Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

SINDROM KORONER AKUT

Arif Fatkhur Rozi (1102017037)

Pembimbing:
Dr. dr, Rika Bur, sp.PD-KPTI
dr. Uvitha Yulistin Suchyar, Sp.JP

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT YARSI
PERIODE 3 JANUARI 2022-26 FEBRUARU 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa
nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan
perubahan biomarker jantung biasanya disebabkan oleh plak arterosklerosis
 Infark miokard akut dengan elevasi segmensT (IMA-EST)
 Infark miokard akut non-elevasi segmensT (IMA-NEST)
 Angina pektoris tidak stabil (APTS).
1.2 Epidemiologi
Penyakit jantung koroner Acute Coronary Syndrome (ACS)
menyumbang sekitar 7 juta kematian setiap tahun (WHO, 2019). Selain itu,
data menunjukkan bahwa ACS menjadi penyebab utama kematian pada
wanita dengan angka kematian dan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria (Kawamoto, Davis, Duvernoy, & Claire, 2016;
Worrall-carter, Prelim, Mcevedy, Wilson, & Rahman, 2016). Indonesia
termasuk dalam wilayah Asia-Pasifik dimana pada tahun 2018 sebanyak 17,3
juta penduduk Indonesia meninggal karena penyakit jantung dan 3 juta
meninggal pada usia dibawah 60 tahun (Riskesdas, 2018).
1.3 Etiologi dan faktor risiko
 Rupture plak aterosklerosis merupakan penyebab utama sindrom koroner
akut. Diperkirakan 90% kasus infark miokard disebabkan oleh
penyumbatan arteri koroner yang telah mengalami aterosklerosis oleh
trombus. Ruptur plak dan erosi diperkirakan menjadi pemicu trombosis
koroner. Derajat sumbatan arteri koroner akan mempengaruhi gejala klinis
yang timbul. Infark miokard dengan ST elevasi terjadi akibat penyumbatan
total pembuluh darah koroner.
 Selain aterosklerosis, terdapat berbagai penyebab terjadinya infark
miokard yaitu vaskulitis, hipertrofi ventrikel, emboli arteri koroner oleh
karena kolesterol, udara atau produk sepsis, trauma koroner, vasospasme
koroner primer, penggunaan obat, arteritis, aneurisma arteri koroner,
keadaan yang meningkatkan kebutuhan oksigen (demam, hipertiroid),
hipoksemia karena anemia berat dan diseksi aorta.

Faktor risiko terjadinya aterosklerosis terbagi atas faktor risiko


yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat
diubah antara lain umur, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga dengan
penyakit jantung koroner. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah

1
antara lain kebiasaan merokok, hiper-kolesterolemia, dislipidemia,
diabetes melitus, hipertensi, obesitas, stres psikososial, jarang berolahraga
dan makan sayur dan buah, peningkatan kadar homosistein dan adanya
penyakit vaskuler perifer.
1.4 Klasifikasi
a) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction) atau juga dikenal dengan angina pektoris stabil
(APS)
b) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
c) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi ST akut (STEMI) merupakan indikator


kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan
tindakan revakularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya. Sehingga terapi yang dapat digunakan secara
medikamentosa adalah agen fibrinolitik atau secara mekanis intervensi
koroner perkutan primer yang dapat dinisiasi tanpa menunggu hasil
peningkatan marka jantung. Diagnosis STEMI dapat ditegakkan apabila
terdapat keluhan angina pektoris akut dengan elevasi segment ST yang
persisten pada dua sadapan yang bersebelahan.
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI) dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang
ditandai dengan peningkatan marka jantung yaitu Troponin I/T atau CK-MB.
Jika ada peningkatan marka jantung yang bermaknsa, maka diagnosis menjadi
NSTEMI. Diagnosis kedua penyakit tersebut juga dapat di tegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten
di dua sadapan yang bersebelahan.
1.5 Patofisiologi
Secara umum, SKA merupakan gabungan proses aterosklerosis yang terjadi
secara kronik dan proses trombosis yang akut. Tahap awal SKA diawali oleh
akumulasi LDL yang berikatan dengan protein dibawah endotel pembuluh
darah. LDL yang terakumulasi ini kemudian akan teroksidasi oleh zat sisa
oksidatif yang dikenal sebagai radikal bebas. LDL yang teroksidasi akan
memicu respons dari sel endotel yang akan melepaskan senyawa yang
menarik monosit. Monosit kemudian berkembang menjadi makrofag,
makrofag kemudian memfagosit LDL sehingga membentuk sel busa (foam
cell). Foam cell ini akan menumpuk dibawah dinding pembuluh darah dan
membentuk fatty streak, bentuk awal plak aterosklerotik. Sel-sel otot polos
pembuluh darah akan tetap berkembang, membesar didekat fatty streak

2
sehingga membentuk ateroma. Seiring perkembangannya, plak akan menonjol
kedalam pembuluh darah secara progresif. LDL yang teroksidasi akan
menghambat pelepasan nitrat oxide sehingga pembuluh darah akan kesulitan
berdilatasi.

Gambar 1. Patofisiologi aterosklerosis


Plak aterosklerotik memiliki penutup fibrosa, bila penutup fibrosa tebal maka
plak stabil. Bila penutup fibrosa tipis, maka bisa terjadi plak yang pecah dan
terpajan darah.
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis
dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak
plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi

3
dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus,
dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA
pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

Gambar 2. Proses agregasi trombosit pada SKA

Gambar 3. Perbandigan lumen arteri normal dan abnormal

1.6 Diagnosis
Infark miokard ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas
dan gambaran EKG adanya ST elevasi minimal pada 2 sadapan prekordial
yang berdampingan serta peningkatan enzim jantung.
Pasien dengan nyeri dada khas harus dipikirkan ketiga diagnosis
banding SKA yaitu UAP (unstable angina pectoris), NSTEMI (non ST-

4
elevation myocardial infarction) dan STEMI (ST-elevation myocardial
infarction).
Tabel 1. Perbedaan sindroma koroner akut
UAP NSTEMI STEMI
EKG Normal/T Normal/ T ST elevasi, LBBB
inverted/ ST inverted/ ST baru
depresi depresi
Peningkatan (-) (+) (+)
enzim jantung

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,
keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri

5
pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI sebagai landasan dalam
menentukan keputusan terapi reperfusi.12 Pada keadaan infark miokardium yang
sedang berlangsung, maka gambaran EKG berevolusi melalui 3 stadium yaitu
gelombang T meninggi diikuti inversi gelombang T, elevasi segmen ST, dan
munculnya gelombang Q baru.10 Meski demikian, satu perubahan tidak selalu
diikuti oleh perubahan lainnya, atau dengan kata lain dapat muncul sendiri-
sendiri.

Gambar 4. Evolusi EKG pada STEMI


Pada awal infark, terjadi gelombang T tinggi dan sempit yang disebut
sebagai ‘meninggi’ atau peaking. Beberapa jam kemudian muncul gelombang T
yang inversi. Perubahan gelombang T ini mencerminkan iskemia miokard dan
tidak diagnostik untuk infark miokardium.
Elevasi pada segmen ST menunjukkan adanya cedera pada miokardium,
dengan gambaran segmen ST yang terelevasi dan menyatu dengan gelombang T
dengan halus. Cedera kemungkinan menggambarkan derajat kerusakan yang lebih
dari iskemia. Elevasi ST dapat menghilang dalam beberapa hari.
Munculnya gelombang Q baru menunjukkan adanya kematian sel yang
ireversibel dan menjadi parameter diagnostik infark miokardium. Gelombang Q
dapat muncul beberapa jam sejak infark namun dapat juga baru muncul beberapa
hari kemudian saat segmen ST telah normal. Gelombang Q cenderung menetap
sepanjang hidup pasien.
Pada pemeriksaan kadar enzim jantung didapatkan peningkatan, maka akan
memperkuat diagnosis. Terdapat beberapa enzim jantung yang dapat diperiksa
seperti kreatinin kinase (CK), kreatinin kinase-MB (CK-MB), cardiac-spesific
troponin T (cTnT) dan cardiac-spesific troponin I (cTnI). Kini enzim jantung yang
dipercaya cukup spesifik untuk cedera sel miokard adalah troponin I.

Tabel 2. Peningkatan enzim jantung pada cedera sel miokard


Penanda Meningkat Memuncak Durasi
CK 4-6 jam 18-24 jam 2-3 hari

6
CK-MB 4-6 jam 18-24 jam 2-3 hari
cTnT 4-6 jam 18-24 jam 10 hari
cTnI 4-6 jam 18-24 jam 10 hari

1.7 Diagnosis banding

N Kondis Durasi Kual Lokasi


o i itas

1 Perikar Hitung Taja Retrost


. ditis an jam m ernal
hingga atau di
hari, apeks
bersifa jantung,
t dapat
episodi menjala
k r ke
bahu
kiri

2 Diseks Muncu Sens Dada


. i aorta l asi anterior
menda diro ,
dak, bek kadang
nyeri dan menjala
sangat diiri r ke
hebat s punggu
pisa ng.
u

3 Emboli Muncu Pleu Kadang


. pulmo l ritik lateral
nal menda tergantu
dak, ng
bebera lokasi
pa emboli
menit
hingga
jam

7
1.8 Tatalaksana
A. Terapi awal

Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien
dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate). Dosis awal ticagrelor
yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang
direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit
sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
B. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP (Intervensi Koroner Perkutan) atau
farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam
12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block
(LBBB) yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,

8
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih
dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
Intervensi Koroner Perkutan Primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. 11
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual
(dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal
stents (BMS).
Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik yang cepat (door-drug<30 menit) dapat membatasi
luasnya infark dan mengurangi angka kematian. Beberapa jenis obat fibrinolitik
yang tersedia seperti alteplase recombinant, reteplase, tenecplase dan
streptokinase.
Fibrinolisis bermanfaat pada pasien dengan ST elevasi atau LBBB baru,
infark miokard yang luas, pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral
yang rendah. Fibrinolisis kurang bermanfaat pada pasien yang onset serangan
setelah 12-24 jam atau infark kecil, pasien usia > 75tahun. Fibrinolisis mungkin
berbahaya pada depresi segmen ST, onset lebih 24 jam, pada tekanan darah tinggi
(TD sistolik > 175mmHg). Di Indonesia, umumnya digunakan streptokinase
dengan dosis pemberian 1,5 juta U dilarutkan dalam 100cc NaCl 0,9% atau
Dextrose 5%, diberikan secara infus selama 30-60 menit.
Kontraindikasi absolut pemberian terapi fibrinolitik adalah perdarahan
intrakranial, stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam, kecurigaan
diseksi aorta, tumor intrakranial, adanya kelainan struktur vaskular serebral

9
(AVM), perdarahan internal aktif atau gangguan sistem pembekuan darah, cedera
kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terakhir. Kontraindikasi relatif
pemberian terapi fibrinolitik adalah tekanan darah yang tidak terkontrol, TD
sistolik >180mmHg, TD diastolik >110mmHg, riwayat stroke iskemik >3bulan,
demensia, trauma atau RJP lama (>10menit) atau operasi besar < 3bulan,
perdarahan internal dalam 2-4minggu, penusukan pembuluh darah yang sulit
dilakukan penekanan, pernah mendapat streptokinase/ anistreplase dalam 5 hari
yang lalu atau lebih, atau riwayat alergi terhadap obat tersebut, hamil, ulkus
peptikum aktif, sedang menggunakan antikoagulan dengan INR tinggi.
Kriteria keberhasilan trombolitik sebagai berikut:
- Hilangnya nyeri dada secara tiba-tiba
- Resolusi segmen ST ≥ 50%
- Timbulnya irama reperfusi, dapat berupa aritmia termasuk idioventricular
rhythm
- Peningkatan enzim jantung secara mendadak (burst CK-MB)

Gambar 5. Idioventricular rhythm


C. Terapi jangka panjang STEMI
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien- pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang

10
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk
rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa
memandang nilai kolesterol inisial
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior
8. Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan
9. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia
1.9 Komplikasi
Komplikasi STEMI dapat berupa gagal jantung, hipotensi, kongesti paru,
keadaan output rendah, syok kardiogenik, aritmia supraventrikular, aritmia
ventrikular, sinus bradikardi dan blok jantung, regurgitasi katup mitral, ruptur
jantung, ruptur septum ventrikel, infark ventrikel kanan, perikarditis, aneurisma
ventrikel kiri, serta trombus ventrikel kiri.

1.10 Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark
miokard akut:
Tabel 3. Klasifikasi Killip
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung 6
kongestif
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

Gambar 6. Skor TIMI untuk STEMI

11
Gambar 7. Skor GRACE untuk STEMI

BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. BS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 28 Desember 1978
Usia : 42 tahun
Alamat : Depok, Jawa Barat
Pekerjaan : Supir bus
Pendidikan : SMA
Status perkawinan : Menikah
NRM : 424-67-05
Tanggal Pemeriksaan : 2 Februari 2022
2.2 Keluhan Utama
Nyeri dada memberat sejak 6 jam SMRS
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

12
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada memberat sejak 6 jam SMRS. Nyeri
dirasakan tiba-tiba saat beraktivitas, dirasakan seperti tertindih beban berat
muncul dari dada kiri menjalar ke punggung dan lengan kiri, disertai mual,
muntah, serta keringat dingin. Nyeri dirasakan terus menerus selama 1 jam dengan
skala nyeri 7. Nyeri tidak membaik dengan istirahat, tidak dipengaruhi
pernapasan. 3 hari SMRS pasien merasakan keluhan yang sama dan dibawa ke
IGD RS Depok dimana pasien diberi obat di bawah lidah dan keluhan kemudian
membaik, namun 6 jam SMRS keluhan muncul kembali. Tidak ada sesak, batuk,
rasa panas pada ulu hati, nyeri tajam seperti ditusuk, dan riwayat trauma dada. 10
tahun SMRS pasien didiagnosis hipertensi dengan tekanan darah tertinggi
200/100 mmHg, namun pasien menyangkal adanya pusing, pandangan kabur,
lumpuh tiba-tiba, sesak nafas, dan pipis berkurang atau berbusa. Pasien diberi obat
Amlodipin namun tidak dikonsumsi rutin. Pasien saat itu juga dikatakan memiliki
asam urat tinggi dan diberi obat Allopurinol namun tidak dikonsumsi rutin juga.
Pasien juga pernah dikatakan memiliki kolesterol tinggi namun pasien juga tidak
mengonsumsi obat untuk kolesterol. Pasien memiliki riwayat merokok sejak tahun
2021 sebanyak 4 bungkus per hari, dan sejak 5 tahun yang lalu pasien sudah tidak
pernah berolahraga. Pasien tidak memiliki gula darah tinggi, asma, atau alergi.
2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat operasi tidak ada


 Riwayat keelakaan tidak ada
 Athma tidak ada
 DM tidak ada.

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Terdapat riwayat hipertensi dan keganasan pada sisi ayah pasien, riwayat asam
urat tinggi dan asma pada sisi ibu pasien, dan riwayat sakit jantung dari sisi ayah
dan ibu. Tidak ada riwayat gula darah tinggi dan kolesterol tinggi pada keluarga.
2.6 Riwayat Pemakaian Obat :
• Antasida
2.7 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan
Pasien merupakan sopir bus, tinggal bersama istri dan 2 anak pasien. Terdapat
riwayat mengonsumsi alkohol. Tidak ada riwayat memiliki tato dan penggunaan
narkoba suntik, Sejak 1 tahun SMRS pasien mengonsumsi makanan rendah
karbohidrat dan garam. Pasien merupakan mantan atlet basket aktif dari tahun.
Pembiayaan pasien dengan BPJS.

13
2.8 Pemeriksaan Generalis
Tanda-tanda vital

 Kesadaran : Compos mentis


 Tekanan darah : 170/80 mmHg
 Nadi : 120x/menit, kuat, regular, isi cukup
 Pernapasan : 20x/menit, regular, kedalaman cukup
 Suhu : 36.7 C
 Keadaan umum : Sedang
 Keadaan sakit : Tampak sakit berat
 Keadaan gizi : Baik
 Tinggi badan : 174 cm
 Berat badan : 87 kg
 IMT : 26,8 kg/m2

2.9 Pemeriksaan Fisik

 Kulit : Lembab, turgor baik, tidak terdapat lesi


 Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas
 Rambut : Hitam, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut
 Mata : Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik, reflex cahaya
langsung dan tidak langsung +/+
 Telinga : Normotia, tidak ada edema, tidak ada sekret, liang telinga
lapang, serumen minimal, tidak ada nyeri tekan
 Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, concha
tidak hiperemis, tidak ada edema, tidak ada sekret
 Tenggorokan : Uvula di tengah, faring tidak hiperemis, arkus faring
simetris, tonsol T1-T1, tidak ada detritus
 Gigi dan mulut : Mukosa bibir lembab, tidak ada gigi tanggal, lidah tidak
kotor
 Leher : JVP 5-2 cmH2O, tiroid tidak membesar, tidak ada
perbesaran KGB
 Dada : Tidak ada kelainan bentuk dada, tidak ada pectus
excavatum, tidak ada pectus carinatum, perbandingan dinding anterior-
lateral 2:1, tidak ada spider navi
 Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

14
o Perkusi : Batas jantung kanan pada linea parasternal kanan
sela iga 4, batas jantung kiri pada line axillaris anterior sela iga 6,
pinggang jantung pada linea midklavikula kiri sela iga 2
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, tidak ada murmur dan
gallop
 Paru
o Inspeksi : Pasien tidak sianosis, tidak tampak sesak, tidak ada
napas cuping hidup, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan
retraksi sela iga
o Palpasi : Ekspansi dada simetris kanan dan kiri saat statis
dan dinamis
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. Batas paru hati line
midklavikula kanan sela iga 6, batas paru lambung linea axillaris
anterior kiri sela iga 8
o Auskultasi : Vesikuler kedua lapang paru, tidak ada ronki dan
wheezing
 Abdomen
o Inspeksi : Perut datar, supel, simetris, tidak ada bekas luka
operasi, caput medusa, venektasi.
o Auskultasi : Bising usus normal positif 6x/menit
o Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas. Ballotement
negatif. Hepar lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani pada seluruh region abdomen, shifting
dullness negative.
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema negatif pada
kedua tungkai

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (2 Februari 2022)

 Hb : 18 g/dl  Creatinine : 1,074 mg/dl


 Ht : 49,5%  eGFR : 87,6
 Leukosit : 14.100/mm3  SGPT : 39 mmol/l
 Trombosit : 354.000/mm3  SGOT : 113 mmol/l
 Diff. count : 0/1/0/72/20/7  GDS : 190 mg/dl
 Ureum : 42,5 mg/dl  Troponin T : >2000 N
 CK-MB : 48.7
 CK :731.5

15
16
EKG (2 Februari 2022)

 Irama sinus diikuti dengan gelombang QRS rate 75x/menit,Normal Axis


 Gelombang P (N), Interval PR 0,24 second (1st degree AV block).
 Kompleks QRS bentuk (N), durasi 0,05 second,.
 ST elevasi di sadapan II,III, aVFQ patologis (-) di sadapan III.

Kesimpulan : Irama Sinus + STEMI inferior


Rontgen toraks (2 Februari 2022)

 CTR =68 %
 Segmen Aorta dilatasi
 Segmen Pulmonal Normal
 Pinggang jantung mendatar
 Apex upward
 Infiltrate (-)
 Kongesti (-)

Kesan :Kardiomegali dengan Segmen Aorta dilatasi

17
2.11 Ringkasan
Pasien laki-laki 42 tahun dengan nyeri dada memberat sejak 6 jam SMRS.
Nyeri dada khas kardiak dengan lokasi retrosternal menjalar ke punggung dan
tangan kiri, tidak dipengaruhi aktivitas, disertai mual, muntah, dan keringat
dingin. Nyeri muncul tiba-tiba saat istirahat dengan durasi 1 jam VAS 7. 3 hari
SMRS angina pectoris pertama kali dirasakan dan membaik dengan pemberian
obat sublingual namun 6 jam SMRS keluhan muncul kembali. Pasien memiliki
hipertensi, dyslipidemia, dan hiperurisemia tidak terkontrol. Pasien memiliki
riwayat merokok 4 bungkus per hari selama 17 tahun dan berhenti 1 tahun yang
lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan IMT obesitas 1 dan kardiomegali. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan enzim CK-CKMB meningkat, Troponin T
meningkat, EKG sugestif STEMI dan pada rontgen toraks didapatkan
kardiomegali.
2.12 Daftar Masalah
1. ACS
2. Hipertensi tidak terkontrol
3. Obesitas I
2.13 Pengkajian
1. Sindrom koroner akut dengan STEMI
Atas dasar:
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri dada kiri menjalar hingga ke
punggung dan leher dengan durasi lebih dari 20 menit yang muncul saat
istirahat disertai keringat dingin, mual, dan muntah; pasien dikatakan
memiliki kolesterol tinggi dan hipertensi namun tidak mengonsumsi obat
rutin; terdapat riwayat merokok

Pada pemeriksaan fisik didapatkan batas jantung melebar. Pada


pemeriksaan penunjang didapatkan EKG ST elevasi pada V1-V4, enzim
CK-CKMB peningkatan Troponin T.

Dipikirkan: STEMI Inferior

Rencana diagnostik: Proifl lipid, CT coronary angiography,


echocardiography

Plan of care: Membuka oklusi pembuluh darah yang tersumbat,


menurunkan kadar kolesterol, mengontrol tekanan darah, dan mencapai
berat badan ideal

18
Rencana terapi:
 Farmakologis:
o Morfin 2-4 mg dapat diulang 5-15 menit, IV (hanya
diberikan saat gelisah)
o Nitrogliserin 0,4 mg dapat diulang 3 kali saat nyeri dengan
interval 5 menit, sublingual
o Aspirin 2 tablet
o Clopidogrel 150 mg Po 4 tablet
o Bisoprolol 1 x 10 mg PO
o Captopril 2 x 12.5 mg PO

 Nonfarmakologis:
 O2 nasal cannule 3 lpm
 Diet rendah lemak dan garam (< 2 gram/hari) total 1900
kkal/hari sesuai berat badan ideal
 Menurunkan berat badan dengan target berat badan ideal
(66.6 kg)
 Aktifitas fisik 30 menit 3 kali/minggu
 Pemeriksaan EKG berkala

2. Hipertensi tidak terkontrol


Atas dasar:
Pada anamnesis didapatkan pasien didiagnosis hipertensi 10 tahun SMRS
dengan tekanan darah tertinggi 200/100 mmHg namun pasien tidak
mengonsumsi obat, terdapat riwayat merokok dan konsumsi alkohol,
terdapat riwayat ayah pasien hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/80 mmHg, batas
jantung melebar
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kardiomegali pada rontgen toraks
Dipikirkan: Hipertensi tidak terkontrol
Rencana diagnostik: Pemeriksaan tekanan darah berkala; pemeriksaan
profil lipid, gula darah, dan asam urat; EKG, echocardiography; urinalisis;
konsul mata untuk funduskopi
Plan of care: Menurunkan tekanan darah hingga tekanan darah normal,
mempertahankan tekanan darah dalam batas normal, mencegah terjadinya
dan deteksi dini komplikasi hipertensi (pandangan kabur, gagal jantung,
kerusakan ginjal atau penyakit ginjal kronik, stroke)

19
Rencana terapi:
 Farmakologis
o Captopril 2 x 12.5 mg
 Nonfarmakologis
o Diet rendah garam < 2 gram/hari
o Hindari rokok dan kafein
o Aktivitas fisik rutin 30 menit 3x/minggu
o Pemeriksaan tekanan darah rutin
o Edukasi penyakit, rencana diagnosis dan terapi, komplikasi,
tanda bahaya
3. Obesitas I
Atas dasar:
Pada anamnesis didapatkan pasien tidak pernah berolahraga sejak 5 tahun
SMRS.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan IMT 26.8 kg/m2 (obesitas I)
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan: -
Dipikirkan: Obesitas I
Rencana diagnosis: Pemeriksaan tekanan darah, gula darah, profil lipid,
serum asam urat
Plan of care: Menurunkan berat badan dengan target berat badan ideal
(66.6 kg), mempertahankan berat badan ideal, mencegah komplikasi
obesitas dan deteksi dini penyakit dengan faktor risiko obesitas.
Rencana terapi:
 Farmakologis: -
 Nonfarmakologis:
o Diet 1900 kkal/hari rendah lemak dan karbohidrat,
perbanyak buah dan sayur
o Aktivitas fisik rutin 30 menit 3x/minggu berupa olahraga
aerobik
o Edukasi penyakit, rencana diagnosis dan terapi, komplikasi
penyakit

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
II. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
2. Safitri ES. ST elevasi miokard infark (STEMI) anteroseptal pada pasien
dengan faktor resiko kebiasaan merokok menahun dan tingginya kadar
kolestrol dalam darah. Medula Unila. 2013;1(4):60-8.
3. Division for Heart Disease and Stroke Prevention. Heart disease fact sheet.
CDC; 2015. Available from: http://www.
cdc.gov/dhdsp/data_statistics/fact_sheets/fs_heart_disease.htm.
4. Depkes Litbang. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan;
2013.
5. Kursus Bantuan Hidup Lanjut ACLS INDONESIA. Jakarta; 2011. Hal 60-
76.
6. Zafari AM. Myocardial infarction. Medscape; 2017. Available from: http://
emedicine.medscape.com/article/155919-overview.
7. Gray HH, Dawkins KD, Simpson IA, Morgan JM. Lecture Notes:
Kardiologi. Edisi IV. Jakarta;2002. Hal 107-50.
8. Farissa IP. Komplikasi pada pasien IMA STEMI yang mendapat maupun
tidak mendapat terapi reperfusi. Fakultas Kedokteran Universitas Riau;
2012.
9. ESC management of Stable Coronary Artery Disease. 2015.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
tatalaksana sindrom koroner akut. Edisi ke-3. 2015.
11. Myrtha R. Patofisiologi sindrom koroner akut. CDK192. 2012;39(4):261–4.
12. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al.
2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: A
Report of the American College of Cardiology Foundation/ American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation.
2013;128(16):e240–327.
13. Simanjuntak M. Sindroma koroner akut. Medan; 2013. p. 7–36.
14. Thaler MS. Satu-satunya buku EKG yang anda perlukan. Jakarta: EGC;
2012.
15. Pasceri V, Andreotti F, Maseri A. Clinical markers of thrombolytic success.
European Heart Journal. 1996;17(Supplement):35-41.
16. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, Cairns R, Murphy SA, Lemos
JA, et al. TIMI risk score for ST-elevtion myocardial infarction: A
convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation.
Circulation. 2000;102:2031-2037.
17. Backus BE, Six AJ, Kelder JH, Gibler WB, Moll FL, Doevendans PA. risk
scores for patients with chest ains: Evaluation in the emergency department.
Current Cardiology Reviews. 2011;7:2-8.
18. Coven DL. Acute coronary syndrome. Medscape; 2016. Available from:
http:// emedicine.medscape.com/article/1910735-overview

21

Anda mungkin juga menyukai