Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
TINJAUAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nurbaida Hasibuan
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Huta imbaru
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Tanggal masuk : 8 Juli 2019
No.RM : 334948

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Benjolan pada leher
2. Riwayat Penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan ke RS Haji Medan dengan keluhan
adanya benjolan pada leher yang terjadi kurang lebih 4 tahun yang lalu.
Awalnya benjolan kecil dan lama kelamaan semakin membesar.
Benjolan yang dirasakan tidak nyeri selain itu pasien mengatakan akhir-
akhir ini agak sulit menelan. Pasien menyangkal adanya perubahan
suara, jantung berdebar-debar, tangan gemetaran, mudah lelah dan nafsu
makan.
3. Riwayat Penyakit Terdahulu
Disangkal
4. Riwayat penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat ke dokter.
2

III. STATUS PRESENT


1. Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis GCS : E4M6V5
 Tekanan Darah : 120/70 mmHg
 Temperatur : 36,5oC
 Nadi : 92 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit

2. Keadaan Gizi
 BB : 52 kg
 TB : 158 cm
𝐵𝐵 52
 IMT : 𝑇𝐵 = 158 = 21,9 kg/m² Kesan : Normoweight
( )² ( )²
100 100

IV. PEMERIKSAAN FISIK


1. Kepala
 Pertumbuhan rambut : normal
 Sakit ketika dipegang : tidak ada
 Perubahan lokal : Tidak ada
a) Wajah : Dalam batas Normal
b) Mata : Eksoftalmus : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Reaksi pupil : +/+, isokor
c) Telinga : Dalam batas normal
d) Hidung : Dalam batas normal
e) Bibir : Dalam batas normal
f) Gigi : Dalam batas normal
g) Lidah : Dalam batas normal
3

h) Tonsil : Dalam batas normal

2. Leher
a) Inspeksi : - Terdapat benjolan dileher sebelah kanan
- Warna sama dengan sekitar benjolan
- Benjolan ergerak saat pasien menelan
b) Palpasi : - Benjolan berbentuk uninodul sebesar kepalan tangan
- Bergerak saat pasien menelan
- Benjolan tidak nyeri

3. Thorax
a) Inspeksi :
 Bentuk thoraks : Normochest
 Pergerakan napas : Simetris
 Masa abnormal : Tidak ada
 Jejas : Tidak ada
b) Palpasi : Tidak terdapat masa, vokal fremitus normal dan simetris
dextra = sinistra
c) Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
d) Auskultasi :
 Pulmo :
- Suara napas dasar vesikuler
- Suara tambahan (-)
 Cor :
- S1S2 tunggal, reguler
- Suara tambahan (-)
4

4. Abdomen :
a) Inspeksi : Bentuk cembung simetris
kelainan kulit (-)
tumor (-)
Jejas (-)
b) Auskultasi : Bising usis (+) normal
c) Perkusi : Timpani
c) Palpasi : Hepar, Lien, dan Ren tidak teraba
Nyeri tekan (-)
Teraba massa (-)

5) Ekstremitas : - Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak tremo


- Tidak ditemuan Edema pada keempat ekstremitas

V. STATUS LOKALIS
Regio coli dextra
Inspeksi : Terdapat massa berbentuk bulat dengan ukuran ± 15 cm, warna
sama dengan sekitar benjolan, dan bergerak saat menelan.
Palpasi : konsistensi kenyal, mobile, tidak melekat pada kulit, tidak
nyeri, pulsasi (-), tidak terdapat pembesaran terhadap kelenjar
getah bening regional.
5

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMTAOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 14,4 g/dL 13.2-17.3
Hitung eritrosit 10^6/µ
5.0 4.4-5.9
L
Hitung Leukosit 10,260 /µL 4,000-11,000
Hematokrit 43,6 % 40-52
Hitung Trombosit 477,000 /µL 150000-440000
Index Eritrosit
MCV 87,1 fL 80-100
MCH 28.9 Pg 26-34
MCHC 33.1 % 32-36
Hitung jenis leukosit
Eosinofil 12 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
N.Stab 0 % 2-6
N.Seg 55 % 53-75
Limfosit 29 % 20-45
Monosit 4 % 4-8
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Glukosa Darah Sewaktu 186 Mg/dL < 140
Fungsi Hati
Bilirubin total 1.43 Mg/dL 0.3-1
Bilirubin Direk 0.32 Mg/dL <0.25
AST (SGOT) 22 U/l <40
AST (SGPT) 10U/i U/l <40
Fungsi Ginjal
Ureum 24 Mg/dL 20-40
Kreatinin 0.79 Mg/dL 0.6-1.1

VII. DIAGNOSA BANDING


Struma Nodusa Non Toksik
Struma Nodusa Toksik
CA Tiroid
VIII. DIAGNOSA SEMENTARA
Struma Nodusa Non Toksik
6

IX. PLANNING
Planning edukasi
1. Memberi tahu pasien tentang penyakitnya : bahwa pilihan terapi
adalah operasi
2. Memberi tahu pasien tentang pilihan terapinya : bahwa pilihan terapi
adalah operasi
Planning Terapi
Pro Operasi :
1. Cek Lab lengkap
2. Puasa 4-6 jam
3. Informed consent
Laporan operasi :
1. Pasien tidur dengan posisi terlentang dengan General Anestesi, pundak
diganjal bantal.
2. Desinfeksi daerah operasi dan tutup dengan duck steril.
3. Incisi buat flap ke kranial dan kaudal
4. Musculus pretrakheal dipisahkan
5. Didapatkan struma pada : Lobus superior (D) ukuran 10 x 15 cm.
6. Dilakukan:
 Subtotal thyroidektomy
 Rawat perdarahan
 Pasang drain
7. Jahit lapis demi lapis
8. Operasi selesai
Pasca Operasi :
 Infus RD5 1000 cc/24 jam
 Injeksi Cefotaxime 3 X 1 gram
 Injeksi Ketorolac 3 X 1 ampul
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus
pharyngeus pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-
4 cm pada akhir bulan pertama kehamilan. Dari bagian tersebut timbul
divertikulum yang kemudian membesar, jaringan endodermal ini turun ke leher
sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua
lobus, yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini terjadi pada
garis tengah. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang
berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan
menghilang pada usia dewasa. Sisa ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering
mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada
beberapa keadaan yang masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di
sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid dengan basis lidah.
Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan
terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan persisten duktus
tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual atau tiroid
servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid
substernal. Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar
tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang
memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.

2.2 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus
8

tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat
kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang
dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. Pada sisi posterior melekat erat
pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul fibrosa, sehingga akan ikut
bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m.
sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline.
Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli
profunda dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan
vena jugularis eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v.
jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari
sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus.
Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren
terletak pada sulkus trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior
berasal dari A.karotis kommunis atau A.karotis eksterna, A.tiroidea inferior dari
a.subklavia, dan A.tiroidea ima berasala dari A.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta. Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit,
kira-kira 50 kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya.
Pada keadaan hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan
stetoskop terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Secara
anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid
menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas
dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring
yang tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik
9

dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening
ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar
tiroid.

Gambar 3.1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Gambar 3.2 Anatomi kelenjar tiroid potongan melintang


10

2.3 Histologi Kelenjar Tiroid


Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:
1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi
suatu massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk
kolumner katika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus
dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang
berjauhan.

Gambar 3.3 Histologi kelenjar tiroid


2.4 Fisiologi Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan
bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali
yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami
oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin
yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau
diyodotirosin (DIT). Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan
11

DIT yang lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid
kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya
tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk
selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid terikat pada
protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau
prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur
aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai
negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi
thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur
metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui
pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa
langkah, yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan
enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan
juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
12

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi


dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
13

Gambar 4. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid


2.5 Struma
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar
sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena
serta pembentukan vena kolateral.
Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma
difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat
nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu,
baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa.
Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin, maka bisa kita bagi:
1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal
3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non toksika.
Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa kita
14

jumpai akibat proses hiperplasia, keradangan atau inflamasi, neoplasma jinak


dan neoplasma ganas.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh:
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid
dan sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s
disease)/Morbus Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis,
anaplastik
Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut:
a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar
15

2.6 Struma Non Toksik


2.6.1 Definisi dan Etiologi
Struma Non Toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
tanpa gejala-gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang
dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna

2.6.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah cukup
mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita struma.
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau hiperplasi
dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada kaitannya dengan
keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa nontoksika antara
lain:
16

1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun


2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau
5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
9. Disertai sesak nafas
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa
hal-hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain:
1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller)
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab
dan kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan
hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa
panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial
fibrilasi
4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan
mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada
atau tidak tremor
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi
limfosit retrobulbar
17

a. Eksoftalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior


(Steilwag’s sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke
bawah dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan
gerak.
b. Eksoftalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala
kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan
tampak sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
c. Eksoftalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk, ditambah
edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif itraorbital.
Optamoplegia, kelemahan otot mata akibat protusi bola mata,
sehingga bisa strabismus atau diplopia. Pada fase lanjut geraka
konvergensi bola mata terganggu (Mobius’s sign)
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus, depresi
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi
tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin
dan mineral
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan
halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas
(dermografi).
11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan Spirometri
(Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa mengukur dengan
rumus empiris: % BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72
s = sistole, d = diatole, n = nadi
tensi dan nadi diukur pada keadaan basal
harga normal (-)10% sampai (+)10%
18

Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista
atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan
demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan
trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
pada trakea.
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut dari
atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan kiri
bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening
lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita
sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan
tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan
dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah
lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu
penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa
digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi
19

terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan
sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang berasal
dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan
kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke
kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan.
Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus
untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid
terbagi atas:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon
tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara
enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
20

2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:


Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi
trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk
evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan
tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan
leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas
yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan
yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa
mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
21

menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.


7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan
pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.6.4 Diagnosis
Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka
hendaknya bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi,
aspek fungsi, dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya.
Dalam melakukan diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa
mencantumkan diagnosis mencakup ketiga aspek tersebut.
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi
pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa
hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat
dihambat oleh tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan.
Tanda keganasan ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda
penyusupan di kulit, n. rekurens, trakea atau esofagus.

2.6.5 Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif
22

A. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine


Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
µIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul
tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil
massa yang serupa dengan nodul awal. (AME Guideline, 2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih
sering terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di
banding dengan penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus
nodul dapat mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja
maka persentase keberhasilannya hanya 20%. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas
air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi
tablet calcium, iron supplements, dan antasida karena akan menghambat
absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang diberikan adalah 400
microgram per hari.
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4)
harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule),
(2) pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita
post-menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan
osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita
dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan
Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada
minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan
baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu
23

suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak
mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration harus
segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna
untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME
Guideline, 2006)
B. Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong operasi
besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya serta ada
tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung
jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi
lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis
berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
24

a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya


b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering
dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun
laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang
baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan
sering hasilnya tidak radikal
C. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small
goiter (volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita
dengan riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan
bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan
terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini
adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan
pada penderita. (AME Guideline, 2006)
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid
nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan
mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan
aman, meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi
dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi
25

epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap


timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME Guideline, 2006)
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone)
hendaknya dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine,
agar tidak mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-
tiroid hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak
boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine,
untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi. (AME Guideline, 2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini
simple, murah, dan hasilnya memuaskan. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika
kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan.
(AME Guideline, 2006)

2.6.6 Komplikasi
Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan lanjut.
Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam metabolik
dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh

Anda mungkin juga menyukai