Anda di halaman 1dari 45

Skenario 2 : Sakit Perut Nn.

D berusia 17 tahun di bawah ke IGD Rumah sakit dengan keluhan utama sakit perut didaerah kanan bawah.rasa sakit ini datang tiba-tiba yang membuat ia terbangun dari tidur tadi malam karena kesakitan.keluhan utama diatasi disertai rasa mual dan beberapa kali muntah.pasien juga mengeluh mengalami menggigil.

PERTANYAAN :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Identifikasi kata kunci dan kata sulit menurut anda Penyakit apa saja yang bisa menimbulkan keluhan sakit perut Bagaimana patomekanisme terjadinya gejala mual,muntah dan m,enggigil pada kasus Apa hubungan menggigil dan sakit perut pada kasus Nn.D Tentukan etiologi,patomekanisme terapi,prognosis dan pencegahan dari diagnosa keluhan yang dialami oleh Nn.D Sebutkan pemeriksaan diagnostik apa yang dibutuhkan untuk menegakkan terkait dengan keluhan sakit perut pada Nn.d Tuliskan data apa yang diperlukan baik pre dan post op untuk menegakkan diagnosa keperawatan yang lazim ditemukan terkait dengan kasus yang dialami oleh Nn.D Buat perencanaan intervensi keperawatan berdasarkan NIC.dan NOC pada kasus yang dialami oleh Nn.D Menurut anda materio penyuluhan apa yang dibutuhkan oleh Nn.D terkait dengan perawatan colostomi dirumah dan buat perencanaan penyuluhan tersebut.

ASKEP Apendisitis
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkatNya yang telah diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Asuhan keperawatan pada pasien dengan apendisitis . Kami dapat menyelesaikan makalah ini karena adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepda kami. Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat membangun sehingga makalah ini menjadi lebih baik dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Manado, 3 Mei 2013

Tim penulis

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan penulisan C. Manfaat penulisan D. Sistematika penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian B. Klasifikasi C. Etiologi D. Anatomi fisiologi E. Patofisiologi E. Manifestasi klinis F. Pemeriksaan penunjang G. Penatalaksaan H. Prognosis I. Pathway BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 315 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan. Apendisitis kronik disebabkan fibrosis menyeluruh dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara berkembang. Namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka yang tinggi ini menurun pada pria.

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah diperoleh gambaran secara teoritis dalam merawat pasien dengan apendisitis. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah: a. Mampu menguasai konsep teori penyakit apendisitis. b. Mampu mengidentifikasi data-data yang perlu dikaji pada klien dengan apendisitis. c. Mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan apendisitis. d. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan klien dengan apendisitis. e. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan apendisitis. f. Mampu melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan apendisitis. g. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan klien dengan apendisitis.

C. Manfaat penulisan
Bagi Mahasiswa Sebagai informasi dasar untuk mengenal penyakit apendisitis Bagi Masyarakat Untuk menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit apendisitis

D. Sistematika penulisan
Pada Bab I dalam makalah ini dibahas tentang latar belakang, tujuan, manfaat serta sistematika penulisan dari makalah ini. Dalam Bab II mengenai isi dari materi yang dibahas. Dan Bab III didalamnya terdapat kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Apendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal (Brunner dan Sudarth, 2002). Appendisitis adalah suatu peradangan pada appendiks yang berbentuk cacing, yang berlokasi dekat katup ileocecal (Long, Barbara C, 1996). Apendisitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Arif Mansjoer dkk, 2000). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007).

B. Klasifikasi
Apendisitis terbagi menjadi 2, yaitu: 1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. 2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

a. b. a. b.

C. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa

merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya: a. Faktor sumbatan Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur. b. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10 span=""> c. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

d. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi. e. Faktor infeksi saluran pernapasan Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis

D. Anatomi fisiologi
Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3

tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. Posisi apendiks berada pada Laterosekal yaitu di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen (Harnawatiaj,2008). Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Ukuran panjang apendiks rata-rata 6 9 cm. Lebar 0,3 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin. Pada kasus apendisitis, apendiks dapat terletak intraperitoneal atau retroperitoneal. Apendiks disarafi oleh saraf parasimpatis (berasal dari cabang nervus vagus) dan simpatis (berasal dari nervus thorakalis X). Hal ini mengakibatkan nyeri pada apendisitis berawal dari sekitar umbilicus (Nasution,2010). Saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A yang dihasilkan oleh organ saluran cerna yang lain. Jadi pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh, khususnya saluran cerna (Nasution,2010).

E. Patofisiologi
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus (Mansjoer 2005). Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Faradillah 2009). Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi (Faradillah 2009).

E. Manifestasi klinis
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. 3 anamnesa penting yakni: 1) Anoreksia biasanya tanda pertama. 2) Nyeri, permulaan nyeri timbul pada daerah sentral (viseral) lalu kemudian menjalar ketempat appendics yang meradang (parietal). Retrosekal/nyeri punggung/pinggang. Postekal/nyeri terbuka. 3) Diare, Muntah, demam derajat rendah, kecuali ada perforasi. Gejala usus buntu bervariasi tergantung stadiumnya: 1) Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak) Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja. 2) Penyakit Radang Usus Buntu kronik Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (titik tengah antara umbilicus dan Krista iliaka kanan). Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter, nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik. (Anonim, 2008)

F. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. 2. Pemeriksaan darah Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat. 3. Pemeriksaan urine

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. 4. Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. 5. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak. 6. USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.

7. Barium enema Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. 8. Laparoscopi Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.

G. Penatalaksaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.

H. Prognosis
Prognosis pada semua fase apendisitis sangat baik, tingkat mortalitas kurang dari 1%. Hal ini dikarekan diagnosis awal dan tata laksana yang di lakukan dengan baik.

I. Pathway

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pengertian diatas dapat simpulkan bahwa apendiks adalah termasuk ke dalam salah satu organ sistem pencernaan yang terletak tepat dibawah dan melekat pada sekum yang berfungsi sebagai imun. Apendisistis merupakan inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan oleh fekalit (massa keras dari feces), tumor atau benda asing di dalam tubuh, namun ulserasi mukosa oleh parasit E. Histolytica juga dapat menyebabkan apendisitis. Gaya hidup individu pun dapat menyebabkan terjadinya apendisitis, kebiasaan individu mengkonsumsi makanan rendah serat dapat menyebabkan konstipasi yang akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa dan terjadilah apendisitis.

B. Saran
Bagi mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memahami konsep dasar penyakit apendisitis yang berguna bagi profesi dan orang sekitar kita. Bagi masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan makalah ini untuk menambah pengetahuan tentang penyakit apendisitis.

DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. Jakarta: EGC. Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi, edisi 2. Jakarta: EGC. Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9 . Jakarta: EGC. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC. Rothrock, J.C. (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, volume 2. Jakarta: EGC. Sylvia A Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4 buku. Jakarta: EGC.

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sebagai seorang manusia tentunya kita menginginkan tubuh yang sehat dan kuat. Tubuh yang sehat dan kuat akan memberikan kemudahan dalam memberikan kemudahan dalam melakukan berbagai macam aktivitas yang vital bagi setiap orang. Aktivitas yang dilakukan tentunya mendukung proses kehidupan dan interaksi antar manusia yang satu dan yang lainnya. Setiap detik dunia mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan seperti kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, politik, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Semua itu mengarah kepada penyeragaman, kita dapat melihat polahidup, ekonomi, budaya, dan teknologi yang mirip disetiap negara. Pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan harus dihindari, pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk menanamkan pola hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul adalah apendisitis. Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989). Penjelasan selanjutnya akan di bahas pada bab pembahasan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi apendisitis?

2. Apa definisi dari apendisitis? 3. Bagaimana etiologi apendisitis? 4. Apa manifestasi klinik apendisitis? 5. Bagaimana patofisiologi apendisitis? 6. Bagaimana penatalaksanaan apendisitis? 7. Apa komplikasi apendisitis? 8. Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis? 1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1. Tujuan Umum : Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pembuatan makalah mata kuliah Sistem Pencernaan II serta mempresentasikannya. 1.3.2. Tujuan Khusus : Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi apendisitis 2. Untuk memahami definisi dari apendisitis 3. Mengetahui etiologi apendisitis 4. Dapat mengetahui manifestasi klinik apendisitis 5. Memahami patofisiologi apendisitis 6. Mengetahui penatalaksanaan apendisitis 7. Mengetahui komplikasi apendisitis 8. Mengetahui dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis 1.4. Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai buku referensi dan internet.
1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dari makalah ini adalah BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan dan manfaat penulisan. BAB II PEMBAHASAN, dan BAB III ASUHAN KEPERAWATAN, BAB IV PENUTUP terdiri dari kesimpulan dan saran. 1.6. Manfaat Penulisan 1. Mengetahui letak atau posisi anatomi dan fisiologi apendisitis 2. Mengetahui penyebab dan proses perjalanan penyakit apendisitis 3. Memahami parameter pengkajian yang tepat untuk menentukan status fungsi gastrointestinal 4. Mampu membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Anatomi dan Fisiologi Appendix Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum. Posisi apendiks terletak posteromedial caecum. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen dan posisinya bervariasi. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. Panjang apendiks rata-rata 6 9 cm. Lebar 0,3 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin. Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

2.2 Definisi Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989). Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada di umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa terjadi pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, apendiks itu bisa pecah. Apendiksitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001). 2.3. Etiologi Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen. 1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena : a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak. b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks. c. Adanya benda asing seperti biji bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya 2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus 3. Laki laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut. 4. Tergantung pada bentuk appendiks. 5. Appendik yang terlalu panjang. 6. Appendiks yang pendek. 7. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks. 8. Kelainan katup di pangkal appendiks. 2.4. Manifestasi Klinik Nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang (kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal, bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi. Palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar, distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk. 2.5. Patofisiologi Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi. Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

Omentum pada anak-anak lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah. 2.6. Penatalaksanaan Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah. 1. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirah baring dan dipuasakan 2. Tindakan operatif : appendiktomi 3. Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.

2.7. Komplikasi 1. Perforasi dengan pembentukan abses 2. Peritonitis generalisata 3. Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi) 1. Obstruksi lumen apendiks (Hiperplasis folikel limfoid, fekalit, benda asing, cacing, tumor) 2. Infeksi bakteri

2.8. Pathway

Edema & ulserasi mukosa Reaksi inflamasi

pascaoperasi

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian 1. Data demografi Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register. 2. Riwayat kesehatan a) Keluhan utama Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah. b) Riwayat kesehatan sekarang Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam tinggi c) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon. d) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama. 3. Pemeriksaan fisik ROS (review of system) a) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai, konjungtiva anemis. b) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD >110/70mmHg; hipertermi. c) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor. d) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan. e) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancar f) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena proses perjalanan penyakit g) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat. h) Abdomen : terdapat nyeri tekan, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen. 4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olah raga (lama frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka. b) Pola nutrisi dan metabolisme Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal. c) Pola Eliminasi Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi. d) Pola aktifitas

Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan. e) Pola sensorik dan kognitif Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat. f) Pola Tidur dan Istirahat Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien. g) Pola Persepsi dan konsep diri Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil. h) Pola hubungan Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat. penderita mengalami emosi yang tidak stabil. i) Pola Reproduksi seksual Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa waktu. j) Pola penanggulangan stress Sebelum MRS : klien kalau setres mengalihkan pada hal lain. Sesudah MRS : klien kalau stress murung sendiri, menutup diri k) Pola tata nilai dan kepercayaan Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu. Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah. 5. Pemeriksaan diagnostik a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi d) Pemeriksaan Laboratorium Darah : Ditemukan leukosit 10.000 18.0000 /ml Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.

3.2. Diagnosa Keperawatan NO 1 ANALISA DATA DATA PENUNJANG MASALAH DS : pasien mengatakan nyeri Gangguan rasa nyaman pada abdomen kanan bawah (nyeri) tembus ke punggung ETIOLOGI Adanya perangsangan pada epigastrium

DO : Wajah tampak menyeringai P : nyeri karena adanya perangsangan Q : nyeri seperti tertusuk-tusuk R : nyeri dibagian kanan bawah abdomen S : skala nyeri 8 T : nyeri terjadi saat ditekan 2 DS : DO : TTV : Suhu 380C; Nadi >80x/menit; TD >110/70 mmHg; RR >20x/menit Terdapat luka insisi bedah 3 DS : Pasien mengatakan haus DO : Ada tanda-tanda dehidreasi : Membrane mukosa kering Turgor kulit menurun >2detik Urin pekat (oliguri <500 cc/hari) TTV tidak stabil: TD >120/80 mmHg Nadi >80x/menit RR : >20x/menit Suhu : >37,50C 4 DS : Pasien dan keluarga mgatakan tidak mengetahui tentang proses penyakit dan pengobatannya DO : Bertanya mengenai informasi proses penyakit Bertanya tentang perawatan pascaoperasi Bertanya tentang pengobatan

Resiko terjadi infeksi

Diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah

Kekurangan volume cairan

Pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan

Kurang pengetahuan

tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pembedahan

Diagnosa keperawatan apendisitis : Pre-op :

1. Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada epigastrium Post-op : 2. Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah 3. Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan 4. Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pembedahan 3.3. Intervensi 1. Dx kep. 1 : Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada epigastrium Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri pasien dapat berkurang KH : Nyeri hilang, skala 0-3, pasien tampak rileks, mampu tidur/ istirahat selama 7-9 jam dalam sehari INTERVENSI RASIONAL Kaji nyeri, catat lokasi, Berguna dalam pengawasan karakteristik, beratnya (skala 0-10) keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri, menunjukkan terjadinya abses/peritonitis. Pertahankan istirahat dengan posisi Menghilangkan tegangan abdomen semi fowler yang bertambah dengan posisi terlentang Dorong ambulasi dini Merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen Berikan aktifitas hiburan Meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping Kolaborasi pemberian analgetik Menghilangkan dan mengurangi nyeri 2. Dx kep. 2 : Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi KH : Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, drainase purulen, tidak ada eritema dan tidak ada demam. Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor ) luka bersih dan kering INTERVENSI RASIONAL Awasi TTV. Perhatikan demam Dugaan adanya infeksi/ terjadinya menggigil, berkeringat, perubahan sepsis, abses mental.

Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka Berikan informasi yang tepat pada pasien/ keluarga pasien

Berikan antibiotik sesuai indikasi

Menurunkan risiko penyebaran bakteri Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya

3. Dx kep 3 : Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan KH : Tidak ada tanda-tanda dehidrasi : membran mukosa lembab, turgor kulit baik (< 2 detik), TTV stabil (TD : 110/70-120/80 mmHg; RR : 16-20x/menit; N : 60-100x/menit; S : 36,5- 37,50 C), haluaran urin adekuat. INTERVENSI RASIONAL Observasi TTV Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler Observasi membran mukosa, kaji turgor kulit Indikator keadekuatan intake cairan dan pengisian kapiler dan elektrolit Awasi intake dan output, catat warna Penurunan pengeluaran urine pekat urine/konsentrasi, berat jenis dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/kebutuhan cairan meningkat Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus Indikator kembalinya peristaltik, dan, gerakan usus kesiapan untuk pemasukan per oral Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila Menurunkan iritasi gaster/muntah pemasukan peroral dimulai, dan lanjutkan untuk meminimalkan kehilangan dengan diet sesuai toleransi cairan 4. Dx kep. 4 : Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pebedahan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pasien dan keluarga mampu memahami dan mengerti tentang proses penyakit dan pengobatannya KH : Berpartisipasi dalam program pengobatan

INTERVENSI RASIONAL Kaji ulang pembatasan aktifitas Memberikan informasi pada pasien pascaoperasi untuk merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah Anjurkan menggunakan laksatif/ Membantu kembali ke fungsi usus, pelembek feses ringan bila perlu mencegah mengejan saat defekasi dan hindari enema Diskusikan perawatan insisi, Pemahaman peningkatan kerja sama termasuk mengganti balutan, dengan program terapi, pembatasan mandi, dan kembali ke meningkatkan penyembuhan dan dokter untuk mengangkat proses perbaikan jahitan/pengikat

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum. Panjang apendiks rata-rata 6 9 cm. Lebar 0,3 0,7 cm. Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

1. a. b. c. d. 2.

1. 2. 3.

Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989). Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena : Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak. Adanya faekolit dalam lumen appendiks. Adanya benda asing seperti biji bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus Tanda dan gejalanya adalah nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang (kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut. Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi. Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah. Komplikasinya : Perforasi dengan pembentukan abses Peritonitis generalisata Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi) Cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

4.2. Saran Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa maupun dosen pembimbing untuk melakukan kebiasaan hidup sehat, karena pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan harus dihindari,

pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk menanamkan pola hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul pada sistem pencernaan adalah apendisitis.

DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia Anderson. 2005. PATOFISIOLOGI : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC. Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC. Sloane, Ethel. 2004. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC. ______, 2007, apendisitis, terdapat pada:www. harnawatiarjwordpress.com diakses tanggal 1 Juni 2008. ______http://nursingbegin.com/askep-apendisitis/ ______http://putrisayangbunda.blog.com/2010/02/10/askep-apendisitis-usus-buntu/

asuhan keperawatan apendisitis


BAB I Pendahuluan

1.1 Latar belakang Appendiks merupakan suatu bagian sepertoi kantong yang non fungsional dan terletak di bagian inferior seikum (smeltzer, 2002). Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendiksitis berjumlah sekitar 50 %. Adapun jumlah penderita penyakit

apendiksitis pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia, di Kalimantan Timur berjumlah 26% dari jumlah penduduk di Kalimantan Timur, di Samarinda berjumlah 25% dari jumlah penduduk Samarinda. Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.

Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.

Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur (peca), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis). Pada hampir 15% pembedahan usus buntu, usus buntunya ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Usus buntu yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, usus buntu tetap diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya. Pembedahan yang segera dilakukan bisa

mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Usus buntu yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian mendekati

nol.(medicastore) Dari fakta diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat asuhan keperawatan pada klien dengan kasus apendiksitis.

1.2 Tujuan penulisan 1.2.1 Tujuan umum Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan apendiksitis 1.2.2 Tujuan khusus a. Melakukan pengkajian keperawatan pada dengan Appendiksitis.

b. Merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan Appendiksitis. c. Menetapkan perencanaan keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Appendiksitis. e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan Appendiksitis. 1.3 Manfaat penulisan a. Bagi institusi

1. Menghasilkan lulusan DIII Keperawatan yang mampu menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan kompetensi dan moral yang berlaku 2. Menghasilkan lulusan DII Keperawatan yang mampu menjalankan asuhan keperawatan dengan tanggungjawab sesuai ketentuan. b. Bagi rumah sakit Memberikan penanganan yang baik dan benar pada klien dengan apendiksitis. c. Bagi masyarakat Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana cara mengatasi masalah appendiks
1.4 Sistematika penulisan Penyusunan makalah ini terdiri dari 3 bab dengan urutan sebagai berikut : Bab I : pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan sistematika penulisan Bab II : tinjauan pustaka terdiri dari konsep dasar apendiksitis dan konsep dasar asuhan keperawatan apendiksitis. Bab III : penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. dan

BAB 2 Tinjuan Pustaka A. Konsep Dasar Apendiksitis 1. Pengertian Appendiks merupakan suatu bagian sepertoi kantong yang non fungsional dan terletak di bagian inferior seikum (smeltzer, 2002). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tapi banyak kasus memerlukan laparatomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi bila tidak di terawat, angka kematian cukup tinggi, di karenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, Apendisitis,2007). Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum. Usus buntu besarnya sebesar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lender (Anonim, apendisitis, 2007). 2. Anatomi dan fisiologi Saluran pencernaan berfungsi sebagai penerima makanan dan mempersiapkan untuk diasimilasi oleh tubuh . Saluran pencernaan terdiri atas: mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus halus yang terdiri dari duedonum, yeyunum dan ileum, usus besar : seikum, appendiks, colon desenden , colon tranversum, colon sigmoid, rectum, anus . a. Anatomi Apendiks Merupakan organ berbentuk tabing, kurang lebih 10 cm dan berpangkal diseikum lumennya sempit dibagian proximal dan melebar dibagian distal apendiks dilapisi oleh lapisan sub mukosa yang mengandung banyak jaringan limfe .

b.

Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikular . Pada posisinya yang normal apendiks terletak pada dinding abdomen dibawah titik Mc Burney. Fisiologi Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke seikum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT ( Gut Associated Lymphoid Tissue ) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks , ialah IgA immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh. 3. a. b. c. d. e. f. Etiologi Fekalit Streptococcus Cacing ascariasis Hyperplasia jaringan limfe Trauma daerah abdomen Adanya fekalit dalam lumen appendiks karena penyumbatan feces, lumen melebar dan mengadakan perangsangan terhadap pembuluh darah.

4. Tanda dan gejala Gejala klinis pada appendisitis adalah nyeri perut. Pada mulanya nyeri perut ini hilang timbul seperti kolik dan terasa disekitar umbilicus, bila penderita platus atau BAB rasa sakitnya akan berkurang, bila proses radang telah menjalar ke peritonium parietal setempat, maka akan timbul nyeri local pada perut kanan bawah daerah Mc Burney bila terjadi perforasi untuk sementara rasa sakit ynag hebat diseluruh perut. Anoreksi hampir selalu terdapat dan muntah merupakan hal yang khas. Biasanya terjadi konstipasi tetapi pada anak-anak dan pada penderita yang appendiks dekat rectum sering terjadi diare. Gejala umum lainnya adalah demam mulamula demam tidak begitu tinggi tetapi menjadi hiperpireksi bila terjadi perforasi. 5. Patofisiologi Fekalit Streptococcus Cacing ascariasis Hyperplasia jaringan limfe

Peningkatan tekanan intra abdomen

Fekalit

Kurang terpaparnya informasi

Sumber informasi kurang

Tekanan pada area lambung

Merangsang nervus X (vagus)

Modula oblongata (trigerson)

Mual muntah

Merangsang RAS

Otak siaga

sadar

Obstruksi lumen

appendiks

Bendungan mucus Peningkatantekanan intra lumen Aliran limfe terhambat

Edema diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa

Menstimulasi substansi B,P,L,H Menstimulasi nosiseptor Transmisi Modulasi Persepsi

Menekan syaraf motorik Kelemahan fisik

Salah interpretasi informasi

Stress meningkat

Kurang support orang terdekat

Koping tidak efektif

Terputusnya kontuinitas jaringan

6. Klasifikasi a. b. c. Appendisitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu : Appendisitis akut : yaitu peradangan yang terjadi pada umbai cacing secara mendadak dan meluas melalui peritoneum parietal sehingga timbul rasa sakit yang mendadak. Appendisitis infiltrat peradangan umbai cacing yang melekat pada dinding perut. Appendisitis kronis peradangan appendiks yang terjadi secara menahun yang merupakan kelanjutan appendiks infiltrat yang tidak mendapat pengobatan dan perawatan intensif sehingga gejalanya menghilang dan suatu saat akan timbul lagi gejala tersebut. Appendisitis abses yaitu kelanjutan dari appendicitis kronis yang kurang perawatannya dan kuman cukup ganas sehingga menimbulkan abses.

d.

7.Komplikasi Komplikasi apendiksitis adalah sepsis yang dapat berkembang menjadi : perforasi, abses, peritonitis. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah nyeri. Gejala nyeri antara lain demam suhu 37,50C38,50C atau lebih tinggi, penampilan toksik, meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi ileus, demam, malaise, dan lekositosis. (Seymour, 2003).
8. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah rutin akan menunjukan lekostosis ringan dan hitung jenis bergeser kekiri pada perforasi terjadi lekositosis yang lebih tinggi. Pemeriksaan urine penting untuk membedakan appendicitis dengan kelainan ginjal, kadang-kadang ditemukan lekosit pada urine penderita appendicitis. Pemeriksaan photo polos abdomen tidak menunjukan tanda pasti appendicitis tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan. Adanya fekolit merupakan hal ini sangat jarang ditemukan udara dibawah diafragma menunjukan adanya perforaasi. 9.Penatalaksanaan a. Appendisitis infiltrat. Ukuran kurang dari 5 cm : operasi Ukuran lebih dari 5 cm : konservatif (terapi obat obatan ) b. Appendisitis akut :Appendektomi. c. Appendisitis perforasi :appendektomi perlaparatomi. Penatalaksanaan Appendektomi. 1) Tindakan pre operative Penderita dirawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu badan penderita. Bilas terlihat adanya gangguan keseimbangan cairan maka segera diberikan cairan parenteral Nacl 0,9 % sesuai dengan keadaan hidrasi, berikan sedatif intramuskular. Daerah perut bawah dan pubis dibersihkan dan dicukur. Premedikasi

diberikan 30 menit sebelum rencana dioperasi dilakukan diberikan petidin, sulfas atropin dan DBP. 2) Tindakan operatif Appendektomi. 3) Tindakan post operatif. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam. Syok hyperemi dan gangguan pernapasan angkat sonde lambung bila penderita telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Kemudian baringkan penderita pada posisi fowler penderita dapat dikatakan baik bila dalam 2 jam tidak terjadi gangguan dan selama itu pasien puasa bila tindakan operasi besar yaitu perforasi atau peritonitis umum maka puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal, kemudian berikan minum mulai 15 ml/ jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring dan berikutnya makanan lunak. Satu hari pasca bedah penderita dianjuran untuk duduk tegak ditempat selama 2 x 30 menit. Hari kedua pasca bedah dapat berdiri dan duduk diluar kamar hari ketujuh pasca bedah luka operasi dapat di angka dan penderita boleh pulang. Merawat luka post appendektomi dengan tehnik aseptik dan anti septic untuk mencegah terjadinya infeksi. 10. Prognosis Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Proses keperawatan merupakan kerangka kerja perawat saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Proses keperawatan merupakan pendekatan kerja yang sistematis terorganisasi, fleksibel dan berkelanjutan. Tahap tahap dalam proses keperawatan saling ketergantungan satu dengan lainnya dan bersifat dinamis dan disusun secara sisematis untuk menggambarkan perkembangan dari tahap yang satu ketahap yang lain. 1. Pengkajian Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik subyek maupun obyek, adapun tujuan pengkajian adalah memberikan gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan pasien. Pada tahap pengkajian ini ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara lain : a. Mengumpulkan tentang data pasien Data dasar adalah data yang menyangkut semua aspek dari pasien yang terdiri dari data data biografi, keluhan utama, riwayat sebelum sakit, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan keluarga, riwayat kesehatan lingkungan keadaan psiksosisal dan aspek spiritual biasanya data dasar ini diperoleh pada saat pertama kali perawat kontak

) )

dengan pasien. Sedangkan data yang difokuskan kepada pasien masalah kesehatan pada saat itu adalah: Aktivitas / istirahat dengan gejala malaise. Sirkulasi darah memperlihatkan tanda takikardi. 3) Eliminasi dengan gejala konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang) serta tanda distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan/tidak ada bising usus. 4) Integritas ego dengan gejala perasan cemas, takut marah, apatis, faktor-faktor stress multiple , misalnya finansial, hubungan gaya hidup , disertai dengan tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan peka rangsang, stimulai simpatis. 5) Makanan / cairan anoreksia , mual/muntah. 6) Nyeri / kenyamanan dengan gejala nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney ( setengah jarak antara umbilicus dengan tulang ileum kanan ) meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam ( nyeri tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada appendisitis ). Kalau berbagai rasa nyeri / gejala tak jelas ( sehubungan dengan lokasi appendiks, contoh retrosekal atau sebelah ureter ) dengan perilaku berhati-hati berbaring kesamping atau terlentang dengan lutut ditekuk meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak, nyeri lepas pada sisi kiri di duga inflamasi peritoneal. 7) Keamanan tandanya demam biasanya rendah. Pernafasan tandanya takipnea, pernapasan dangkal. 8) Penyuluhan atau pembelajaran riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh pielitis acut batu uretra, salpingitis acut,ileitis regional. 2. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan didapat setelah data-data yang terkumpul dianalisa, diagnosa keperawatan pada dasarnya adalah kesimpulan dari masalah kesehatan yang dialami klien. Diagnosa keperawatan merupakan uraian atau penafsiran tentang masalah kesehatan dimana perawat dapat menanganinya dalam bentuk tindakan kepeawatan yang ditujukan untuk mencegah, mengatasi atau mengurangi masalah tersebut. Diagnosa keperawatan menurut NANDA, 2012-2014 yang mungkin muncul pada klien dengan appendiksitis adalah: a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis b. mobilitas fisik, hambatan berhubungan dengan nyeri c. defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif d. Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik ( nyeri ) diagnose yang muncul dengan ksus appendiks menurut rumusan diagnose NANDA antara lain : a. Pre operasi 1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.

2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah. b. Post operasi 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera. 2. Resiko kehilangan volume cairan berhubunmgan dengan asupan cairan yang tidak adekuat. 3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan 4. Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik 5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif 4. Perencanaan keperawatan Pre Operasi No Diagnosa 1. Nyeri akut

Tujuan dan criteria hasil Klien akan dapat 1. melaporkan nyeri berkurang dalam waktu 3 jam dengan criteria hasil 2. : Klien mengeluh nyeri jarang Skala nyeri 4 Rileks 3. Selera makan normal Tidak ada bukti nyeri yang diamati Dapat melakukan teknik 4. relaksasi nafas dalam

Intervensi Minta klien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 10 Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic dan kemungkinan efek sampingnya. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon klien Dalam mengkaji nyeri klien, gunakan kata-kata yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan pasien. 5. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan. 6. Pemberian analgesic : menggunakan agen-agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri

2.

1. Identifikasi factor pencetus mual dan muntah Klien akan dapat 2. Catat warna, jumlah, dan melaporkan asupan frekuensi muntah makanan dan cairan 3. Instruksikan pasien agar Nutrisi, adekuat dengan criteria menarik napas dalam perlahan ketidakseimbangan hasil : dan menelan secara sadar : kurang dari - Berat badan meningkat 1 untuk mengurangi mual dan kebutuhan tubuh kg muntah

Komponen gizi adekuat 4. Tawarkan hygiene mulut Menoleransi diet-diet sebelum makan yang dianjurkan 5. Berikan obat anti emetic dan / analgesic sebelum makan atau sesuai dengan jadwal yang dianjurkan

Post Operasi No.

1.

Diagnose keperawatan Nyeri akut

Tujuan dan criteria hasil

intervensi

Klien akan dapat melaporkan7. Minta klien untuk menilai nyeri nyeri berkurang dalam waktu 3 atau ketidaknyamanan pada skala 0 jam dengan criteria hasil : 10 Klien mengeluh nyeri jarang8. Gunakan bagan alir nyeri untuk Skala nyeri 4 memantau peredaan nyeri oleh Rileks analgesic dan kemungkinan efek Selera makan normal sampingnya. Tidak ada bukti nyeri yang 9. Kaji dampak agama, budaya, diamati kepercayaan, dan lingkungan Dapat melakukan teknik terhadap nyeri dan respon klien relaksasi nafas dalam 10. Dalam mengkaji nyeri klien, gunakan kata-kata yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan pasien. 11. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan. 12. Pemberian analgesic : menggunakan agen-agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri 1. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama Ajarkan klien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas ( misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda ) Ajarkan dan bantu pasien dan proses berpindah ( misalnya dari tempat tidur ke kursi ) Rujuk ke ahli terapi fisik untuk

Mobilitas fisik, hambatan -

2. Klien akan dapat melaporkan tidak mengalami gangguan dalam waktu 2 x 24 jam dengan criteria hasil : 3. Tidak mengalami gangguan sendi dan otot Bisa berjalan 4.

Bisa bergerak dengan mudah 5. 6.

program latihan Berikan penguatan positif selama aktifitas Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan Periksa keakuratan umpan balik untuk memastikan bahwa pasien memahami program terapi dan informasi lainnya yang relevan Penyuluhan individual : tentukan kebutuhan belajar pasien, lakukan penilaian terhadap tingkat pengetahuan pasien saat ini dan pemahaman terhadap materi Kaji daya belajar pasien Beri penyuluhan sesuai dengan tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi bila diperlukan Gunakan berbagai pendekatan penyuluhan, redemonstrasi, dan berkaitan umpan balik secara verbal dan tertulis Beri informasi tentang sumbersumber komunitas yang dapat menolong pasien dalam mempertahankan program terapi Tentukan efek samping pengobatan terhadap pola tidur pasien Pantau pola tidur pasien dan catat hubungan factor-faktor fisik ( misalnya : nyeri/ketidaknyamanan dan berkemih ) Anjurkan klien untuk membatasi asupan cairan di sore hari untuk menurunkan kemungkinan terbangun di malm hari karena ingin berkemih Bantu klien untuk memilih aktifitas fisik dan social di siang hari yang sesuai dengan kemampuan fungsionalnya ( misalnya berjalan ) Gunakan lampu malam hari untuk keamanan pasien Pertimbangkan menggunakan pispot di samping tempat tidur untuk digunakan di malam hari meskipun tidak digunakan di siang

1.

2.

3.

Defisiensi pengutahuan

3. Klien akan dapat melaporkan 4. deskripsi rasional untuk apendiks dalam waktu 2 jam dengan criteria hasil : 5. Klien dan keluarga dapat mengidentifikasikan kebutuhan informasi tambahan tentang program terapi 6. Memperlihatkan kemampuan menjelaskan kembali materi yang telah disampaikan 1. 2.

3.

4.

5. Klien akan dapat melaporkan kualitas tidur tidak terganggu 6. dalam waktu 1 x 24 jam dengan criteria hasil : Jumlah jam tidur setidaknya 5

jam/24 jam Perasaan segar setelah tidur Terbangun di waktu yang sesuai

hari

4.

Insomnia

5. Pelaksanaan Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien post operasi appendicitis mengacu pada rencana keperawatan yang sesuai dengan teori Doenges , ME meliputi : mempertahankan istirahat, mendorong ambulasi dini, memberikan intake cairan adekuat, mempertahankan keseimbangan cairan, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan/prognosis, kebutuhan pengobatan dan potensial komplikasi, memberikan dukungan dan support, melakukan pencucian tangan yang baik, melakukan perawatan luka secara aseptic dan antiseptik. Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan tindakan keperawatan yang telah direncanakan dan dianjurkan dengan pendokumentasian semua tindakan yang telah dilakukan. 5. Evaluasi Fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan pasien post operasi appendisitis adalah komplikasi dapat dicegah / minimal, nyeri terkontrol , prosedur bedah/prognosis, program terapi dapat dipahami, kecemasan pada pasien / keluarga dapat berkurang /teratasi, tidak terjadi inekfsi/keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir semua tindakan yang dilakukan sekaligus disebut juga mengevaluasi tujuan jangka panjang

BAB 3 Penutup 3.1 Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Pengkajian pada klien dengan apendiksitis diantaranya adalah sebagai berikutAktivitas / istirahat dengan gejala malaise, Sirkulasi darah memperlihatkan tanda takikardi, Eliminasi dengan gejala konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang) serta tanda distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan/tidak ada bising usus, Integritas ego dengan gejala perasan cemas, takut marah, apatis, faktorfaktor stress multiple , misalnya finansial, hubungan gaya hidup , disertai dengan tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan peka rangsang, stimulai simpatis,Makanan / cairan anoreksia , mual/muntah. Terdapat 4 diagnosa keperawatan pada klien dengan apendiksitis diantaranya adalah sebagai berikut : . Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, mobilitas fisik, hambatan berhubungan dengan nyeri, defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik ( nyeri ). Perencanaan dibuat sesuai dengan diagnose yang telah ditentukan yang berdasarkan nic dan noc Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien post operasi appendicitis mengacu pada rencana keperawatan yang sesuai dengan teori Doenges , ME meliputi : mempertahankan istirahat, mendorong ambulasi dini, memberikan intake cairan adekuat, mempertahankan keseimbangan cairan, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan/prognosis, kebutuhan pengobatan dan potensial komplikasi, memberikan dukungan dan support, melakukan pencucian tangan yang baik, melakukan perawatan luka secara aseptic dan antiseptik. Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan tindakan keperawatan yang telah direncanakan dan dianjurkan dengan pendokumentasian semua tindakan yang telah dilakukan. Evaluasi merupakan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan pasien post operasi appendisitis adalah komplikasi dapat dicegah / minimal, nyeri terkontrol , prosedur bedah/prognosis, program terapi dapat dipahami, kecemasan pada pasien / keluarga dapat berkurang /teratasi, tidak terjadi inekfsi/keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan

3.2
1.

Saran saran

Penulisan makalah ini dapat menjadi acuan dalam meningkatkan IPTEK Khususnya dalam dalam bidang keperawatan.

2.

3.

Diharapkan petugas pelayanan kesehatan dapat memberikan asuhan keperawatan sebaikbaiknya kepada klien dan dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan sesuai dengan Standar Asuhan Keperawatan. Diharapkan klien maupun keluarga dapat menerapkan Asuhan keperawatan yang telah diberikan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup lebih sehat dan lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA Wikinson, Judith M, 2012, Buku saku Diagnosa Keperawatan edisi 9, EGC, Jakarta Linda Juan, 2000, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta . Doenges, Marlynn, E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi III, EGC, Jakarta.

Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3. Jakarta: EGC www. harnawatiarjwordpress.com diakses tanggal 15 November 2012 Syamsuhidayat. R & De Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 .Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai