Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE LUNG EDEMA (ALO)

A. KONSEP DASAR TEORI

1. Pengertian

Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di


ekstravaskuler dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan yaitu
peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin,
2008). Acute lung oedem (ALO) atau kardiak adalah akumulasi cairan di paru-paru
secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravascular (Piece dan Wilson, 2006).
Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya
tekanan vena pulmonalis. Dalam edema puloner, cairan terkumpul dalam ruang
ekstravaskular paru-paru. Dalam edema paru kardiogenik, akumulasi cairan
disebabkan oleh kenaikan tekanan venosa pulmoner dan hidrostatik kapiler. Edema
pulmuner merupakan komplikasi umum dari gangguan kardiak dan bisa muncul
sebagai kondisi kronis yang berkembang dengan cepat dan berakibat fatal. Ventrikel
kiri yang terganggu membutuhkan kenaikan tekanan pengisian untuk
mempertahankan kecukupan output; tekanan tersebut dihantarkan ke atrium kiri,
vena pulmoner, dan dasar kapiler pulmoner. Peningkatan dorongan hidrostatik kapiler
pulmoner ini menyebabkan cairan intravaskular mengalir ke interstitium pulmoner,
sehingga menurunkan pemenuhan paru-paru dan mengganggu pertukaran gas
(Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
Edema Paru Akut (Kardiak) menunjukkan adanya akumulasi cairan yang
rendah protein di interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik
vena di atrium kiri melebihi keluaran ventrikel kiri (Smeltzer dan Bare, 2000).
Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat
disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Edema paru terjadi ketika cairan yang
disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan
menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli
tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema dan yang
mengatur perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang klasik
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)

2. Etiologi
Penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Kardiogenik
1) Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan
darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung
yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami
gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
2) Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa
ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan
oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan
efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah
lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal
inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
3) Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
4) Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
b. Non-Kardiogenik
Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) Kondisi yang berpotensi serius
Disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan
racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-
paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
Menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah,
berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang
telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan
tubuh.
4) High altitude pulmonary edema
Yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang
tinggi lebih dari 10,000 feet.
5) Trauma otak
Perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah,
atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-
paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
6) Paru yang mengembang secara cepat
Dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin
terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah
yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan,
berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada
pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary
edema).
7) Penyebab yang jarang terjadi
Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis
dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang
mungkin menyebabkan pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi
atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi
virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

3. Klasifikasi
a. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
1) Peningkatan tekanan kapiler paru :
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel
kiri (stenosis mitral).
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial :
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas
akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
5) Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
a) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO2, dsb).
c) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
d) Aspirasi asam lambung.
e) Pneumonitis radiasi akut.
f) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g) G Disseminated Intravascular Coagulation.
h) Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
i) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j) Pankreatitis Perdarahan Akut.
6) Insufisiensi Limfatik :
a) Post Lung Transplant.
b) Lymphangitic Carcinomatosis.
c) Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
7) Tak diketahui/tak jelas
a) High Altitude Pulmonary Edema.
b) Neurogenic Pulmonary Edema.
c) Narcotic overdose.
d) Pulmonary embolism.
e) Eclampsia.
f) Post Cardioversion.
g) Post Anesthesia.
h) Post Cardiopulmonary Bypass. (Smeltzer dan Bare, 2000; Price dan
Wilson, 2006).
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit.
Untuk pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasarnya. Sebagian
besar penyebab dari penyakit ini adalah gagal jantung kiri. Gagal jantung sisi kiri ini
dapat disebabkan oleh adalah ateriosklerosis, penyakit jantung kardiomiopatik,
hipertensi, dan penyakit jantung vaskuar (Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
Faktor Predisposisi yang mungkin dapat berpengaruh antara lain adalah:
a. Menurunnya tekanan osmotic koloid serum (nefrosis, luka bakar, penyakit
hepatic, defisiensi nutrisional)
b. Terganggunya drainase limfatik paru-paru (penyakit Hodgin, limfangitis
obliteratif)
c. Infusi cairan I.V. secara berlebihan
d. Miksoma atrial kiri
e. Stenosis mitral.
f. Penyakit oklusif veno pulmoner
(Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).

4. Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika
cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan sekelilingnya,
menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam
pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran darah untuk menahan
cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru. Area
yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-kantong udara
yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana oksigen dari udara
diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan
kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding
yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya
dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya. Edema
paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan cairan yang merembes keluar dari
pembuluh darah dalam paru sebagai ganti udara. Ini dapat menyebabkan persoalan
pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
oksigenasi darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air di dalam
paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar pembuluh
darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan cairan yang dibuat oleh
Starling.
Qf = Kf ⌠(Pmv – Ppmv) – σ(πmv - πpmv)⌡
Qf = aliran cairan transvaskuler;
Kf = koefisien filtrasi;
Pmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler;
Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler intersisial;
σ = koefisien refleksi osmosis;
πmv = tekanan osmotic protein plasma;
πpmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan
tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral);
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri;
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh
karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif oleh
karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume akhir
ekspirasi (asma). (Smeltzer dan Bare, 2000; Price dan Wilson, 2006; Lippincott
Wiiliams & Wilkins, 2008).

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar
dideteksi dini.
a. Stadium 1
Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial,
akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat
takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan
saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati. (Sjaharudin Harun &
Sally Aman Nasution, 2006).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria
koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat
dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan
menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan
mengurangi edema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler;
pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita
dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal;
hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi
meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa
penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh
karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006).
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tanda dan gejala pada edema
pulmoner dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tanda gejala awal dan tanda gejala di
kemudian hari.
a. Tanda dan gejala awal
- Batuk
- Dedas dependen
- Kekencangan diastolik (S3)
- Dispnea saat mengerahkan tenaga
- Distensi vena jugular
- Ortopnea
- Dispnea noktural paroksimal
- Takikardi
- Takipnea
b. Tanda dan gejala di kemudian hari
- Aritmia
- Kulit dingin, lembab, diaforetik, dan sianotik
- Konfusi
- Output Cardiac berkurang
- Tingkat kesadaran menurun
- Dedas menyebar
- Sputum berbusa atau berdarah
- Hipotensi
- Takikardi meningkat
- Respirasi sulit dan cepat
- Denyut nadi sangat halus dan nyaris tidak tampak

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah meliputi ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, urinalisa.
Analisa gas darah arterial (ABG) menunjukkan hipoksia. Tekanan parsial
karbondioksida bervariasi. Pasien bisa mengalami alkalosis dan asidosis respiratorik
yang sangat parah. Asidosis metabolic muncul jika output kardiak rendah.
b. Foto torak
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-
ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung
dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral
column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang
lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari
dinding dada. X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan
lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya.
Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi
yang minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya. Gambaran Radiologi
yang ditemukan:
1) Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
2) Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3) Kranialisasi vaskuler
4) Hilus suram (batas tidak jelas).
5) Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)
Gambar 1: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegali,
efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru


1) Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2) Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)

Gambar 3: Bat’s Wing


Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh: emfisema).
c. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia
atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien dengan krisis
hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi
ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik
biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT
memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum
diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab,
antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
pada dinding, peningkatan akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal
akibat perubahan metabolik atau katekolamin.
d. Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T)
e. Echocardiografi transtorakal
Ekokardiogram bisa memperlihatkan otot jantung yang lemah, katup jantung yang
bocor atau sempit, atau cairan yang mengelilingi jantung.
f. Angiografi koroner
g. Kateterisasi arteri pulmoner
Mengidentifikasi gagal jantung sisi kiri yang ditunjukkan dengan kenaikan tekanan
baji arteri pulmoner (pulmonary artery wedge pressure). (Lippincott Wiiliams &
Wilkins, 2008).
Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)

EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac (+) Jarang
event
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)
Nadi kuat
S3 gallop/kardiomegali (+) (-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP < 18 mmHg
> 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Hebat
Sedikit
Protein cairan edema > 0.7
< 0.5
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

7. Penatalaksanaan
Menurut Santoso Karo et al. (2008) penatalaksanaan pada edema pulmoner adalah
sebgai berikut:
a. Posisi ½ duduk
b. Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan > 60 mmHg dengan O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator. Oksigenasi dipantau
melalui pulsa oksimetri dan pengukuran gas darah arteri (Smmeltzer dan Bare,
2000).
c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
d. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena
mengurangi preload. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil
memuaskan maka dapat diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai
didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien
yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan
perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
e. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari). Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran
darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri
(preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload
berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan
tenaga pernafasan. Penggunaan morfin tidak boleh diberikan bila edema paru
dsebabkan oleh cidera vascular otak, penyakit paru kroni, atau syok kardiogenik.
Pasien harus diawasi bila terjadi depresi pernapasan berat; antagonis morfin
(Naloxone hydrochloride (Narcan) harus tersedia (Smeltzer, 2000).
f. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap
4 jam atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran
(preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai puncaknya setelah 30-60
menit. Penurunan tekana darah, peningkatan frekuensi jantung dan penurunan
haluaran urin merupakan petunjuk bahwa sistem peredaran darah tidak mampu
mentoleransi diuretik dan harus diambil tindakan untuk mengatasi hipovolemia
yang terjadi. Pasien dengan hyperplasia prostat harus diawasi adanya tanda retensi
urin (Smeltzer dan Bare, 2000).
g. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit
atau doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Bila TD 70-100 mmHg
disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV.
Bila tidak membaik dengan Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan
Norephinephrine 0,5-30 mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai
10 mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20
mcg/kgBB/menit IV.
h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel/corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda
edema pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa
adanya edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi
dalam jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam
dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-
komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik,
pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara
parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial
menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda,
seperti otak (Panji, 2008).
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Menurut Doegoes, 1999 pengkajian pada penderita edema pulmoner adalah
sebagai berikut:
a. Identitas, umur, jenis kelamin
b. Riwayat masuk :
Pasien biasanya dibawa ke RS setelah mengalami sesak napas, sianosis atau
batuk-batuk disertai kemungkinan adanya demam tinggi ataupun tidak.
Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada
kasus trauma.
c. Riwayat penyakit sebelumnya :
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta
penyakit ginjal mungkin ditemui pada pasien.
d. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
e. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng.
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
f. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
g. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
h. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
i. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
j. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare.
k. Studi Laboratorik :
1) Hb: menurun/normal
2) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
3) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
4) Enzim jantung : Troponin I atau T, CKMB

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Nanda 2012, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah
sebagai berikut :
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas
miokardial (penurunan).
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-
alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
c. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
d. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
e. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah).
f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan
dengan kurang terpajang informasi.
3. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan Carpenito, 2007 intervensi keperawatan yang dapat dilakuakan adalah
sebagai berikut:
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas
miokardial (penurunan).
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi curah jantung dalam keadaan stabil.
Kriteria hasil:
 Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan darah, Nadi, respirasi)
 Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan
 Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
 Tidak ada penurunan kesadaran
 AGD dalam batas normal
 Tidak ada distensi vena leher
 Warna kulit normal
Intervensi Rasional
Catat suara jantung S1 dan S2 mungkin lemah karena terdapat
kelemahan dalam memompa. Irama
gallop sering ada (S2 dan S3). Murmur
merupakan gambaran adanya
ketidaknormalan/stenosis dari katup.
Monitor tekanan darah pada awal tekanan darah meningkat
karena peningkatan SVR, lama kelamaan
badan/body jantung tidak bisa bertambah
panjang agar bisa untuk kompensasi dan
bisa terjadi hipotensi berat.
Palpasi denyut peripher Penurunan CO akan menyebabkan
kelemhn denyut pada arteri radialis,
poplitea,dorsalis pedis dan posttibial.
Denyut dapat yang cepat atau reguler dan
mungkin juga terdapat pulsus alternans
(denyut yang kuat di selingi denyut yang
lemah)
Lihat warna kulit,pucat,cyanosis Pucat menunjukkan berkurangnya perfusi
perifer sebagai akibat sekunder dari
ketidakadekuatnya CO
Nilai perubahan tanggapan panca Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi
indera seperti : lethargy, cerebralsebagai akibat sekunder dari
kebingungan, disoientasi cemas dan penurunan CO
depresi
Collaborative dalam pemberian O2 Meningkatnya persediaanya O2 untuk
lewat canul nasal/masker sesuai kebutuhan myokard untuk menanggulangi
indikasi efek hypoxia/iskemia
Collaborative pemberian diuretik Pengurangan preload penting dalam
pengobatan pada pasien cardiac out put
yang relative normal yang di sertai oleh
gejala-gejala bendungan. Pemberian loup
diuretics akan mengurangi reabsorbsi dari
sodium dan air
Collaborative pemberin digoxin Meningkatkan kekuatan kontraksi jantung
dan melambatkan kecepatan denyut
jantung (heart rate) dengan menurunkan
kecepatan konduksi dan memperpanjng
periode retrakter dari AV junction untuk
meningkatkan efisiensi jantung atau
cardiac output

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-


alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi pertukaran gas
pernapasan klien kembali optimal.
Kriteria hasil:
 Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
 Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress
pernafasan
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan
mudah, tidak ada pursed lips)
 Tanda tanda vital dalam rentang normal
 AGD dalam batas normal
 Status neurologis dalam batas normal
Intervensi Rasional
Auskultasi suara nafas, catat adanya Menunjukkan adanya bendungan
krekels. pulmonal/penumpukan secret yang
membutuhkan penanganan lebih lanjut
Atur posisi fowler dan bed rest Merangsang pengembangan paru secara
maksimal
Pantau/gambarkan seri BGA, nadi hipoksemia dapat menjadi berat selama
oksimetri edema paru
Collaborative pemberian O2 sesuai Meningkatkan konsenterasi O2 alveolar
indikasi yang akan mengurangi hypoxemia
jaringan
Collaborative pemberian diuretik Pengurangan preload penting dalam
pengobatan pada pasien cardiac out put
yang relative normal yang di sertai oleh
gejala-gejala bendungan. Pemberian loup
diuretics akan mengurangi reabsorbsi dari
sodium dan air
Collaborative pemberin Meningkatkan pemasukan O2 dengan
Bronkodilator jalan dilatasi saluran nafas

3) Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi


paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi pertukaran pola
pernapasan klien kembali optimal.
Kriteria hasil:
 Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
 Pada pemeriksaan rontgen thoraks terlihat adanya pengembangan paru
 Bunyi napas terdengar jelas
Intervensi Rasional
Identifikasi faktor penyebab Dengan mengidentifikasikan penyebab,
kita dapat mengambil tindakan yang tepat
Kaji kualitas, frekuensi dan Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan
kedalaman pernafasan, laporkan kedalaman pernafasan, kita dapat
setiap perubahan yang terjadi mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi pasien
Baringkan pasien dalam posisi yang Penurunan diafragma memperluas daerah
nyaman, dalam posisi duduk, dengan dada sehingga ekspansi paru bisa
kepala tempat tidur ditinggikan 60 – maksimal
90 derajat
Observasi tanda-tanda vital (suhu, Peningkatan RR dan tachicardi
nadi, tekanan darah, RR dan respon merupakan indikasi adanya penurunan
pasien) fungsi paru

Lakukan auskultasi suara nafas tiap Auskultasi dapat menentukan kelainan


2-4 jam suara nafas pada bagian paru-paru
Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk Menekan daerah yang nyeri ketika batuk
dan nafas dalam yang efektif atau nafas dalam. Penekanan otot-otot
dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif
Kolaborasi dengan tim medis lain Pemberian oksigen dapat menurunkan
untuk pemberian O2 dan obat-obatan beban pernafasan dan mencegah
serta foto thorax terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan
foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari
berkurangnya cairan dan kembalinya daya
kembang paru

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan sesuai dengan intervensi keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian peoses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. (Ali, 2009)
Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk menentukan apakah
tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara efektif. (Nursalam, 2008)
- Tujuan tercapai, jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan.
- Tujuan tercapai sebagian, jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari
standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
- Tujuan tidak tercapai, jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan
sama sekali dan bahkan timbul masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. 2009. Dasar-dasar Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC


Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku Kedokteran :
EGC.
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik.
Jakarta: Salemba Medika
Panji. 2008. Edema Paru Akut (kardiak). http://panji102blogspot.com/2008/06/edema-paru-
akut-kardiak.html. Diakses tanggal 6 April 2012. Pukul 20.00 WIB.
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher.
Doengoes, M. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa oleh I
Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC.
Lippincott Williams & Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih
bahasa: Paramita. Editor: Bambang Sarwiji. Jakarta: PT Indeks.

Anda mungkin juga menyukai