Anda di halaman 1dari 36

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infark Miokard
1. Definisi
Infark miokard umumnya dikenal sebagai serangan jantung, adalah
nekrosis ireversibel otot jantung sekunder akibat iskemia berkepanjangan. Hal
ini biasanya akibat dari ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan
oksigen, penyebab utamanya adalah pecahnya plak dengan pembentukan
trombus di pembuluh koroner, yang mengakibatkan penurunan akut suplai darah
ke sebagian dari miokardium (Maziar, 2014).
Infark Miokard didefinisikan sebagai keadaan patologis kematian sel
miokard akibat iskemia berkepanjangan. Setelah terjadinya iskemi, kematian sel
jantung secara histologis tidak langsung terjadi, tapi dapat bertahan sedikitnya
20 menit atau kurang sebelum terjadinya kematian sel. Nekrosis sel miokard
secara keseluruhan membutuhkan waktu setidaknya 2-4 jam atau lebih lama,
tergantung pada keberadaan sirkulasi kolateral ke zona iskemik, jenis oklusi
arteri koroner persisten atau intermiten, sensitivitas miosit pada iskemia, dan
kebutuhan oksigen dan nutrisi individu. Proses penyembuhan infark biasanya
dapat memakan waktu setidaknya 5-6 minggu (Thygesen et al., 2012).
Infark Miokard merupakan salah satu bagian dari Sindroma Koroner
Akut (SKA). Sindroma Koroner Akut merupakan kumpulan sindroma klinis
nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diakibatkan oklusi arteri
koroner. SKA terdiri dari unstable angina (UA) atau angina pektoris tidak stabil
(APTS), infark miokard dengan ST-elevasi (STEMI) dan tanpa ST-elevasi
(NSTEMI). Ketiga keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam
kardiovaskuler yang memerlukan tatalaksana yang baik untuk menghindari
tejadinya suddent death (Bender et al., 2011; Braunwald dan Elliott, 2006).
Old Myocardial Infarction (OMI) adalah infark miokard yang pernah
terjadi sebelumnya. OMI sering digambarkan dengan adanya gelombang Q
patologis pada EKG. Gambaran Q patologis mulai muncul beberapa jam setelah
terjadinya infark miokard akut, bertambah daam sampai beberapa hari, dan
menetap. Gelombang Q patologis tersebut menggambarkan adanya kematian
jaringan (Myrtha, 2011).
Gambar 2.1 Evolusi Gambaran EKG pada Infark Miokard
Data dari GRACE terhadap pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri dada ternyata diagnosis ST-Elevasi Miocardial Infraction
(STEMI) yang terbanyak (34%), Non ST-Elevasi Miocardial Infraction
(NSTEMI) (31%) dan Unstable Angina (UA) (29%) (Budaj et al., 2003).
a. Unstable Angina Pectoris (UAP)
UAP merupakan angina yang timbul saat istirahat dan semakin
lama angina yang timbul semakin berat dengan gambaran EKG
abnormal pada segmen ST atau EKG normal dan tidak terdapat
peningkatan troponin. Secara klinis Angina pektoris tidak stabil
memiliki diagnosis yang sama dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak
dijumpai kerusakan miokard dan dijumpai pada gambran EKG yang
abnormal atau EKG normal dan juga tidak terjadi peningkatan troponin
(Braunwald dan Elliott, 2006).
b. Non ST-Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
Pengertian dari NSTEMI adalah pasien yang mengalami gejala
nyeri dada khas diatas 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia
kardiak marker yang positif atau perubahan segmen ST pada
pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang persisten (Alexander
et al., 2007).
c. ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI)
Definisi dari ST elevasi miokard infark adalah nyeri dada yang
khas yaitu dengan nyeri di atas 20 menit dan tidak berkurang dengan
istirahat dan dengan pemberian nitrat dan juga ditandai dengan gambaran
elektrokardiogram elevasi segmen ST (Hamm et al., 2011; Irmalita,
1996).

2
Untuk mengetahui diagnosis Infark Miokard maka harus dibedakan
menurut jenis SKA (Sindroma Koroner Akut) seperti pada bagan di bawah.

Gambar 2.2 Spektrum dan definisi dari SKA (PERKI, 2012).

2. Etiologi dan faktor risiko


Menurut Alpert et al., (2010), Braunwald dan Elliott (2006), Infark
Miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen. Ada berbagai macam jenis
Infark Miokard berdasarkan penyebabnya, yaitu: spontan, ketidakseimbangan
iskemik, kematian mendadak dan prosedur revaskularisasi. Infark miokard
spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain
itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat
memicu munculnya infark miokard. Pasien mungkin memiliki penyakit jantung
koroner yang cukup parah tetapi tidak terdeteksi di angiografi (terjadi pada
sekitar 6 persen pasien AMI), biasanya terjadi pada wanita. Infark miokard jenis
ketidakseimbangan iskemik disebabkan karena ketidakseimbangan antara
pasokan oksigen dan atau kebutuhan oksigen tubuh. Biomarker mungkin akan
meningkat karena efek toksik dari katekolamin. Tipe ini juga bisa disebabkan
oleh vasokonstriksi dan spasme arteri yang menurunkan aliran darah miokard.
Cedera atau infark miokard periprosedural juga dapat terjadi pada beberapa
tahapan dalam instrumentasi yang diperlukan selama prosedur revaskularisasi

3
mekanik jantung, baik karena PCI (Percutaneous Coronary Intervention) atau
bypass arteri koroner ( CABG ).
Menurut Santoso dan Setiawan (2007), ada empat faktor risiko biologis
infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan
riwayat keluarga. Risiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penuaan merupakan faktor risiko utama untuk penyakit
aterosklerosis karena proses degeneratif yang berhubungan dengan penuaan dan
dampak kumulatif dari faktor risiko lain yang berkembang dengan
bertambahnya usia. Faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah
abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor
psikososial, diet dan alkohol, dan kurang aktivitas fisik.
Menurut Anand et al., (2008), penyakit ini lebih cenderung terjadi pada
usia 9 tahun lebih dini pada pria dibandingkan pada perempuan. Insiden pada
wanita meningkat pesat saat menopause dan sebanding dengan laki-laki pada
umur lebih dari 65. Meskipun begitu, penyakit ini tetap menjadi penyebab utama
kematian pada wanita. Kematian akibat penyakit jantung empat sampai enam
kali lebih tinggi dari tinggi dari kematian akibat kanker payudara.
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor risiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The Coronary Primary Prevention Trial
(CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan
mortalitas akibat infark miokard. Sedangkan pada orang hipertensi, akibat kerja
jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen
untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi
jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown,
2006).
Obesitas meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT
> 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas ditandai dengan
meningkatknya kadar kolesterol total dan LDL kolesterol. Risiko PJK akan jelas

4
meningkat bila berat badan mulai melebihi 20% dari berat badan ideal
(Waspadji, 2003).
3. Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya plak
aterosklerosis. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi diketahui
menyebabkan disfungsi dari endotel pembuluh darah. Proses aterogenik ini
ditandai dengan disfungsi lapisan endotel pembuluh darah koroner, terkait
dengan proses inflamasi dari dinding pembuluh darah. Ini diakibatkan karena
penumpukan kolesterol, sel inflamasi, dan puing-puing selular di dalam lapisan
intima dan subintimal pembuluh darah, sehingga membentuk plak dan
mempersempit dinding arteri. Proses ini kompleks, melibatkan serangkaian
interaksi antara sel otot endotel dan halus, leukosit dan trombosit dalam dinding
pembuluh darah (Bender et al., 2011).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi bila plak aterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur dan
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan bahwa
plak di arteri koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap
yang tipis dan kaya akan lipid (Alwi, 2009).
Akibat adanya oklusi pembuluh darah koroner maka akan terjadi iskemia
miokard. Hal ini dapat dikompensasi dengan mengubah metabolisme menjadi
anaerob. Namun jika terlalu lama maka akan mengakibatkan fungsi ventrikel
berkurang karena adanya hipoksia dan asidosis. Iskemia yang berlangsung lebih
dari 30-45 menit akan mangakibatkan kerusakan irreversibel dan kematian sel
otot (Brown, 2006).
4. Gejala klinis
Onset dari iskemia miokard adalah langkah awal dalam pengembangan
kasus Infark Miokard karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen. Iskemia miokard dalam manifestasi klinis biasanya dapat diidentifikasi
dari riwayat pasien dan dari hasil Elektrokardiograf (EKG). Gejala iskemik yang
mungkin terjadi adalah nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas atas dan rahang
bawah dan juga ketidaknyamanan epigastrium (saat aktivitas ataupun saat
istirahat) serta sesak atau kelelahan. Nyeri yang berhubungan dengan Infark
5
Miokard akut biasanya berlangsung > 20 menit. Seringkali rasa nyeri tersebut
menyebar tidak terlokalisasi dan itu bisa disertai dengan diaforesis, mual atau
sinkop. Namun gejala-gejala ini tidak spesifik untuk iskemia miokard. Karena
bisa misdiagnosis dengan penyakit pencernaan, saraf, paru atau gangguan
muskuloskeletal. Pada Infark Miokard dapat muncul dengan gejala atipikal
seperti palpitasi atau bahkan tanpa gejala; misalnya pada wanita, orang tua,
penderita diabetes, atau pasca-operasi dan pasien kritis. Evaluasi yang cermat
pada pasien sangat disarankan, terutama bila ada kenaikan atau penurunan
biomarker jantung (Thygesen et al., 2012).
5. Diagnosis
Menurut Alwi (2009) diagnosis Infark Miokard didasarkan pada riwayat
nyeri dada yang khas pasien dan perubahan EKG. Peningkatan enzim jantung,
terutama troponin T, dapat memperkuat diagnosis.
Menurut Bender et al., (2011), pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
pada diagnosis Infark Miokard antara lain:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan dalam diagnosis infark
miokard mencakup pemeriksaan biomarker/enzim jantung.
Pemeriksaannya antara lain, berikut ini :
1) Kadar troponin
Troponin adalah protein kontraktil yang biasanya tidak
ditemukan dalam serum dan dilepaskan hanya ketika nekrosis
miokard terjadi. Tingkat serum mulai meningkat 3 jam pasca
serangan Infark Miokard dan dapat bertahan hingga 7-14 hari.
2) Tingkat Creatine kinase (CK)
Tingkat CK–MB (CK-2) meningkat dalam 3-12 jam
setelah serangan Infark Miokard dan mencapai nilai puncak
dalam waktu 24 jam kemudian kembali ke awal setelah 48-72
jam.
b. Elektrokardiograf
EKG adalah alat yang paling penting dalam evaluasi awal dan
triase pasien pada Sindrom Koroner Akut (SKA) seperti infark miokard.
EKG dapat mendiagnosis di sekitar 80 % kasus. Menurut Bender et al.,

6
(2011), gambaran perubahan EKG pada Infark Miokard menurut lokasi
dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Lokasi Infark menurut perubahan gambaran EKG.


No. Lokasi Perubahan gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
2 Anteroseptal V4/V5
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
4 Lateral dan I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
5 Inferolateral dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I
dan aVL
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
7 Inferoseptal aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL)
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
8 True dan aVF
posterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
9 RV aVF, V1-V3
infarction Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

(Bender et al., 2011)


Ada dua jenis gambaran EKG pada Infark Miokard yaitu STEMI
(S-T Elevasi Miokard Infark) dan Non STEMI (Non S-T Elevasi
Miokard Infark). Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina
akut disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi,
tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena.
(Tedjasukmana et al., 2010).

7
Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau
pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG. Untuk menegakkan
diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di
V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai
elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih
rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang
simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI
(Tedjasukmana et al., 2010).
c. Pencitraan jantung
Bagi individu dengan perkiraan SKA (Sindrom Koroner Akut),
angiogram koroner dapat digunakan untuk definitif mendiagnosis atau
menyingkirkan diagnosis penyakit jantung koroner (Maziar, 2014).

B. Acute Lung Oedema


1. Definisi
Acute Lung Oedema adalah akumulasi cairan di interstisial dan
alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh
tekanan intravaskular yang tinggi (oedema paru kardiogenik) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (oedema paru non kardiogenik)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan
hipoksia (Harun dan Sally, 2009).
Oedema paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan di interstisial dan
alveolus. Penyebab oedema paru:
a. Kardiogenik atau oedema paru hidrostatik atau oedema hemodinamik.
Kausa: infark miokard, hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi
gagal jantung sistolik/diastolik dan lainnya.
b. Nonkardiogenik/oedema paru permeabilitas meningkat. Kausa: ALI dan
ARDS
Walaupun penyebab kedua jenis oedema paru tersebut berbeda, namun
membedakannya terkadang sulit karena manifestasi klinisnya yang mirip.
Kemampuan membedakan penyebab oedema paru sangat penting karena

8
berimplikasi pada penanganannya yang berbeda. (Harun dan Sally, 2009;
Alasdair et al., 2008).
Oedema paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus paru-
paru. Jika oedema timbul akut dan luas, sering disusul kematian dalam waktu
singkat (Harun dan Sally, 2009).
Oedema paru-paru mudah timbul jika terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan tekanan osmotik koloid seperti
pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat
diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada
pneumonia, atau karena gangguan lokal proses oksigenasi (Harun dan Sally,
2009; Soemantri, 2011; Alasdair et al., 2008; Lorraine et al., 2010).
Penyebab yang tersering dari oedema paru-paru adalah kegagalan
ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis.
Oedema paru-paru yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga
oedema paru kardiogenik, sedangkan oedema paru yang disebabkan selain
kelainan jantung disebut oedema paru non kardiogenik (Harun dan Sally, 2009;
Alasdair et al., 2008).
Oedema paru nonkardiogenik adalah penimbunan cairan pada jaringan
interstisial paru dan alveolus paru yang disebabkan selain oleh kelainan jantung
(Harun dan Sally, 2009; Alasdair et al., 2008; Lorraine et al., 2010; Maria,
2010).
2. Etiologi dan Faktor Pencetus
a. Oedema paru non kardiogenik
Oedema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi
cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang
interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada
jantung. Walaupun oedema paru dapat berbeda-beda derajatnya,
bagaimanapun dalam tingkatnya yang paling ringan sekalipun tetap
merupakan temuan yang menakutkan. Terjadinya oedema paru seperti di
atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab, diantaranya:

1) Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)

9
Oedema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan
pembuluh kapiler paru dan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler alveolar. Oedema paru akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru sering juga disebut acute respiratory distress
syndrome (ARDS) (Amin dan Ranitya, 2006; Moss dan Ingram,
2001; MMc, 2007).
Pada tahap awal terjadinya oedema paru terdapat
peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial antara
kapiler dan alveoli. Pada oedema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi
timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus
kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan
beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian
menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin.
Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam
keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan endotel
yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar.
Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein
dan banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga
terbentuk membran hialin. Karakteristik oedema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tidak adanya
peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal) (Amin dan
Ranitya, 2006; Moss dan Ingram, 2001; MMc, 2007; Haslet,
1999).
2) Sindrom kongesti vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat
terjadi pada penderita dengan kelebihan cairan intravaskular
dengan ukuran jantung normal. Ekspansi volume intravaskular
tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti vena, karena
vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume
darah ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada
penderita yang mendapat cairan kristaloid atau darah intravena
dalam jumlah besar, terutama pada penderita dengan gangguan
10
fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu sendiri (terjadi
retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan
kongesti vena lebih lanjut (Soewondo dan Amin, 1998; Amin dan
Ranitya, 2006).
Sindrom kongesti vena (fluidoverload) ini sering terjadi
pada penderita dengan trauma yang luas, yang mendapat cairan
dalam jumlah besar untuk menopang sirkulasi. Pada fase
penyembuhan, terjadilah edema paru. Keadaan ini sering
dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute
respiratory distress syndrome) (Amin dan Ranitya, 2006).
3) Oedema paru neurogenik
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami
trauma kepala, kejang-kejang, atau peningkatan tekanan
intrakranial yang mendadak. Diduga dasar mekanisme oedema
paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus (akibat
penyebab di atas) yang menyebabkan rangsangan pada sistem
adrenergik, yang kemudian menyebabkan pergeseran volume
darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan
“compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi penurunan
pengisian ventrikel kiri à tekanan atrium kiri meningkat dan
terjadilah oedema paru (Soewondo dan Amin, 1998; Haslet,
1999).
Pada penderita dengan trauma kepala, oedema paru dapat
terjadi dalam waktu singkat. Mekanisme neurogenik mungkin
dapat menjelaskan terjadinya oedema paru pada penderita
pemakai heroin (Soewondo dan Amin, 1998; Gomersall, 2009).
4) Oedema paru karena ketinggian tempat
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda
yang berada pada ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki).
Penyebab keadaan ini tidak diketahui, diduga mekanismenya
adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan vasokonstriksi
arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri

11
pulmonal, akibatnya terjadilah oedema paru (Soewondo dan
Amin, 1998; Behrman dan Vaughan, 1993; Haslet, 1999).
Gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk,
napas pendek, muntah-muntah dan perasaan nyeri dada. Gejala-
gejala tersebut terjadi dalam 6 – 36 jam setelah tiba di tempat
yang tinggi (Soewondo dan Amin, 1998; Behrman dan Vaughan,
1993; Haslet, 1999).
Tidak semua orang menderita penyakit ini, bahkan orang-
orang yang terkena penyakit ini pun tidak mendapatkan gejala-
gejala setiap kali terkena pengaruh tempat tinggi itu.
Kesembuhan dapat terjadi dalam waktu 48 jam serta selanjutnya
penderita dapat tetap bertempat tinggal di tempat tinggi tanpa
gejala-gejala. Pengobatan suportif dapat diberikan bila ada
indikasi (Soewondo dan Amin, 1998; Behrman dan Vaughan,
1993; Haslet, 1999).
Bagaimanapun penyakit ini dapat kambuh kembali
setelah penderita kembali ke daerah yang letaknya tinggi, setelah
berkunjung meski singkat ke daerah yang terletak lebih rendah.(
Soewondo dan Amin, 1998; Behrman dan Vaughan, 1993;
Haslet, 1999).
5) Oedema paru karena sindrom nefrotik
Walaupun oedema hampir selalu ditemukan untuk
beberapa waktu dalam perjalanan penyakit dan merupakan tanda
yang mendominasi pola klinis, namun merupakan tanda yang
paling variabel di antara gambaran terpenting sindroma nefrotik,
terutama oedema paru (Soewondo dan Amin, 1998; Moss dan
Ingram, 2001).
Mekanisme terbetuknya oedema sangat kompleks;
beberapa faktor adalah: (1) Penurunan tekanan koloid osmotik
plasma akibat penurunan konsentrasi albumin serum;
bertanggung jawab terhadap pergeseran cairan ekstraselular dari
kompartemen intra-vaskular ke dalam interstisial dengan
timbulnya oedema dan penurunan volume intravaskular. (2)
Penurunan nyata eksresi natrium kemih akibat peningkatan
12
reabsorpsi tubular. Mekanisme meningkatnya reabsorpsi natrium
tidak dimengerti secara lengkap, tetapi pada prinsipnya terjadi
akibat penurunan volume intravaskular dan tekanan koloid
osmotik. Terdapat peningkatan ekskresi renin dan sekresi
aldosteron. (3) Retensi air (Wilson, 1995; Moss dan Ingram,
2001).
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi
seluruh natrium yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk
berkembangnya oedema pada sindrom nefrotik. Untuk timbulnya
oedema harus ada retensi air (Moss dan Ingram, 2001).
Pengobatan oedema paru akibat sindrom nefrotik
ditujukan pada penyakit dasarnya. Pengobatan suportif diberikan
bila ada indikasi(Amin dan Ranitya, 2006; Moss dan Ingram,
2001).
6) Oedema paru karena malnutrisi
Prinsip mekanisme terjadinya oedema paru pada
malnutrisi hampir sama dengan sindrom nefrotik.
Hipoproteinemia merupakan dasar terjadinya oedema (Wilson,
1995; Moss dan Ingram, 2001).
7) Aktivitas yang berlebihan
Pada penelitian yang dilakukan Ayus JC dan kawan-
kawan pada pelari maraton terdapat 18% dari 605 pelari
marathon yang mengalami oedema paru akibat hiponatremia.
Mekanisme ini disimpulkan bahwa pada saat aktivitas meningkat
(maraton) terjadi pengeluaran natrium melalui air keringat,
sehingga tubuh kekurangan natrium. Setelah selesai melakukan
aktivitas tubuh berusaha melakukan homeostatis, dengan
mensekresikan ADH dan terjadilah retensi air. Akibatnya
terjadilah oedema paru (Ayus et al., 2000).
3. Patofisiologi dan patogenesis
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai
dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta
permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
13
ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan
memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke
sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan.
Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari
kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan
sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Soewondo dan Amin, 1998;
Behrman dan Vaughan, 1993).
Terdapat dua mekanisme terjadinya oedema paru:
a. Membran kapiler paru
Oedema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah
ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian
cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh
limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan
solute dari pembuluh darah ke ruangan interstisial. Studi eksperimental
membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi
paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q (iv-int)= Kf [(Piv-Pint) – df(Iiv-Iint)]
Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial
Piv = tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = tekanan hidrostatik interstisial
Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular
Iint = tekanan osmotik koloid interstisial
Df = koefisien refleksi protein
Kf = kondukstan hidaulik
b. Sistem limfatik
Sistem limfatik dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di
daerah interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat
jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran
limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui
dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi oedema. Diperkirakan pada
pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe
14
kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata.
Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe
akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk
mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat
mencegah terjadinya oedema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya
oedema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan
terkompresi (Harun dan Sally, 2009; Lorraine, 2010).
Oedema Paru Kardiogenik
Oedema paru kardiogenik atau oedema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih
besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral
yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endotel tetap
normal, maka cairan oedema ayng meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan
protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal
biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat
peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri.
Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan oedema di
perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan
atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan oedema akan menembus
epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan
lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Alasdair,
2008; Lorraine 2005):
a. Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya
pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi
jantung
b. hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel
kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel
kiri
c. insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga
memperburuk fungsi jantung.
15
Penghapusan cairan oedema dari ruang udara paru tergantung pada
transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel yang terdapat pada
membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal.
Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan cara Na/K-
ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif
mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang
ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Alasdair, 2008; Lorraine
2005).
Acute lung oedema kardiogenik ini merupakan bagian dari spectrum
klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS ini didefinisikan sebagai
munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi
jantung yang tidak normal (Harun dan Sally, 2009; Alasdair, 2008; Lorraine
2005).
Secara patofisiologi oedema paru kardiogenik ditandai dengan transudai
cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya
peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini
terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-
kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi,
hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009; Alasdair, 2008; Lorraine
2005).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru
akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara
di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada
keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai
ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally,
2009; Alasdair, 2008; Lorraine 2005).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2,
oedema interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang
longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan
petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas
dan peningkatan jumlah cairan di daerah di interstisium yang longgar tersebut,
16
dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan
refleks nronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi aka
mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru.
Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea tertutup (Harun dan
Sally, 2009; Soemantri, 2011; Lorraine 2005).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari
oedema paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan
hipoksemia yang berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi
cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan
berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si
pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang
di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat
perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hiperkapnea yang terjadi
pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi
hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya
telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin
yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan
dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat tertutup (Harun dan Sally,
2009; Alasdair, 2008; Lorraine 2005).
Oedema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik maka sebaliknya oedema paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus.
Cairan oedema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena
membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh moleku besar
seperti protein plasma. Banyaknya cairan oedema tergantung pada luasnya
oedema interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan acute
lung injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Harun dan Sally, 2009;
Lorraine 2005; Maria, 2010).
4. Manifestasi klinis

17
Gejala paling umum dari pulmonary oedema adalah sesak nafas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus
dari pulmonary oedema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk
mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan
aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea),
kepeningan atau kelemahan (Aladair et al., 2008; Lorraine 2005; Maria, 2010;
Simadibrata et al., 2000).
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary oedema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-
paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang
abnormal, seperti rales atau crakles (Aladair et al., 2008; Lorraine 2005; Gribert
dan Bayat, 2000).

Manifestasi klinis oedema paru secara spesifik juga dibagi dalam 3


stadium (Simadibrata et al., 2000):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi
karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan
septa interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan
cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran
nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi.
Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar
takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga

18
penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan
spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru
yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt.
Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat
dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada leadaan
ini morphin harus digunakan dengan hati-hati (Ingram dan
Braunwald,1988).
Oedema paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya
akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang
dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi oedema paru walaupun tekanan
kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian
indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat
cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan
mengurangi oedema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler. Pada manusia masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan
oedema paru, tekanan kapiler parunya normal. Hal ini mungkin
disebabkan lambatnya pembersihan cairan oedema secara radiografi
meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada
beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolus kapiler
parus ekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang reendah seperti
pada cardiogenic shock lung.
Oedema paru kardiogenik ini merupakan spektrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai:
munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari
fungsi jantung yang tidak normal. European Society of Cardiology
(ESC) membagi AHFS menjadi 6 klasifikasi yaitu (Lorraine 2005;
Maria, 2010; ESC, 2008).
ESC 1 : Acute decompensated Heart Failure
ESC 2 : Hypertensive acute heart failure
19
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiiogenik shock’
ESC 5 : High output failure AHF pada sepsis
ESC 6 : Right heart failure
Bila oedema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan
tekanan hidrostatik maka sebaiknya, oedema paru nonkardiogenik
disebabkan oleh peningkaan permeabilitas pembuluh darah paru yang
menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam
interstisial paru dan alveolus. Cairan oedema paru nonkardiogenik
memiliki kadar protein kadar proein tinggi karena membran pembuluh
darah lebih permeabel untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi
cairan oedema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi
cairan ke dalam paru dan kecepaan cairan tersebu dikeluarkan dari
alveoli dan interstisial (Lorraine 2005; Maria, 2010; ESC, 2008).
5. Diagnosis
Tampilan klinis oedema paru kardiogenik dan nonkardiogenik
mempunyai beberapa kemiripan.
a. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa oedema paru,
misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai
dengan gagal jantung kronik. Acute Lung Oedema kardiak, kejadiannya
sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim.
Keadaan ini merupakan pengalaman yang yang menakutkan bagi pasien
karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
Khas pada oedema paru non kardiogenik didapatkan bahwa
awitan penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara
cepat. Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau
perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk
yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda.
Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya
penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis.(Soemantri, 2011;
Alasdair et al., 2008; Lorraine et al., 2005; Koga dan Fujimoto, 2009;
Gomersall, 2009; Haslet, 1999; Prihatiningsih, 2009).
20
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia,
hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam
posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan
lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat
retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang
menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada
saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang berwarna kemerahan (pink
frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga oedema perifer, akral dingin dengan
sianosis (sda). Dan pada oedema paru non kardiogenik didapatkan khas
bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan
pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung
pada bagian bawah dada (Lorraine et al., 2005).
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk
mengkaji etiologi oedema paru. Pemeriksaan tersebut
diantaranya pemeriksaan hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal,
elektrolit, kadar protein, urinalisa gas darah, enzim jantung (CK-
MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan
prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk
menilai oedema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat.
Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left
ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal
jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai
prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk
melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan
LV filling pressure (pasquate 2004). Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal jantung
21
kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung
kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa
pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam
menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit lainnya.

2) Radiologi
Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus
yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar
serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat
oedema instrestisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi
(Cremers 2010, harun n saly 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60
mm pada foto thorax postero-anterior terlihat pada 90% foto
thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85% ditemukan 80%
pada kasus oedema paru. Sedangkan vena azygos dengan
diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter
> 10 mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto
thorax telentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm.
Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan
dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanay
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang
membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh
distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan
sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah
horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya oedema septum interlobuler. Garis
kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior
namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat
hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto,
2009).
Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan
oedema paru kardiogenik dan oedema paru non krdiogenik.
Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa oedema
22
tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru
meningkat 30%. Beberapa masalah teknik juga dapat
mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru, seperti
rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film
(Soewondo dan Amin, 1998; Gribert dan Bayat, 2000).

Gambar 2.3 Perbedaan Gambaran Radiografi pada Oedema


Paru Kardiogenik dan non Kardiogenik
3) Echokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi
fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam
mendiagnosis penyebab oedema paru (Lorraine et al., 2005;
Maria, 2011; ECS, 2008; ECS, 2012).
4) EKG
Pemeriksaan EKG bisa mormal atau seringkali
didapatkan tanda-tanda iskemik atau infark miokard akut dengan
oedema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran EKG
biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan oedema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik
biasanya menunjukan gambaran gelombang T negative yang
melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang
dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui
tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab,
antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan
23
peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus
simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau
peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau
katekolamin (Lorraine et al., 2005; Maria, 2011).
5) Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery
occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku
emas untuk menentukan penyebab Acute Lung Oedema (ECS,
2012).

Gambar 2.5 Algoritma Diagnosis


6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan oedema paru non kardiogenik:
a. Suportif
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan
adalah:
1) support kardiovaskular
2) terapi cairan
3) renal support
4) pengelolaan sepsis

24
b. Ventilasi
Menggunakan ventlasi protective lung atau protocol ventilasi
ARDS net.
Pengobatan yang dilakukan di arahkan terhadap penyakit primer
yang menyebabkan terjadinya oedema paru tersebut disertai pengobatan
suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan
optimalisasi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi
tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan (Soemantri,
2011; Moss dan Ingram, 2011; MMc, 2007).
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan
menghilangkan rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat dicapai
paling baik dengan memberikan tekanan positif terputus-putus.
Kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik mungkin akan semakin
besar sehingga pasien harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU)
(Amin dan Ranitya, 2006; Haslet, 1999).
Untuk mengoptimalkan oksigenasi dapat dilakukan teknik-
teknik ventilator, yaitu Positive endex piratory pressure (PEEP) 25-15
mmH2O dapat digunakan untuk mencegah alveoli menjadi kolaps.
Tekanan jalan napas yang tinggi yang terjadi pada ARDS dapat
menyebabkan penurunan cairan jantung dan peningkatan risiko
barotrauma (misalnya pneumotoraks). Tekanan tinggi yang dikombinasi
dengan konsentrasi O2 yang tinggi sendiri dapat menyebabkan
kerusakan mikrovaskular dan mencetuskan terjadinya permeabilitas
yang meningkat hingga timbul oedema paru, sehingga penerapannya
harus hati-hati (Amin dan Ranitya, 2006; Haslet, 1999).
Salah satu bentuk teknik ventilator yang lain yaitu
inverseratioventilation dapat memperpanjang fase inspirasi sehingga
transport oksigen dapat berlangsung lebih lama dengan tekanan yang
lebih rendah. extra corporeal membrane oxygenation (ECMO)
menggunakan membran eksternal artifisial untuk membantu transport
oksigen dan membuang CO2. Strategi terapi ventilasi ini tidak begitu
banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk memperbaiki
prognosis secara umum tapi mungkin bermanfaat pada beberapa kasus
(Amin dan Ranitya, 2006; Gomersall, 2009; Prihatiningsih, 2009).
25
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai
cara. Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat
membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan
retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal (nitric
oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan hemodinamik yang
penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal antara
tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam
alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi
jaringan dan transport oksigen yang optimal (Amin dan Ranitya, 2006).
Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan
antagonis kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik
sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi organ yang
terganggu, untuk itu penggunaanya harus hati-hati. Obat-obat inotropik
dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungin diperlukan
untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah jantung yang
cukup terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik) (Amin
dan Ranitya, 2006; Haslet, 1999).
Inhalasi NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal
yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi
pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi
yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi
ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas
membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin sehingga
mencegah reaksi sistemik (Amin dan Ranitya, 2006).
Penatalaksanaan oedema paru kardiogenik:
Sasarannya adalah mencapai oksigenasi adekuat, memelihara stabilitas
hemodinamik dan mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan
afterload.
Sistematikanya :
a. Posisi setengah duduk
b. Oksigen terapi
c. Morphin IV 2,5 mg
d. Diuretik
e. Nitroglyserin
26
f. Inotropik
Bukti penelitian menunjukan bahwa pilihan terapi yang terbaik adalah
vasodilator intravena sedini mungkin (Nitroglyserin, nitropruside) dan diuretika
dosis rendah. Nitrogliserin merupakan terapi lini pertama pada semua pasien
AHF dengan tekanan darah sistolik > 95-100 mmHg dengan dosis 20
mikrogram/min sapai 200 mikrogram/min (rekomendasi ESC IA). Bahkan dosis
yang sangat rendah (< 0,5 mikogram/kg/min) dari nitroglycerin akan
menurunkan LVED dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dan perfusi perifer.
Bila dibandingkan dengan diuretik maka nitroglycerin memiliki beberapa
keuntungan yaitu lebih efektif dalam mengontrol oedema paru berat dengan
profil hemodinamik yang lebih stabil. Penurunan wall stress dan LVEDP yang
leih cepat tanpa menurunkan CO (ECS, 2008; ECS, 2012).
Berikut adalah algoritma penatalaksanaan Acute Lung Oedema
kardiogenik berdasarkan ESC 2012. Sistematikanya yakni sebagai berikut:
a. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretic, dosis yang
direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan.
Dapat diulang jika diperlukan
b. O2 saturasi dengan pulse oximeter<90 atau PaO2<60 dapat diberikan,
yang terkait dengan peningkatan resiko mortalitas jangka pendek.
Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia
karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung.
c. Biasanya dimulai dengan O2 40-60% dititrasi sampai SaO2 > 90%, hati-
hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
d. Contoh, pemberian morfin 4-8 mg ditambah metoclopramide 10 mg,
observasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
e. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemik miokardial.
f. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2,5 mikrogr/kg/menit, dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi
jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemik). Dosis>20
mikrogr/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine
mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dati
stimulasi beta-2 adrenoseptor.

27
g. Pasien harus diobservasi ketat secara regular (gejala, denyut dan ritme
jantung SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan
pulih.
h. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 mikrogram/menit dan dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon, biasanya titrasi
naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi. Dosis>100 mikrogram/min jarang
sekali diperlukan
i. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dyspnea, diuresis
yang adekuat (produksi urine >100 ml/jam dalam 2 jam pertama),
peningkatan saturasi O2 dan biasanya terjadi peurunan denyut jantung
dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam
pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang
ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit,
dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.
j. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi
IV dengan pengobatan diuretic oral
k. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dypnea, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia
miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik
hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/oedema perier dan paru, denyut
dan irama jantug, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernafasan
serta usaha pernafasan. EKG (ritme/iskemia dan infark) dan kimia darah/
hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus
diperiksa. Pulse oxymetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus
diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
l. Produksi urine < 100 ml/jam dalam 1-2 jam pertama adalah respon awal
pemberian diuretic IV yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter
urine).
m. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah/ shock,
dipertimbangkan diagnosis alternative (emboli paru misalnya), masalah
mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta).
Kateterisasi artei paru dapat mengnditifikasi pasien dengan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat (lebih tepat dalam
menyesuaikan terapi vasoaktif)
28
n. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi
o. CPAP dan NIPPV harus dipertimbagkan pada pasien yang tidak terdapat
kontraindikasi. Ventilasi non-invasif continuous positive airway
pressure dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation
(NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu
(misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan Acute Lung Oedema.
Namun, penelitian RCT besar yang terbaru menunjukan bahwa ventilasi
non-invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan
angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat
(dalam 90% dari pasien) dan opiate (di 51% dari pasien). Hasil ini
berbeda dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi
yang lebih kecil. Ventilasi non-invasif dapat digunakan sebagai terapi
tambahan untuk meringanan gejala pada pasien dengan oedema paru dan
gangguan pernafasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal
membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan
ventilasi non invasive meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan
pneumothorax dan depressed consciousness.
p. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan
ventilasi invasive jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernafasan,
meningkatnya kebingungan/penurunan tingkat kesadaran, dll.
q. Meningkatkan dosis loop diuretic hingga setara dengan furosemide 500
mg
r. 18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretic meskipun
tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur
secara langsung) maka mulai infus dopamine 2,5 mikrogram/kg/menit.
Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan dieresis
s. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan
pasien tetap terjadi oedema paru maka ultrafiltasi terisolasi venovenous
harus dipertimbangkan
7. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor penyebab/pencetus
yang dapat diobati. Walaupun banyak penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui mekanisme terjadinya oedema paru nonkardiogenik akibat
29
peningkatan permeabilitas kapiler paru, perbaikan pengobatan dan teknik
ventilator tetapi angka mortalitas pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%.
Beberapa pasien yang bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya dan
disfungsi pada proses difusi gas/udara. Sebagian pasien dapat pulih kembali
dengan cukup baik walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang
lama(Soemantri, 2011; Alasdair et al., 2008; Amin dan Ranitya, 2006; Haslet,
1999; Prihatiningsih, 2009; Simadibrata et al., 2000).

30
31
DAFTAR PUSTAKA

1. Alasdair et al., (2008). Noninvasive ventilation in acute cardiogenic pulmonary edema. N Engl J
Med, 2(359): 142-51.
2.
3. Alexander KP, Newby LK, Cannon CP, Armstrong PW, Gibler WB, Rich MW, Van de Werf F, et al.
(2007). Acute coronary care in the elderly, part I non-ST-segment-elevation acute coronary
syndromes. A scientific Statement for Healthcare Professionals From the American Heart
Association Council on Clinical Cardiology. 115: 2551.
4.
5. Alpert JS, Kristian T, Allan SJ, Harvey DW (2010). A Universal Definition of Myocardial Infarction for
the Twenty-First Century. Access Medicine from McGraw-Hill.
http://www.medscape.com/viewarticle/716457 - diakses: Februari 2010.
6.
7. Alwi I (2009). Infark Miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke . Jakarta: Interna
Publishing, pp: 1741-1757.
8.
9. Amin Z, Ranitya R (2006). Penatalaksanaan terkini ARDS. Update: Maret 2006.
Availablefrom:URL:http://www.interna.fk.ui.ac.id/artikel/darurat2006/dar2_01.html.
10.
11. Anand SS, Islam S, Rosengren A, Maria GF, Krisela S, Afzal HY, Matyas K, et al. (2008). Risk factors
for myocardial infarction in women and men: insights from the INTERHEART study. European Heart
Journal. 29: 932–940.
12.
13. Ayus JC, Varon J, Arieff AI (2000). Hyponatremia, Cerebral Edema, and Noncardiogenic Pulmonary
Edema in Marathon Runners. Annals of Internal Medicine. 2 May 2000. Volume 132. Number 9;
711-14.
14.
15. Bender JR, Russell KS, Rosenfeld LE, ChaundryS (2011). Coronary artery disease. Dalam: Oxford
Handbook of Cardiology. New York: Oxford University Press.
16.
17. Behrman RE, Vaughan VC (1993). Ilmu Kesehatan Anak – Nelson. Nelson WE, Ed. Edisi ke-12. Bagian
ke-2. EGC. Jakarta, 651-52.
18.
19. Braunwald E, Elliott MA (2006). Acute Myocardial Infarction and Unstable Angina Pectoris. Dalam:
Braunwald’s Heart Disease a Text Book of Cardiovascular Medicine. USA: Elsevier Saunders. 1114-
1271.
20.
21. Brown CT (2006). Penyakit aterosklerotik koroner. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC 580-587.
22.

32
23. Budaj A, Brieger D, Steg PG, Goodman SG, Dabbous OH, Fox KA, Avezum A, et al. (2003). Global
patterns of use of antithrombotic and antiplatelet theraphies in patients with acute coronary
syndromes: Insights from the Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE). Am Heart
J.;146:999-1006.
24.
25. Delima, Mihardja L, Siswoyo H. (2009). Prevalensi dan Faktor Determinan Penyakit Jantung di
Indonesia, dalam: Buletin Penelitian Kesehatan. 37: 142-159.
26.

27. ESC (2008). Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2008. European Heart Journal. 2008;33:2388-442.
28.
29. ESC (2012). Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-47.
30.
31. Gomersall C (2009). Noncardiogenic pulmonary oedema. Update: June 2009. Available from: URL:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/noncardiogenic_pulmonary_oedema. Htm
32.
33. Gribert FA, Bayat S (2000). Pulmonary edema (Including ARDS). In: Douglas S, Anthoni S, Leitch AG,
Crofton, Editors. Respiratory Disease. Vol II. Blackwell Science. London, 383-87.
34.
35. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, Caso P, et al. ( 2011). Guideline for
the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation. The task Force for the management of of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology. Eur
Heart J 2011; 32:3004-3022
36.
37. Harun S dan Sally N (2009). Edem Paru Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-
3.
38.
39. Haslet C (1999). Pulmonary oedema adult respiratory distress syndrome. In: Grassi C, Brambilla C,
Costabel U, Naeije R, Editors. Pulmonary Disease. McGrow-Hill International (UK) ltd. London, 766-
89.
40.
41. Irmalita (1996). Infark Miokard. Dalam: Rilantono, LI, Baraas F, Karo Karo S, Roebiono PS. Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta: FK UI, 173-174.
42.
43. Koga dan Fujimoto (2009). Kerley’s A, B and C Line. N Engl J M, 360:15.
44.
45. Lorraine et al., (2005). Acute pulmonary edema. N Engl J Med, 353:2788-96
46.
47. Maria I (2010). Penatalaksanaan edem paru pada kasus vsd dan sepsis vap. Anestesia & Critical
Care. 28(2): 52.
48.

33
49. Maziar AZ (2014). Myocardial Infarction. http://emedicine.medscape.com/ article/759321-
overview.
50.
51. MMc. Oedema, Noncardiogenic (2007). The encyclopaedia of medical imaging volume
VII. Update: 2007. Available from: URL:
http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20VII/OEDEMA%20NONCARDIOGE
NIC.asp.
52.
53. Moss M, Ingram RH (2001). Acute respiratory distress syndrome. In: Harrison, Fauci, Logo’s, et al.
Harrison’s Principle of Internal Medicine 15th Edition on CD-ROM. McGraw-Hill Companies.
Copyright 2001.
54.
55. Myrtha R (2011). Perubahan gambaran EKG pada Sindrom Koroner akut (SKA). CDK; 38:541-2.
56.
57. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) (2012). Pedoman Tatalaksana
Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia. Edisi ke-3:3-54.
58.
59. Prihatiningsih B (2009). Pengaruh dan Bahaya Gas Phosgene Terhadap Pernafasan (Paru-Paru)
Manusia. Update: 2009. Available from: URL: http://www.diagonal. unmer.ac.id
/edisi2_3/abstrak2_3_7.html.
60.
61. Robbins S.L, Cotran R.S, Kumar V. (2007). Buku ajar patologi. Jakarta: EGC pp. 410-415.
62.
63. Santoso M, Setiawan T (2005). Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. Available
from: http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/CDK/article/view/2860 .
64.
65. Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer (2000). Pedoman Diagnosis dan
Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta, 208.
66.
67. Soemantri (2011). Cardiogenic pulmonary edema. NaskahLengkap PKB XXVI IlmuPenyakitDalam
2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
68.
69. Soewondo A, Amin Z (1998). Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al, Ed. Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 767-72.
70.
71. Sovari AA, Kocheril AG, Baas AS (2015). Cardiogenic Pulmonary Edema.
http://emedicine.medscape.com/article/157452-overview (diakses pada 10 Juli 2016).
72.
73. Takii T, Yasuda S, Takahashi J, Ito K, Shiba N, Shirato K, Shimokawa H.( 2009). Trends in Acute
Myocardial Infarction Incidence and Mortality Over 30 Years in Japan. Circulation Journal. 74: 93-
100.
74.
75. Tedjasukmana P, Karo-karo S, Kaunang DR, Lukito AA, Tobing DP, Erwinanto, Yamin A, (2010).
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Jakarta: PERKI, 4-5.

34
76.
77. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD (2012). Third universal
definition of Myicardial Infarction. Journal of the American College of Cardiology (JACC). Vol.60(16).
78.
79. Velagaleti RS, Pencina MJ, Murabito JM, Wang TJ, Parikh NI, D’Agostino RB, Levy D et al (2008).
Long-Term Trends in The Incidence of Heart Failure after Myocardial Infarction.
Circulation.;118:2057-2062.
80.
81. Waspadji S (2003). Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
82.
83. Webb JG, Sleeper LA, Buller CE, Boland J, Palazzo A, Buller E, White HD et al (2000). Implications of
the Timing of Onset of Cardiogenic Shock After Acute Myocardial Infarction. J Am Col Cardiol;
36:1084-1090.
84.
85. Wilson LM (1995). Fungsi Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I.
EGC. Jakarta, 645-48.

86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Konsensus Nasional
Pengelolaan Stroke di Indonesia, Jakarta, 1999.
94. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Guideline Stroke 2000 Seri
Pertama, Jakarta, Mei 2000.
95. National Institute of Neurological Disorders and Stroke: Classification of cerebrovascular
disease III. Stroke 1990, 21: 637-76.
96. World Health Organizations: Stroke 1989. Recommendations on stroke prevention,
diagnosis anf therapy. Stroke 1989, 20: 1407-31.
97. Toole J.F.: Cerebrovascular disorder. 4th edition, Raven Press, New York, 1990.
98. Pusinelli W.: Pathophysiology of acute ischemic stroke. Lancet 1992, 339: 533-6.
99. Sandercock P, Huub W, Peter S.: Medical Treatment of acute ischemic stroke. Lancet 1992,
339: 537-9.

35
100. CP Warlow, MS Dennis, J Van Gijn, GJ Hankey, PAG Ssandercock, JH Bamford,
Wardlaw. Stroke.A practical guide to management. Specific treatment of acute ischaemic
stroke Excell Typesetters Co Hongkong, 1996; 11; 385 – 429.,
101. Widjaja D. Highlight of Stroke Management. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan,
Surabaya 2002.
102. Gilroy J. Basic Neurology. Third Edition. Mc Graw Hill. New York, 2000 ; 225 -306
103. Hinton RC. Stroke, in Samuel MA Manual of Neurologic Therapeutics. Fifth Edition.
Litle Brown and Company Ney York 1995 ; 207 –24.
104. Feigin V. Stroke Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke
(terjemahan). cetakan kedua. PT Buana Ilmu Populer. Jakarta. 2006
105. Adam HP, Del Zoppo GJ, Kummer RV. Management of stroke. 2nd Ed, Professional
communications inc New York, 2002

36

Anda mungkin juga menyukai