Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik Keperawatan Kritis
Prodi DIII Keperawatan Semarang
2. Etiologi
Beberapa faktor risiko/faktor predisposisi terjadinya kanker rectum menurut
Brunner & Suddarth (2002) telah diidentifikasi sebagai berikut
a. Diet rendah serat, yang mengakibatkan perubahan pada flora feses dan
perubahandegradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan
lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat
juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang
bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat
yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
b. Lemak, kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah
steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.
c. Polip diusus (colorectal polyps), yaitu pertumbuhan sel pada dinding dalam
kolon atau rectum. Sebagian besar polip bersifat jinak (bukan kanker), tapi
beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.
d. Inflamatory Bowel Disease, yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki
risiko yang lebih besar.
e. Riwayat kanker pribadi, orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal
dapat terkena kanker colorectal untuk kedua kalinya.Selain itu, wanita dengan
riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium), atau payudara mempunyai
tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker colorectal.
f. Riwayat kanker colorectal pada keluarga, jika mempunyai riwayat kanker
colorectal pada keluarga, maka kemungkinan terkena penyakit ini lebih besar,
khususnya jika terkena kanker pada usia muda.
g. Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak dan sedikit
buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang lebih besar terkena kanker
colorectal serta kebiasaan sering menahan tinja/defekasi yang sering.
3. Klasifikasi
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM
staging system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-
IV) antara lain:
a. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu
pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
b. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar
kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes
A rectal cancer.
c. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun
tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
d. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
e. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru,
atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer.
4. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari
lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya.
Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain
(paling sering ke hati). Tumor yang berupa massa polipoid besar, tumbuh ke dalam
lumen dan dengan cepat meluas ke sekitar usus sebagai cincin anular. Lesi anular
lebih sering terjadi pada bagian rektosigmoid, sedangkan polipoid atau lesi yang datar
lebih sering terdapat pada sekum dan kolon asendens.
Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu :
a. Secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih.
b. Melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon
c. Melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke system
portal.
d. Penyebaran secara transperitoneal
e. Penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi drain.
Adenokarsinoma secara jalur APC (adenomatous polyposis coli) melibatkan
beberapa mutasi genetik, dimulai dengan inaktivasi dari gen APC, yang
memungkinkan replikasi seluler di bawah permukaan dinding. Dengan peningkatan
pembelahan sel, terjadi mutasi lebih lanjut, mengkibatkan aktivitas dari onkogen K-
ras pada tahap awal dan mutasi pada tahap-tahap selanjutnya. Kerugian kumulatif ini
dalam fungsi gen supresor tumor mencegah apoptosis dan memperpanjang umur sel
tanpa batas. Jika mutasi APC diwariskan, akan berakibat pada sindrom poliposis
adenomatosa kekeluargaan. Secara histologis, adenoma diklasifikasikan dalam tiga
kelompok : tubular, tubulovillous, dan villous adenoma. Mutasi K-ras dan ketidak
stabilan mikrosatelit telah diidentifikasi dalam hiperplastik polip. Oleh karena itu,
hiperplastik polip mungkin juga memiliki potensi ganas dalam berbagai derajat
(Leggett, 2001).
5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
a. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah
segar maupun yang berwarna hitam.
b. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut atau usus tidak benar - benar kosong
saat BAB
c. Feses yang lebih kecil dari biasanya
d. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada
perut atau nyeri
e. Penurunan berat badan
f. Mual dan muntah
g. Rasa letih dan lesu
h. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada
daerah gluteus.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Barium Enema, yaitu Cairan yang mengandung barium dimasukkan melalui
rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah.
b. Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
c. Colonoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
d. Biopsi, jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling
sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah
karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan
undifferentiated tumors
e. Foto sinar X Pemeriksaan radiologis dengan barium enema dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan ini
akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5 6 cm berbentuk anular atau
apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak.
7. Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal.Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektal yang sering digunakan antara lain:
a. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium
III juga dilakukan pembedahan.Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam
metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-
surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi.Penggunaan kemoterapi
sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada
kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan
III.Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian
besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih
membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel
kanker yang tertinggal (Anderson, 2006).
Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur
pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993 dalam
Brunner & Suddarth, 2002):
1) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus
pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
2) Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta sfingkter
anal)
3) Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan anastomisis
serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus
awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
4) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi
yang tidak dapat direseksi)
Berkenaan dengan teknik perbaikan melalui pembedahan, kolostomi
dilakukan pada kurang dari sepertiga pasien kanker kolorektal.Kolostomi adalah
pembuatan lubang (stoma) pada kolon secara bedah.Stoma ini dapat berfungsi
sebagai diversi sementara atau permanen.Ini memungkinkan drainase atau
evakuasi ini kolon keluar tubuh.Konsistensi drainase dihubungkan dengan
penempatan kolostomi, yang ditentukan oleh lokasi tumor dan luasnya invasi
jaringan sekitar (Brunner & Suddarth, 2002).
Prosedur pelaksanaan reseksi dan kolostomi (Brunner & Suddarth, 2002):
Jahitan
oeritoneum
Kolostomi
Tumor rektum
b. Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III
lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan.
Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan
pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk
penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam
kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan
menunjukkan telah menurunkan risiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46%
dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah
berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada
otak.Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang
memiliki tumor lokal yang unresectable(Mansjoer, 2008).
c. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki
penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan
pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang
bergerombol (Stadium II lanjut dan Stadium III).Terapi standarnya ialah dengan
fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu
enam sampai dua belas bulan.5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin
memperbaiki respon.Agen lainnya, levamisole (meningkatkan sistem imun, dapat
menjadi substitusi bagi leucovorin).Protokol ini menurunkan angka kekambuhan
kira-kira 15% dan menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10% (Mansjoer,
2000).
2. Tujuan
Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri
abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma
abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau
akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan.
3. Indikasi
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
b. Peritonitis
c. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
d. Apendisitis mengacu pada radang apendiks
e. Tumor abdomen
f. Pancreatitis (inflammation of the pancreas)
g. Abscesses (a localized area of infection)
h. Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
i. Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the intestines)
j. Intestinal perforation
k. Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
l. Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)
m. Internal bleeding
Polip usus, ulseratif kolitis
Faktor gaya hidup
Riwayat kanker / polip
Cancer kolorektal
Obstruksi rektum
Mual, mmuntah
Colonsoscopy, sigmoidoscopy,
darah lengkap, biopsi, rontgen intake oral menurun
diare
Luka
C. operasi ASUHAN KEPERAWATAN
KONSEP
peristaltik usus
menurun
Gang. Keseimbangan
cairan dan elektrolit
Nyeri
Gang. Eliminasi Resiko tinggi
bowel : infeksi
D. MANIFESTASI KLINI
konstipasi
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, penanggung jawab dll
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama, riwayat perjalanan penyakit, riwayat kesehatan keluarga, riwayat
kesehatan masa lalu
c. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji adanya sianosis (mencerminkan hipoksemia), retraksi interkota
(menandakan peningkatan upaya nafas), pernafasan cuping hidung, bunyi
nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas) dan tidak adanya
hembusan udara (menandakan obstuksi total jalan nafas atau henti nafas)
2) Breathing
Kaji pergerakan dada, adanya bunyi nafas, adanya hembusan/aliran udara
3) Circulation
Kaji tingkat kesadaran, nadi, warna kulit.
4) Disability
Kaji tingkat kesadaran, reaksi pupil terhadap cahaya, kemampuan pergerakan.
5) Ekposure
Kaji adanya cedera ataupun trauma.
d. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien paling berat. Apabila nyeri kaji dengan P
Q R S T.
b) Riwayat keperawatan sekarang
Kaji kronologis terjadinya keluhan-keluhan klien. Serta kaji obat-obat
yang dikonsumsi oleh klien yang masih relevan. Kaji adanya keluhan
BAB berdarah dan berlendir, perutnya terasa sakit (nyeri), mual, muntah,
mengeluh tidak puas setelah BAB, mengeluh BAB kecil, Klien mengeluh
berat badannya turun.
c) Riwayat keperawatan dahulu
Memiliki riwayat merokok, minum alkohol, masalah Tekanan Darah,
perdarahan pada rektal, perubahan anus. Selain itu kaji riwayat diet yang
hanya serat, protein hewani dan lemak. Kaji juga riwayat menderita
kelainan pada colon kolitis ulseratif (polip kolon)
d) Riwayat keperawatan keluarga
Kaji riwayat penyakit yang pernah dialami oleh keluarga, termasuk
riwayat penyakit keluarga adanya riwayat kanker.
2) Pemeriksaan fisik (Head to toe)
a) Kepala
Inspeksi : Rambut hitam, coklat, pirang, berbau.
Palpasi : Mudah rontok.
b) Sclera dan Conjungtiva
Icterus tampak lebih jelas di sclera disbanding pada kulit.
c) Hidung
Inspeksi : Hidung simetris, pada rongga dikaji apakah ada kotoran
hidung, polip atau pembengkakan
d) Mulut
Rongga mulut : diperiksa bau mulut, radang mocosa (stomatitis), dan
adanya aphtae.
Lidah : kotor/coated, akan ditemui pada keadaan: hygiene mulut yang
kurang, demam thypoid, tidak suka makan, pasien coma, perhatikan pula
tipe lidah yang hipertemik yang dapat ditemui pada pasien typoid fever
Tonsil : Tonsil diperiksa pakah ada pembengkakan atau tidak. Pharinx :
dinding belakang oro pharink diperiksa apakah ada peradangan,
pembesaran adenoid, dan lender/secret yang ada
Kelenjar Getah Bening Leher: pembesaran getah bening dapat terjadi
karena infeksi, infeksi toxoplasmosis memberikan gejala pembesaran
getah bening leher
Kelenjar Tyroid
Inspeksi : bentuk dan besarnya bila pembesarannya telah nyata.
Palpasi : satu tangan dari samping atau dua tangan dari arah belakang,
jari-jari meraba permukaan kelenjar dan pasien diminta menelan
rasakan apakah terasa ada pembengkakan pada jaringan sekitar.
e) Dada
Inspeksi
Kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas (frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan otot-otot bantu pernafasan),
warna kulit, lesi, edema, pembengkakan/ penonjolan.
Palpasi
Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile
fremitus. (perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien untuk
mengucapkan angka tujuh-tujuh atau enam-enam sambil melakukan
perabaan dengan kedua telapak tangan pada punggung pasien).
Perkusi
Paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu sisi dengan satu
sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola berjenjang sisi ke sisi).
Auskultasi
Suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan dengan menggunakan
stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2, di atas manubrium dan di
atas trachea). Normal: bunyi napas vesikuler, bronchovesikuler, brochial,
tracheal.
f) Abdomen
Inspeksi
Pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen membusung/membuncit
atau datar saja, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau
tidak, amati apakah ada bayangan vena, amati juga apakah didaerah
abdomen tampak benjolan-benjolan massa. Laporkan bentuk dan
letakknya
Auskultasi
mendengar suara peristaltic usus, normal berkisar 5-35 kali per menit :
bunyi peristaltic yang yang keras dan panjang disebut borborygmi, ditemui
pada gastroenteritis atau obstruksi usu pada tahap awal. Peristaltic yang
berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit tidak
terdengar suara peristaltic sama sekali maka kita katakana peristaltic
negative (pada pasien post operasi)
Palpasi
Untuk mengetahui apakah ada nyeri umum (peritonitis, pancreatitis).
Kemudian mencari dengan perabaan ada atau tidaknya massa/benjolan
(tumor). Periksa juga turgor kullit perut untuk menilai hidrasi pasien.
Palpasi hepar dilakukan dengan telapak tangan dan jari kanan dimulai dari
kuadrant kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan
cembungan perut. Rasakan apakah ada pembesaran hepar atau tidak.
g) Anus
Diperiksa adannya :Hemhoroid externa, fisurra, fistula, tanda keganasan.
d. Risiko Infeksi (domain 11, kelas 1, kode 00004) berhubungan dengan adanya luka
operasi laparatomi (NANDA, 2015).
NOC (2013):
1) Immune Status
2) Knowledge : Infection control
3) Risk control
Intervensi (NIC, 2013):
1) pantau tanda dan gejala infeksi (suhu, denut jantung, drainase, penampilan
luka, sekresi, penampilan urin, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise)
2) kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
3) pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit, absolute,
hitung jenis, protein serum, albumin)
4) amati penampilan praktek hygiene personal untuk perlindungan terhadap
infeksi.
5) Kolaborasi pemberian antibiotic bila diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer Arif et all, 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media
Aesculapius. Jakarta
Sylvia A. Price & Lorainne M. Wilson. 2006. Patofisiologi (Vol 1 & 2). Edisi 6. EGC
Jakart
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013). Nursing
interventions classification (NIC). USA: Elsevier.
Moorhead, S., Johnson, M., Maridean, M., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
classification (NOC). USA: Elsevier.
Nanda Internasional. (2015). Diagnosis keperawatan 2015-2017. EGC : Jakarta.