Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA KLIEN DENGAN


EDEMA PARU AKUT (ACUTE LUNG OEDEM) DI RUANG IGD
RSUD TUGUREJO SEMARANG

Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik Keperawatan


Kegawatdaruratan dan Manajemen Bencana Prodi DIII Keperawatan Semarang

NAMA : ITA FITRIANA


NIM : 1337420114062
KELAS : 3A2
SEMESTER : VI

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2017

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA KLIEN
DENGAN EDEMA PARU AKUT (ACUTE LUNG OEDEM)
DI IGD RSUD TUGUREJO SEMARANG

A. DEFINISI
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di
ekstravaskuler dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan yaitu peningkatan
tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin, 2008). Acute lung
oedem (ALO) atau kardiak adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peninggian tekanan intravascular (Piece dan Wilson, 2006).
Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan
vena pulmonalis. Dalam edema puloner, cairan terkumpul dalam ruang ekstravaskular
paru-paru. Dalam edema paru kardiogenik, akumulasi cairan disebabkan oleh kenaikan
tekanan venosa pulmoner dan hidrostatik kapiler. Edema pulmuner merupakan
komplikasi umum dari gangguan kardiak dan bisa muncul sebagai kondisi kronis yang
berkembang dengan cepat dan berakibat fatal. Ventrikel kiri yang terganggu
membutuhkan kenaikan tekanan pengisian untuk mempertahankan kecukupan output;
tekanan tersebut dihantarkan ke atrium kiri, vena pulmoner, dan dasar kapiler pulmoner.
Peningkatan dorongan hidrostatik kapiler pulmoner ini menyebabkan cairan
intravaskular mengalir ke interstitium pulmoner, sehingga menurunkan pemenuhan paru-
paru dan mengganggu pertukaran gas (Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
Edema Paru Akut (Kardiak) menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah
protein di interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di
atrium kiri melebihi keluaran ventrikel kiri (Smeltzer dan Bare, 2000).
Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat
disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Edema paru terjadi ketika cairan yang
disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi
masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa
terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema dan yang mengatur perpindahan
cairan dan protein di paru menjadi masalah yang klasik (Sjaharudin Harun & Sally Aman
Nasution, 2006)

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Kardiogenik
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak
mampu memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih
berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi
beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan
mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur
aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu
menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir
kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

2. Non-Kardiogenik
Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang
dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. Kondisi yang berpotensi serius
Disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-
racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
Menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema
Yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi
lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak
Perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau
operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,
menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat
Dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin
terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang
besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada
ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya
pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
g. Penyebab yang jarang terjadi
Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema.
Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus
pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan
pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.
C. Klasifikasi
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
a. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl
thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. G Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik :
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a. High Altitude Pulmonary Edema.
b. Neurogenic Pulmonary Edema.
c. Narcotic overdose.
d. Pulmonary embolism.
e. Eclampsia.
f. Post Cardioversion.
g. Post Anesthesia.
h. Post Cardiopulmonary Bypass.
(Smeltzer dan Bare, 2000; Price dan Wilson, 2006).
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk
pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasarnya. Sebagian besar
penyebab dari penyakit ini adalah gagal jantung kiri. Gagal jantung sisi kiri ini dapat
disebabkan oleh adalah ateriosklerosis, penyakit jantung kardiomiopatik, hipertensi, dan
penyakit jantung vaskuar (Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
Faktor Predisposisi yang mungkin dapat berpengaruh antara lain adalah:
a. Menurunnya tekanan osmotic koloid serum (nefrosis, luka bakar, penyakit hepatic,
defisiensi nutrisional)
b.
Terganggunya drainase limfatik paru-paru (penyakit Hodgin, limfangitis obliteratif)
c.
Infusi cairan I.V. secara berlebihan
d.
Miksoma atrial kiri
e.
Stenosis mitral.
f.
Penyakit oklusif veno pulmoner
(Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
D. Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika
cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan sekelilingnya,
menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam
pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran darah untuk menahan cairan
dalam plasma (bagian dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru. Area
yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang
sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana oksigen dari udara diambil
oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan kedalam
alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat
tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli
kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli
dipenuhi dengan cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai
ganti udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang buruk.
Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air di dalam paru ketika menggambarkan
kondisi ini pada pasien.
Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar pembuluh
darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan cairan yang dibuat oleh
Starling.
Qf = Kf (Pmv Ppmv) (mv - pmv)
Qf = aliran cairan transvaskuler;
Kf = koefisien filtrasi;
Pmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler;
Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler intersisial;
= koefisien refleksi osmosis;
mv = tekanan osmotic protein plasma;
pmv = tekanan osmotic protein intersisial.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan
tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral);
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri;
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh
karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif oleh
karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume akhir
ekspirasi (asma)
(Smeltzer dan Bare, 2000; Price dan Wilson, 2006; Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks).
Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi
dini.
1. Stadium 1
Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan
fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat
inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria
koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah
dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat
cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema paru
sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard
Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin
disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan
kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung (Sjaharudin Harun & Sally
Aman Nasution, 2006).
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tanda dan gejala pada edema
pulmoner dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tanda gejala awal dan tanda gejala di kemudian
hari.
1. Tanda dan gejala awal
a. Batuk
b. Dedas dependen
c. Kekencangan diastolik (S3)
d. Dispnea saat mengerahkan tenaga
e. Distensi vena jugular
f. Ortopnea
g. Dispnea noktural paroksimal
h. Takikardi
i. Takipnea
2. Tanda dan gejala di kemudian hari
a. Aritmia
b. Kulit dingin, lembab, diaforetik, dan sianotik
c. Konfusi
d. Output Cardiac berkurang
e. Tingkat kesadaran menurun
f. Dedas menyebar
g. Sputum berbusa atau berdarah
h. Hipotensi
i. Takikardi meningkat
j. Respirasi sulit dan cepat
k. Denyut nadi sangat halus dan nyaris tidak tampak.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah meliputi ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit,
urinalisa.
Analisa gas darah arterial (ABG) menunjukkan hipoksia. Tekanan parsial
karbondioksida bervariasi. Pasien bisa mengalami alkalosis dan asidosis respiratorik
yang sangat parah. Asidosis metabolic muncul jika output kardiak rendah.
2. Foto toraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung
jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari
vertebral column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-
bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur
tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema
mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang
paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema
dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru
dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal.
Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat
dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya.

Gambaran Radiologi yang ditemukan:


a. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
b. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
c. Kranialisasi vaskuler
d. Hilus suram (batas tidak jelas)
e. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)

Gambar 1: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegali,


efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru


1) Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2) Edema butterfly atau Bats Wing (edema sentral)

Gambar 3: Bats Wing


Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh: emfisema).
3. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel
kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya
menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang
khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghiland dalam
1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada
beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-
endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding,
peningkatan akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan
metabolik atau katekolamin.
4. Echocardiografi transtorakal
Ekokardiogram bisa memperlihatkan otot jantung yang lemah, katup jantung yang
bocor atau sempit, atau cairan yang mengelilingi jantung.
5. Kateterisasi arteri pulmoner
Mengidentifikasi gagal jantung sisi kiri yang ditunjukkan dengan kenaikan tekanan
baji arteri pulmoner (pulmonary artery wedge pressure)
(Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+)
Nadi kuat
JVP Meningkat
(-)
Ronki Basah
Tak meningkat
Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP < 18 mmHg
> 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Hebat
Sedikit
Protein cairan edema > 0.7
< 0.5
Keterangan:
JVP : jugular venous pressure
PCWP : Pulmonary Capilory wedge pressure
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
G. Penatalaksanaan
Menurut Santoso Karo et al. (2008) penatalaksanaan pada edema pulmoner
adalah sebgai berikut:
a. Posisi duduk
b. Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan > 60
mmHg dengan O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction dan ventilator. Oksigenasi dipantau melalui pulsa oksimetri dan
pengukuran gas darah arteri (Smmeltzer dan Bare, 2000).
c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
d. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena
mengurangi preload. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil
memuaskan maka dapat diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit
bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-
organ vital.
e. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari). Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah
balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload),
dan juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek
sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan.
Penggunaan morfin tidak boleh diberikan bila edema paru dsebabkan oleh cidera
vascular otak, penyakit paru kroni, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila
terjadi depresi pernapasan berat; antagonis morfin (Naloxone hydrochloride (Narcan)
harus tersedia (Smeltzer, 2000).
f. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam. Efek
bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran (preload).
Efek kedua adalah diuresis yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Penurunan
tekana darah, peningkatan frekuensi jantung dan penurunan haluaran urin merupakan
petunjuk bahwa sistem peredaran darah tidak mampu mentoleransi diuretik dan harus
diambil tindakan untuk mengatasi hipovolemia yang terjadi. Pasien dengan
hyperplasia prostat harus diawasi adanya tanda retensi urin (Smeltzer dan Bare, 2000).
g. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit
atau doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Bila TD 70-100 mmHg disertai
gejala-gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak
membaik dengan Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine
0,5-30 mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10 mcg/kgBB/menit.
Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV.
h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel/corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang
dapat dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda edema
pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa adanya
edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi dalam
jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam
dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-
komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik,
pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara
parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial
menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda,
seperti otak (Panji, 2008).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
a. Airways
1) Sumbatan atau penumpukan secret.
2) Wheezing atau krekles.
3) Kepatenan jalan nafas.
b. Breathing
1) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
2) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
3) Ronchi, krekles.
4) Ekspansi dada tidak penuh.
5) Penggunaan otot bantu nafas.
c. Circulation
1) Nadi lemah, tidak teratur.
2) Capillary refill.
3) Takikardi.
4) TD meningkat / menurun.
5) Edema.
6) Gelisah.
7) Akral dingin.
8) Kulit pucat, sianosis.
9) Output urine menurun.
d. Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale
(GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja. Dapat
dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium : keadaan
kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak sadar
terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan kesadaran
yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan rangsang nyeri.
Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak dapat dibangunkan
dengan rangsang apapun.
e. Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan ketidaknyamanan
(nyeri) dengan pengkajian PQRST.
2. Pengkajian Sekunder
a. AMPLE
1) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu terjadinya
penyakitnya.
2) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit
terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
3) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan menjadi
penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang.
4) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
5) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien dengan
kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
2) Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
3) Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan.

4) Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
5) Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
6) Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun,
7) Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
8) Pemeriksaan Penunjang :
a) Hb : menurun/normal
b) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
c) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

ii) DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadapprosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
iii) RENCANA KEPERAWATAN
Intervensi
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefe Pola nafas kembali 1. Berikan HE 1. Informasi yang adekuat
ktifan pola efektif setelah pada pasien dapat membawa pasien
nafas dilakukan tindakan tentang lebih kooperatif dalam
berhubunga keperawatan selama 3 penyakitnya memberikan terapi
n dengan 24 jam, dengan 2. Jalan nafas yang
keadaan kriteria hasil: 2. Atur posisi longgar dan tidak ada
tubuh yang 1. Tidak terjadi semi fowler sumbatan proses
lemah hipoksia atau respirasi dapat berjalan
hipoksemia dengan lancar.
2. Tidak sesak 3. Sianosis merupakan
3. Observasi
3. RR normal (16-20 salah satu tanda
tanda dan gejala
/ menit) manifestasi
sianosis
4. Tidak terdapat ketidakadekuatan suply
kontraksi otot bantu O2 pada jaringan tubuh
nafas perifer .
5. Tidak terdapat 4. Berikan terapi 4. Pemberian oksigen
sianosis oksigenasi secara adequat dapat
mensuplai dan
memberikan cadangan
oksigen, sehingga
mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Observasi 5. Dyspneu, sianosis
tanda-tanda vital merupakan tanda
terjadinya gangguan
nafas disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan capilary
refill time yang
memanjang/lama.
6. Observasi 6. Ketidakmampuan tubuh
timbulnya gagal dalam proses respirasi
nafas diperlukan intervensi
yang kritis dengan
menggunakan alat
bantu pernafasan
(mekanical ventilation).
7. Kolaborasi 7. Pengobatan yang
dengan tim medis diberikan berdasar
dalam indikasi sangat
memberikan membantu dalam proses
pengobatan terapi keperawatan

2 Gangguan Fungsi pertukaran gas 1. Berikan HE 1. Informasi yang


pertukaran dapat maksimal setelah pada pasien adekuat dapat
Gas dilakukan tindakan tentang membawa pasien
berhubunga keperawatan selama 3 penyakitnya lebih kooperatif
n dengan 24 jam dengan dalam memberikan
distensi kriteria hasil: terapi
kapiler 1. 8.Tidak terjadi 2. Jalan nafas yang
pulmonar sianosis 2. Atur posisi longgar dan tidak ada
2. 9.Tidak sesak pasien semi sumbatan proses
3. RR normal (16-20 fowler respirasi dapat
/ menit) berjalan dengan
4. BGA normal: lancer
5. partial pressure of 3. Posisi yang berbeda
oxygen (PaO2): 75- 3. Bantu pasien menurunkan resiko
100 mm Hg untuk melakukan perlukaan akibat
6. partial pressure of reposisi secara imobilisasi
carbon dioxide sering 4. Pemberian oksigen
(PaCO2): 35-45 mm 4. Berikan terapi secara adequat dapat
Hg oksigenasi mensuplai dan
7. oxygen content memberikan cadangan
(O2CT): 15-23% oksigen, sehingga
8. oxygen saturation mencegah terjadinya
(SaO2): 94-100% hipoksia
9. bicarbonate 5. Dyspneu, sianosis
5. Observasi
(HCO3): 22-26 merupakan tanda
tanda tanda
mEq/liter terjadinya gangguan
vital
10. pH: 7.35-7.45 nafas disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan
capilary refill time
yang
memanjang/lama.
6. Pengobatan yang
6. Kolaborasi diberikan berdasar
dengan tim medis indikasi sangat
dalam membantu dalam
memberikan proses terapi
pengobatan keperawatan
3 Resiko Infeksi tidak terjadi 1. Berikan HE pada 1. Informasi yang
tinggi setelah dilakukan pasien tentang adekuat dapat
infeksi tindakan keperawatan kondisi yang membawa pasien
berhubunga selama 3 24 jam, dialaminya lebih kooperatif
n dengan dengan kriteria hasil: 2. Observasi tanda- dalam memberikan
area invasi 1. Pasien mampu tanda vital. terapi
mikroorgan mengurangi kontak 2. Meningkatnya suhu
isme dengan area tubuh dpat dijadikan
sekunder pemasangan selang 3. Observasi daerah sebagai indicator
terhadap endotrakeal pemasangan terjadinya infeksi
pemasanga 2. Suhu normal selang 3. Kebersihan area
o
n selang (36,5 C) endotrakheal pemasangan selang
endotrakeal menjadi factor resiko
4. Lakukan tehnik masuknya
perawatan secara mikroorganisme
aseptik 4. Meminimalkan
organisme yang
5. Kolaborasi kontak dengan pasien
dengan tim medis dapat menurunkan
dalam resiko terjadinya
memberikan infeksi
pengobatan 5. Pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC


Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika.
Panji. 2008. Edema Paru Akut (kardiak). http://panji102blogspot.com/2008/06/edema-paru-
akut-kardiak.html. Diakses tanggal 6 April 2012. Pukul 20.00 WIB.
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunners and Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher.
Doengoes, M. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa oleh I Made
Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC.
Lippincott Williams & Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih
bahasa: Paramita. Editor: Bambang Sarwiji. Jakarta: PT Indeks.

Anda mungkin juga menyukai