Oleh Kelomok 3 :
Malang, 2018
Disetujui Oleh :
(..............................................) (.............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN
Pria
Wanita
pada wanita sedikit berbeda,
1.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab
penyakit ginjal kronik antara lain:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang sering
berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan hanya jenis
tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua
mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit
kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator
inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan
perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.
Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin
asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab
utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
syaraf, jantung dan pembuluh darah. Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM
cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun
makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang
bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000
menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal
kronik dengan insidensi 18,65%
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.Penyakit ginjal
hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi
esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik (Kristanto, 2001)
Penyebab lain dari gagal ginjal kronis meliputi:
a. Adanya infeksi : pielonefritis kronik. Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu
atau kedua ginjal.
b. Mempunyai penyakit peradangan : Glumerulonefritis
c. Penyakit vascular hipertensi : nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna stenosis
arteria renalis. Nefrosklerosis Maligna adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan
tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), maligna atau penurunan tekanan darah yang
berlebihan menyebabkan aliran darah ginjal berkurang sehingga arteri-arteri yang
terkecil (arteriola) di dalam ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal
ginjal.
d. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistematik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistematik progresif. Lupus ini terjadi ketika antibodi dan komplemen terbentuk
di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses peradangan yang biasanya menyebabkan
sindrom nefrotik (pengeluaran protein yang besar) dan dapat cepat menjadi penyebab
gagal ginjal.
e. Gangguan kongerital dan hereditas : penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
f. Penyakit metabolic : hipertensi,diabetes militus, gout, hiperparatiroidisme, amyloidosis
(Price&Wilson, 2006)
Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara bertahap dan menyebabkan
gagalnya ginjal. Apabila seseorang menderita gagal ginjal akut yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan, maka akan terbentuk gagal ginjal kronik.
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, hipertensi, Lupus eritomatosus sistemik (LES)
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah.
d. Kelainan urinalisasi meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria (Mansjoer, 2002)
Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemi dan hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang menurun.
Ureum darah dan kreatinin serum meninggi.
Biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin lebih kurang 20 : 1. Perbandingan ini
bisa meninggi (ureum > kreatinin) pada perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar
luas, penyakit berat dengan hiperkatabolisme, pengobatan steroid dan obstruksi saluran
kemih. Perbandingan ini berkurang (ureum > kreatinin), pada diet rendah protein (TKU)
dan tes kliren kreatinin (TKK) menurun.
Hiponatremia, umumnya karena kelebihan cairan.
Hiperkalemia biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut (TKK < 5 ml/menit) bersama
dengan menurunnya diuresis. Hipokalemia terjadi pada penyakit ginjal tubuler atau
pemakaian diuretik yang berlebihan.
Hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
Hipokalsemia terutama terjadi akibat berkurangnya absorbsi kalsium di dalam usus halus
karena berkurangnya sintesis 1,25 (OH)2. Hiperfosfatemia terjadi akibat gangguan fungsi
ginjal sehingga pengeluaran fosfor berkurang. Antara hipokalasemia, hiperfosfatemia,
vitamin D, parathormon serta metabolisme tulang terdapat hubungan saling
mempengaruhi.
Fosfatase lindi meninggi, akibat gangguan metabolisme tulang, yang meninggi terutama
isoensim fosfatalase lindi tulang.
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia umumnya disebabkan gangguan metabolisme
dan diit yang tidak cukup / rendah protein.
Peninggian gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal ginjal, yang
diperkirakan desebabkan oleh intoleransi terhadap glukosa akibat resistensi terhadap
pengaruh insulin pada jaringan perifer dan pengaruh hormon somatotropik.
Hipertrigliseridemia, akibat gangguan metabolisme lemak, yang disebabkan oleh
peninggian hormon insulin, hormon somatotropik dan menurunnya lipapase lipoprotein.
Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang menurun, “base
exercise” (BE) yang menurun, HCO³ yang menurun dan PCO₂ yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam –asam organik pada gagal ginjal dan kompensasi paru – paru
(Mansjoer, 2002)
Seiring penderita gagal ginjal kronik mengalami mual dan muntah oleh karena itu
porsi makanan diusahakan kecil tapi bernilai gizi dan diberikan dalam frekuensi yang lebih
sering. Makanan dihidanhkan secara menarik, bervariasi, sesuai dengan kebutuhan
penderita. Karena penderita sering mengalami malnutrisi maka perlu diperhatikan asupan
energi dan protein. Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber energi.
Pemenuhan asupan energi terutama diperoleh dari bahan makanan pokok. Masukan yang
adekuat sangat diperlukan untuk mencapai status gizi optinal.
Keadaan gizi penderita gagal ginjal kronik sangat penting untuk dipertahankan dan
ditingkatkan . Tujuan diet untuk pasien gagal ginjal kronik adalah :
1. Mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan juga
mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara dialysis.
2. Memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh.
3. Mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan oedem.
4. Membatasi asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia.
5. Mengatur asupan cairan, untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan di antara
dialysis.
6. Membatasi asupan phospor.
7. Mencukupi kebutuhan zat –zat gizi lainnya terutama vitamin – vitamin yang larut
dalam proses dialisis.
Syarat diet :
Energi cukup yaitu 30 - 35 kkal/kg BB. Asupan energi harus harus optimal dari
golongan bahan makanan non protein. Ini dimaksudkan untuk mencegah gangguan
protein sebagai sumber energi, bahan – bahan ini biasa diperoleh dari minyak,
mentega, margarin, gula, madu, sirup, jamu dan lain – lain.
Protein 0,6 - 0,75 g/kg BB. Pembatasan protein dilakukan berdasarkan berat badan,
derajat insufisiensi renal, dan tipe dialisis yang akan dijalani. Protein hewani lebih
dianjurkan karena nilai biologisnya lebih tinggi ketimbang protein nabati. Mutu protein
dapat ditingkatkan dengan memberikan asam amino esensial murni.
1. Diet protein rendah I : 30 g protein , untuk BB 50 kg.
2. Diet protein rendah II : 35 g protein, untuk BB 60 kg.
3. Diet protein rendah III : 40 g protein, untuk BB 65 kg
Sumber protein ini biasanya dari golongan hewani misalnya telur, daging, ayam, ikan,
susu, dan lain dalam jumlah sesuai anjuran. Untuk meningkatkan kadar albuminnya
diberikan bahan makanan tambahan misalnya ekstrak lele atau dengan putih telur 4
kali sehari.
Lemak cukup 20 – 30 % dari total kebutuhan energi total. Diutamakan lemak tidak
jenuh ganda. Perbandingan lemak jenuh dan tk jenuh adalah 1:1.
Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang berasal dari
protein dan lemak. Karbohidrat yang diberikan pertama adalah karbohidrat kompleks.
Natrium yang diberikan antara 1 – 3 g. Pembatasan natrium dapat membantu
mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan cairan.
Bahan makanan tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain : bahan makanan
yang dikalengkan. Garam natrium yang ditambahkan ke dalam makanan seperti
natrium bikarbonat atau soda kue, natrium benzoate atau pengawetan buah, natrium
nitrit atau sendawa yang digunakan sebagai pengawet daging seperti pada “corner
beff”.
Kalium dibatasi (40 – 70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium daarah > 5,5 mEq),
oligura, atau anuria. Makanan tinggi kalium adalah umbi, buah – buahan, alpukat,
pisang ambon, mangga, tomat, rebung, daun singkong, daun papaya, bayam, kacang
tanah, kacang hijau dan kacang kedelai.
Kalsium dan Phospor hendaknya dikontrol keadaan hipokalsium dan
hiperphosphatemi, ini untuk menghindari terjadinya hiperparathyroidisme dan
seminimal mingkin mencegah klasifikasi dari tulang dan jaringan tubuh. Asupan
phosphor 400 – 900 ml/hari, kalsium 1000 – 1400 mg/hari.
Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernapasan ( ± 500 ml )
Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam folat , vitamin C, dan
vitamin D (Almatsier, 2007)
Sumber protein Telur, daging, ikan, ayam, susu. Kacang – kacangan dan hasil
olahannya, seperti tempe dan
Minyak jagung, minyak kacang tahu.
Sumber lemak tanah, minyak kelapa sawit, Kelapa, santan, minyak kelapa;
minyak kedelai; margarin dan margarin, mentega biasa dan
mentega rendah garam. lemak hewan.
Sumber vitamin dan Semua sayuran dan buah, kecuali Sayuran dan buah tinggi kalium
mineral pasien dengan hiperkalemia pada pasien dengan
dianjurkan yang mengandung hiperkalemia.
kalium rendah / sedang.
A. Terapi pengganti ginjal
1. Dialisis
Dialisis ada 2 macam , prinsip kerjanya berdasarkan proses difusi osmosis:
Hemodialisis :
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan
mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari
fungsi ekskresi ginjal.
Peritoneal dialisis :
Dialisis peritoneal adalah prosedur lain yang menghilangkan limbah, bahan kimia, dan air
ekstra dari tubuh Anda. Jenis dialisis ini menggunakan lapisan perut Anda, atau perut, untuk
menyaring darah Anda. lapisan ini disebut membran peritoneal dan bertindak sebagai ginjal
buatan.
Sisa metabolisme (racun –racun seperti ureum dan kreatinin) akan berpindah dari
pasien ke cairan dialisat setelah melalui membran tersebut, sehingga darah pasien
menjadi bersih.Pada gagal ginjal kronik diperlukan terapi cuci darah seumur hidup sebagai
terapi pengganti ginjal kecuali dilakukan operasi cangkok ginjal untuk mengganti ginjal
yang rusak.
Idealnya cuci darah dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu. Apabila pasien ingin
mengurangi frekuensi dialisis, maka harus membatasi diet protein dan air lebih ketat, yang
mempunyai konsekuensi terjadi malnutrisi kurang disarankan. Penundaan cuci darah
dapat berisiko terjadi komplikasi seperti pembengkakan paru – paru, kejang – kejang,
penurunan kesadaran, gangguan elektrolit yang berat, perdarahan saluran cerna, gagal
jantung bahkan bisa menimbulkan kematian.
2. Penatalaksanaan dengan transplantasi ginjal atau pencangkokan ginjal
Transplatasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal yang melibatkan pencangkokan
ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang membutuhkan. Transplatasi ginjal
adalah terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal ginjal kronik. Transplatasi
ginjal menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Transplatasi ginjal biasanya diletakkan di fossa iliaka bukan diletakkan di tempat ginjal
yang asli, sehingga diperlukan pasokan darah yang berbeda, sepeerti arteri renalis yang
dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena renalis yang dihubungkan ke vena iliaka
ekstema.
Terdapat sejumlah komplikasi setelah transplatasi, seperti penolakan (rejeksi), infeksi,
sepsis, gangguan poliferasi limfa pasca transplatasi, ketidakseimbangan elektrolit.
1.9 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2001) yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebihan
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-angiostensin-
aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialysis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.
1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease
(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah
untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
2. Tujuan Hemodialisis
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme
dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea dan muntah.
Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
Komplikasi metabolik yang refrakter
a. Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata
atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke
dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner &
Suddarth, 2002).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:
kompartemen darah
kompartemen cairan pencuci (dialisat)
ginjal buatan (dialiser).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser).
a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah,
makin banyak yang berpindah ke dialisat. Mekanisme difusi bertujuan untuk
membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification),
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmolitas
dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam darah
dan dialisat. Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan
dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan
cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan
konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.
Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran
dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan Madjid, 2009).
b. Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa
Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja dialyzer
dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses
hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer
dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena mudah
diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh tubuh. Ada
3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh faktor kebutuhan
pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan
hemodialisa, yaitu :
(1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg
selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 750-1250
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan
1 jam sebelum hemodialisa selesai.
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa
dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg berulang-
ulang sampai hemodialisa selesai.
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan sampai
sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah daripada routine
continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai.
Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung.
Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
Keterangan :
6. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :
7. Nyeri dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5 % dari keseluruhan hemodialisis
(Holley, 2007). Lebih lanjut daurgirdas, 2008 menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat
hemodialisis ferekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada
pasien akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan
(Kallenbach, et all, 2005). Perubahan dalam volume darah menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri
dada juga bisa menyertai kompilkasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et all, 2005,
Thomas, 2003).
Nyeri dada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat
menyebabkan penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser sehingga
menyebabkan penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit dalam tubuh yang
bersama dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat mengakibatkan hipovolemik dan
dapat terjadi nyeri dada pada pasien dengan CKD.
4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.
2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
2. Kebersihan klien
a. Rambut
Keluarga pasien menyatakan pasien tidak pernah mencuci rambut selama terpasang
HD kateter. Pasien mengaku takut luka jahitannya terkena air.
b. Kepala
Bentuk simetris, tidak terlihat kotoran yang menempel, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid dan kelenjar limfe.
c. Mata
d. Hidung
Bentuk dan posisi simetris, dalam hidung tidak terdapat kotoran tidak terdapat
peradangan, benjolan dan kelainan.
e. Mulut
Tidak terdapat perdarahan dan peradangan mulut, gigi bersih. Fungsi pengecapan
baik, tidak terdapat pembesaran tonsil.
f. Telinga
Bentuk simetris, telinga tampak bersih tidak terdapat serumen yang keluar, tidak ada
tanda peradangan dan pendarahan, tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
3. Pemeriksaan sistemik
a. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, bentuk leher simetris, tidak ada keluhan
gerak leher.
b. Thorax
Frekuensi napas, sesak nafas. Bentuk simetris, tidak menggunakan otot bantu
pernapasan tambahan, tidak menggunakan alat bantu pernafasan. Pengembangan paru
saat inspirasi dan ekspirasi antara kanan dan kiri sama. Di sebelah kanan atas dada
terpasang HD kateter tidak terlihat kemerahan, rembesan, pus, darah, dan tidak terlihat
tanda-tanda infeksi.
c. Kulit
Kebersihan kulit cukup bersih. kulit pasien sering gatal-gatal dan terasa panas saat
dilakukan cuci darah.
d. Abdomen
Bentuk simetris dengan keadaan tidak terdapat benjolan, tidak ada hiperpigmentasi,
suara perkusi timpani.
e. Ekstrimitas
Bentuk ekstrimitas atas simetris antara sebelah kanan dan kiri. Ekstrimitas atas dan
bawah dapat digerakkan. Terdapat luka jahitan AV Shunt di tangan kiri sepanjang ±5
cm dengan keadaan luka kering, tidak terlihat kemerahan, rembesan, pus, darah, dan
tanda-tanda infeksi. Terdapat bengkak di kedua kaki dengan derajat I.
f. Reproduksi
Klien berjenis kelamin perempuan, klien sudah menopause. Sudah mempunyai anak
satu berjenis kelamin laki-laki.
Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Tanda:
1) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
2) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
4) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare
5) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari),
kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak
sendi.
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah,
coklat, berawan) oliguria atau anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
2 : Substantial.
3 : Moderate
4 : Mild deviation
5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan
2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas
1-4. 1 kaji kemampuan pasien untuk
beraktivitas sehari hari
Keterangan Penilaian :
1 : Severe compromised
2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised
5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1-4.1 monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi
invasif 1-4.2 hindari mengukur TD di lengan
hemodialisa NOC yang terdapat fistula
4 Pergeseran kanula
Keterangan Penilaian :
1 : Severe compromised
2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised
5 : No compromised
Daftar Pustaka
Almatsier, S .2007 .Penuntun Diet, Instalasi Gizi Perjan RSCM .Jakarta : Gramedia .
Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC,
2000.1435-1443.
Hartono, Andry .2004 . Terapi Gizi dan Diett Rumah Sakit .Jakarta : Buku Kedokteran EGC .
Kristanto, David . 2011. Gagal Ginjal Kronik .Bekasi : Media Komunitas Info .
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI
National Kidney Foundation, K/DOQI.Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease :
Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002;39(1).
Price SA dan Wilson LMC. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6.Vol
2.Jakarta: Kedokteran EGC
Smeltzer SC dan Bare BG. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Ed.8. Vol.2. Jakarta: Kedokteran EGC
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP.2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Buku
1. Jakarta: Salemba Medika.2003.