenakan hal-hal tersebut terapi ini
diyakini mengurangi iskemia pada miokardium dan risiko aritmia, gagal jantung akut
dan untuk mengurangi nyeri dada iskemik dan hipoksemia (Khosnood, 2017).

Terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat


serta memulihkan aliran darah untuk menyelamatkan jaringan yang hipoksia dan
iskemik (Zhang et al., 2022). Secara klinis terapi oksigen bertujuan untuk mengatasi
nyeri dada akibat dari kondisi hipoksemia, untuk mengurangi kerja pernafasan dan
menurunkan kerja otot jantung. Prasyarat pemberian oksigenasi adalah mengontrol
kandungan oksigen dari udara yang dihirup, tidak ada akumulasi oksigen, resistensi
saluran nafas rendah, efektif, dan ekonomis serta nyaman bagi pasien (Susilodewi,
2015). Berdasarkan fenomena diatas, penulis tertarik untuk meneliti Pengaruh Terapi
Oksigen Terhadap Penyelamatan Miokard Pada Pasien dengan infark miokard dengan
elevasi ST. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi
oksigen pada penyelamatan miokard pada pasien yang mengalami infark miokard
dengan elevasi ST dengan menggunakan metode literatur review

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature review. Penelitian ini
menggunakan artikel yang sudah terpublikasi pada jurnal nasional dan internasional.
Penelusuran jurnal penelitian menggunakan sumber data base dari Springer, PubMed,
Google Scholar, Sage Pub, dan Science Direct. Peneliti menggunakan kata kunci :
terapi oksigen dan penyelamatan miokard dan ST Elevation Myocardial Infarction,
dengan mengetik atau menambahkan notasi AND/OR pada saat pencarian literature.
Telaah jurnal dilakukan oleh peneliti menggunakan format Research Critical
Appraisal Duffy 2005.

HASIL
Pada penelitian literatur review ini dipilih 10 jurnal yang ada pada tabel 1, terdiri dari
7 jurnal dari Scholar dan 3 jurnal dari SAGE. Dengan menggunakan bahasa inggris
dan bahasa Indonesia. Terdapat 3 jurnal menggunakan randomized SOCCER trial dan
1 jurnal menggunakan randomized controlled trial dalam penelitiannya. Dari semua
jurnal dilakukan telaah kritis dengan menggunakan Research Critical Appraisal Duffy
2005 yang meliputi beberapa komponen tersebut, hasilnya mendapatkan total skor
superior sebanyak 6 jurnal dari 10 jurnal dan lainnya di skor average. Adapun hasil
review dari jurnal penelitian menjelaskan bahwa terapi oksigen adalah bagian dari
perawatan standard yang bermanfaat bagi pasien dengan AMI. Hasil penelitian Ziad
et al (2017) didapatkan pemberian terapi oksigen dapat membantu mengurangi
kerusakan miokard jika diberikan dari awal dan hasil penelitian Robin (2018)
menyatakan bahwa diberikan selama 6-12 jam terapi oksigen tidak mengakibatkan
kematian reinfaction, syok kardiogenik. Adapun dari 3 jurnal mengatakan dari hasil
penelitian tidak ada perbedaan signifikan tetapi status hemodinamik pasien dengan
STEMI menjadi baik dengan diberikan terapi oksigen. Sedangkan dari 3 jurnal
mengatakan hasil penelitiannya ada pengaruh terapi oksigen pada kecepatan
penurunan nyeri dada, tekanan darah sistolik dan diastolik dan perubahan saturasi
oksigen pada pasien infark miokard setelah pemberian terapi oksigen.

PEMBAHASAN
Pada keadaan infark, otot jantung tidak dapat menghantarkan arus listrik dan
menerima rangsangan secara normal, sehingga hasil rekaman EKG menunjukkan
peninggian gambaran segmen elevasi ST. Saat jaringan mati terbentuk dan cincin
iskemik disekitar area nekrotik sembuh. Gelombang Q dihasilkan. Area nekrotik pada
jantung membentuk jaringan parut dengan perubahan gelombang T tinggi. Selama
beberapa jam atau hari berikutnya muncul gelombang T terbalik. Bergantung pada
berapa lama serangan jantung terjadi, maka gelombang Q menetap dan segmen ST
kembali normal (Kasron, 2012). Proses kerusakan jaringan jantung pada AMI
disebabkan oleh suplai darah dan oksigen tidak mencukupi sehingga menurunkan
aliran darah koroner. Kemungkinan penyebab terjadinya penurunan suplai darah dan
oksigen akibat penyempitan pada arteri koroner disebabkan arterosklorosis atau
penyumbatan total arteri akibat adanya emboli atau trombus, syok, atau
pendarahan.(Rendi, 2012)

Sumbatan pada arteri koronaria dapat meluas sehingga suplai oksigen keseluruh
tubuh ikut terganggu. penurunan suplai oksigen pada pasien miokard infark dapat
terjadi dikarenakan pemompaan jantung tidak efektif dan pada saat bersamaan
semakin bertambah sel yang harus membutuhkan suplai oksigen. Dengan
berkurangnya suplai oksigen di jantung dapat menyebabkan kematian jaringan
miokard. Hal ini memacu jantung melakukan metabolisme anaerob agar jantung
dapat tetap mensuplai oksigen ke seluruh tubuh dan mempertahankan perfusi jaringan
(Thygesen, 2012). Menurut Andarmoyo (2012) oksigenasi merupakan kebutuhan
dasar dalam kehidupan manusia. Oksigen merupakan komponen gas dan elemen
penting dalam proses metabolisme. Asupan Oksigen yang adekuat akan membantu
tubuh dalam menjaga keberlangsungan hidup sel yang sehat. Sedangkan vaskularisasi
oksigen tidak adekuat berhubungan dengan peningkatan risiko jaringan miokard
menjadi infark (Mokhtari et al., 2020)

Pada pasien yang mengalami STEMI, Kondisi normal jantung dapat dikembalikan
dengan menggunakan terapi oksigen. Iskemik dapat terjadi karena adanya sumbatan
atau penyempitan arteri koroner yang terjadi secara mendadak, dan dengan terapi
oksigen maka arteri koronaria dapat bervasodilatasi sehingga suplai darah yang
mengangkut oksigen ke miokard dapat kembali berfungsi seperti sedia kala sehingga
fungsi pompa ventrikel dan sistem kardiovaskular dapat berjalan sebagai mana
mestinya. Tujuan terapi oksigen untuk memberikan capaian kadar oksigen yang
adekuat pada pasien dengan infark miokard. Persediaan oksigen yang adekuat pada
jaringan tubuh akan menurunkan beban jantung sehingga perluasan infark dapat
dicegah dan mencegah terjadinya komplikasi dari kondisi infark miokard akut
(Widiyanto & Yamin, 2014). Penelitian Widiyanto & Yamin 2014, didapatkan 38
responden dengan infark miokard akut memiliki SPO2 90-<95% dan setelah
diberikan terapi oksigen kanul sebanyak 32 responden mengalami kenaikan SPO2 95-
100%, kemudian disimpulkan jika adanya pengaruh pemberian terapi oksigen
terhadap nilai saturasi oksigen pada pasien miokard infark akut Penelitian yang
dilakukan Susilodewi (2015) didapatkan jika terapi oksigen dapat menurunkan nyeri
pada pasien STEMI. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh wulandari et al, (2020)
didapatkan jika Terapi Oksigen memiliki pengaruh yang positif pada status
haemodinamik pasien STEMI dimana nilai tekanan darah sistole, Mean Artery
Pressure (MAP) dan Heart Rate menjadi lebih terkontrol. Hasil Penelitian yang
dilakukan oleh Khoshnood et al (2016), didapatkan tidak ada perbedaan secara
signifikan antara Kelompok terapi O2 dengan kelompok yang hanya menghirup udara
bebas (ruang) dalam penyelamatan miokard, hasil temuannya terapi O2 tidak
berpotensi menyebabkan kematian atau pun syok kardiogenik dan hipoksia berat,
justru terapi O2 membuat status hemodinamik pasien dengan STEMI menjadi baik.
Hasil penelitian ditahun sebelumnya yang juga dilakukan oleh Khosnood et al, 2015,
didapatkan jika terapi oksigen bermanfaat bagi pasien dengan AMI akan tetapi dapat
berbahaya jika tidak sesuai dengan prosedur yang diberikan. Karena pada kondisi
Hyperoxia justru akan meningkatkan iskemia pada otot miokard karena terjadinya
peningkatan formasi vasokontriktor pada endotolin.

Hasil penelitian Nehme et al (2017) didapatkan jika setiap 100 L suplemen oxigen
diberikan pada 12 jam pertama setelah STEMI berhubungan dengan 1.4% dan 1.2%
kenaikan mean peak Troponin I (CtnI) dan Creatine Kinase (CK) masing-masing,
menurutnya meminimalisir pemberian terapi Oksigen dapat membantu mengurangi
kerusakan miokard lebih jauh Berdasarkan pedoman guidelines ACC/AHA (2010)
menyarankan pemberian terapi oksigen dipakai pada pasien uncomplicated ACS yang
mengalami sesak nafas, ada gejala gagal jantung, syok dan nilai saturasi oksigen di
bawah 94%. Sedangkan menurut O’Connor et al, 2015 menyatakan menurut panduan
terbaru American Heart Association (AHA) tahun 2015 jika pemberian oksigen
adalah sebagai terapi tambahan pada pasien terduga ACS dan hanya diberikan pada
pasien terduga ACS yang memiliki nilai saturasi oksigen normal. kemudian penelitian
yang dilakukan oleh Robin Hoffman et al (2018) didapatkan jika pemberian terapi
oksigen pada pasien STEMI dengan normoxemic yang telah dilakukan PCI tidak
signifikan mengurangi angka kematian di tahun pertama setelah serangan maupun
mengurangi rehospitalisasi dan syok kardiogenik maupun stent trombosis.

Menurut Perki (2018) pada kasus pasien dengan STEMI perlu dilakukan pengukuran
saturasi oksigen. Oksigen diindikasikan pada pasien yang mengalami hipoksemia
SaO2 <90% atau PaO2 <60 mmHg dan jika terjadi edema pulmonal dengan SaO2 <
90% agar dapat mempertahankan saturasi > 95%. Untuk Saturasi Oksigen lebih dari
atau sama dengan 90% maka suplemen oksigen rutin tidak direkomendasikan. Dari
data diatas peneliti berasumsi bahwa terapi oksigen harus diberikan secara hati-hati
berdasarkan panduan internasional dan panduan dari masing-masing negara yang
telah dibuat oleh lembaga yang berwenang. Apabila terapi Oksigen diberikan dengan
benar maka dapat membantu dalam mengurangi nyeri dan memperbaiki status
haemodinamik pada pasien STEMI. Hal yang perlu diperhatikan menurut AHA 2015
adalah jika terapi oksigen hanya boleh diberikan pada pasien terduga ACS yang
memiliki nilai saturasi oksigen yang normal, dan apabila diberikan secara berlebihan
akan menyebabkan hyperoxia yang justru dapat menyebabkan kerusakan miokard
lebih jauh

SIMPULAN
Dari hasil review 10 jurnal didapatkan kesimpulan jika pemberian terapi oksigen
adalah terapi suplmentasi pada kasus STEMI dimana pemberiannya harus hati-hati
dan perlu melihat situasi dan kondisi yang terjadi pada pasien. Terapi oksigen boleh
diberikan hanya pada pasien ACS yang memiliki nilai saturasi oksigen normal
menurut AHA 2015, selain itu kondisi Hyperoxia justru dapat menyebabkan cidera
lebih luas pada miokard karena dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pada
pembuluh darah arteri koronaria karena peningkatan vosokontriktor pada endotelin
pembuluh darah. Terapi Oksigen efektif mengurangi nyeri akibat iskemia dan juga
memperbaiki status haemodinamik pasien STEMI selama dilakukan dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi): Konsep, Proses dan
Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hofmann, R., James, S.K., Jernberg, T., Lindahl, B., Erlinge, D., Witt, N., Arefalk,
G., Frick, M., Alfredsson, J., Nilsson, L., Ravn-Fischer, A., Omerovic, E.,
Kellerth, T., Sparv, D., Ekelund, U., Linder, R., Ekström, M., Lauermann, J.,
Haaga, U., Pernow, J., Östlund, O., Herlitz, J., Svensson, L., 2017. Oxygen
Therapy in Suspected Acute Myocardial Infarction. N. Engl. J. Med. 377,
1240–1249. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1706222
Hofmann, R., Witt, N., Lagerqvist, B., Jernberg, T., Lindahl, B., Erlinge, D., Herlitz,
J., Alfredsson, J., Linder, R., Omerovic, E., Angerås, O., Venetsanos, D.,
Kellerth, T., Sparv, D., Lauermann, J., Barmano, N., Verouhis, D., Östlund, O.,
Svensson, L., James, S.K., DETO2X-SWEDEHEART Investigators, 2018.
Oxygen therapy in ST-elevation myocardial infarction. Eur. Heart J. 39, 2730–
2739. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy326
Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Nuha
Medika:Yogyakarta.
Khoshnood, A., Akbarzadeh, M., Roijer, A., Meurling, C., Carlsson, M., Bhiladvala,
P., Höglund, P., Sparv, D., Todorova, L., Mokhtari, A., Erlinge, D., Ekelund, U.,
2017. Effects of oxygen therapy on wall-motion score index in patients with ST
elevation myocardial infarction-the randomized SOCCER trial.
Echocardiography 34, 1130–1137. https://doi.org/10.1111/echo.13599
Khoshnood, A., Carlsson, M., Akbarzadeh, M., Bhiladvala, P., Roijer, A., Bodetoft,
S., Höglund, P., Zughaft, D., Todorova, L., Erlinge, D., Ekelund, U., 2015. The
Effects of Oxygen Therapy on Myocardial Salvage in ST Elevation Myocardial
Infarction Treated with Acute Percutaneous Coronary Intervention: The
Supplemental Oxygen in Catheterized Coronary Emergency Reperfusion
(SOCCER) Study. Cardiology 132, 16–21. https://doi.org/10.1159/000398786
Khoshnood, A., Carlsson, M., Akbarzadeh, M., Bhiladvala, P., Roijer, A., Nordlund,
D., Höglund, P., Zughaft, D., Todorova, L., Mokhtari, A., Arheden, H., Erlinge,
D., Ekelund, U., 2016. Effect of oxygen therapy on myocardial salvage in ST
elevation myocardial infarction: the randomized SOCCER trial. Eur. J. Emerg.
Med. 1.https://doi.org/10.1097/MEJ.0000000000000431
Muhibbah, M., Wahid, A., Agustina, R., Illiandri, O., 2019. Karakteristik pasien
sindrom koroner akut pada pasien rawat inap ruang tulip di rsud ulin
banjarmasin. Indones. J. Healthsci.3,6.Https://doi.org/10.24269/ijhs.v3i1.1567
Nehme, Z., Stub, D., Bernard, S., Stephenson, M., Bray, J.E., Cameron, P., Meredith,
I.T., Barger, B., Ellims, A.H., Taylor, A.J., Kaye, D.M., Smith, K., 2016. Effect
of supplemental oxygen exposure on myocardial injury in ST-elevation
myocardial infarction. Heart 102, 444–451. https://doi.org/10.1136/heartjnl-
2015-308636
PERKI. (2018). Pedomn Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Edisi ke Empat.
PERKI,
Ranchord, A.M., Argyle, R., Beynon, R., Perrin, K., Sharma, V., Weatherall, M.,
Simmonds, M., Heatlie, G., Brooks, N., Beasley, R., 2012. High-concentration
versus titrated oxygen therapy in ST-elevation myocardial infarction: A pilot
randomized controlled trial. Am. Heart J. 163, 168–175.
https://doi.org/10.1016/j.ahj.2011.10.01
Rendi, M. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Nuha Medika,Yogyakart
Susilodewi, W., 2015. Kecepatan penurunan nyeri klien infark miokard akut dengan
pemberian oksigenasi Jurnal Keperawatan. Vol. VIII No 1 April 2015
Thygesen, K. A. (2012). Universal Definition od Myocardial Infraction .European
Heart Journal , 33, 2551-2567.
Tumade, B. Jim, E.L. Joseph V.F.F. (2014). Prevelansi Sindrom Koroner Akut di
RSUP Prof. Dr. R.D Kandaou Manado Periode 1 Januari 2014, Jurnal e-Clinic
(eCI); Vol 4 (1): 223300
Widiyanto, B., 2014. Terapi oksigen terhadap perubahan saturasi oksigen melalui
pemeriksaan oksimetri pada pasien infark miokard akut (ima)
Wulandari, K, N., Siswanto, J., Widiyati, S 2020. Oxygen Therapy to Maitain
Haemodynamic Status in Patient with Acute Myocardial Infarction. Journal of
Applied Health Management and Technology Vol 2, No 1 (2020) 34-38.
Zhang, Q. et al. (2022) ‘Signaling pathways and targeted therapy for myocardial
infarction’, Signal Transduction and Targeted Therapy, 7(1). doi:
10.1038/s41392-022-00925-z.
BAB V
PEMBAHASAN

Penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan pada Ny. N dengan


diagnosa medis NSTEMI di ruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro
Klaten. Tahapan pembahasan sesuai dengan tahapan asuhan keperawatan yang
dimulai dari pengkajian, menetapkan diagnosa keperawatan, membuat
intervensi, melakukan implementasi keperawatan dan melakukan evaluasi
keperawatan. Adapun bahasan tiap bagian sebagai berikut:
A. Pengkajian
Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kesehatan dan keperawatan
pasien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012).
Pengkajian keperawatan ditunjukkan pada respon pasien terhadap masalah
kesehatan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia.
Pengkajian dilakukan kepada Ny. N pada tanggal 18 Mei 2023 pukul 09:00
WIB diruang ICCU RSUP dr. Soeradjie Tirtonegoro Klaten, dalam
melakukan pengkajian penulis mengalami kesulitan karena pasien
mengalami penurunan kesadaran sehingga data yang didapatkan melalui
rekam medis dan keluarga.
Saat melakukan pengkajian pemeriksaan fisik pada klien Ny. N tidak
didapatkan kesenjangan data antara tinjauan teoritis dengan data yang
ditemukan dikarenakan dalam pemeriksaan fisik ini sangat penting
dilakukan untuk mengenali sejauh mana perkembangan penyakit dan kondisi
klien saat ini.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan
aktual ataupun potensial sebagai dasar pemilihan intervensi keperawatan
untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung jawab (Rohmah & Walid,
2016).
Diagnosa pertama yang muncul pada Ny. N yaitu: bersihan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas. Faktor pendukung saat
melakukan pengkajian pasien tampak gelisah, terpasang ventilator (ETT),
tidak mampu batuk, sputum berlebih, rutin dilakukan suction, bunyi suara
napas tambahan (ronkhi), frekuensi nafas 25x/menit.
Diagnosa kedua yang muncul pada Ny. N yaitu: penurunan curah jantung
berhubungan dengan perubahan irama jantung. Faktor pendukung saat
melakukan pengkajian pasien tampak tekanan darah meningkat 136/110
mmHg, nadi meningkat 95x/menit, gambaran EKG aritmia, warna kulit
pucat.
Diagnosa ketiga yang muncul pada Ny. N yaitu: intoleransi aktivitas
berhubungan dengan tirah baring. Faktor pendukung saat melakukan
pengkajian pasien tampak tekanan darah meningkat 136/110 mmHg, nadi
meningkat 95x/menit.
Diagnosa keempat yang muncul pada Ny. N yaitu: defisit perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan. Faktor pendukung saat melakukan
pengkajian pasien tampak tidak mampu mandi, menggunakan pakian,
makan, ke toilet, dan berhias secara mandiri serta hasil ambulasi dan ADL: 0
(ketergantungan total).
Sehingga dari empat diagnosa yang penulis temukan, hanya tiga yang
menjadi prioritas diagnosa keperawatan antara lain:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan nafas.
2. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung.
3. Intoleransi aktivitas b.d tirah baring
C. Intervensi
Intervensi keperawatan atau perencanaan merupakan pengembangan strategi
desain untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang
telah diidentifikasi dalam diagnosa keperawatan (Rohmah & Walid, 2016).
Berdasarkan diagnosa prioritas keperawatan yang telah dijelaskan
sebelumnya maka:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan nafas pada Ny. N
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
“bersihan jalan napas” meningkat dari level 2 (cukup menurun) ke level
4 (cukup meningkat) dengan pemberian intervensi manajemen jalan
nafas: monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas), monitor
bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering),
monitor sputum (jumlah, warna, aroma), posisikan semi-fowler atau
fowler, lakukan penghisapan lendir, anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
ke keluarga pasien, kolaborasi pemberian mukolitik
2. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung pada Ny. N
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan “curah
jantung” meningkat dari level 2 (cukup meningkat) ke level 4 (cukup
menurun) dengan pemberian intervensi: identifikasi tanda/gejala primer
penurunan curah jantung, monitor tekanan darah, monitor EKG 12
sadapan, berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >
94%, berikan dukungan spiritual dan emosional serta kolaborasi
pemberian antiaritmia, jika perlu.
3. Intoleransi aktivitas b.d tirah baring pada Ny. N dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan “toleransi aktivitas”
meningkat dari level 2 (cukup menurun) ke level 4 (cukup meningkat)
dengan pemberian intervensi: monitor kelelahan fisik dan emosional,
sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara,
kunjungan), lakukan latihan rentang gerak pasif, serta kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
D. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, kegiatannya meliputi pengumpulan data berkelanjulan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan
(Rohmal & Walid, 2016).
Implementasi diagnosa pertama bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme
jalan nafas, sesuai dengan intervensi yang sudah ditentukan sebelumnya
yaitu: memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas),
memonitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering), memonitor sputum (jumlah, warna, aroma), memposisikan semi-
fowler atau fowler, melakukan penghisapan lendir, anjurkan asupan cairan
2000ml/hari ke keluarga pasien, mengkolaborasi pemberian mukolitik.
Implementasi diagnosa kedua penurunan curah jantung b.d perubahan irama
jantung, sesuai dengan intervensi yang sudah ditentukan sebelumnya yaitu:
mengidentifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung, memonitor
tekanan darah, memonitor EKG 12 sadapan, memberikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen > 94%, memberikan dukungan spiritual
dan emosional seta mengkolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu.
Implementasi diagnosa ketiga intoleransi aktivitas b.d tirah baring, sesuai
dengan intervensi yang sudah ditentukan sebelumnya yaitu: memonitor
kelelahan fisik dan emosional, menyediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus (mis: cahaya, suara, kunjungan), melakukan latihan rentang gerak
pasif, serta mengkolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan klien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah & Walid, 2016).
Kemudian penulis menganalisa jurnal yang berjudul efektivitas terapi
oksigen terhadap penyelamatan miokard pada pasien infark miokard dengan
elevasi st: literatur review dengan SWOT dan PICO.
A. SWOT
Strength : efektivitas terapi oksigen terhadap penyelamatan miokard
pada pasien infark miokard dengan elevasi st, terbukti
efektif karena mampu menyelamatkan miokard pada pasien
infark miokard dengan elevasi st
Weekness : dalam terapi oksigen terhadap penyelamatan miokard pada
pasien infark miokard dengan elevasi st memiliki
kelemahan yaitu saat pasien mengalami gelisah pasien akan
melepas oksigen yang terpasang karena merasa tidak
nyaman dipasang benda asing diarea tubuh
Opportunity : terapi oksigen ini bisa dikolaborasikan dengan teknik
lainnya sehingga dapat menyelamatkan miokard pada
pasien infark miokard dengan elevasi st seperti terapi
farmakologi.
Threats : terapi oksigen tidak memiliki ancaman

B. PICO
Population : pasien infark miokard dengan elevasi st
Intervention : terapi oksigen
Comparison : pemberian teknik non farmakologi
Outcome : penyelamatan miokard
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian penjelasan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa NSTEMI, maka kelompok dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut
1. Hasil pengkajian pada Ny. N, tidak didapatkan data subyektif dikarenakan
pasien mengalami penurunan kesadaran. Data obyektif yang didapatkan
pasien terbaring di tempat tidur dengan posisi semi fowler, terpasang
ventilator sebagai alat bantu napas, pasien tampak gelisah, terdapat bunyi
napas tambahan, RR 25x/menit.
2. Diagnosa keperawatan yang utama ditegakan yaitu Bersihan Jalan Napas
Tidak Efektif berhubungan dengan Spasme Jalan Napas, diagnosa kedua
yang diambil yaitu Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan
Perubahan Irama Jantung dan yang ketiga mengambil diagnosa terkait
Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan Tirah Baring serta diagnosa
keempat yaitu Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Kelemahan.
3. Tahapan pelaksanaan asuhan keperawatan didasarkan pada perencanaan
yang telah disusun kelompok dengan acuan SLKI dan SIKI
4. Dalam mengevaluasi proses keperawatan pada pasien dengan diagnosa
NSTEMI seelalu mengacu pada tujuan pemenuhan kebutuhan pasien. Hasil
evaluasi yang dilakukan selama tiga hari, masalah tercapai sebagian pada
diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif, penurunan curah
jantung dan intoleransi aktivitas.
B. Saran
1. perawat sebagai petugas pelayanan kesehatan hendaknya mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang cukupserta dapat bekerjasama dengan
tim kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
2. Bagi mahasiswa diharapkan dengan adanya penulisan asuhan keperawatan
ini, mahasiswa bisa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
mengimplementasikan asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai