Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN KOMPLIKASI MALNUTRISI ON HEMODIALISA di


RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal

Oleh Kelomok 3 :

Khabiba Puswita Sari


(NIM. 1814314901003)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN


CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN KOMPLIKASI MALNUTRISI ON HEMODIALISA di
RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG

DEPARTEMEN MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh : 1. Khabiba Puswita Sari (NIM. 1814314901003)

Program Studi : Profesi Ners

Instansi : STIKes Maharani Malang

Malang, 2018

Disetujui Oleh :

Pembimbing Instansi Pembimbing Klinik

(..............................................) (.............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN KOMPLIKASI MALNUTRISI ON HD

1. KONSEP CHRONIC KIDNEY DISEASE


1.1 Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah salah satu penyakit tidak menular, merupakan keadaan
gangguan fungsi ginjal yang bersifat menahun berlangsung progresif dan irreversible(tidak
dapat kembali ke keadaan semula). Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Selama gagal ginjal kronik,
beberapa nefron termasuk glomeruli dan tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain
sudah rusak dan tidak berfungsi lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami
hipertrofi dan menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi tubula juga meningkat
walaupun laju filtrasi glomerulos berkurang. Kompensasi nefron yang masih utuh dapat
membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat nefron yang rusak
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain (Suwitra, 2006) :
a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi :
 kelainan patologis
 terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah dan urin
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3
bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit
ginjal kronik
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi menurut CKDNational Kidney Foundation-K/DOQI :
a. Stadium 1 (Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat) : ≥ GFR= 90ml/mnt/1,73
m2
b. Stadium 2 (Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan) : GFR= 60-89ml/mnt/1,73
m2
c. Stadium 3 (Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang) : GFR= 30-59ml/mnt/1,73
m2
d. Stadium 4 (Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat) : GFR= 15-29ml/mnt/1,73
m2
e. Stadium 5 (dialisis Gagal ginjal): GFR= < 15ml/mnt/1,73 m2

Rumus Perhitungan GFR :

 Pria

GFR (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) × berat badan


72 × kreatinin plasma (mg/dl)

 Wanita
pada wanita sedikit berbeda,

GRF (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) x berat badan x 0,85


72 × kreatinin plasma (mg/dl)

1.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab
penyakit ginjal kronik antara lain:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang sering
berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan hanya jenis
tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua
mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit
kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator
inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan
perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.
Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin
asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab
utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
syaraf, jantung dan pembuluh darah. Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM
cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun
makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang
bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000
menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal
kronik dengan insidensi 18,65%
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.Penyakit ginjal
hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi
esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik (Kristanto, 2001)
Penyebab lain dari gagal ginjal kronis meliputi:
a. Adanya infeksi : pielonefritis kronik. Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu
atau kedua ginjal.
b. Mempunyai penyakit peradangan : Glumerulonefritis
c. Penyakit vascular hipertensi : nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna stenosis
arteria renalis. Nefrosklerosis Maligna adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan
tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), maligna atau penurunan tekanan darah yang
berlebihan menyebabkan aliran darah ginjal berkurang sehingga arteri-arteri yang
terkecil (arteriola) di dalam ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal
ginjal.
d. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistematik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistematik progresif. Lupus ini terjadi ketika antibodi dan komplemen terbentuk
di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses peradangan yang biasanya menyebabkan
sindrom nefrotik (pengeluaran protein yang besar) dan dapat cepat menjadi penyebab
gagal ginjal.
e. Gangguan kongerital dan hereditas : penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
f. Penyakit metabolic : hipertensi,diabetes militus, gout, hiperparatiroidisme, amyloidosis
(Price&Wilson, 2006)
Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara bertahap dan menyebabkan
gagalnya ginjal. Apabila seseorang menderita gagal ginjal akut yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan, maka akan terbentuk gagal ginjal kronik.

1.4 Faktor risiko


Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko mengalami CKD:
 Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga
 Bayi dengan berat badan lahir rendah
 Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau serangan akut
lainnya pada ginjal
 Hipoplasia atau displasia ginjal
 Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
 Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan
parut di ginjal
 Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
 Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
 Riwayat menderita purpura Henoch-Schőnlein
 Diabetes Melitus
 Lupus Eritermatosus Sistemik
 Riwayat menderita hipertensi
 Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid (Suhardjono dkk, 2001)

1.5 Patofisiologi (Terlampir)

1.6 Manifestasi Klinis


Menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik didapat antara
lain :
a. Ginjal dan sistem urin
semula perubahan berupa tekanan darah rendah, mulut kering, tonus kulit hilang, lesu,
lelah, mual dan terakhir bingung. Karena ginjal kehilangan kesanggupan
mengekskresikan natrium, penderita akan mengalami retensi natrium dan kelebihan
natrium, sehingga penderita mengalami iritasi dan menjadi lemah. Keluaran urin
mengalami penurunan serta mempengaruhi komposisi kimianya.
b. Kardiovaskuler
 Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktifitas sistem
renin – angiotensin – aldosteron.
 Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung
koroner (akibat aterosklerosis yang timbul dini), dan gagal jantung (akibat
penimbunan cairan dan hipertensi).
 Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan klasifikasi
metastastik.
 Edema akibat penimbunan cairan.
c. Integumen
 Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urochrome.
 Gatal – gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di
pori – pori kulit.
 Echymosis akibat gangguan hematologik.
 Urea fost : akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat.
 Bekas – bekas garukan karena gatal
d. Pulmoner
Paru –paru mengalami perubahan dengan sangat rentan terhadap infeksi, terjadi
akumulasi cairan, kesakitan pneumonia serta kesulitan bernafas karena adanya gagal
jantung kongesif. Gejala lainnya berpa suara napas krekles, sputum kental dan liat,
napas dangkal, pernafasan kussmaul.
e. Gastrointestinal
 Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein di dalam usus, terbentuknya zat –zat toksik akibat metabolisme bakteri usus
seperti amonia dan metil guanidin, serta sembabnya mukosa usus.
 Foetor uremicum disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia. Akibat yang lain
adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
 Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti belum diketahui.
 Gastritis erosevia, ulkus peptikum dan kolitis uremika.
f. Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa
panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
g. Muskuloskeletal
 “restless leg syndrome” : penderita merasa pegal di tungkai bawah dan selalu
menggerakkan kakinya.
 “burning feet syndrome” : rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak
kaki.
 Ensofalotpati metabolik :
1. Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi.
2. Tremor, asteriksis, mioklonus.
3. Kejang – kejang.
 Miopati : kelemahan dan hipotrofi otot – otot terutama otot – otot proksimal
ekstremitas.
h. Perubahan darah
 Anemia normokrom, normositer.
1. Berkurangnya produksi eritropetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada
sumsum tulang menurun .
2. Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana toksik
uremia.
3. Defisiensi besi, asam folat, akibat nafsu makan yang berkurang.
4. Perdarahan pada saluran pncernaan kulit.
5. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroit sekunder.
 Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
1. Masa pendarahan memanjang.
2. Perdarahan akibat agregasi & adhesi trombosit yang berkurang serta
menurunnya faktor trombosit III ADP (adenosine fosfat).
 Gangguan leukosit.
1. Hipersegmentasi lekosit.
2. Fagositosis dan kemotaksis berkurang, hingga memudahkan timbulnya
infeksi.
i. Kelenjar endokrin
 Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki – laki akibat
produksi testoseron dan spermatogenesis yang menurun, juga dihubungkan dengan
metabolit tertentu (zink, hormon paratiroit). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai ameorrhoe.
 Gangguan toleransi glukosa.
 Gangguan metabolisme lemak.
 Gangguan metabolisme vitamin D.
j. Gangguan lainnya
 Tulang : osteoditrofirenal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis, dan
klasifikasi metastatik.
 Asam basa : asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme.
 Elektrolit : hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Karena pada gagal ginjal
kronik telah terjadi gangguan keseimbangan homeostatik pada seluruh tubuh maka
gangguan pada suatu sistim akan mempengaruhi sistim lain, sehingga suatu
gangguan metabolik dapat menimbulkan kelainan pada berbagai sistem / organ
tubuh.

1.7 Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan untuk menetapkan adanya gagal ginjal kronik,


menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat gagal ginjal kronik, menetapkan
gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Gambaran laboratorium penyakit
ginjal kronik meliputi:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, hipertensi, Lupus eritomatosus sistemik (LES)
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah.
d. Kelainan urinalisasi meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria (Mansjoer, 2002)

Pemeriksaan – pemeriksaan yang umumnya dianggap menunjang kemungkinan adanya


suatu gagal ginjal kronik adalah :

 Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemi dan hipoalbuminemia.
 Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang menurun.
 Ureum darah dan kreatinin serum meninggi.
 Biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin lebih kurang 20 : 1. Perbandingan ini
bisa meninggi (ureum > kreatinin) pada perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar
luas, penyakit berat dengan hiperkatabolisme, pengobatan steroid dan obstruksi saluran
kemih. Perbandingan ini berkurang (ureum > kreatinin), pada diet rendah protein (TKU)
dan tes kliren kreatinin (TKK) menurun.
 Hiponatremia, umumnya karena kelebihan cairan.
 Hiperkalemia biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut (TKK < 5 ml/menit) bersama
dengan menurunnya diuresis. Hipokalemia terjadi pada penyakit ginjal tubuler atau
pemakaian diuretik yang berlebihan.
 Hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
 Hipokalsemia terutama terjadi akibat berkurangnya absorbsi kalsium di dalam usus halus
karena berkurangnya sintesis 1,25 (OH)2. Hiperfosfatemia terjadi akibat gangguan fungsi
ginjal sehingga pengeluaran fosfor berkurang. Antara hipokalasemia, hiperfosfatemia,
vitamin D, parathormon serta metabolisme tulang terdapat hubungan saling
mempengaruhi.
 Fosfatase lindi meninggi, akibat gangguan metabolisme tulang, yang meninggi terutama
isoensim fosfatalase lindi tulang.
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia umumnya disebabkan gangguan metabolisme
dan diit yang tidak cukup / rendah protein.
 Peninggian gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal ginjal, yang
diperkirakan desebabkan oleh intoleransi terhadap glukosa akibat resistensi terhadap
pengaruh insulin pada jaringan perifer dan pengaruh hormon somatotropik.
 Hipertrigliseridemia, akibat gangguan metabolisme lemak, yang disebabkan oleh
peninggian hormon insulin, hormon somatotropik dan menurunnya lipapase lipoprotein.
 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang menurun, “base
exercise” (BE) yang menurun, HCO³ yang menurun dan PCO₂ yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam –asam organik pada gagal ginjal dan kompensasi paru – paru
(Mansjoer, 2002)

1.8 Penatalaksanaan konservatif antara lain yaitu :


1. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi
dan memperlambat perkembangan penyakit.
Langkah yang dilakukan adalah mencari faktor – faktor pemburuk pada gagal ginjal kronik:
 Infeksi traktus urinarius.
 Obstruksi traktus urinarius.
 Hipertensi.
 Gangguan perfusi/aliran darah ginjal.
 Gangguan elektrolit.
 Pemakaian obat – obat nefrotoksik, termasuk bahan kimia dan obat tradisional.
Agen alkalinisasi (seperti natrium bikarbonat atau larutan Shohl), pertukaran kation
resin mengikat kalium, antibiotik, antasid alumunium hidroksida atau alumunium karbonat
untuk mengikat fosfor, agen antihipertensi, dan diuretetik merupakan tindakan pengobatan
yang paling sering digunakan.
Dialisis diperlukan bila langkah – langkah ini, yang dikombinasikan dengan
pembatasan diet, tidak cukup untuk mencegah atau mengontrol hiperkalemia, kejenuhan
cairan, uremia simtomatik (mengantuk, mual, muntah dan tremor), atau kenaikan yang
cepat dari kadar BUN dan kreatinin. Walaupun hemodialisis banyak digunakan, semakin
banyak jumlah pasien yang memakai CAPD (chronic ambulatory peritoneal dialysis) atau
CCPD (continuous cycling peritoneal dialysis), yang dilakukan setiap hari dan sangat
populer karena mudah dilakukan untuk pasien rawat jalan.

2. Penatalaksanaan dengan memperhatikan asupan gizi


Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang telah berlangsung lama.
Gejala – gejalanya secara umum disebut sindroma uremik, gejala utamanya adalah gejala
gastro intestinal seperti rasa mual , muntah dan menurunnya nafsu makan. Sehingga
penderita umumnya berada dalam status gizi kurang. Penelitian terbatas terhadap status
gizi penderita gagal ginjal kronik tanpa hemodialisis menunjukan bahwa dengan
pengukuran antropometri 42,9% penderita berstatus gizi baik, 50% penderita berada
dalam status gizi kurang dan 7,1% berada dalam status gizi buruk.

Kebutuhan makanan yang mempengaruhi gagal ginjal kronik (Hartono A, 2004):

1. Asupan protein yang konsisten dan terkendali adalah penting.


 Protein tetap diperlukan sebagai zat pembangun tetapi asupan terlalu banyak
dapat menyebabkan kadar BUN meningkat dan gejala uremia kembali. Oleh
karena itu, ukuran porsi sebaiknya ditimbang atau diukur terlebih dahulu dan
sesudah itu secara periodik di cek ketepatannya.
 Kebutuhan protein dipenuhin secara tersebar sepanjang hari, jangan hanya
diberikan dalam satu hidangan.
2. Asupan kalori yang cukup adalah penting.
 Kalori yang terlalu rendah akan meningkatkan katabolisme.
 Bahan makanan sumber kalori tanpa protein, seperti mentega, minyak dan kue
– kue manis yang diperbolehkan dapat diberikan secara bebas.
3. Bagi yang memerlukan pembatasan cairan.
 Sumber cairan termasuk juga makanan yang mencair pada temperatur kamar.
 Cara yang mudah untuk mengukur masukan cairan adalah menggunakan air
yang berisi kebutuhan cairan total perhari dan menempatkan pada lemari es.
Cairan yang dikonsumsi, sesuai dengan jumlah air yang ada dalam kan.
 Untuk mengurangi haus, cobalah :
a) Permen (hard candies).
b) Air yang sangat dingin bukan air biasa.
c) Kumur dan jaga kebersihan mulut yang baik.
4. Bagi yang memerlukan pembatasan kalium.
 Kebutuhan kalium didasarkan pada data laboratorium dan gejala klinik, bahkan
makanan disesuaikan dengan kesukaan / kebiasaan makanan pasien.
 Cara mengurangi kandungan kalium pada sayuran dan buah – buahan : potong
kecil – kecil, rendam satu malam, dan rebus dalam air yang baru.
 Ukuran porsi dibuat khusus sehingga setiap porsi mengandung kira – kira
jumlah protein, natrium dan kalium yang sama.
5. Pasien gagal ginjal yang dianjurkan banyak makan makanan manis (tinggi CHO) untuk
mencakupi asupan kalori, perlu diberi anjuran memperhatikan higinie mulut untuk
menghindari caries gigi.
6. Salah satu gejala sindroma uremik adalah menurunnya nafsu makan, maka pasien
dianjurkan untuk makan pagi yang baik. Karena uremia dapat mengakibatkan indra
cita rasa, pasien mungkin memilih makanan yang sangat berbumbu.

Seiring penderita gagal ginjal kronik mengalami mual dan muntah oleh karena itu
porsi makanan diusahakan kecil tapi bernilai gizi dan diberikan dalam frekuensi yang lebih
sering. Makanan dihidanhkan secara menarik, bervariasi, sesuai dengan kebutuhan
penderita. Karena penderita sering mengalami malnutrisi maka perlu diperhatikan asupan
energi dan protein. Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber energi.
Pemenuhan asupan energi terutama diperoleh dari bahan makanan pokok. Masukan yang
adekuat sangat diperlukan untuk mencapai status gizi optinal.

Keadaan gizi penderita gagal ginjal kronik sangat penting untuk dipertahankan dan
ditingkatkan . Tujuan diet untuk pasien gagal ginjal kronik adalah :
1. Mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan juga
mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara dialysis.
2. Memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh.
3. Mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan oedem.
4. Membatasi asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia.
5. Mengatur asupan cairan, untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan di antara
dialysis.
6. Membatasi asupan phospor.
7. Mencukupi kebutuhan zat –zat gizi lainnya terutama vitamin – vitamin yang larut
dalam proses dialisis.

Syarat diet :

 Energi cukup yaitu 30 - 35 kkal/kg BB. Asupan energi harus harus optimal dari
golongan bahan makanan non protein. Ini dimaksudkan untuk mencegah gangguan
protein sebagai sumber energi, bahan – bahan ini biasa diperoleh dari minyak,
mentega, margarin, gula, madu, sirup, jamu dan lain – lain.
 Protein 0,6 - 0,75 g/kg BB. Pembatasan protein dilakukan berdasarkan berat badan,
derajat insufisiensi renal, dan tipe dialisis yang akan dijalani. Protein hewani lebih
dianjurkan karena nilai biologisnya lebih tinggi ketimbang protein nabati. Mutu protein
dapat ditingkatkan dengan memberikan asam amino esensial murni.
1. Diet protein rendah I : 30 g protein , untuk BB 50 kg.
2. Diet protein rendah II : 35 g protein, untuk BB 60 kg.
3. Diet protein rendah III : 40 g protein, untuk BB 65 kg

Sumber protein ini biasanya dari golongan hewani misalnya telur, daging, ayam, ikan,
susu, dan lain dalam jumlah sesuai anjuran. Untuk meningkatkan kadar albuminnya
diberikan bahan makanan tambahan misalnya ekstrak lele atau dengan putih telur 4
kali sehari.

 Lemak cukup 20 – 30 % dari total kebutuhan energi total. Diutamakan lemak tidak
jenuh ganda. Perbandingan lemak jenuh dan tk jenuh adalah 1:1.
 Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang berasal dari
protein dan lemak. Karbohidrat yang diberikan pertama adalah karbohidrat kompleks.
 Natrium yang diberikan antara 1 – 3 g. Pembatasan natrium dapat membantu
mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan cairan.
Bahan makanan tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain : bahan makanan
yang dikalengkan. Garam natrium yang ditambahkan ke dalam makanan seperti
natrium bikarbonat atau soda kue, natrium benzoate atau pengawetan buah, natrium
nitrit atau sendawa yang digunakan sebagai pengawet daging seperti pada “corner
beff”.
 Kalium dibatasi (40 – 70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium daarah > 5,5 mEq),
oligura, atau anuria. Makanan tinggi kalium adalah umbi, buah – buahan, alpukat,
pisang ambon, mangga, tomat, rebung, daun singkong, daun papaya, bayam, kacang
tanah, kacang hijau dan kacang kedelai.
 Kalsium dan Phospor hendaknya dikontrol keadaan hipokalsium dan
hiperphosphatemi, ini untuk menghindari terjadinya hiperparathyroidisme dan
seminimal mingkin mencegah klasifikasi dari tulang dan jaringan tubuh. Asupan
phosphor 400 – 900 ml/hari, kalsium 1000 – 1400 mg/hari.
 Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernapasan ( ± 500 ml )
 Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam folat , vitamin C, dan
vitamin D (Almatsier, 2007)

Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan :

Bahan makanan Dianjurkan Tidak dianjurkan / dibatasi


Sumber karbohidrat Nasi, bihun, jagung, kentang,
makaroni, mie, tepung – tepungan,
singkong, ubi, selai, madu,
permen.

Sumber protein Telur, daging, ikan, ayam, susu. Kacang – kacangan dan hasil
olahannya, seperti tempe dan
Minyak jagung, minyak kacang tahu.
Sumber lemak tanah, minyak kelapa sawit, Kelapa, santan, minyak kelapa;
minyak kedelai; margarin dan margarin, mentega biasa dan
mentega rendah garam. lemak hewan.

Sumber vitamin dan Semua sayuran dan buah, kecuali Sayuran dan buah tinggi kalium
mineral pasien dengan hiperkalemia pada pasien dengan
dianjurkan yang mengandung hiperkalemia.
kalium rendah / sedang.
A. Terapi pengganti ginjal
1. Dialisis
Dialisis ada 2 macam , prinsip kerjanya berdasarkan proses difusi osmosis:
 Hemodialisis :
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan
mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari
fungsi ekskresi ginjal.
 Peritoneal dialisis :
Dialisis peritoneal adalah prosedur lain yang menghilangkan limbah, bahan kimia, dan air
ekstra dari tubuh Anda. Jenis dialisis ini menggunakan lapisan perut Anda, atau perut, untuk
menyaring darah Anda. lapisan ini disebut membran peritoneal dan bertindak sebagai ginjal
buatan.
Sisa metabolisme (racun –racun seperti ureum dan kreatinin) akan berpindah dari
pasien ke cairan dialisat setelah melalui membran tersebut, sehingga darah pasien
menjadi bersih.Pada gagal ginjal kronik diperlukan terapi cuci darah seumur hidup sebagai
terapi pengganti ginjal kecuali dilakukan operasi cangkok ginjal untuk mengganti ginjal
yang rusak.
Idealnya cuci darah dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu. Apabila pasien ingin
mengurangi frekuensi dialisis, maka harus membatasi diet protein dan air lebih ketat, yang
mempunyai konsekuensi terjadi malnutrisi kurang disarankan. Penundaan cuci darah
dapat berisiko terjadi komplikasi seperti pembengkakan paru – paru, kejang – kejang,
penurunan kesadaran, gangguan elektrolit yang berat, perdarahan saluran cerna, gagal
jantung bahkan bisa menimbulkan kematian.
2. Penatalaksanaan dengan transplantasi ginjal atau pencangkokan ginjal
Transplatasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal yang melibatkan pencangkokan
ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang membutuhkan. Transplatasi ginjal
adalah terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal ginjal kronik. Transplatasi
ginjal menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Transplatasi ginjal biasanya diletakkan di fossa iliaka bukan diletakkan di tempat ginjal
yang asli, sehingga diperlukan pasokan darah yang berbeda, sepeerti arteri renalis yang
dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena renalis yang dihubungkan ke vena iliaka
ekstema.
Terdapat sejumlah komplikasi setelah transplatasi, seperti penolakan (rejeksi), infeksi,
sepsis, gangguan poliferasi limfa pasca transplatasi, ketidakseimbangan elektrolit.

1.9 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2001) yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebihan
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-angiostensin-
aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialysis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

2. MALNUTRISI PADA PASIEN DIALISIS


2.1 Pendahuluan
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) yang belum
memerlukan dialisis merupakan bagian dari pengelolaan konservatif penderita PGK. Tujuan
penatalaksanaan nutrisi pada penderita pra-dialisis adalah mencegah timbunan nitrogen,
mempertahankan status gizi yang optimal untuk mencegah terjadinya malnutrisi, menghambat
progresifitas kemunduran faal ginjal serta mengurangi gejala uremi dan gangguan
metabolisme.Status nutrisi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan pada saat penderita
membutuhkan inisiasi dialisis karena merupakan prediktor untuk hasil akhir yang bisa dicapai
dan adanya malnutrisi protein-energi merupakan faktor risiko mortalitas. Tergantung pada
petanda nutrisi yang digunakan dan populasi yang diteliti,diperkirakan 50%-70% penderita
dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Dibutuhkan kerjasama antara dokter,
perawat dan ahli gizi dalam edukasi perubahan pola diit antara masa sebelum dan sesudah
menjalani dialisis, penatalaksanaan kebutuhan nutrisi serta mengatasi faktor-faktor yang ikut
berperan dalam terjadinya malnutrisi.
2.2 Malnutrisi
Malnutrisi protein-energi atau protein-energy malnutrition (PEM) adalah kondisi
berkurangnya protein tubuh dengan atau tanpa berkurangnya lemak, atau suatu kondisi
terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan
dan kebutuhan nutrient, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai gangguan metabolik,
penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh. Dengan demikian, PEM yang terjadi
pada pasien PGK yang menjalani dialisis seharusnya dapat diperbaiki dengan memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Pada dasarnya malnutrisi disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang,
kehilangan nutrient meningkat, dan atau katabolisme protein yang meningkat. Dalam keadaan
normal, inflamasi adalah suatu respon yang bersifat protektif. Ini merupakan mekanisme
pertahanan penting pada injury akut, dan biasanya akan berkurang ketika terjadi perbaikan.
Akan tetapi inflamasi menjadi berbahaya bila terjadi kronis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
pada pasien dialisis yang malnutrisi didapatkan peningkatan petanda inflamasi dan sitokin-
sitokin pro-inflamasi seperti CRP dan IL-6. Adanya inflamasi dikaitkan dengan anoreksia yang
terjadi pada pasien dialisis. Inflamasi kronis juga bisa meningkatkan kecepatan penurunan
protein otot skeletal ataupun yang ada dijaringan lain, mengurangi otot dan lemak,
menyebabkan hipoalbumin dan hiperkatabolisme dimana kesemuanya tadi akan
menyebabkan kidney disease wasting (KDW). Adanya status nutrisi yang buruk akan
menyebabkan penderita malaise dan fatigue, rehabilitasi jelek, penyembuhan luka terganggu,
kepekaan terhadap infeksi meningkat dan angka rawat tinggal dan mortalitas juga meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PEM:


1. Asupan nutrisi kurang
a. Restriksi diit berlebihan
b. Pengosongan lambung lambat dan diare
c. Komorbid medis lainnya
d. Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
e. Asupan makanan lebih menurun pada hari-hari dialisis
f. Obat-obat yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat besi)
g. Dialisis tidak adekuat
h. Depresi
2. Perubahan sensasi rasa
a. Kehilangan nutrient meningkat
b. Kehilangan darah melalui saluran cerna
c. Kehilangan nitrogen intradialytic
3. Katabolisme protein meningkat
a. Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
b. Komorbid medis lain
c. Asidosis metabolik
d. Katabolisme yang dikaitkan dengan hemodialisis
e. Disfungsi dari the growth hormone-insulin growth factor endocrine axis
4. Efek katabolik beberapa hormon (hormon parathyroid, kortisol, glukagon)
Malnutrisi pada pasien dialisis juga menyebabkan konsekwensi klinis penting
lainnya. Anemia lebih sering terjadi pada pasien dialisis yang juga menderita malnutrisi
dan atau inflamasi, dan respon terhadap erythropoietin yang minimal biasanya
dikaitkan dengan tingginya kadar sitokin pro-inflamasi. Pada pasien dialisis yang juga
menderita penyakit jantung koroner (PJK) seringkali didapatkan hipoalbumin dan
peningkatan kadar petanda inflamasi. Baik pada populasi umum maupun pasien
dialisis, peningkatan indikator inflamasi seperti CRP merupakan prediktor kuat
terhadap kejadian kardiovaskuler. Hubungan antara status nutrisi yang buruk,
inflamasi yang terus berlangsung dan aterosklerosis pada pasien dialisis ini dikenal
sebagai malnutrition-inflamation-atherosclerosis (MIA) syndrome. Pada pasien dialisis,
hubungan antara kondisi gizi yang buruk dan dampaknya pada penyakit
kardiovaskuler ini memberi data epidemiologi yang berbeda atau terbalik bila
dibandingkan dengan populasi umum, dan ini dikenal sebagai reverse epidemiology.
Di Negara-negara industri atau makmur, PEM jarang menyebabkan dampak buruk
pada populasi umum, justru overnutrition dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler dan kelangsungan hidup yang lebih pendek. Hal sebaliknya terjadi
pada pasien hemodialisis, undernutrition justru merupakan salah satu faktor risiko
utama untuk kejadian kardiovaskuler. Begitu pula untuk parameter lainnya, pada
populasi umum body mass index (BMI) yang rendah dan kadar kolesterol serum yang
rendah akan menurunkan kejadian kardiovaskuler dan memperbaiki angka
kelangsungan hidup, tetapi pada pasien dialisis justru meningkatkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler. Pada pasien dialisis, obesitas, hiperkolesterolemia dan
hipertensi justru dikaitkan dengan angka kelangsungan hidup yang lebih panjang.
Mungkin dibutuhkan suatu standar atau target tersendiri untuk faktor-faktor risiko
tradisional penyakit kardiovaskuler (BMI, kolesterol serum, tekanan darah) pada
pasien dialisis, terutama yang menderita PEM.
2.3 Penetapan Status Nutrisi
Menetapkan dan memonitor status nutrisi protein-energi pasien dialisis merupakan
kegiatan penting dengan tujuan untuk mencegah, mendiagnosis serta mengobati PEM.
Status nutrisi protein-energi pada dasarnya menggambarkan status kwantitatif dan kwalitatif
protein, baik komponen visceral (non otot) maupun somatik (otot), serta status keseimbangan
energi. Sampai dengan sekarang secara definitif belum ada cara tunggal yang bisa dianggap
sebagai standar emas untuk menilai status nutrisi maupun menilai respon intervensi nutrisi.
Dewasa ini didapatkan banyak cara untuk menetapkan status nutrisi, sehingga disesuaikan
dengan sarana yang ada, bisa dilakukan sebanyak mungkin cara yang bisa membantu
menetapkan status nutrisi pasien dialisis. Metode dan cara untuk menetapkan adanya PEM
pada pasien yang menjalani dialisis, secara klasik dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: penilaian
terhadap selera makan dan asupan makanan (assessment of appetite and dietary intake),
penilaian berdasarkan pemeriksaan biokimiawi dan laboratorium (biochemical and laboratory
assessment), pengukuran komposisi tubuh (body composition measures), dan sistim skoring
nutrisi (nutritional scoring system).
HEMODIALISA

1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease
(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah
untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
2. Tujuan Hemodialisis
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme
dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
 Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
 Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
 GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
 Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea dan muntah.
 Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
 Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
 Komplikasi metabolik yang refrakter

4. Kontra Indikasi Hemodialisis


Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik
dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer,
demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan
keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)

5. Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisis

a. Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata
atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke
dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner &
Suddarth, 2002).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:
 kompartemen darah
 kompartemen cairan pencuci (dialisat)
 ginjal buatan (dialiser).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser).

a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah,
makin banyak yang berpindah ke dialisat. Mekanisme difusi bertujuan untuk
membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification),
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmolitas
dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam darah
dan dialisat. Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan
dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan
cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan
konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.
Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran
dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan Madjid, 2009).
b. Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa
Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja dialyzer
dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses
hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer
dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena mudah
diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh tubuh. Ada
3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh faktor kebutuhan
pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan
hemodialisa, yaitu :
(1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg
selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 750-1250
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan
1 jam sebelum hemodialisa selesai.

(2) Routine repeated bolus

Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa
dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg berulang-
ulang sampai hemodialisa selesai.

(3) Tight heparin (heparin minimal)

Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan sampai
sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah daripada routine
continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai.
Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung.
Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.

b. Heparin-free dialysis (Saline)


Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau tidak
boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan normal saline
100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri setiap 15-30 menit
sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit untuk dipertahankan karena
membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250 ml/menit), dialyzer yang memiliki
koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan pengendalian ultra filtrasi yang baik.
c. Regional Citrate
Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakan untuk menggantikan
Heparin-free dialysis. Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang
mengalami perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang
tidak boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan
terjadinya pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa menggunakan
heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar ion kalsium dalam darah. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan infuse trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan
dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang bebas kalsium. Namun
demikian, akan sangat berbahaya apabila darah yang telah mengalami proses
hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan kadar kalsium yang rendah.
Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan
dengan arteri sebaiknya juga diimbangi dengan pemberian kalsium klorida dalam
selang yang berhubungan dengan vena (Swartzendruber et al., 2008)

c. Asupan makanan, cairan dan elektrolit selama proses hemodialisa


Asupan makanan pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi
ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu, asupan
protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari, asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat
adanya penurunan fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.
Kemudian,jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari (Suwitra, 2006).
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.Asupan natrium dibatasi 40-120
meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Selain itu, apabila asupan
natrium terlalu tinggi akan menimbulkan rasa haus yang memicu pasien untuk terus
minum,sehingga dapat menyebabkan volume cairan menjadi overload yangmengarah
pada retensi cairan. Asupan fosfat juga harus 600-800mg/hari (Pastans dan Bailey, 1998).

d. Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa


a) Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 4 jam(Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhioleh tingkat uremia akibat
progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat (Swartzendruber et al., 2008).
Namun demikian, semakin lama proses hemodialisis, maka semakin lama darah
berada diluar tubuh, sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan
konsekuensi sering timbulnya efek samping (Roesli, 2006).
Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam sampai dengan
15 jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target Kt/Vyang harus dicapai
adalah 1,2 dengan rasio reduksi ureum 65% (NKFDOQI, 2006). Rekomendasi dari
PERNEFRI (2003) targetKt/Vadalah 1,2 untuk hemodialisis 3 kali seminggu selama 4
jam setiap hemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis 5 jam setiaphemodialisis. RRU
yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakan hemodialisis (PERNEFRI, 2003).
Dosis hemodialisis yang berdasarkantarget Kt/V bisa dihitung dengan rumus generasi
kedua dari rumusDaugirdas yaitu:
Kt/V =-Ln( R-0,008 x t ) + ( 4–3,5 x R ) x UF/W

Keterangan :

a. Ln adalah logaritma natural


b. R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum hemodialysis
c. T adalah lama waktu hemodialysis
d. UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter
e. W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis
Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga dihitungberdasarkan
RRU.

b) Kecukupan dosis hemodialisa


Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio
(URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio
antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pasca dialisis dengan
kadar ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitungan nilai Kt/V juga memerlukan kadar
ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis dalam
satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa
dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai
Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al., 2008).
e. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis,
fistula dan tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai
melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat
dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan
sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada
lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis)
pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi
matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan
agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat
menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam
pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.
Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur
dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi,
material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya
tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan
fistula.

f. Sistem Kerja Dializer


Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a) Pararel plate dialyzer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua penyokong.
Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisa dapat mengalir
dalam arah yang sama seperti darah, atau dengan daerah berlawanan.
b) Hollow Fiber atau capillary dialyzer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan dialisa
membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan dengan arah aliran darah.
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan
dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita melalui tabung plastik
(jalur arteri), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke penderita melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir
di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara
darah dan dialisat terjadi di sepanjang membrane dialisis melalui proses difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri
dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat, dan
fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-
unsur ini tidak terdapat dalam cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan
menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat
dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi bikarbonat. Glikosa dalam konsentrasi
yang rendah (200 mg/100 ml) ditambahkan ke dalam bak dialisis untuk mencegah
difusi glukosa ke dalam bak dialisis yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infuse
lambat untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung udara dalam jalur
vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke aliran darah. Waktu yang
dibutuhkan seseorang untuk melakukan hemodialisa adalah tiga kali seminggu,
dengan setiap kali hemodialisa 3 sampai 5 jam.

6. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.


b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan
kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih besar jika
terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang
ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

7. Nyeri dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5 % dari keseluruhan hemodialisis
(Holley, 2007). Lebih lanjut daurgirdas, 2008 menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat
hemodialisis ferekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada
pasien akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan
(Kallenbach, et all, 2005). Perubahan dalam volume darah menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri
dada juga bisa menyertai kompilkasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et all, 2005,
Thomas, 2003).
Nyeri dada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat
menyebabkan penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser sehingga
menyebabkan penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit dalam tubuh yang
bersama dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat mengakibatkan hipovolemik dan
dapat terjadi nyeri dada pada pasien dengan CKD.

Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan penurunan


curah jantung, gangguang rasa nyaman, dan intoleransi aktivitas. Nyeri dada yang terjadi
perlu dicegah dan diatasi perawat. Observasi monitor volume darah dan hematokrit dapat
mencegah resiko timbulnya nyeri dada. Perawat dapat berkolaborasi memberikan
nitroglisernin dan obat anti angina untuk mengurangi nyeri dada (Kallenbach, et all, 2005).
Pemberian oksigen, menurunkan Ob dan TMP juga meringankan nyeri dada.

4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
 Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
 Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.

 Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

 Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.

2. Kebersihan klien

a. Rambut
Keluarga pasien menyatakan pasien tidak pernah mencuci rambut selama terpasang
HD kateter. Pasien mengaku takut luka jahitannya terkena air.

b. Kepala

Bentuk simetris, tidak terlihat kotoran yang menempel, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid dan kelenjar limfe.

c. Mata

Bentuk mata simetris, konjungtiva anemis, sklera berwarna kemerahan, keadaan


mata cukup bersih, dan sayu.

d. Hidung

Bentuk dan posisi simetris, dalam hidung tidak terdapat kotoran tidak terdapat
peradangan, benjolan dan kelainan.
e. Mulut

Tidak terdapat perdarahan dan peradangan mulut, gigi bersih. Fungsi pengecapan
baik, tidak terdapat pembesaran tonsil.

f. Telinga

Bentuk simetris, telinga tampak bersih tidak terdapat serumen yang keluar, tidak ada
tanda peradangan dan pendarahan, tidak menggunakan alat bantu pendengaran.

3. Pemeriksaan sistemik
a. Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, bentuk leher simetris, tidak ada keluhan
gerak leher.

b. Thorax

Frekuensi napas, sesak nafas. Bentuk simetris, tidak menggunakan otot bantu
pernapasan tambahan, tidak menggunakan alat bantu pernafasan. Pengembangan paru
saat inspirasi dan ekspirasi antara kanan dan kiri sama. Di sebelah kanan atas dada
terpasang HD kateter tidak terlihat kemerahan, rembesan, pus, darah, dan tidak terlihat
tanda-tanda infeksi.

c. Kulit

Kebersihan kulit cukup bersih. kulit pasien sering gatal-gatal dan terasa panas saat
dilakukan cuci darah.

d. Abdomen

Bentuk simetris dengan keadaan tidak terdapat benjolan, tidak ada hiperpigmentasi,
suara perkusi timpani.

e. Ekstrimitas

Bentuk ekstrimitas atas simetris antara sebelah kanan dan kiri. Ekstrimitas atas dan
bawah dapat digerakkan. Terdapat luka jahitan AV Shunt di tangan kiri sepanjang ±5
cm dengan keadaan luka kering, tidak terlihat kemerahan, rembesan, pus, darah, dan
tanda-tanda infeksi. Terdapat bengkak di kedua kaki dengan derajat I.
f. Reproduksi

Klien berjenis kelamin perempuan, klien sudah menopause. Sudah mempunyai anak
satu berjenis kelamin laki-laki.

Pernafasan (B 1 : Breathing)

Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental


dan banyak.

Tanda:

Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa


sputum.

1) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.

Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

2) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

3) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
4) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare

5) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari),
kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.

Tanda:

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak
sendi.

 Pola aktivitas sehari-hari


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena
itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan
(malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia),
Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah,
coklat, berawan) oliguria atau anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).

7) Pola sensori dan kognitif


Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.

8) Pola persepsi dan konsep diri


Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido,
amenorea, infertilitas.

10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress,
perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak, ansietas,
takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal
kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

4.2 Diagnosa Keperawatan:


 Diagnosa Pre Hemodialisa
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak
seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penumpukan cairan (edema paru)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply oksigen menurun
4. Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual
5. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
6. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar urochrome, toksik
uremik
7. Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler paru dan
edema paru
8. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan oksigen ke jaringan
menurun
9. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan dengan
prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam tubuh
11. Nyeri akut behubungan dengan aterosklerosis, perikarditis, efusi pericardial
 Diagnosa Intra Hemodialisa
1. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan dilakukannya
dialisat darah
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan kadar elektrolit tubuh
3. Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan penggunaan heparin
5. Nyeri Akut berhubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi

 Diagnosa Post Hemodialisa


1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan port de entry akibat penusukan daerah insersi
3. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan post penusukan jarum HD
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Fluid management


volume cairan jam, volume cairan seimbang
1-4. 1 kaji intake dan output cairan,
NOC
2,3. 1 timbang berat badan secara rutin
Fluid overload severity
2,3. 2 Jelaskan pada pasien dan
No Indikator 1 2 3 4 5 keluarga tentang pembatasan
cairan
1 Tekanan darah
1-4. 2 monitor hasil lab terkait retensi
2 Berat badan cairan
3 Edema 2-4. 1 Kaji lokasi dan berat edema
4 Pusing 1-4. 3 Kolaborasi tindakan dialisis
Keterangan Penilaian : 2.1 monitor BB pasien setelah dialisis
1 : Severe

2 : Substantial.

3 : Moderate

4 : Mild deviation

5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas
1-4. 1 kaji kemampuan pasien untuk
beraktivitas sehari hari

NOC 1-4. 2 dampingi pasien saat beraktivitas

Activity tolerance 1-4.2 dampingi pasien atau keluarga


untuk mengidentifikasi defisit aktivitas
N Indikator 1 2 3 4 5
o 1-4.3 berikan reinforcement saat klien
biasa beraktivitas mandiri
1 Jarak berjalan
1-4. 4 monitor status emosional, sosial
2 kelelahan dan spiritual sebagai respon aktivitas
3 kemampuan 4.1 kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
beraktivitas sehari
hari 4.2 ajarkan manajemen nyeri misal
teknik distraksi, relaksasi
4 nyeri otot

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1-4.1 monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi
invasif 1-4.2 hindari mengukur TD di lengan
hemodialisa NOC yang terdapat fistula

N Indikator 1 2 3 4 5 1-3. 1 pakai teknik aseptik saat prosedur


o dialisa

1 Warna kulit sekitar 1-4.3 ajarkan klien dan keluarga tanda


insersi gejala yang membutuhkan penanganan
medis
Suhu disekitar
2 insersi 1-4.4 kaji daerah sekitar insersi
3 Rembesan drainase
di sekitar insersi

4 Pergeseran kanula

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Daftar Pustaka

Almatsier, S .2007 .Penuntun Diet, Instalasi Gizi Perjan RSCM .Jakarta : Gramedia .

Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC,
2000.1435-1443.

Hartono, Andry .2004 . Terapi Gizi dan Diett Rumah Sakit .Jakarta : Buku Kedokteran EGC .

Kristanto, David . 2011. Gagal Ginjal Kronik .Bekasi : Media Komunitas Info .

Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI

National Kidney Foundation, K/DOQI.Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease :
Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002;39(1).

Price SA dan Wilson LMC. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6.Vol
2.Jakarta: Kedokteran EGC

Smeltzer SC dan Bare BG. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Ed.8. Vol.2. Jakarta: Kedokteran EGC

Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP.2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI

Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Buku
1. Jakarta: Salemba Medika.2003.

Anda mungkin juga menyukai