DI SUSUN OLEH :
( NIM 16.100.34 )
C. Etiologi Pneumonia
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif
seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri
gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan
udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah
serta kompos. Contoh jamur yang dapat menjadi penyebab antara lain Candida,
Histoplasma, Aspergilus
Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya
menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi.
Bahan kimia
Minyak tanah, bensin
Aspirasi (cairan amnion, makanan, cairan lambung, susu) (Reevers, 2000; Sectish,
2003).
D. Faktor resiko Pneumonia
Faktor-faktor risiko kesakitan (morbiditas) pneumonia adalah antara lain umur,
jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang kurang memadai,
defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara, kepadatan rumah tangga, ventilasi
rumah, dan pemberian makanan yang terlalu dini (Depkes RI, 2004). Selain itu, dari
sebuah hasil penelitian diketahui faktor-faktor risiko lain yang dapat meningkatkan
insidens pneumonia yaitu perilaku ibu dalam pengobatan, lamanya waktu anak berada
di dapur, riwayat ke Posyandu dalam 3 bulan terakhir, serta pendapatan rumah tangga.
Jika diklasifikasikan, maka faktor-faktor risiko pneumonia dapat dibedakan atas faktor
anak, faktor orang tua, dan faktor lingkungan.
Faktor Anak
a. Umur
Umur merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini
disebabkan karena umur dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-
anak yang berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibandingkan
anak-anak yang berumur di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum
sempurna dan lubang pernapasan yang masih relatif sempit (Depkes RI dalam Tantry,
2008). Umur yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan menderita pneumonia
yang lebih berat (Ewig dalam Machmud, 2006 ). Penelitian Tuparsi di Filipina telah
membuktikan bahwa morbiditas pneumonia berhubungan dengan status sosial ekonomi
yang rendah serta umur balita yang kurang dari 1 tahun. Hasil surveilans pada tahun
1998/1999 juga memperlihatkan bahwa proporsi pneumonia pada bayi 14,1% lebih
tinggi daripada pada balita (Herman, 2002). Balita juga rentan terhadap risiko kematian
akibat pneumonia. Semakin muda umur seorang balita penderita ISPA/pneumonia,
maka semakin besar risiko untuk meninggal daripada usia yang lebih tua (Sutrisna
dalam Tantry, 2008 ).
b. Jenis Kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa laki-laki adalah faktor
risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Penelitian di
Srilanka memperlihatkan bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai
risiko 2,19 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan (Dharmage et al dalam Herman,
2002 ). Penelitian di Uruguay juga menunjukkan bahwa pada tahun 1997-1998, 56%
penderita pneumonia yang dirawat di rumah sakit adalah laki- laki (Pirez dalam
Machmud: 2006 ).
c. Riwayat BBLR
BBLR atau bayi berat lahir rendah adalah bayi (neonatus) yang lahir dengan berat
kurang dari 2500 gram. Bayi dan balita dengan BBLR umumnya lebih berisiko
terhadap kematian, bahkan sejak masa-masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan
karena zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux dalam
Tantry, 2008). Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan
riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia (Abdullah
dalam Tantry, 2008).
d. Pemberian ASI
ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang alami diproduksi oleh ibu dan merupakan
sumber gizi yang sangat ideal dan berkomposisi seimbang sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah makanan yang paling
sempurna bagi bayi, baik kuantitas maupun kualitasnya (Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, 2000). ASI mengandung nutrisi dan zat-zat penting yang
berguna terhadap kekebalan tubuh bayi. Zat-zat yang bersifat protektif tersebut dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi bayi
untuk segera diberikan ASI sejak lahir karena pada saat itu bayi belum dapat
memproduksi zat kekebalannya sendiri.
Pemberian ASI ternyata dapat menurunkan risiko pneumonia pada bayi dan
balita. Penelitian Widiawati di Klapa Nunggal, Bogor menunjukkan bahwa balita yang
tidak mendapatkan ASI lebih berisiko 4,59 kali menderita pneumonia dibandingkan
yang telah mendapatkan ASI (Tantry, 2008). Penelitian di Rwanda juga melaporkan
hal yang sama. Bayi yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia lebih berisiko
meninggal dengan Case Fatality Ratenya dua kali lebih besar pada bayi yang tidak
memperoleh ASI (Victora dalam Machmud, 2006).
e. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan,
khususnya kesehatan anak. Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran rasio
berat badan dan tinggi (panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari
asupan gizi yang tentu saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat
terjadi pada bayi dan anak dan akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa.
Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,
sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas
dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang
sesuai untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006).
f. Status Imunisasi
Pada dasarnya beberapa penyakit-penyakit infeksi yang terjadi pada anak-anak
dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu antara lain difteri, pertusis, tetanus,
hepatitis, tuberkulosis, campak dan polio. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa
pneumonia juga merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian imunisasi,
yaitu dengan imunisasi campak dan pertusis (Kanra dalam Machmud, 2006). Penyakit
pertusis berat dapat menyebabkan infeksi saluran napas berat seperti pneumonia. Oleh
karena itu, pemberian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus) dapat mencegah
pneumonia.
Akan tetapi, kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin yang penggunaannya
dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi pneumokokus (IPD) pada bayi dan anak-
anak. Pemberian vaksin ini merupakan tindakan pencegahan yang dipercaya sebagai
langkah protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi kuman
terhadap antibiotik semakin meningkat. Setelah divaksinasi, bayi dan anak-anak akan
memperoleh Herd Immunity atau kekebalan populasi. WHO telah merekomendasikan
penggunaan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV-7) ini di setiap negara dalam
program imunisasi nasional, khususnya pada negara dengan mortalitas anak usia <5
tahun mencapai lebih dari 50 kematian per 1000 kelahiran atau mencapai lebih dari
50.000 kematian per tahunnya (WHO dalam Weekly Epid, 2006). Meskipun telah
memperoleh izin edar dari Badan POM, Menteri Kesehatan RI menyebutkan bahwa
vaksin pneumokokus konjugasi belum ditetapkan sebagai Program Imunisasi Nasional
di Indonesia (Pusat Komunikasi Publik, Depkes RI, 2009).
g. Defisiensi Vitamin A
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara kejadian
pneumonia dengan pemberian vitamin A. Penelitian Herman (2002) menunjukkan
bahwa balita yang tidak mendapat vitamin A dosis tinggi secara lengkap 4,1 kali
berisiko terhadap kejadian pneumonia.
Akan tetapi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian vitamin A
berguna dalam mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya kematian
akibat pneumonia. Pemberian vitamin A dikhususkan pada balita berumur 6 bulan
sampai 2 tahun yang dirawat di rumah sakit karena campak dan komplikasi pneumonia
(Kanra dalam Machmud, 2006). Oleh karena itu, jika anak menderita pneumonia tetapi
telah memperoleh vitamin A sebelumnya dalam jangka waktu tertentu, maka anak
tersebut tidak akan menderita pneumonia berat dan dapat mencegah mortalitas.
Penelitian Sutrisna pada tahun 1993 menunjukkan balita yang tidak memperoleh
suplementasi vitamin A berisiko 14,8 kali untuk meninggal dibandingkan dengan yang
telah disuplementasi (Herman, 2002).
h. Pemberian Makanan Terlalu Dini
Pemberian makanan terlalu dini kepada bayi dapat mengakibatkan bayi terkena
pneumonia (Depkes RI, 2004). Pada bulan-bulan pertama kehidupannya, belum
mampu menerima makanan. Hal ini disebabkan karena saluran pencernaannya yang
belum sempurna. Kekebalan tubuh pada bayi juga belum sepenuhnya terbentuk. Oleh
karena itu diperlukan asupan dari ibu yang diberikan kepada bayi melalui ASI. Pada
dasarnya, makanan mulai diperkenalkan ketika bayi sudah mencapai usia 6 bulan.
Makanan juga sangat rentan untuk tercemar oleh kuman.Pemberian makanan terlalu
dini berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi karena bayi belum mampu
mencernanya dengan baik sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan, bayi
akan mudah terinfeksi penyakit.
Faktor Orang Tua
a. Pendidikan Ibu
Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang
pendidikan. Di negara-negara berkembang, terdapat petunjuk yang jelas tentang adanya
perbedaan tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu
(Ware dalam Machmud, 2006). Pendidikan ibu adalah salah satu faktor yang secara
tidak langsung mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi dan balita (Sukar dalam
Tantry, 2008).
b. Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian pneumonia balita. Hal
ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang memadai dan
bergizi kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan
lebih jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek pelayanan yang benar akan
meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan angka kesakitan dan kematian
pneumonia (Machmud, 2006).
c. Sosial Ekonomi
Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit
pernapasan. Terdapat hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi dengan
morbiditas infeksi saluran napas (Purwana dalam Machmud, 2006). Pada umumnya,
status ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia diukur dari besarnya
rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar
(Foster dalam Machmud, 2006). Masyarakat miskin juga identik dengan
ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Balita yang hidup dalam
keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan
yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit.
Sosial ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi upaya pencarian pengobatan. Salah
satu program yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya menurunkan
kematian akibat pneumonia balita tahun 1972 adalah dengan meningkatkan akses
penduduk miskin ke fasilitas pelayanan kesehatan (Dowell dalam Machmud, 2006).
Faktor Lingkungan
a. Polusi Udara di dalam Rumah
Polusi udara dapat terjadi baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Polusi
udara di dalam rumah dihasilkan dari pembuangan asap seperti asap rokok dan asap
pembakaran kompor tungku atau kayu bakar. Asap tersebut berpotensi besar
menimbulkan pajanan partikulat seperti PM10 (Partikulat Matter 10 Mikron). Jika
terhirup, asap tersebut dapat mengganggu pernapasan. Pemajanan oleh partikulat lebih
berpotensial terjadi jika dapur berada dekat dengan kamar tidur atau kamar tamu. Anak-
anak yang lebih sering berada di dapur atau kamar tidur yang berdekatan dengan dapur
lebih berisiko untuk mengalami gangguan pernapasan.
Sementara itu, adanya perokok di dalam rumah dapat meningkatkan pajanan asap
rokok kepada anggota keluarga lainnya. Konsumsi perokok di dalam rumah merupakan
faktor risiko gangguan pernapasan pada anak balita (Purwana dalam Machmud, 2006).
b. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10 m2/orang. Jika
suatu rumah memiliki kepadatan hunian yang tinggi maka akan mempengaruhi
pertukaran udara di dalam rumah. Foster menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam
rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita (Machmud, 2006).
Herman (2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
dengan insidens pneumonia.
c. Ventilasi Rumah
Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan pengeluaran udara
ke dan atau dari suatu ruang secara alamiah maupun mekanis. Pertukaran udara secara
mekanis dilakukan melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam rumah. Pada dasarnya
luas lubang tersebut minimal 5% dari luas lantai. Akan tetapi, jika ditambah dengan
lubang udara lain seperti celah pintu atau jendela, maka luas minimal lubang ventilasi
menjadi 10% dari luas lantai.
Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang tinggal di rumah
dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki risiko 4,2 kali lebih besar untuk
terkena pneumonia dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.
d. Kondisi Fisik Rumah
Rumah yang sehat adalah bangunan rumah tinggal yang telah memenuhi syarat
kesehatan dengan beberapa kriterianya antara lain memenuhi kebutuhan fisik (suhu,
iluminasi dan ventilasi), memenuhi kebutuhan kejiwaan (privasi dan hubungan antar
anggota keluarga), memenuhi kriteria keselamatan (bangunan yang kokoh dan
terhindar dari gas beracun), serta mampu melindungi penghuninya dari kemungkinan
penularan penyakit (Budiarti, 2006). Oleh sebab itu, sangatlah penting memikirkan hal-
hal tersebut di atas agar seluruh anggota keluarga dapat merasa sehat dan nyaman
berada di rumah.
Rumah yang tidak sehat dapat memudahkan penularan penyakit, terutama
penyakit pernapasan. Contohnya saja jika ventilasi udara dan pencahayaan di rumah
yang tidak baik. Kuman-kuman akan cepat berkembang biak jika rumah dibiarkan
lembab dan tidak terawat. Penelitian Yulianti menemukan ada pengaruh antara dinding
rumah dan jenis lantai dengan kejadian pneumonia (Tantry 2008).
Selain faktor- faktor risiko di atas juga ada faktor risiko lainnya, antara lain:
Pasien stroke
Pasien dengan keadaan yang tidak sadarkan diri atau mengalami kelumpuhan misalnya
stroke, pneumonia sering terjadi dalam 42-72 jam pertama pasca stroke iskemik dan
mengakibatkan sekitar 15-25% kematian terkait stroke. Pneumonia pasca stroke
merupakan akibat dari aspirasi yang disebabkan oleh deficit neurologis seperti
penurunan kesadaran, gangguan reflek protektif atau disfagia.
Orang-oarang yang memiliki daya tahan tubuh lemah
Seperti penderita HIV/AIDS, para penderita penyakit kronik sperti sakit jantung, DM.
Begitu pula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani chemoterapi dan meminum obat
golongan immunosupresant dalam waktu lama dimana pada umumnya memiliki daya
tahan tubuh yang lemah.
Pasien yang berada di dalam ruang perawatan intensive (ICU/ICCU)
Pasien yang dilakukan tindakan ventilator “endotrakeal tube” sangat berisiko terkena
pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung kea rah
kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas
(ventilator) maka akan berpotensial tinggi terkena pneumonia
Pasien yang lama mengalami tirah baring
Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkan bermasalah dalam hal
mobilisasi, dan merupakan salah satu risiko tinggi terkena penyakit pneumonia dimana
dengan tidur berbaring statis memungkinkan mucus berkumpul di rongga paru dan
menjadi media berkembangnya bakteri (Soeparman, 2002).
E. Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak
di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir diseluruh dunia. Di AS
pneumonia mencapai 13% darisemua penyakit infeksi pada anak dibawah 2 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia didapat 4 kasus dari 100 anak
prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100 anak
umur 9-15 tahun. Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap
1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14%
(Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien
yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien
tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional),
angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian
(mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%. Pneumonia pada dapat terjadi pada
orang tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang
menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu
daya tahan tubuh. Frekuensirelative terhadap mikroorganisme petogen paru bervariasi
menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Selain itu factor iklim dan letak
geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini (Kartasasmita,
2010).
F. Klasifikasi Pneumonia
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, menyebutkan 3 klaisfikasi pneumonia,
yaitu:
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti ( Community-Acquired Pneumonia/ CAP)
Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan
rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada
pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari.
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial)
pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis
ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari
penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam
perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari
60% akan menderita pneumonia.
c. Pneumonia aspirasi
Infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan
cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental
terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Stroke, penyakit
Parkinson, kesulitan menelan, dapat menyebabkan aspiration pneumonia.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised/ oportunistik
Pneumonia jenis ini menyerang mereka yang lemah sistem kekebalan tubuhnya.
Misalnya penderita AIDS atau yang pernah melakukan transplantasi organ tertentu.
Kemoterapi dan penanganan corticosteroid juga dapat memicu penyakit ini.
MK: ketidakefektifan
MK: defisiensi pengetahuan
Droplet terhirup bersihan jalan nafas
Demam, berkeringat
J. Penatalaksanaan Pneumonia
Penatalaksanaan pneumonia dilakukan berdasarkan penentuan klasifikasi
pada anak, yaitu :
Pneumonia Barat
Tanda : tarikan dinidng dada ke dalam
Penderita pneumonia berat juga mungkin disertaii tanda lain, seperti :
- Nafas cuping hidung
- Suara rintihan
- Sianosis
Tindakan : cepat dirujuk ke rumah sakit ( diberikan satu kali dosis
antibiotika dan kalau ada demam atau wheezing diobati lebih
dahulu)
Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat
Tindakan :
1. Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
2. Beri antibiotik selama 5 hari
3. Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan
memburuk
4. Bila demam, obati
5. Bila ada wheezing , obati
WHO menganjurkan penggunaan antibiotika untuk pengobatan
pneumonia yakni dalam bentuk tablet atau sirup ( kortimoksazol,
amoksisilin, ampisilisn ) atau dalam bentuk suntikan intra muskuler
( prokain penisilin )
Bukan Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada nafas cepat
Tindakan :
1. Bila batuk > 30 hari, rujuk
2. Obati penyakit lain bila ada
3. Nasehati ibunya untuk perawatan di rumah
4. Bila demam, obati
5. Bila ada wheezing , obati
K. Pencegahan Pneumonia
Pencegahan primer
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia, antara lain:
a. Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu
gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi
yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam
kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan
terkenanya infeksi selama kehamilan.
b. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan
karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada
bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin
kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor
antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan ketahanan
terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita yang
mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita
yang tidak mendapatkannya.
c. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak
umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak
3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
d. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang
sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa
menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.
Pencegahan sekunder
Tujuannya adalah untuk menyembuhkan orang yang sudah menderita
pneumonia, pencegahan sekunder antara lain:
a. Pneumonia berat: dibawa ke rumah sakit dan diberi antibiotik
b. Pneumonia: diberi antibiotic kortimoksasol oral dan ampisilin
c. Bukian pneumonia:bisa perawatan di rumah, tidak diberikan
antibiotic. Cukup diberikan paracetamol jika panas, bila pilek
diberikan kapas yang ditetesi air garam, bila nyeri tenggorokan beri
penicillin dan dipantau selama 10 hari
Pencegahan tersier
Tujuannya adalah untuk mencegah munculnya komplikasi/keadaan
yang semakin parah
a. Beri antibiotic selama 5 hari dan jika semakin parah konsul ke
dokter (Soeparman, 2002).
L. Komplikasi Pneumonia
Bakteremia
Bakteremia adalah suatu kondisi di mana ada sejumlah besar bakteri
hadir dalam aliran darah. Indikasi bakteri dalam darah terdeteksi oleh
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan fisik. Bakteremia biasanya
dicurigai jika pasien menunjukkan tanda-tanda dan gejala seperti
demam tinggi, batuk lendir hijau atau kuning, kelemahan ekstrim dan
timbulnya syok septik. Bakteremia harus ditangani dengan cepat atau
infeksi dapat menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dan
menyebabkan organ utama mati.
Efusi pleura
Efusi pleura terjadi ketika penumpukan kelebihan cairan dan dahak
pada lapisan dinding dada, alveoulus dan ruang-ruang di antaranya. Ini
adalah komplikasi umum yang muncul dari pneumonia dan mungkin
salah satu tanda-tanda pertama pada X-Ray dada. Jika cairan luas di
paru-paru, thoracentesis mungkin harus dilakukan.
Endokarditis
Endokarditis adalah infeksi lapisan dalam jantung. Ini merupakan
komplikasi dari pneumonia diobati jangka panjang atau pneumonia
berulang. Karena gejala dapat mirip pneumonia itu sendiri, seperti
sesak napas, batuk atau nyeri, sering kali tidak terdeteksi. Endokarditis
yang tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan ireversibel katup atau
gagal jantung.
Kegagalan ventilasi
Kegagalan ventilasi adalah nama lain umum untuk hiperkapnia. Otot-
otot di paru-paru, atau otot ventilator, bekerja keras untuk
memungkinkan paru-paru naik dan turun dan bekerja pada
menyelesaikan fungsi tubuh yang tepat. Dalam beberapa kasus
pneumonia, pasien mungkin tidak dapat bernapas dengan adekuat.
Sebuah ventilator harus ditempatkan pada pasien sehingga mereka
dapat bernapas dengan benar dan mengisi aliran darah dan oksigen ke
seluruh organ tubuh.
Kegagalan Pernafasan hipoksemia
Kondisi ini terjadi ketika ada peradangan parah di dinding paru-paru
menyebabkan aliran udara menutup atau menyempitkan darah dan
aliran udara. Pengobatan awal adalah untuk mengurangi peradangan.
Hal ini dilakukan dengan antibiotik untuk menghilangkan infeksi dan
thoracentesis untuk menghapus cairan untuk meringankan tekanan
udara dan aliran kembali (Price, 2003; Sectish, 2003).
1.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. PENGKAJIAN
1. Data dasar pengkajian pasien
2. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
3. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
4. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia
(malnutrisi)
5. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
6. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)
7. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda :
sputum:merah muda, berkarat
perpusi: pekak datar area yang konsolidasi
premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
Bunyi nafas menurun
Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku
8. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar
9. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6-8 hari
Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah
b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran aveolar-kapiler ditandai
dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery abnormal,sianosis,nafas cuping
hidung,dan gelisah (rewel)
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. factor biologis
3) Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan keluarga aktif ditandai
dengan penurunan turgor kulit, memebran mukosa kering, dan peningkatan
suhu tubuh.
Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan kreteria hasil Intervensi
Tekanan parsial
karbondioksida pada Oxigen therapy
darah arteri normal
7. Bersihkan skresi mulut hidung dan
(skala 5)
trakea sesuai kebutuhan
pH arteri normal
8. Memeberikan terapi oksigen sesuai
(skala 5)
kebutuhan
Tidak terjadi sianosis
9. Monitor aliran oksigen
(skala 5)