PENDAHULUAN
1
hidup yang lebih baik dan meningkatnya kelangsungan hidup setelah serangan
angina tidak stabil.
Usia rata-rata presentasi angina tidak stabil adalah 62 tahun (berkisar
antara 23-100 tahun). Rata-rata wanita yang mengalami angina tidak stabil adalah
5 tahun lebih tua daripada pria, dengan sekitar setengah dari wanita berumur lebih
tua dari 65 tahun. Hal tersebut hanya terjadi pada sekitar sepertiga dari pria. Orang
kulit hitam cenderung mengalami angina tidak stabil pada usia yang lebih muda.
Risiko infark miokard, komplikasi, dan kematian pada angina tidak stabil
bervariasi karena spektrum klinis yang luas dan ditutupi oleh istilah angina tidak
stabil. Prediktor lain yang menunjukkan hasil jangka panjang lebih buruk pada
angina tidak stabil termasuk disfungsi sistolik ventrikel kiri yang mendasari dan
tingkat yang lebih luas dari penyakit jantung koroner.4 Tingkat troponin positif
berkorelasi dengan kematian jangka menengah dalam mode tergantung dosis
(kisaran, 1,0-7,5% pada 6 minggu) independen usia, tingkat CKMB isoenzim
(CK-MB), dan penyimpangan segmen-ST.
Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia lebih dari 60 tahun, CHF
merupakan alasan yang paling umum bagi lansia untuk dirawat di rumah sakit
( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase sekitar 75% pasien yang dirawat dengan
CHF ). Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF adalah sekitar 5-10 % per
tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-40% pada
gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang didiagnosis
menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.2 Epidemiologi
Data demografi internasional terbaik yang tersedia adalah dari register
OASIS-2(Organization to Assess Strategies for Ischemic Syndromes)6.
Karena angina tidak stabil terkait erat dengan kejadian kejadian koroner,
perkiraan tren internasional dapat ditemukan di register MONICA (Monitoring
Trends and Determinants in Cardiovascular Diseases) yang disponsori oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Proyek besar ini memonitor lebih dari 7 juta
orang berusia 35-64 tahun dari 30 populasi di 21 negara dari pertengahan 1980-
an.3
Wanita yang mengalami angina tidak stabil akan berusia lebih tua dan
memiliki prevalensi lebih tinggi hipertensi, diabetes mellitus, CHF, dan riwayat
keluarga PJK dibandingkan laki-laki. Pria cenderung memiliki insiden yang lebih
tinggi dari MI sebelumnya dan revaskularisasi, proporsi yang lebih tinggi dari
enzim jantung positif pada saat masuk rumah sakit, dan tingkat yang lebih tinggi
dari kateterisasi dan revaskularisasi. Namun, hasil ini lebih terkait dengan tingkat
keparahan penyakit daripada jenis kelamin.3
2.1.3 Etiologi
Sindroma koroner akut ditandai oleh adanya ketidakseimbangan antara
pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard1.
4
Etiologi SKA antara lain:
1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada
pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang ruptur mengakibatkan infark kecil di distal.
2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen
arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel.
3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus: terjadi
pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
4. Inflamasi: penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur, trombogenesis.
Makrofag, limfosit T ↑ metalloproteinase penipisan dan ruptur plak
5. Keadaan/faktor pencetus:
a. ↑ kebutuhan oksigen miokard: demam, takikardi, tirotoksikosis
b. ↓ aliran darah koroner
c. ↓ pasokan oksigen miokard: anemia, hipoksemia.2
2.1.4 Patofisiologi
SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade
pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang
mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan
fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption
‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka tissue factor ‘faktor jaringan’
dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi
trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis
akut’.7
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit,
proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis
tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak
5
melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel
endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga
menyebabkan ruptur plak.7
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi
berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami
aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya
plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid
(NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase,
NADH/NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat
terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan
gagal jantung.7, 8
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan
disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1,
tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit
oksid dan prostasiklin).7, 8
6
Seperti kita ketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi
sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan
sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi
platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan
fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark.8
SKA yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak
aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak
karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak,
adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik.8
7
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis ACS dapat ditegakkan dari 3 komponen utama, yaitu dari
anamnesis, EKG, dan pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker).1,2
Anamnesis
Pasien dengan SKA biasanya datang dengan keluhan nyeri dada yang
khas kardial (gejala kardinal), yaitu2:
Lokasi: substernal, retrosternal, atau prekordial
Sifat nyeri: sakit, seperti ditekan, ditindih benda berat, seperti
diperas/dipelintir, rasa terbakar, atau seperti ditusuk.
Penjalaran: ke lengan kiri, leher, rahang bawah,
punggung/interskapula, perut, atau lengan kanan.
Nyeri membaik/hilang dengan istirahat atau nitrat.
Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas, lemah.
Faktor pencetus: aktivitas fisik, emosi
Faktor resiko: laki-laki usia >40 tahun, wanita menopause, DM,
hipertensi, dislipidemia, perokok, kepribadian tipe A, obesitas.
Elektro Kardiografi1, 2
Pada iskemia miokardium, dapat ditemukan depresi segmen ST (≥ 1mV)
atau inverse gelombang T simetris (> 2mV) pada dua lead yang bersebelahan.
8
Perubahan EKG yang khas menyertai infark miokardium, dan perubahan
paling awal terjadi hampir seketika pada saat mulainya gangguan miokardium.
Pemeriksaan EKG harus dilakukan segera pada setiap orang yang dicurigai
menderita infark sekalipun kecurigaannya kecil.
Selama infark miokard akut, EKG berkembang melalui tiga stadium:
1) Gelombang T runcing diikuti dengan inverse gelombang T
Secara akut, gelombang T meruncing (peaking), kemudian inverse
(simetris). Perubahan gelombang T menggambarkan iskemia miokardium. Jika
terjadi infark sejati, gelombang T tetap inverse selama beberapa bulan sampai
beberapa tahun.
2) Elevasi segmen ST
Secara akut, segmen ST mengalami elevasi dan menyatu dengan
gelombang T. elevasi segmen ST menggambarkan jejas miokardium. Jika terjadi
infark, segmen ST biasanya kembali ke garis iso elektrik dalam beberapa jam.
3) Muncul gelombang Q baru
Gelombang-gelombang Q baru bermunculan dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Gelombang ini menandakan infark miokard, syarat: lebar ≥
0,04 detik, dalam ≥ 4mm atau ≥ 25% tinggi R. Pada kebanyakan kasus,
gelombang ini menetap seumur hidup pasien.
9
Inferior II, III, aVF ST elevasi, gelombang Q
Cardiac Marker1, 2
Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan
menggunakan test enzim jantung, seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-kinase MB
(CK-MB), cardiac specific troponin (cTn) I/T, laktat dehidrogenase (LDH), dan
myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB atau cTn T/I >2x nilai batas atas
normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). Pemeriksaan
enzim jantung sebaiknya dilakukan secara serial.
a. Cardiac specific troponin (cTn)
Paling spesifik untuk infark miokard
Troponin C Pada semua jenis otot
Troponin I & T Pada otot jantung
Troponin I memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga mudah dideteksi
b. Myoglobin
Marker paling cepat terdeteksi (hal ini karena ukuran molekulnya sangat
kecil), 1-2 jam sejak onset nyeri
Ditemukan pada sitoplasma semua jenis otot
c. Creatine Kinase (CK)
Ditemukan pada otot, otak, jantung
Murah, mudah, tapi tidak spesifik
d. Lactat Dehidrogenase (LDH)
Ditemukan di seluruh jaringan
LD1 & LD2 memiliki konsentrasi tinggi pada otot jantung, normalnya
LD2 > LD1
Pada pasien infark jantung: LD1 > LD2
e. Creatine Kinase-Myocardial Band (CKMB)
Spesifik untuk infark miokard
10
Tabel 3. Karakteristik Beberapa Cardiac Marker
2.1.6 Tatalaksana
Penanganan dini yang harus segera diberikan pada pasien dengan keluhan
nyeri dada tipikal dengan kecurigaan SKA adalah1,2
1. Oksigenasi
Untuk membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera dan
menurunkan beratnya ST-elevasi pada STEMI.
Diberikan sampai pasien stabil dengan level oksigen 5-10 liter/menit secara kanul
hidung/sungkup.
2. Nitrogliserin (NTG)
Diberikan secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg), dapat diulang sampai 3x dengan
interval 5-10 menit jika keluhan belum membaik setelah pemberian pertama,
dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 μg/menit (jangan lebih 200 μg/menit).
11
Kontraindikasi: hipotensi
Manfaat:
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard;
menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel;
dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral;
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan)
3. Morphine
Dosis 2 – 4 mg intravena
Manfaat:
mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia;
meningkatkan venous capacitance;
menurunkan tahanan pembuluh sistemik;
menurunkan nadi dan tekanan darah.
Efek samping: mual, bradikardi, dan depresi pernapasan.
4. Aspirin
Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik
"chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria
(325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh
diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned
heparin).
Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada kontraindikasi (ulkus
gaster, asma bronkial).
Efek: menghambat COX-1 dalam platelet dan mencegah pembentukan TXA2,
sehingga mencegah agregasi platelet dan konstriksi arterial.
5. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine
Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu
perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet, sehingga menurunkan kejadian
iskemi.
12
Pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis dan iskemia
berulang, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100
mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Efek samping: netropenia,
trombositopenia (jarang), purpura trombotik trombositopenia perlu evaluasi
hitung sel darah lengkap pada minggu II – III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin,
namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya
risiko perdarahan. Dosis: 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai
beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–
60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari .
Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic
Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke)
pada aterosklerosis.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi:
Aritmia
Disfungsi ventrikel kiri
Hipotensi
Lain-lain:
o Emboli Paru dan Infark Paru
o Emboli Arteri Sistemik
o Stroke Emboli
o Ruptur Jantung
o Disfungsi & Ruptur m. Papilaris
2.1.8 Prognosis
Risiko MI, komplikasi, dan kematian pada angina tidak stabil bervariasi
karena spektrum klinis yang luas dan ditutupi oleh interval angina tidak stabil.
Agresivitas pendekatan terapi harus sepadan dengan estimasi risiko individual.9
13
Tabel 5. Klasifikasi Killip pada AMI:
Klas Definisi Mortalitas (%)
Diketahui PJK 1
↑ petanda biokimia 1
Deviasi ST 1
14
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan
terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang
berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.
Congestive heart failure adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana
seorang pasien harus memiliki tampilan berupa : Gejala gagal jantung (nafas
pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai / tidak
kelelahan) : tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema ekstremitas) adanya
bukti objektif dari gangguan struktural atau fungsi jantung saat istirahat.
2.2.2 Epidemiologi
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/ CHF)mempunyai
prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang buruk.Prevalensi
CHF adalah tergantung umur/age-dependent.Menurut penelitian, gagal jantung
jarang pada usia di bawah 45 tahun, tetapi meningkat kasusnya pada usia 75 – 84
tahun. Dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup, akan didapati
prevalensi dari CHF yang meningkat juga. Hal ini dikarenakan semakin
banyaknya lansia yang mempunyai hipertensi akan mungkin akan berakhir
dengan CHF. Selain itu semakin membaiknya angka keselamatan (survival) post-
infark pada usia pertengahan, menyebabkan meningkatnya jumlah lansia dengan
resiko mengalami CHF.
2.2.3 Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat
septum ventrikel dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
15
aorta dan hipertansi sistemik.Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokardium dan kardiomiopati.
Menurut Brunner dan Suddarth (2007) penyebab gagal jantung kongestif :
a. Kelainan otot jantung. Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan
otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis
koroner, hiprtensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis coroner, mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpuikan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel
jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal ( peningkatan afterload ) meningkatkan
beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi serabut
otot jantung.
d. Peradangan dan penyakit miocardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit
jantung yang sebenarnya secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk
mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.
f. Faktor sistemik. Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (mis: demam,tirotoksikosis), hipoksia dan anemia peperlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.
Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.
16
Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung
17
9. Peningkatan JVP
10. Edema
11. Efusi pleura
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA).
18
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai
abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.
2.2.6 Patogenesis
Gagal Jantung diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa
berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
19
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa
jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis
ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme
kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi
ventrikel kiri. Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin-
Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)
peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap
normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac
output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus
karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf
sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik
Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas
duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat.Kemudian sinyal aferen juga
mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh
darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan
sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan
aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal
ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi
cairan dan garam pada gagal jantung yang lebih lanjut.4
20
Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan
remodeling ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit;
(2) perubahansubstansi kontraktil miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat
nekrosis, apoptosis dan kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergic;
(5) kelainan metabolism miokardium; (6) perubahan struktur matriks ekstraselular
miosit.Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa,
volume, bentuk, dan komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah
bentuk jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi
semakin meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload
yang mengurangi stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi
peningkatan end-diastolicwall stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke
subendokardium yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri; (2) peningkatan
stress oksidatif dan radikal bebas yang mengaktivasi hipertrofi
ventrikel.Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam
penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik.
Ketiga hal diatas berkontribusi dalam progresivitas penyakit gagal jantung.5
2.2.7 Diagnosis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal dua
21
kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor, kriteria minor
dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi
medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosishati, atau sindroma
nefrotik.
Kriteria mayor
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120/menit)
22
Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat
respirasi terhadap tekanan pCO2.Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada
saat penurunan pO2 arterial dan pCO2 arterial meningkat.Hal ini merubah
komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan,
mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase
apnea.Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien
sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
b. Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai
tekanan atrium kanan.Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika
pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 30°.Tekanan vena
jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya 5-2 cm) dengan
memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal.Pada
HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat
namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan
tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif).Gelombang v besar
mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
c. Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan. Jika
kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi
dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular
line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
d. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan
dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel
kanan dapat memiliki denyut Parasternal yang berkepanjangan meluas
hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada
pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan
takipneu, dan seringkali menandakan gangguan hemodinamika.Suara
jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik namun biasa ditemukan
23
pada pasien dengan disfungsi diastolic.Bising pada regurgitasi mitral dan
tricuspid biasa ditemukan pada pasien.
e. Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari
transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli.Pada pasien
dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan
paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac
asthma).Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru
sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu diketahui bahwa
rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan CHF kronis, bahkan
dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, hal ini
disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar.
Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan
mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura.Karena vena
pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering
terjadi dengan kegagalan biventrikuler.Walaupun pada efusi pleura
seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena
adalah rongga pleura kanan.
f. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF.Jika
ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat
berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi.Ascites sebagai
tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena
hepatica dan drainase vena pada peritoneum.Jaundice, juga merupakan
tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat
kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan
peningkatan bilirubin direct dan indirect.
g. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun
namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang
diterapi dengan diuretic.Edema perifer biasanya sistemik dan dependen
pada CHF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada
24
pasien yang mampu berjalan.Pada pasien yang melakukan tirah baring,
edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan
skrotum.Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan
pigmentasi ada kulit.
h. Cardiac Cachexia
Pada kasus CHF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan
berat badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari
cachexia pada CHF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor
dan termasuk peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan
muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut;
peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan
gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika
ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.
25
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV
yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana
sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale.
MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung
dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah
EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF
mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan.Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para
ahli.Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur
kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload.Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi
mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan
rendah.Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (>
50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara
bermakna (<30-40%).
2.2.10 Penatalaksanaan
26
3. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis,
miksedema, dan aritmia.
Digitalisasi
Dosis digitalis :
Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4-6 dosis
selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4 hari.
Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari.
Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut
yang berat :
Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
4. Menurunkan beban jantung.
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik dan
vasodilator.
a. Diet rendah garam
Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan diuretic,
digoksin dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE),
diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek.Untuk gagal
jantung kelas II dan III diberikan:
Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80 mg)
1. Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan
sinus
2. Penghambat ACE (captopril mulai dari dosis 2 X 6,25 mg atau
setara penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan secara bertahap
dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isorbid dinitrat (ISDN)
pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya
iskemia yang menetap, dosis dimulai 3 X 10-15 mg. Semua obat harus
dititrasi secara bertahap.
27
b. Diuretik
Yang digunakan furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20
mg. Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai
garam kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang
dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren,
amilorid, dan asam etakrinat. Dampak diuretik yang mengurangi
beban awal tidak mengurangi curah jantung atau kelangsungan, tapi
merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan
pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Penggunaan penghambat
ACE bersama diuretik hemat kalium harus berhati-hati karena
memungkinkan timbulnya hiperkalemia.
c. Vasodilator
Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 μg/kg BB/menit
iv.
Nitroprusid 0,5-1 μg/kgBB/menit iv
Prazosin per oral 2-5 mg
Penghambat ACE: captopril 2 X 6,25 mg
Isosorbid dinitrat (ISDN) 10 – 40 mg peroral atau 5 – 15 mg
sublingual setiap 4 – 6 jam
2.2.11 Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap buruk, dimana angka mortalitas
setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-
50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika
disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala
menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma
yang meningkat.Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah
mendadak.Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa
diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak
terdiagnosis.Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit
28
lainnya.Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat
menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.
29
BAB III
KESIMPULAN
Angina pektoris tidak stabil atau unstable angina (UA) adalah keadaan
pasien dengan gejala iskemia sesuai dengan sindroma koroner akut tanpa
terjadinya peningkatan enzim penanda iskemia jantung (CKMB, troponin) dengan
atau tanpa perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen ST,
inversi geombang T dan elevasi segmen ST yang transien).
Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses
aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok.
Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor-
faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya
menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting
dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses
inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan,
dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.
Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah
koroner dengan trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari
infark miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi
jantung.
Gagal jantung (heart failure) adalah kumpulan sindroma klinis yang
kompleks yang diakibatkan oleh gangguan struktur ataupun fungsi dan
menyebabkan gangguan pengisian ventrikel atau pemompaan jantung. . Disfungsi
yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik. Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien
dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada
30
pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau tricuspid. Tatalaksana gagal
jantung yakni dengan Farmakologi dan non farmakologi.
31
BAB IV
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Marikem Saragih
Usia : 78 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Protestan
Status : Menikah
Alamat : Jl Gn. Mas. No. 20. Medan Timur
No.RM : 006591
MRS : 22-07-2019
KRS : 26-07-2019
ANAMNESE
Keluhan Utama : Nyeri Dada
Telaah :
Pasien datang ke Rumah Sakit Putri Hijau dengan mengeluhkan nyeri pada
dada sebelah kiri yang dirasakan memberat 2 hari ini. Nyeri dirasakan menjalar ke
bahu leher dan sampai kebelakang tubuh pasien. Nyeri dirasakan berulang
dengan durasi >20 menit. Nyeri dirasakan tiba-tiba saat pasien tidak melakukan
aktivitas.
Pasien juga mengeluhkan sesak napas hingga sulit untuk berbicara dan
badan terasa lemas. Sesak dirasakan tidak menentu dan tidak menghilang ketika
pasien beristirahat.
Pasien juga mengalami batuk pada malam hari dan pernah terbangun
karena sesak. Pasien juga pernah mengalami stent jantung 10 tahun lalu.
Mual dan muntah (+), mudah lelah (+) lemas (+). BAK dan BAB dalam
batas normal.
32
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat stent jantung 10 tahun yang lalu
• Riwayat HT (+)
• Riwayat PJK (+)
• Riwayat minum OAT (-)
• Riwayat penyakit ginjal (-)
• Riwayat penyakit kuning (-)
• Riwayat mengkonsumsi obat-obatan(+)
• Riwayat Penyakit Keluarga (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign TD : 130/70 mmHg
Nadi : 88x/i
RR : 25x/i
Suhu : 36,5ºC
Kepala : normocephali (+), rambut putih, tidak mudah
dicabut, dan tersebar merata.
Mata : pupil isokor (+/+), konjungtiva anemis (-/-),
Hidung : dalam batas normal
Mulut : lidah basah, caries dentis (-), faring : hiperemis (-),
Tonsil: T1-T1 hiperemis (-)
Telinga: auricula normal, deformitas (-),serumen (-/-) nyeri (-).
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : sp.vesikuler (+/+), suara tambahan: whezzing (-)
ronkhi basah basal (+)
Punggung : DBN
Genetalia : TDP
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2
33
Pulmonal Coronal
Inspeksi : Inspeksi :
Pergerakan dinding dada simetris, Pulsasi ictus cordis terlihat
kelainan bentuk dada (-),
Palpasi : Palpasi :
Sterm fremitus simetris, massa (-) Pulsasi ictus kordisteraba
Perkusi : Perkusi :
Sonor dikedua lapang paru Batas Jantung Kanan Atas :
ICS II Linea Parasternalis Dextra
Batas Jantung Kanan Bawah :
ICS III-IV Linea Parasternalis Dextra
Batas JantungKiriAtas :
ICS II Linea Parasternalis Sinsitra
Batas Jantung Kiri Bawah :
ICS VI Linea Axilaris Anterior Sinistra
Auskultasi : Auskultasi :
Suara pernapasan : vesikuler Bunyijantung :
Suara tambahan : ronkhi basah I : Penutupan katub mitral dan tricuspid
basal (+) (normal)
II : Penutupan katub aorta dan pulmonal
Terdapat gallop s3
HR : 88x/i
Abdomen
– Inspeksi
Bentuk datar soefl, bekas luka (-) benjolan (-) pelebaran
pembuluh darah (-)
– Auskultasi
Bising usus (+) normal
– Perkusi
Timpani di seluruh lapang abdomen, ukuran hepar normal
34
– Palpasi
Nyeri tekan superfisial dan profunda (-), palpasi hepar, lien,
dan ginjal tidak ada pembesaran, asites (-)
Ekstremitas Atas dan Bawah
Akral Hangat, Oedem tungkai : (+/ +)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium: (22-07-2019)
DarahLengkap : Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 6.92 L: 13-16 g/dl
P: 12-14 g/dl
Eritrosit 4.60 4.50-6.50 . 106µL
Hematokrit 26.2 L: 40-48 %
P: 37-43%
Leukosit 3.060 5-10³/µl
Hitung Jenis :
Limfosit 34.28 15.20-43.30%
Monosit 13.74 5.50-13.70%
Neutrofil 44.55 43.50-73.50%
Eosinofil 6.65 0.80-8.10%
Basofil 0.77 0.20-1.50%
Trombosit 262.300 150-450. 10³/µl
Laju Endap Darah - L :<10mm P: <15mm
MCV 78.6 81-99 fL
MCH 26.1 27.0 – 31.0 pg
MCHC 33.3 31.0 – 37.0 g/dl
RDW 19.0 11.5 – 14.5 %
35
Pemeriksaan Kimia Klinik(22-07-2019)
Kimia Klinik : Hasil Nilai Rujukan
Bilirubin Total 0.23 < 1.2 mg/dL
36
EKG 22- 07– 2019
Irama : Sinus
Rate : 84x/i
Axis : Lead I (+), AVF (+) Normoaksis
PR interval : 0,15 detik (± 3,5kk)
Komples QRS : 0,08 detik (± 2kk)
QTC : 0,34 detik (± 8,5 kk)
Abnormalitas Gel. P : LAE (-), RAE (-)
Abnormalitas kompleks QRS : LVH (-), RVH (-)
KESAN EKG : NORMAL
37
FOTO THORAKS
DIAGNOSIS
UAP + CHF st IV ec PJK + HT
TERAPI di IGD
• O2 3L/i
• IVFD RL 20 gtt/i
• IVFD Kidmin /hari
38
• Inj Furosemid 1 Amp/12 jam
• Inj. Ranitidine 1 amp/8 jam
• NR 2 x 2,5 mg
• CPG 1x75 mg
• OMZ 2x20 mg
TERAPI di Ruangan
• IVFD RL 10 gtt/i
• IVFD Kidmin /24 jam
• Inj. Furosemid 1x1
• Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam NR 2x2,5 mg
• CPG 1x75 mg
• OMZ 2x20 mg
• ISDN (extra)
• Candesartan 1x16 mg
• Allopurinol 1x300 mg
• Ambroxol 3x1
• Bisoprolol 1x1
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
EDUKASI
1. Istirahat
2. Berikan instruksi spesifik tentang obat dan efek sampingnya
3. Belajar untuk rileks dan mengendalikan stress
4. Batasi atau tidak mengkonsumsi alkohol
5. Jika mengalami obesitas turunkan berat badan hingga kisaran normal
39
6. Anjurkan pada klien untuk menghentikan atau mengurangi aktifitas selama
ada serangan dan istirahat
7. Menjalani diet yang sesuai anjuran dokter
8. Olahraga secara teratur
40
DAFTAR PUSTAKA
4. Lupón, J.; Valle, V.; Marrugat, J., et al. Six-month outcome in unstable
angina patients without previous myocardial infarction according to the use of
tertiary cardiologic resources, Journal of the American College of Cardiology.
1999, 34, 1947-1953.
5. Meune, C.; Balmelli, C.; Twerenbold, R., et al. Patients with acute coronary
syndrome and normal high-sensitivity troponin, The American journal of
medicine. 2011, 124, 1151-1157.
6. Yusuf, S.; Pogue, J.; Anand, S., et al. Effects of recombinant hirudin
(lepirudin) compared with heparin on death, myocardial infarction, refractory
angina, and revascularisation procedures in patients with acute myocardial
ischaemia without ST elevation: a randomised trial, Lancet. 1999, 353, 429-
438.
41